Bara Si Anak Laut

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Bara Si Anak Laut (Asri Andarini)


Hai! Namaku Bara. Aku berumur sebelas tahun. Aku tinggal di Kampung Bajo Togean, Sulawesi Tengah. Sepulang sekolah, Aku mengajak adikku, Lalo, untuk bermain di luar rumah. Byurr! Setelah membuka pintu rumah, kami langsung mencebur ke laut. Lho, ke laut? Ya! Kampungku berada di atas pesisir laut. Dan rumahku berdiri di atas tiang-tiang kayu yang dipancangkan di dasar laut. Itulah sebabnya, mengapa suku kami disebut Orang Laut. Karena kami hidup di atas laut dan bekerja di laut. Laut pun menjadi halaman tempat kami bermain. "Ayo kita balapan!" seru adikku. "Ayo!" jawabku. Kami berenang cepat hingga sampai di bawah rumah Rawi, sahabatku. Aku dan adikku lalu menaiki tangga kayu dan memanggil Rawi. Aku ingin mengajaknya bersampan. Tapi rupanya Rawi tak ada di rumah. Ia sedang pergi ke daratan bersama ayahnya. Aku dan Lalo lalu berlari pulang menuju rumah kami. Oh ya, rumah-rumah di kampung kami dihubungkan dengan jembatan-jembatan kayu. Jembatan itu pula yang menghubungkan kampung kami dengan daratan. Rumah-rumah di sini juga terbuat dari kayu dengan atap yang terbuat dari seng dan daun rumbia. Saat tiba di rumah, Ibu memanggil kami untuk makan siang. Aku, Lalo, dan Ibu duduk melingkar di lantai. "Wah! Sinole dan cumi bakar!" seruku gembira, saat melihat hidangan yang sudah disiapkan Ibu.. Sinole adalah makanan khas di kampung kami yang terbuat dari tepung sagu dan kelapa parut. "Hmm... Enak!" kata adikku sambil makan dengan lahap. Setelah makan, kami duduk-duduk sambil menonton televisi. Perut yang sudah kenyang, embusan angin laut yang hangat, dan rumah yang bergoyang-goyang pelan membuatku jadi mengantuk. Aku langsung merebah di atas lantai sambil memandang langit biru lewat pintu yang terbuka lebar. Oh ya, nanti akan kuceritakan, mengapa rumahku sering bergoyang-goyang. "Bara!" Aku terperanjat mendengar seseorang memanggil namaku. Setengah mengantuk, aku melihat temanku Rawi dan Ruyung melongokkan kepala di pintu. "Ayo kita bersampan!" teriak mereka.. Seketika kantukku menghilang. Aku melompat keluar dan langsung mengejar teman-temanku yang sudah lebih dulu turun. Aku, Rawi, dan Ruyung mengayuh sampan masing-masing. Mula-mula kami melintas di dekat tiang-tiang kayu di bawah rumah kami. Saat ombak datang, tiang-tiang itu ikut bergerak. Itulah sebabnya, mengapa rumah-rumah di atasnya sering bergoyang-goyang.Tapi masyarakat Kampung Bajo sudah terbiasa. Rumah-rumah itu aman untuk kami. Tak lama kemudian, tibalah kami di atas hamparan terumbu karang. Dalam laut yang jernih, terumbu karang yang indah itu dapat terlihat dari permukaan laut. Kami segera menyebur dan berlomba menyelam. Adikku yang masih kecil juga ikut menyelam. Anak-anak di kampung kami memang sudah pandai berenang dan menyelam sejak masih kecil. Itulah keistimewaan suku kami. Kakek buyut kami adalah para pelaut ulung yang menaklukan laut di berbagai penjuru. Kami menyelam sambil menikmati keindahan terumbu karang yang menakjubkan. Ikan-ikan yang berwarna-warni tampak berseliweran di sekitarnya. Orang-orang Bajo hanya menggunakan peralatan tradisonal saja untuk menangkap ikan, sehingga terumbu karang yang indah ini tidak menjadi rusak. Menyelam sambil menikmati keindahan terumbu karang, sangat menyenangkan, hingga tak terasa hari mulai sore. Kami segera kembali ke sampan dan berlomba mendayung sampai ke rumah. Karena kelelahan, malam itu aku tidur dengan nyenyak. Suara debur ombak menjadi pengantar tidurku setiap malam. Keesokan harinya, aku dan teman-temanku bersampan ke pantai untuk mencari kerang. "Semalam turun hujan," kata Rawi sambil mendayung. "Ya, pasti akan ada banyak kerang di pantai," timpalku. "Wah, aku tidak tahu semalam hujan, tidurku terlalu nyenyak," kataku sambil tertawa. Benar saja. Kami menemukan banyak kerang hijau yang menempel di batu-batu karang. Kami juga mengaduk-aduk pasir dan mendapat kerang dara dan remis yang cukup banyak. Kerang-kerang itu kami masukkan ke dalam keranjang. Tiba-tiba aku mendengar Rawi berseru, "Woi! Siapa yang membuang sampah di sini!" nya kesal. Aku menoleh dan melihat beberapa sampah plastik mengapung-apung terdorong ombak. "Dasar tak tahu diri!" sambung Ruyung. "Kalau banyak sampah, jadi sulit kita nanti dapat kerang." "Ya, betul, kerang suka tempat yang bersih," kataku sambil memungut sampah-sampah itu dan memasukkannya ke keranjang. Aku berencana untuk membuangnya di daratan. "Kerangnya sudah cukup banyak. Ayo kita pulang!" ajak Rawi. Kami mengambil sampan yang ditambatkan di pinggir laut lalu kembali mendayung pulang. Sesampainya di rumah, aku memberikan kerang-kerang itu pada ibuku. Ibu akan memasaknya menjadi hidangan yang lezat. Aku tak sabar untuk segera menyantapnya. Sambil menunggu, aku mengajak Lalo dan teman-temanku kembali bersampan. Aku mengayuh sampan dengan cepat hingga mendahului teman-temanku. "Aku menang!" teriakku sambil mengacungkan dayung. "Kalau soal bersampan, aku memang jagonya!" kataku sambil tertawa. Teman-teman mencipratiku dengan air dayung. Akhirnya Ibu memanggilku, tanda masakan sudah siap. Dengan cepat kami mengayuh sampan, tak sabar untuk segera makan. Di lantai rumahku sudah terhidang masakan Ibu yang terlihat amat lezat. "Wah, ada beras ketan, ikan goreng, dan kerang kuah santan," seruku. "Ayo kita makan!" Kami pun makan dengan lahap. Inilah keistimewaan di kampungku. Setiap hari, kami bisa menikmati hidangan hasil tangkapan di laut yang masih segar. Sambil menikmati makanan, Ayah memberitahuku, bahwa ia dan nelayan-nelayan lainnya akan pergi bapongka. Itu adalah tradisi Suku Bajo untuk mencari hasil laut lebih banyak. Ayahku akan melaut selama beberapa pekan bersama nelayan-nelayan lainnya menggunakan perahu besar dan berbagai alat penangkap ikan tradisional. "Apakah aku boleh ikut membantu, Ayah?" tanyaku. "Boleh. Besok kalian boleh datang ke dermaga untuk membantu kami," jawab Ayah. "Wah, seru!" kataku tak sabar, membayangkan kegiatan besar itu. "Kapan aku boleh ikut bapongka?" tanyaku. Ayah tertawa, "Nanti, saat kamu cukup dewasa dan lebih kuat," jawab Ayah sambil mengacak rambutku. Ya, aku ingin sekali bisa ikut, karena Ayah sering menceritakan pengalamannya saat pergi bapongka, membuatku ingin segera dewasa. Keesokan harinya, aku dan teman-temanku sudah berkumpul di dermaga dan melihat kesibukan di sana. Ada yang sedang menyiapkan perahu, ada yang sedang menyiapkan jala, ada pula yang menyiapkan berbagai peralatan seperti panah, tombak, keranjang bambu, dan lain-lain. Persiapan itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Aku dan teman-temanku ikut membantu melakukan hal-hal kecil sambil mendengar para ayah bercerita. Setelah tak ada lagi yang dapat dilakukan, Rawi mengajakku membantu kakaknya memanen rumput laut. Wah! Ini pekerjaan yang seru. Aku dan teman-temanku bergegas bersampan menuju ladang rumput laut di teluk. Kami melihat Kakak Rawi sedang sibuk memilih rumput laut yang siap dipanen. Kami pun membantu mengumpulkan rumput laut itu dan memasukkannya ke sampan. Pekerjaan itu cukup mengasyikan. Tanpa terasa hari mulai sore dan kami segera bersampan pulang. Beberapa hari kemudian, tibalah waktu keberangkatan bapongka. Di sore itu, aku dan teman-temanku sudah berkumpul bersama banyak orang di dermaga. Ada tiga perahu besar yang akan berangkat. Aku membantu Ayah mengangkut jeriken berisi air dan berbagai perbekalan makanan ke atas kapal. Setelah semua siap, para ayah dan beberapa pemuda berpamitan pada keluarganya dan menaiki kapal. "Selamat jalan, Ayah. Semoga selamat dan mendapat tangkapan yang banyak," kataku pada Ayah. Ayah mengangguk sambil tersenyum. "Jaga Ibu dan adikmu, ya!" pesan Ayah. Aku mengangkat jempolku. Selepas senja, perahu-perahu itu pergi menjauh ke tengah laut . Mataku terus menatapnya hingga menghilang dari pandangan. Aku menarik napas panjang dan menegakkan kepalaku. "Tunggu aku, laut! Suatu saat, aku akan bergabung menjelajah dirimu yang perkasa, seperti kakek buyutku di masa silam," tekadku.