Lompat ke isi

Ayam yang Malang

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Premis
[sunting]

Zavier tidak meyadari bahwa hari ini adalah hari dimana tradisi berburu ayam dilaksanakan. Dia ingat pada Balu, ayam kesayangannya yang tidak dia kurung. Hal inilah yang membuat dia akhirnya tidak bisa memaafkan dirinya.

Lakon

[sunting]
  1. Zavier
  2. Ayah dan Ibu Zavier
  3. Aldo, sahabat Zavier
  4. Pemburu ayam

Lokasi

[sunting]

Perkampungan tempat tinggal Zavier.

Cerita Pendek

[sunting]

Penasaran

[sunting]

Bel sekolah berbunyi lebih cepat. Pertanda jam sekolah telah usai. Hari ini kami pulang lebih awal karena guru-guru meminta kami menyaksikan salah satu upacara adat di tempat kami yaitu berburu ayam (bui). Setelah mengakiri pelajaran dengan doa kami pun meninggalkan sekolah. Aku mengeluarkan beberapa permen dan kuberikan pada sahabatku Aldo.

“Aku punya permen. Kamu mau?” Tanyaku pada sahabatku.

“Wah, aku mau.” Aldo mengulurkan tangannya dan menerima permen dariku.

“ Hari ini asyik ya, kita bisa menyaksikan pengejaran ayam.” Kataku dengan sangat gembira.

“Ya, benar sekali. Makanya kemarin sore saat si jago bertengger aku segera menangkap dan memasukkannya dalam kandang, jika tidak  dia pasti akan ditangkap oleh pemburu ayam.” Jelas sahabatku itu. Aku sangat kaget. Aku ingat ternyata ayamku yang kuberi nama balu tidak aku masukan dalam kandang.

“Astaga….” Aku lari tunggang langgang meninggalkan Aldo.

“Hei Zavier, hei…ada apa?” Aldo mengejarku sambil menarik bajuku dari belakang. Air mataku hampir jatuh. Mataku mulai basah.

“Si balu ayam kesayanganku belum aku masukan dalam kandang.” Kataku dengan sedih.

“Wah…apakah kamu tidak tahu jika hari ini tradisi tangkap ayam di kampung kita?”

“Aku tidak tahu, aku lupa. Orangtuaku tidak mengingatkan aku.” Kataku mulai marah pada Ibu dan Ayah.

“Kalau begitu ayo kita harus tiba lebih cepat di rumah. Siapa tahu ayammu masih belum jauh.” Kami berdua pun berlari. Aku sangat sayang pada balu. Setiap pagi dan sore aku selalu memberinya makan berupa jagung, padi, atau nasi dari sisa bekalku.  Jika hari ini dia tertangkap aku pasti akan sangat sedih dan kecewa pada diriku sendiri, karena tidak bisa menjaga ayam kesayanganku dengan baik. Dengan napas terengah-engah, aku tiba di rumah, Aldo masih menemaniku. Di sana aku melihat ayah dan Ibuku sedang duduk di teras rumah menantikan kedatangan para pemburu ayam (ibu ngiu).

“Selamat siang Ayah, Ibu, balu dimana?” Tanyaku tanpa menyalin pakaian terlebih dahulu.

foto saat banyak orang menyaksikan tradisi berburu ayam.

“ Sayang, bukankah balu sudah kamu kurung dalam kandang?” Tanya mama mengambil tas dari pundakku.

“Belum mama, aku lupa mengurungnya kemarin sore.”

“Astaga Zavier, mengapa kamu lupa. Hari ini adalah hari berburu ayam. Ayo kita cari. Jika tidak ayammu akan dilempar oleh pemburu dengan tongkat kayu.” Kata Ayah sambil membantuku berjalan ke belakang rumah. Setelah menyalin pakaian, Aku, Aldo, dan Ayah berjalan ke belakang rumah mencari balu.

“Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr…..grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr……” Panggilku pada balu, ayam kesayanganku yang sudah kupelihara hampir enam bulan ini. Dia adalah ayam yang diberikan ayah kepadaku.

“Ayah…apakah sudah melihat balu?” Tanyaku semakin gugup karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.50. Sepuluh menit lagi para pemburu ayam itu akan datang. Aku mencari ke sana ke mari.

“Dia pasti sedang mencari makan.” Kata Aldo temanku sambil menengok ke sana ke mari.

“Entahlah Aldo. Waktu tinggal sepuluh menit lagi. Mereka akan datang.” Kataku mulai menangis.

“Kita cari dahulu ya sayang, jangan menangis dulu.” Kata Ayah menghiburku. Namun, aku tidak bisa menahan air mataku, aku mulai menangis, aku membayangkan jika balu akan mati dilempari oleh para pemburu itu. Aku mendengar suara ribut di ujung kampung, jantungku rasanya mau copot saja. Mereka sudah tiba. Aku berlari ke halaman depan. Astagaaaa…..ternyata Balu sedang mencotok bangkai kelabang di halaman tetangga kami.

“Grrrrrrr…balu….grrrr…balu…..balu…..” teriakku pada balu yang tidak mendengarkan aku yang sudah sekuat tenaga memanggilnya. Para pemburu itu sudah tiba, jaraknya dengan balu sudah dekat.

“Wah itu di sana….itu di sana…ada ayam…. ada ayam….” Teriak salah satu pemburu ayam.

“Oh ya, benar. Ayo kejar…ayo kejar….” Teriak salah satu pemburu ayam yang badannya besar.

“Ayah…aku harus melindungi balu. Dia tidak boleh ditangkap.” Aku hendak berlari ke arah balu.

“Hei Zavier…jangan…jangan….” Kata Ayah menarik tanganku.  Aku perhatikan mereka mulai mengejar ayamku Balu. Balu berlari menghindar dari batang-batang kayu yang diarahkan kepadanya. Aku hanya bisa melihat dengan sedih. Balu berlari dengan kencang, dia berlari ke sana ke mari sambil terus dikejar dan dilempari dengan batang kayu. Aku berharap dia selamat.

“Jaga di sebelah sana.” Kata seorang pemuda yang terus berjaga untuk mendapatkan balu.

saat ayam balu ditangkap pemburu ayam (ibu ngiu)

“Ya, ayo lempar.” Teriak pemburu yang lain. Dia mengejar balu, tetapi uppppssss…..dia terpeleset dan jatuh karena sekuat tenaga mengejar balu. Beberapa orang yang menonton tertawa. Balu tetap berlari menyelamatkan diri. Sedangkan ayah, masih memegang tanganku dengan kuat. Ayah takut aku akan berlari diantara para pemburu ayam untuk menyelamatkan balu.  Ayah takut jika potongan-potongan kayu itu mengenaiku. Tetapi,  hatiku menjadi sangat kacau saat balu terkena lemparan kayu yang dilempar tepat di salah satu sayapnya. Dengan terseok-seok balu tetap mencoba menyelamatkan diri. Kata Ayah, kita tidak boleh marah atau mengamuk jika mereka mengejar ayam kita, karena menurut ayah dan Ibu jika ayam itu akan diberikan kepada leluhur, sebagai bentuk rasa syukur. Kulihat Kakinya kejang-kejang karena terkena hantaman kayu keras dari salah satu pemburu. Dia sudah lemas. Ayam kesayanganku telah tiada..

“Balu…balu….huhuuhu….” Aku menangisi ayamku. Aldo sahabatku dan Ayah hanya memelukku. Aku sangat kecewa karena balu tidak bisa selamat. Aku melihat beberapa pemburu ayam menghampiri ayamku dan memukulnya sekali lagi untuk memastikan jika dia sudah mati. Aku hanya terdiam sambil menangis.

“Ayah, mengapa kita tidak boleh menyelamatkan ayam yang mereka kejar?” Tanyaku sambil memeluk ayahku.

“Sayang, itu adalah tradisi. Setiap tanggal 26 Desember dan tanggal 14 Januari kita akan melaksanakan tradisi ini. Kita memberi makan leluhur sebagai bentuk syukur atas rezeki yang sudah kita peroleh selama setahun yang berlalu.” Kata Ayah menjelaskan.

“Tetapi  paman mengapa harus ayam yang menjadi sasaran perburuan?” Tanya Aldo sahabatku.

“Tradisi itu sudah dibuat oleh nenek moyang kita zaman dahulu. Jadi kita sebaiknya melestarikannya.” Kata Ayah sambil membelai rambut Aldo.

Aku terdiam sejenak, melihat ayamku sudah dibawa oleh pemburu meninggalkan kampung kami.  Beberapa pemburu nampak senang karena balu adalah ayam pertama yang mereka dapatkan.

“Sayang, ini sebuah pembelajaran untuk kita yang memiliki ternak, agar kita selalu ingat untuk mengamankan peliharaan , tidak membiarkan mereka berkeliaran saat tradisi ini tiba.” Kata mama sambil memberikan aku beberapa roti yang baru saja dipanggang.

“Tidak mama, aku tidak mau.” Aku menolak pemberian mama. Aku masih sedih.

“Trimakasih tanta.” Kata Aldo ketika mama memberinya roti.

“Zavier sayang, perburuan ayam ini adalah tradisi. kita tidak boleh menggerutu atau  marah karena ayam itu akan diberikan kepada leluhur kita sebagai bentuk syukur karena telah memberi kita kesehatan dan rezeki selama setahun ini.” Jelas mama sambil membelai rambutku.

Mengikhlaskan

[sunting]

“Benar sekali Zavier. Kamu sebagai generasi penerus harus menjaga tradisi ini. Ini adalah warisan budaya yang terjadi setiap tahun. Tidak setiap hari, hanya dua kali dalam setahun.” Kata Ayah menambahkan. Aku terdiam sejenak.  Aku mulai berpikir, aku tidak boleh menggerutu pada tradisi leluhur yang telah tradisi ini. Aku harus bersyukur karena tradisi ini masih lestari di kampungku.

“Ia mama, mungkin lain kali Zavier harus mengurung ayam sebelum hari  perburuan tiba.” Kataku sambil mengambil roti yang mama simpan di atas meja.

“Sayang, budaya  itu indah dan selalu dirindukan.” Kata mama membelai rambutku.

“indah dan dirindukan?” Tanyaku tidak mengerti.

“Ia sayang, indah karena semua pemburu memakai pakaian adat yang unik. Dirindukan, karena tradisi ini hanya dilaksanakan dua kali setahun, tidak setiap hari. Kita pasti akan selalu merindukan suasana ramainya dan uniknya saat melihat beberapa pemburu berusaha sekuat  tenaga mendapatkan ayam buruan meskipun mereka harus terjatuh. “ Ayah menjelaskan padaku dan membuat aku mengerti. Aku terdiam sejenak. Benar juga kata ayah. Ini adalah tradisi yang harus dihormati oleh semua orang.

“Tahun depan Zavier harus mengurung ayam sebelum hari perburuan tiba.” Kataku sambil menatap ayah dan ibuku.

“Nah, begitu dong anak baik.” Kata Mama sambil memelukku.

“Pasti tahun ini menjadi tahun penuh berkat untuk Zavier.” Kata Ayah menambahkan.

“Ia Ayah, Amin.” Kataku sambil menarik napas dan berusaha untuk mengikhaskan karena aku ingat bahwa ini adalah tradisi.

“Kalau begitu saya harus pamit Zavier. “ Kata Aldo sambil berdiri mengambil tasnya.

“Ini ambil satu lagi.” Kata Ibu menyodorkan kue pada Aldo.

“Trimakasih Tanta. Zavier, om, saya pamit ya.” Kata Aldo.

“Oke Aldo, sampai ketemu besok.” Kataku menepuk pundak Aldo. Aldo pun meninggalkan rumahku dan berjalan meninggalkan rumahku. Panas mulai terasa di kulitku. Aku masuk ke dalam rumah disusul ayah dan ibuku.