Bahasa dan Identitas

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengertian Identitas[sunting]

Kata identitas berasal dari bahasa Inggris ”identity” yang memiliki pengertian harafiah yakni ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu sehingga membedakan satu dengan yang lainnya. Identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri. Dengan bahasa, kita dapat mengetahui identitas diri dan orang lain. Identitas bagaikan sebuah label bagi diri. Jika diri seseorang memberikan identitas pada dirinya, maka seluruh keyakinan, nilai hidup, dan prilakunya akan mendukung identitas tersebut. Jika identitas pada diri seseorang positif, maka keyakinan, nilai hidup, dan prilakukanya akan positif. Jika identitas pada diri seseorang negatif, maka keyakinan, nilai hidup, dan prilakukanya akan negatif. Salah satu cara untuk menetukan identitas diri dan memengarui orang lain memandang diri kita yaitu dengan menggunakan bahasa. Bahasa berperan penting dalam kehidupan sosial. Dengan bahasa, kita dapat mengetahui kelompok, suku, dan bangsa seseorang. Akan tetapi, agar mitra tutur mengetahui identitas penutur, maka mitra tutur harus mempunyai pengetahuan agar dapat mengetahui identitas dari penutur. Jika mitra tutur tidak mempunyai pengetahuan, maka ia tidak akan bisa mengetahui identitas penutur. Kadang kala bahasa dan identitas menjadi polemik di masyarakat. Oleh karena itu, bahasa dan identitas perlu dikaji.

Identitas Linguistik[sunting]

Identitas linguistik mengacu pada cara berbicara. Thomas dan Shan Wareing (2007: 224) menyatakan bahwa cara Anda berbicara dan juga jenis-jenis kode sosial lain yang Anda gunakan, seperti cara Anda berpakaian atau cara Anda berprilaku adalah sebuah cara untuk menunjukkan kepada orang lain tentang siapa diri Anda dan apa identitas sosial Anda. Jadi, dari identitas linguistik, kita dapat mengetahui siapa diri kita, bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri, bagaimana cara orang lain memandang diri kita. Hal tersebut, tidak semata-mata ditentukan oleh dari kalangan mana kita dilahirkan dan dibesarkan atau dari kelas mana orang tua kita berasal dan kita termasuk golongan mana. Jika Anda memandang diri Anda sebagai pejabat, misalnya gubernur, maka Anda akan berbicara dengan penuh wibawa, diksi yang Anda gunakan merupakan diksi yang santun, tata kalimatnya terstruktur. Anda menggunakan cara tersebut karena melihat diri Anda sebagai pimpinan, orang berpendidikan, dan patut dihargai di masyarakat. Jika Anda tidak melakukan cara tersebut, maka Anda tidak akan dihargai oleh rakyat Anda, bahkan akan dihina. Jika Anda memandang diri Anda sebagai orang yang tidak sesuai dengan norma-norma, maka Anda tidak menggunakan wibawa, diksi yang santun, serta kalimatnya tersetruktur karena diri Anda sendiri sudah memandang diri Anda sebagai orang yang tidak patut dihargai. Hal ini juga disampaikan oleh Holtgraves (2002:6) yaitu sebagai berikut.

Language use is interpersonal in another way; it is a rich source of identity relevant information. Many aspects of our language use (accent, speech rate, politeness level, etc.) provide pieces of information that can be used by others in forming impressions of us. And many of these variables can be strategically altered as a means of managing the impressions we convey to others. Hence, language use plays an important role in both person perception—how we perceive others, and them us—and impression management—how we strategically vary our talk to achieve particular effects. Bahasa digunakan sebagai representasi diri yang kaya identitas. Aspek bahasa yang digunakan seperti aksen dan tingkat kesopanan merupakan potongan informasi yang dapat membentuk tayangan diri. Variabel-variabel seperti aksen dan tingkat kesopanan tersebut dapat digunakan untuk mengelola representasi diri. Jadi, penggunaan bahasa berperan penting dalam manajemen kesan orang lain pada diri kita karena dengan variasi-variasi bahasa dapat menimbulkan efek tertentu dalam berbicara. Identitas linguistik merupakan sesuatu yang dibentuk lewat interaksi dengan orang lain. Identitas linguistik juga dapat berganti peran. Sependapat dengan Thomas dan Shan Wareing (2007: 224) menyatakan sebagai berikut. Identitas memiliki banyak aspek karena orang dapat berganti peran dan menjalankan identitas yang berbeda pada waktu yang berbeda dan situasi yang berbeda, dan tiap-tiap konteks ini mengharuskan satu orang yang sama untuk beralih ke peran yang lain yang kadang-kadang mengalami konflik dengan peran lain yang juga dilakukannya dalam konteks lain. Salah satu cara yang digunakan untuk melakukan pergeseran/perubahan identitas atau peran ini adalah lewat bahasa yang kita gunakan.

Seorang gubernur perempuan, jika di depan publik memancarkan wibawa, tegar dan tegas ketika berbicara. Hal ini dilakukan karena identitasnya sebagai gubernur atau pemimpin. Akan tetapi, ia akan berganti peran dan menjalankan identitas yang berbeda ketika ia rumah dan berhadapan dengan suaminya. Di depan publik ia berperan sebagai gubernur, tetapi di dalam rumah ia adalah ibu rumah tangga. Hal ini tentu memengaruhi cara bicaranya. Jika di depan publik ia merupakan sosok yang berwibawa, tegar, dan tegas, tetapi ketika ia dihadapan suaminya bisa jadi ia sosok yang manja. Hal ini membuktikan bahwa identitas dapat berganti peran dan menjalankan identitas yang berbeda pada waktu yang berbeda dan situasi yang berbeda, dan tiap-tiap konteks ini mengharuskan satu orang yang sama untuk beralih ke peran yang lain.

Identitas linguistik dapat berubah karena beberapa faktor yaitu ingin menutupi identitas daerah asal, ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan ingin tampak berada pada kelas atas. Hal-hal tersebut menjadi faktor identitas linguistik secara sengaja dirubah oleh penutur. Ada pula identitas linguistik yang secara tidak sengaja atau secara alami berubah. Penutur tidak sadar bahwa identitas linguistiknya telah berubah. Hal ini karena faktor keseringan penutur berinteraksi dengan lingkungan sosial yang dominan sehingga dapat menyebabkan penutur tidak sadar mengalami perubahan identitas linguistik.

Ketika kita memasuki kampus, pasti kita bertemu dengan berbagai variasi bahasa. Ani merupakan mahasiswa pascasarjana, Universitas Negeri Malang. Ia berasal dari kota Blitar. Variasi bahasa Blitar berbeda dengan variasi bahasa Malang atau Jakarta. Ani malu dengan variasi bahasanya yang tampak seperti orang Blitar. Ani sengaja mengubah identitas linguistiknya agar ia tampak sama dengan teman-temannya, agar orang lain tidak mengetahui daerah asalnya. Hal ini merupakan contoh perubahan identitas secara sengaja. Rio berasal dari kota Solo. Setelah di PHK, ia kerja di Bandung. Di sana, Rio menyatu dengan masyarakat Bandung. Lama-lama, identitas linguistik Rio tidak lagi beraksen Solo, tetapi sangat mirip dengan aksen orang Bandung. Rio tidak sengaja menggunakan aksen-aksen Bandung. Apa yang diucapkan Rio mencul bergitu saja karena ia terlalu sering membaur dengan masyarakat Bandung. Ia sering mendengar aksen-aksen Bandung. Jadi, ia secara alami menggunakan aksen Bandung tanpa kesengajaan. Hal inilah merupakan contoh perubahan identitas linguistik yang tidak sengaja dilakukan oleh penutur. Namun peralihan variasi bahasa membutuhkan waktu yang agak lama untuk menyesuaikan dengan lingkungan sosial.

Bahasa dan Pembentukan Identitas Personal[sunting]

Identitas personal merupakan ciri-ciri atau tanda yang melekat pada masing-masing pribadi. Bahasa dan pembentukan identitas personal dibentuk melalui nama dan praktik penamaan serta sistem sapaan. Nama dan praktik penamaan serta sistem sapaan akan dijabarkan sebagai berikut.

Nama dan Praktik Penamaan[sunting]

Nama merupakan kata yang berfungsi untuk menyebut atau memanggil seseorang. Mufakat dengan pendapat Thomas dan Shan Wareing (2007: 227) ialmenyatakan sebagai berikut. Salah satu sarana linguistik yang paling banyak dan paling mencolok penggunaannya untuk membentuk identitas seseorang adalah dengan memberi dan menggunakan nama. Kita dibedakan dari orang lain dalam satu kelompok yang sama lewat nama kita. Nama itu membuat masing-masing dari kita menjadi individu yang berbeda dari individu yang lain, biarpun kita dengan anggota lain dalam kelompok yang sama memiliki banyak kesamaan dalam hal lain, misalnya termasuk dalam keluarga yang sama atau berada pada kelas yang sama.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa nama merupakan identitas personal untuk membedakan orang yang satu dengan nama yang lain. Di Indonesia pada umumnya tidak ada aturan tertentu dalam memberikan nama. Jika nama ayah Rendi Supriadi, maka anak diberi nama Muhammad Roni. Hal tersebut tidak masalah di Indonesia. Akan tetapi, ada sebagian masyarakat yang sengaja membentuk nama keluarga. Misalnya, nama ayah Muhammad Safi’i, maka anak diberi nama Rangga Ilham Safi’i. Jadi belakang anak diambilkan nama belakang nama ayah. Di Indonesia ada pula yang memakai marga. Marga merupakan istilah untuk menyebut leluhur sebagai induk dari silsilah keluarga dan kekerabatan mereka. Sebagai sebuah tradisi, marga telah menjadi identitas dan status sosial. Contoh marga Batak misalnya Hutahean, Hutagaol, Simatupang dll. Penggunaan nama di Indonesia tidak sama dengan di Inggris atau di Amerika Serikat. Jika di Inggris atau di Amerika Serikat penggunaan nama belakang merupakan mana ayah. Hal ini serempak digunakan masyarakat Amerika, sehingga hal tersebut merupakan sebuah kebudayaan di Inggirs dan Amerika.Penggunaan nama di lain tempat mempunyai perbedaan. Penggunaan nama di Rusia, berbeda dengan penggunaan nama di Indonesia, Inggis maupun di Amerika Serikat. Di Rusia penggunaan nama belakang ditambah bin atau binti. Bin atau binti mempunyai arti “anak dari X”. Bin atau binti disebut sebagai patronim yang berarti “ayah”. Misalnya nama ayah Muhammad Haryanto Ferdinan, maka nama belakang anak diberi nama Ferdinan. Jadi, nama anak diberi nama Erik bin Ferdinan. Penggunaan nama juga merupakan tanda bahwa orang tersebut dapat diterima di kelompok tertentu. Misalnya pada orang beragama islam, maka orang tersebut menggunakan nama Muhammad. Jika orang tersebut menganut agama katolik, maka orang tersebut diberi nama Santo atau Santa. Praktik menggunakan nama tidak hanya pada diri seseorang. Akan tetapi, penggunaan nama ini digunakan sebagai identitas geografi, salah satunya identitas kota. Kota mode merupakan identitas dari kota Bandung. Kota apel merupakan identitas kota Batu. Kota metropolitan merupakan identitas dari kota Jakarta. Hal tersebut membuktikan bahwa praktik penamaan merupakan sebuah pembentukan identitas.

Sistem Sapaan[sunting]

Bentuk identitas seseorang tidak hanya terbentuk dari penggunaan nama. Akan tetapi, identitas dipengaruhi oleh bagaimana cara orang menggunakannya. Senada dengan Thomas dan Shan Wareing (2007: 232) menyatakan bahwa cara orang lain merujuk pada diri Anda bisa berbeda-beda tergantung pada format formalitas, tingkat kedekatan hubungan atau status relatif dari semua orang yang terlibat dalam interaksi. Hilda adalah teman dekat Mirna. Hilda mempunyai kebiasaan buruk yaitu sering ngompol. Biasanya, Mirna jika memanggil Hilda yaitu Si Ompol. Hilda sama sekali tidak merasa tersinggung karena Mirna merupakan teman dekatnya. Hinaan yang diungkapkan dalam bentuk sapaan tidak jadi masalah bagi Hilda karena lontaran tersebut dianggap sudah biasa. Berbeda jika orang lain yang menyapa dengan kata tersebut, maka Hilda bisa tersinggung. Hal ini membuktikan bahwa tingkat kedekatan hubungan atau status relatif dari semua orang yang terlibat dalam interaksi.

Rino merupakan salah satu dokter di rumah sakit ternama. Ketika ia berangkat kerja, ada polisi yang menghentikan mobil Rino. Polisi yang menghentikan mobil Rino umurnya tidak jauh beda dengan Rino. Berikut percakapan Rino dengan seorang polisi.

“Siapa namamu, Nak?”

“Dr. Rino Wijaya, saya seorang dokter.”

“Tinggal di mana kamu, Nak?”

“Jalan Raya Langsep Malang”

Dengan menggunakan panggillan “Nak” polisi tersebut tidak memerhatikan tingkat formalitas. Seharusnya polisi tersebut dapat memanggil dengan sebutan pak atau dokter agar terkesan lebih sopan. Pada umumnya, orang yang berprofesi sebagai dokter usianya bukan anak-anak lagi dan pada dialog tersebut, dokter menyebutkan gelar nama. Hal tersebut menunjukkan bahwa dokter tersebut tidak terima dengan sebutan “Nak”.

Sistem sapaan yang kita gunakan kadang dapat menimbulkan kesan yang baik atau kesan yang buruk tergantung kepada siapa kita menyapa dan bagaimana kita menyapa seseorang. Dari sapaan tersebut kita dapat menciptakan jarak sosial, membangun kedekatan, bersikap sopan, santun, hormat, dan menghina. Hal tersebut tergantung yang menggunakannya. Sependapat dengan Thomas dan Shan Wareing (2007:233) menyatakan bahwa cara menggunakan bentuk-bentuk sapaan ini bisa membawa dampak penting terhadap para peserta dari sebuah percakapan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sistem sapaan merupakan identitas personal. Jika kita menggunakan dengan tepat, maka tidak akan menyinggung perasaan orang lain.

Bahasa dan Identitas Pembentukan Identitas Sosial[sunting]

Bahasa tidak hanya dipakai untuk membentuk identitas diri. Akan tetapi bahasa dapat membentuk identitas sosial. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Pada bahasan sub bab ini, akan dibahas (1) identitas dan representasi dan (2) kelompok dalam dan kelompok luar. Hal tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.

Identitas dan Representasi[sunting]

Bahasa digunakan untuk representasi diri. Dengan bahasa, kita dapat memengaruhi orang lain dengan representasi bahasa yang kita tampilkan. Representasi bahasa merupakan ciri khas bahasa yang digunakan untuk mewakili identitas diri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fasold (dalam Lucas, 2004:1) menyatakan sebagai berikut. Sociolinguistics depends on two facts about language: first, that language varies, which is to say that “speakers have more than one way to say more or less the same thing” (p. ix); and, second, that language serves a broadly encompassing purpose just as critical as the obvious one of transmitting information and thoughts from one person to another. Jika kita bicara tentang sosiolinguistik, ada dua fakta tentang bahasa. Pertama, bahasa mempunyai variasi. Hal ini membuat penutur memiliki cara yang berbeda dalam mengatakan hal yang sama. Dari cara yang berbeda kita dapat mengidentifikasi identitas. Variasi tersebut erat hubungannya dengan etnis, kelas sosial dan lain-lain. Kedua, bahasa berperan penting dalam memengaruhi pikiran orang lain. Dari representasi diri, kita dapat mengetahui bagaimana cara orang lain memandang diri kita, begitu juga sebaliknya. Jadi, dapat disimpulkan dari kedua hal tersebut bahwa dari ciri khas bahasa yang digunakan seseorang, kita dapat mengetahui identitasnya. Bahasa juga digunakan sebagai representasi atau mewakili sebutan kelompok sosial sebagai identitasnya. Bahasa sebagai identitas, representasi dapat dibentuk oleh diri mereka sendiri atau orang lain yang memandangnya. Dalam identitas dan representasi tentu diikuti oleh adanya kategori-kategori. Kategori tersebut digunakan untuk mendefinisikan identitas diri mereka. Kategori juga digunakan untuk mengendalikan siapa-siapa yang akan masuk dalam anggota kelompok mereka. Jika kelompok sudah membuat identitas serta kategori-kategori, maka mereka berhak menolak kategori yang dibuat orang lain.

Rian merupakan remaja yang hobinya otak-atik mesin mobil. Rian sudah mengotak-atik empat mobil pribadinya. Ia masuk dalam identitas sosial yang mempunyai representasi yaitu hotrodders. Dalam kelompok hotrodders terdapat kategori-kategori. Rian tidak boleh seenaknya untuk masuk dalam kelompok tersebut. Anggota hotrodders mempunyai kategori yaitu seseorang yang masuk dalam kelompok hotrodders harus mempunyai produk mobil yang sudah diotak-atik. Rian termasuk dalam kategori tersebut karena Rian sudah mempunyai empat mobil yang sudah diotak-atik. Dengan demikian, Rian dapat bergabung di komunitas yang mempunyai representasi dirinya sebagai hotrodders. Hal ini merupakan contoh identitas sebagai representasi yang di dalamnya terdapat kategor-kategori yang mendevinisikan diri mereka.

Bahasa digunakan sebagai representasi kelompok sosial salah satu contohnya yaitu identitas politik. Selogan yang digunakan partai politik merupakan identitasnya. Slogan yang digunakan partai polotik digunakan untuk menarik simpati masyarakat. Hal ini didasarkan kepentingan golongan. Misalnya pada partai PKB mempunyai slogan “Berkomitmen lahir Batin”. Partai Demokrat mempunyai slogan “Bertekat Memberi Bukti, Bukan Janji”. Partai Hanura mempunyai slogan “Menggugah Hati Nurani Bicara”. Setiap partai mempunyai slogan yang berbeda-beda sesuai dengan visi dan misi partai. Hal ini membuktikan bahwa slogan yang digunakan merupakan identitas sosial.

Kelompok Dalam dan Kelompok Luar[sunting]

Identitas sosial berkaitan dengan cara orang lain memandang diri kita. Jika kita ingin masuk dalam identitas sosial tertentu, tetapi orang lain memandang kita tidak layak masuk dalam identitas sosial yang kita inginkan, maka kita tidak dapat masuk dalam identitas sosial tersebut. Hal ini senada dengan Thomas dan Shan Wareing (2007: 238) menyatakan sebagai berikut.

Orang tidak selalu bisa membentuk sendiri identitas sosial yang ia inginkan karena identitas sosial itu selalu terkait dengan cara orang lain memandang dirinya. Bahkan sangat sulit untuk memandang identitas sebagai sebuah masalah yang murni pribadi, karena persepsi seseorang terhadap dirinya sebagai individu hanya mungkin terjadi karena dihubungkan dengan orang lain dan dengan status orang itu di dalam kelompok sosial tertentu. Status ini dapat dibentuk dan dipengaruhi oleh bahasa lewat berbagai cara.

Jika seseorang masuk dalam kelompok tertentu, pasti terdapat kode-kode sosial yang digunakan mengacu pada kelompok tertentu. Beberapa kode sosial yang digunakan untuk menunjukkan bahwa ia merupakan anggota dari kelompok tertentu, yaitu dengan melihat cara berpakaian dan linguistik yang digunakan. Kedua hal tersebut menjadi acuan bahwa orang tersebut masuk dalam kriteria kelompok tertentu atau tidak. Dari kedua hal tersebut pula dapat diketahui bagaimana posisi seseorang dalam kelompok tersebut.

Ketika seseorang menggunakan linguistik yang biasanya dipakai kelompok sosial tertentu, maka orang tersebut dianggap sebagai anggota dari kelompok sosial tertentu, baik dalam pandangan orang-orang dalam kelompok itu sendiri (kelompok dalam) atau orang-orang diluar kelompok sosial tersebut (kelompok luar). Jadi, ketika orang menggunakan linguistik yang sesuai dengan norma-norma kelompok sosial tertentu, maka orang tersebut masuk dalam anggota kelompok sosial tertentu, bukan kelompok luar. Hal ini dicontohkan sebagai berikut.

Johan merupakan pengguna bahasa Black English Vernacular. Di New York bahasa Black English Vernacular merupakan bahasa yang digunakan anggota geng anak jalanan. Dengan bahasa yang digunakan Johan, orang yang berasal dari kelompok sosial geng anak jalan (kelompok dalam) menganggap Johan memang geng anak jalanan. Bergitu juga dengan orang lain yang bukan anggota geng anak jalanan (kelompok luar) juga menganggap bahwa Johan memang anggota dari geng anak jalanan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelompok dalam (ingroup) adalah anggota dari kelompok sosial tertentu, sedangkan kelompok luar (outgrup) bukan anggota kelompok sosial tertentu.

Variasi Linguistik dan Pembentukan Identitas[sunting]

Variasi linguistik dan pembentukan identitas akan diuraikan menjadi dua sub, yakni (1) variasi gaya dan pilihan bahasa dan (2) kekuasaan dan imperalisme. Dua sub bab berikut akan dijabarkan sebagai berikut.

1. Variasi Gaya dan Pilihan Bahasa[sunting]

Setiap individu mempunyai variasi gaya dan pilihan bahasa yang menjadi ciri identitas. Antara individu satu dengan individu lain mempunyai perbedaan gaya bahasa dan pilihan bahasa yang digunakan. Hal ini sepakat dengan Thomas dan Shan Wareing (2007:233) menyatakan sebagai berikut. Selain kesamaan sistem representasi bahasa dan kepatuhan terhadap norma-norma linguistik kelompok dalam, masih ada cara-cara lain yang digunakan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah termasuk (atau tidak termasuk) dalam kelompok sosial terterntu dengan hubungan tertentu dengan anggota lain lewat cara dia berbicara dalam berbagai jenis interaksi.

Orang tidak mungkin menggunakan cara yang sama dalam berbahasa, disemua waktu dan semua kesempatan tergantung siapa lawan biacara kita dan di mana kita berbicara. Orang yang mempunyai cara untuk memosisikan dirinya dalam hubungan tertentu dengan orang lain melalui gaya bahasa dan pilihan bahasa yang digunakan.

Contoh 1:

Mahasiswa: Mohon maaf Bapak. Saya mau bertanya, apakah perkuliahan hari ini jadi diganti hari Sabtu, tanggal 21 April 2017?

Dosen:Ya jadi.

Mahasiswa: Terima kasih atas informasinya Pak.


Contoh 2: Mahasiswa : Brow, kuliah jadi nih diganti sabtu lusa? Mahasiswa : Jadi Brow. Mahasiswa : Hem, oke-oke thaks ya. Pada contoh 1 dan contoh 2 dapat dilihat bahwa orang mempunyai gaya bahasa dan pilihan bahasa. Mahasiswa berbicara dengan dosen akan tampak berbeda dengan mahasiswa berbicara dengan mahasiswa lain. Jika mahasiswa berbicara dengan dosen, ia akan memosisikan dirinya dengan gaya lebih sopan karena dosen dianggap lebih tua. Selain itu, jika mahasiswa berbicara dengan dosen ia akan memosisikan dirinya menggunakan pilihan bahasa yang lebih formal. Berbeda dengan mahasiswa yang berbicara dengan mahasiswa lain. Ia akan memosisikan dirinya dengan gaya yang lebih santai dan menggunakan pilihan bahasa yang tidak formal. Waktu dan kesempatan memengarui orang dalam memilih gaya bahasa dan pilihan bahasa yang digunakan. Senada dengan Giles dan Poweland (dalam Thomas dan Shan Wareing, 2007:244) menyatakan sebagai berikut.

Orang akan berusaha untuk menunjukan solidaritas dan kesepakatan ketika berhadapan dengan orang lain dan rasa solidaritas atau kesepakatan ini bisa ditunjukkan antara lain dengan menggunakan konvergensi linguistik (konvergensi=penyatuan), yaitu dengan mengubah pola bicara mereka akan lebih sesuai dengan orang yang kebetulan menjadi lawan bicara mereka. 

Jadi, dapat disimpulkan pilihan bahasa yang digunakan penutur mengikuti variasi bahasa mitra tutur. Hal ini merupakan rasa solidaritas yang ingin ditunjukkan penutur kepada mitra tutur. Pada kenyataannya tidak semua orang mempunyai solidaritas atau kesepakatan mengikuti variasi bahasa mitra tutur. Ada pula penutur yang secara sengaja untuk mempertahankan diri menggunakan bahasanya. Thomas dan Shan Wareing ( 2007:246) menyatakan bahwa dalam beberapa situasi lain, penutur bisa memutuskan untuk tidak melakukan konvergensi linguistik tapi mempertahankan varian mereka sendiri (pemertahanan linguistik, linguistic maintenance) atau pindah ke varian lain yang lebih ekstrim perbedaannya (divergensi linguistik, linguistic divergence, lawan kata dari konfergensi linguistik). Ada sebagian penutur yang ingin menyamakan bahasa atau variasi bahasa yang digunakan mitra tutur. Ada juga sebagian orang yang tidak ingin menyamakan dirinya dengan berbagai jenis kelompok pada waktu yang berbeda. Hal ini seperti yang dikemukakan Thomas dan Shan Wareing (2007:247) sebagai berikut. Pola-pola linguistik yang mereka hasilkan akan berubah-ubah, baik berupa varian linguistik yang satu ke varian linguistik yang lain. Masalah afiliasi kelompok dan identitas dapat menentukan pilihan yang diambil penutur tentang bagaimana ia akan berbicara, atau untuk mereka yang akan mereka gunakan.

Pada dasarnya setiap individu mempunyai gaya bahasa dan pilihan bahasa sendiri karena setiap individu mempunyai identitas pribadinya masing-masing. Setiap individu juga memiliki persepsi yang berbeda terhadap bahasa. Ia akan mengubah gaya bahasanya, sehingga identitas asli tidak akan tampak atau ia akan mempertahankan bahasanya. Masing-masing individu mempunyai cara yang berbeda dalam hal ini.

2.4.2 Kekuasaan dan Imperalisme Linguistik Bahasa dalam pembentukan identitas kadang ada konflik-konflik politik yang berusaha untuk menghapus identitas yang sesungguhnya, yaitu imperalisme linguistik. Imperalisme linguistik merupakan perintah atau komando yang bersifat mengharuskan seseorang atau kumpulan masyarakat tertentu untuk menggunakan suatu bahasa tertentu dan tidak diperbolekan untuk menggunakan bahasa yang lain. Hal ini didasari oleh sebuah kekuasaan yang mengharuskan seseorang atau kumpulan masyarakat mentaati imperatif tersebut. Suka atau tidak terhadap suatu imperatif harus dipatuhi. Kutipan berikut ini merupakan paparan sebuah cerita fiksi mengenai hubungan antara Denmark dengan Greenland, di mana tokoh utama dalam cerita ini menjelaskan tentang hubungan antara bahasa dan identitas serta ungkapan perasaannya ketika ia tidak boleh lagi menggunakan bahasa pertamanya, dia kehilangan identitas Greenland-nya (Greenlan adalah pulau yang menjadi bagian negera Denmark dan terletak di Kutub Utara). Cerita fiksi ini ditulis oleh Hoeg yang berjudul Miss Silla’s Felling For Show dikutip dari buku Thomas dan Shan Wareing (2007:249) cerita fiksi tersebut sebagai berikut. Ketika kami pindah dari sekolah desa kami menuju ke Qaanaaq, guru-guru kami yang baru sama sekali tidak bisa bahasa Greenland, dan mereka juga tidak berniat untuk mempelajarinya. Mereka berkata bahwa untuk siswa-siswa yang berprestasi akan diberikan beasiswa untuk siswa-siswa yang berprestasi akan diberikan beasiswa untuk bersekolah di Denmark, yang bisa memberikan gelar sehingga kami tidak perlu lagi tinggal ditengah-tengah wilaya pelosok Kutub Utara yang terpencil ini. Agar kami bisa menaiki tangga emas ini kami harus bisa berbahasa Denmark. Inilah landasan dari politik yang terjadi di era 60-an yang menyatakan bahwa Greenland adalah “propinsi paling utara dari Denmark” sehingga orang-orang Inuit (suku asli penghuni Greenland-pent) harus disebut secara resmi sebagai “orang Denmark Utara” dan harus “dididik dengan hak-hak pendidikan yang sama seperti orang Denmark lainnya”, seperti yang dikatakan perdana Menteri. Itulah awalnya. Tapi setelah kami datang ke Denmark dan tinggal enam bulan lamanya, kami merasa bahwa kami tidak mungkin bisa melupakan bahasa pertama kami. Bahasa itu adalah bahasa yang kami gunakan untuk berpikir, untuk mengingat masa lalu kami. Ketika kami bertemu sesama orang Greenland di tengah jalan, dan bercakap-cakap, tiba-tiba kami menyadari bahwa bahkan untuk mengingat sebuah kata yang biasa saja kami harus berpikir keras. Dan enam bulan kemudian, seorang teman mengajak kami pergi ke rumah perkumpulan orang Greenland di Lov Lane. Di situlah baru kami sadar bahwa bahasa Greenland kami dapat begitu mudahnya dirobek dengan ujung kuku. Kutipan di atas menunjukkan sebuah imperalisme linguistik. Imperalisme tersebut berupa bahasa Greenland yang harus dihapus dan dirubah dengan bahasa Denmark. Kutipan di atas juga menunjukkan penggunaan bahasa memiliki keterkaitan erat dengan identitas sosial, etnis, dan nasional. Imperalisme linguistik juga terjadi pada bahasa Spayol di Amerika Serikat dan bahasa gurati di Inggris.


BAB III PENUTUP

Pada bagian ini dipaparkan: (1) kesimpulan, (2) saran, dan (3) daftar rujukan.

3.1 Kesimpulan Identitas linguistik mengacu pada cara berbicara yang digunakan. Pada identitas linguistik ini kita dapat mengetahui siapa diri kita, bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri, bagaimana cara orang lain memandang diri kita. Identitas linguistik dapat terbentuk melalui identitas personal dan identitas sosial. Dalam identitas pasti ada variasi-variasi linguistik. Dari variasi-variasi tersebut dapat dibedakan antara identitas individu satu dengan individu lain. Identitas personal dapat berupa dua hal, yaitu (1) nama dan praktik penamaan serta (2) sistem sapaan. Kedua hal tersebut berfungsi sebagai identitas diri seseorang yang membedakan antara individu satu dengan individu lain. Identitas sosial dapat dibentuk melalui dua hal, yaitu (1) identitas dan representasi serta (2) kelompok dalam dan kelompok luar. Bahasa juga digunakan sebagai representasi atau mewakili sebutan kelompok sosial sebagai identitasnya. Ketika seseorang menggunakan linguistik yang biasanya dipakai kelompok sosial tertentu, maka orang tersebut dianggap sebagai anggota dari kelompok sosial tertentu, baik dalam pandangan orang-orang dalam kelompok itu sendiri (kelompok dalam) atau orang-orang diluar kelompok sosial tersebut (kelompok luar). Cara membedakan indentitas seseorang dilihat dari variasi linguistik dan pembentukan identitas akan diuraikan menjadi dua sub, yakni (1) variasi gaya dan pilihan bahasa dan (2) kekuasaan dan imperalisme. Setiap individu mempunyai variasi gaya dan pilihan bahasa yang menjadi ciri identitas. Antara individu satu dengan individu lain mempunyai perbedaan gaya bahasa dan pilihan bahasa yang digunakan. Bahasa dalam pembentukan identitas kadang ada konflik-konflik politik yang berusaha untuk menghapus identitas yang sesungguhnya, yaitu imperalisme linguistik. Imperalisme linguistik merupakan perintah atau komando yang bersifat mengharuskan seseorang atau kumpulan masyarakat tertentu untuk menggunakan suatu bahasa tertentu dan tidak diperbolekan untuk menggunakan bahasa yang lain. Hal ini didasari oleh sebuah kekuasaan yang mengharuskan seseorang atau kumpulan masyarakat mentaati imperatif tersebut.

3.2 Saran Berdasarkan penulisan makalah yang berjudul Bahasa dan Identitas terdapat beberapa saran untuk peneliti dibidang sosiolinguistik dengan topik bahasa dan identitas. Saran yang pertama, yaitu diajukan kepada peneliti bidang sosiolinguistik pada bahasan bahasa dan identitas agar meneliti bahasa sebagai identitas pada sub kekuasaan dan imperalisme linguistik. Pada sub bab tersebut belum ada penelitian terkait Indonesia mengalami imperalisme linguistik. Bahasa daerah mana di Indonesia yang mengalami imperalisme linguistik. Kedua, diajukan kepada mahasiswa. Mahasiswa merupakan kaum intelektual seharusnya dapat memosisikan dirinya dalam hubungan tertentu dengan orang lain melalui gaya bahasa dan pilihan bahasa yang digunakan.


3.3 Daftar Rujukan

Holtgraves, Thomas M. 2002. Language As Social Action: Social Psychology And Language Use. New Jersy: Lawrence Erlbaum Associates Lucas, Ceil. 2004. The Sociolinguistics of Sign Languages. Cambridge: Cambridge University Press Thomas, Linda dan Shan Wareing. 1999. Bahasa, Masyarakat, & Kekuasaan. Terjemahan Sunoto. dkk. 2007. Yogyakarta: Pustaka Belajar.