Lompat ke isi

Batik Baru Xenan

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis

[sunting]

Batik Baru Xenan menceritakan baju batik yang dipakai oleh Xenan, seorang gadis kecil. Xenan memakai baju batik dengan motif tidak biasa atau motif yang tidak dikenali oleh umum. Teman-temannya keheranan dengan motif batik Xenan. Beruntung mereka mempunyai guru kelas yang baik. Di kelas mereka berdiskusi tentang batik yang sebenarnya, bukan berdasar motif seperti pemahaman umum, melainkan batik sebagai sebuah proses panjang hingga menjadi selembar kain berseni.

Tokoh:

[sunting]
  1. Xenan
  2. Teman sekelas: Budi, Thomas, Susi, Shinta, dll.
  3. Bu Guru Indah

Lokasi:

[sunting]

Bogor

Cerita Pendek

[sunting]

Sabtu pagi, Xenan tiba di sekolah lebih awal dibanding hari-hari biasanya. Halaman sekolah masih lengang. Hanya terlihat Pak Bandi, penjaga sekolah yang sedang menyapu halaman. Tidak ada pemandangan teman-teman berlarian di lapangan sekolah, atau sekadar duduk-duduk pada bangku di depan teras kelas.

Hari ini Xenan mengenakan baju batik baru, motifnya berbeda dari batik yang biasa dikenal oleh umum. Batik motif pohon kupu-kupu tersebut dijahit menjadi  rok terusan selutut. Terdapat penambahan kain katun polos warna biru,  sebagai variasi pada kedua lengannya. Dia tidak sabar ingin mendengar komentar kawan-kawan sekelas, begitu mereka melihat batik yang dipakainya.

Batik handmade motif pohon kupu-kupu


Kain batik untuk baju barunya dibeli dari sebuah galeri batik, ketika keluarga Xenan berlibur ke Jogjakarta, pada bulan Desember lalu. Xenan terkenang kembali pada liburan spesialnya itu. Waktu di Jogja, Bunda mengajak Xenan mengunjungi galeri batik Tante Ani, sahabat Bunda. Galeri Tante Ani terletak tidak jauh dari pusat kota Jogjakarta. Tepatnya di Timoho, kota Jogja.

Begitu memasuki area galeri, Xenan menghirup aroma yang menyerbu masuk indra penciumannya. Menurut Bunda, aroma tersebut adalah harum lilin malam pada proses membatik. Xenan langsung menyukai harumnya aroma lilin malam batik. Sangat khas.

Di dalam galeri terlihat kain batik dengan ragam motif. Ada beberapa yang dikenali oleh Xenan, di antaranya: motif parang, truntum, kawung, dan pisan bali. Batik koleksi Tante Ani mempunyai warna-warni meriah, seperti: merah, kuning, hijau, biru, oranye, tak ketinggalan warna coklat, dan hitam. Warna sogan, demikian akhirnya Xenan tahu sebutan warna untuk kain batik coklat dan hitam tadi. Kain batik motif parang warna sogan itu diletakkan pada bahu, lalu melingkari tubuh maneken yang berdiri di tengah ruangan. Anggun sekaligus membawa wibawa tersendiri.

Xenan berkeliling di dalam area galeri. Dia membaca beberapa informasi berpigura  yang dipasang pada dinding galeri. Batik motif babon angrem menarik perhatian Xenan, karena keunikan namanya. Batik babon angrem tanpa telur, khusus dikenakan oleh mempelai perempuan dalam upacara pernikahan. Motif ini melambangkan doa dan harapan baik bagi kedua mempelai. Sementara batik babon angrem dengan tiga telur, digunakan oleh ibu hamil saat upacara tujuh bulanan. Motif ini melambangkan kasih sayang orang tua ke anaknya. Keterangan di bawah foto batik motif babon angrem di dinding galeri itu berhasil diingat oleh Xenan sampai hari ini.

Tidak hanya melihat dan menyentuh kain batik yang sudah terpajang di rak-rak di dalam galeri. Xenan pun diijinkan oleh Tante Ani untuk melihat langsung proses produksi batik di bagian belakang galeri. Di ruang tengah, berbatasan langsung dengan ruang showroom, terlihat tiga orang ibu duduk di bangku kayu rendah, biasa disebut dingklik. Mereka masing-masing menghadap kain putih yang sudah bergambar. Kain disampirkan pada gawangan. Tante Ani menjelaskan bahwa itu adalah proses pencantingan batik tulis.

Proses pencantingan menggunakan lilin malam yang dipanaskan pada wajan khusus di atas kompor. Xenan takjub menyaksikan tangan-tangan terampil memegang canting, dan dengan lincah menggoreskan ujung canting berisi cairan lilin panas ke atas kain. Begitu terus dilakukan berulang-ulang, hingga seluruh kain selesai digambari menggunakan lilin batik. Aroma khas lilin batik semakin menguar ke penjuru ruangan. Xenan menghirupnya dalam-dalam. Ternyata untuk mendapatkan selembar kain batik yang indah, memerlukan proses panjang.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke ruang belakang. Ruangan tersebut lebih terbuka jika dibandingkan dengan ruang tengah. Lima orang bapak-bapak serius mengerjakan proses membatik cap. Menurut Tante Ani, penanggung jawab produksi batik cap di tempat tersebut adalah Pak Pon. Beliau salah satu perajin batik senior. Pengalamannya dalam perbatikan dan pewarnaan batik modern sudah teruji.

Setelah mendapat ijin dari Pak Pon, Xenan mencoba mengangkat canting cap berbentuk stempel, yang diambilnya dari lemari penyimpanan khusus. Meskipun stempelnya berukuran sedang, kurang lebih ukuran 20 cm x 20 cm, ternyata canting cap tersebut cukup berat. Tidak heran, karena canting capnya terbuat dari tembaga. Wah, Pak Pon dan bapak-bapak perajin itu benar-benar hebat, sanggup mengangkat canting cap tanpa terlihat keberatan.

"Xenan, kamu lupa, ya, kita hari ini diminta memakai baju batik," kata Shinta yang tiba-tiba sudah menjajari langkah Xenan. Pandangannya tertuju ke baju Xenan.

Rupanya Xenan tenggelam dalam kenangan liburan di Jogja, sehingga tidak menyadari Shinta yang sudah mengikuti langkahnya sejak tadi. Teman sebangkunya itu memakai blus batik motif truntum warna hitam dan coklat. Motif serupa bunga tanjung tersebut manis dan cocok dikenakan oleh Shinta.

"Ini juga batik. Namanya batik modern motif pohon kupu-kupu," jelas Xenan ke Shinta. Shinta menampakkan raut muka keheranan atas jawaban Xenan.

Dia tidak mengerti mengapa baju yang dipakai Xenan bisa dinamakan batik, padahal secara nyata tidak menampakkan motif batik. Dan, warnanya itu, sangat mengagetkan. Batik Xenan berwarna dasar biru dongker dengan pohon dan kupu-kupunya berwarna biru elektrik.

Ketika teman-teman lain berdatangan dan melihat baju Xenan, mereka pun menanyakan hal serupa. Batiknya sungguh berbeda dengan batik yang dipakai oleh kawan-kawan sekelasnya.

Bel tanda masuk kelas berbunyi. Mereka segera duduk di bangku masing-masing. Ibu Guru Indah memasuki ruang kelas. Beliau mengenakan baju batik motif bunga ceplok. Ada tambahan warna merah, kuning, dan hijau pada beberapa titik. Namun, warna tersebut terlihat padu, tidak berlebihan.

"Selamat pagi, Anak-anak!"

"Selamat pagi, Bu Guru!"

"Hari ini kita akan melanjutkan diskusi tentang batik. Siapa yang masih ingat, setiap tanggal berapa kita peringati sebagai hari batik nasional?" tanya Bu Guru sembari mengedarkan pandangan ke seluruh siswanya.

"Tanggal 2 Oktober," jawab Budi cepat.

"Mengapa tanggal tersebut kita peringati sebagai hari batik nasional?" tanya Bu Guru Indah lebih lanjut

Mona mengangkat tangannya. Setelah dipersilakan oleh Bu Guru, dia pun menjawab," Tanggal 2 Oktober 2009, Unesco menetapkan batik sebagai warisan budaya lisan dan nonbendawi dari Indonesia. Dan, sebagai penghargaan, pada tanggal tersebut, setiap tahunnya kita peringati sebagai hari batik nasional, Bu Guru."

Bu Guru mengangguk puas, karena peserta didiknya mengingat pelajaran yang telah lewat.

"Anak-anak, batik sebagai budaya warisan nenek moyang dan menjadi salah satu identitas nasional bangsa Indonesia, keberadaannya wajib dilestarikan, kita jaga. Inilah alasan sekolah mewajibkan kita berpakaian batik. Sekarang kita akan belajar membedakan batik dengan kain tekstil bermotif batik."

Sejenak ruang gelas riuh. Murid-murid saling bertanya keheranan maksud dari kain tekstil bermotif batik.

"Nanti Bu Guru akan terangkan lebih lanjut," sambung Bu Indah. Kelas kembali tenang. Semua murid menyimak. Buku dan alat tulis sudah siap di meja masing-masing.

Ibu Indah mengeluarkan dua kain dari dalam tas besarnya. Dua kain tersebut terlihat sebagai batik motif kawung. Sulit mencari perbedaannya. Satu-satunya pembeda yang jelas adalah warna dasar dua kain tersebut, yaitu hitam dan merah. Motif atau corak kawungnya sama-sama berwarna putih. Namun, beliau menjelaskan salah satu dari kain tersebut adalah bukan batik.

Kelas kembali riuh. Masing-masing menebak dengan perkiraan masing-masing, kain mana yang disebut batik, dan kain mana yang dinamakan kain tekstil bermotif batik.

Bu Indah mengambil dua kain, warna merah dipegang tangan kiri dan warna hitam berada di tangan kanan. Murid-murid dipersilakan mendekat secara bergiliran agar bisa menjawab dengan benar.

Rata-rata para siswa menjawab, bahwa kain batiknya adalah kain berwarna hitam, dan warna merah bukan batik. Mendadak Xenan mengacungkan jari telunjuknya.

"Bu Guru dan kawan semua, menurut Xenan, kain batiknya yang warna merah. Alasannya, motif kawungnya kurang rapi dibanding kain satunya," kata Xenan menjelaskan.

Batik handmade motif dinosaurus

Bu Indah membenarkan jawaban Xenan. Beliau menambahkan bahwa batik diproses secara manual, dengan cara menggambari kain menggunakan canting ataupun canting cap yang telah diisi lilin malam panas. Berhubung dikerjakan secara manual oleh perajin batik, hasilnya tidak akan serapi kain produksi mesin pabrik. Beliau menjelaskan sambil membentangkan kain batik berwarna merah. Lantas bergantian membentangkan kain berwarna hitam. Murid-murid memperhatikan dengan antusias.

"Karena diproses menggunakan lilin malam, maka motifnya akan tembus sampai belakang kain. Jadi, ketika melihat kain batik, bagian sisi luar dan dalam akan sama warnanya," lanjut Bu Guru Indah. Kembali beliau membentangkan kain batik merah dan memperlihatkan sisi dalam kain. Bergantian dengan kain satunya. Pada kain motif kawung warna hitam, bagian dalam terlihat berbeda warna, warnanya tidak tembus ke belakang.

"Meskipun sama-sama bermotif batik, kita harus paham mana yang batik dan mana yang kain tekstil bermotif batik, ya, anak-anak. Ada yang mau ditanyakan sebelum kita lanjutkan diskusinya?"

"Bu, kain tekstil bermotif batik, artinya tidak bisa disebut sebagai batik, ya?" tanya Dodi kritis.

"Tentu saja tidak bisa, Dodi dan anak-anak semua. Kita cukup menyebutnya sebagai kain printing atau kain tekstil bermotif batik. Kain tekstil bermotif batik dalam proses produksinya tidak menggunakan lilin malam batik."

Sebelum melanjutkan diskusi, Bu Indah meminta murid-murid bergiliran maju ke depan kelas untuk menghirup aroma dari dua kain tadi.

"Yang asli batik lebih harum,"info Beni ke kawan-kawannya.

"Itu aroma lilin malam batiknya, Ben. Waktu main ke galeri batik di Jogja, aku sudah mencium harum lilin malamnya," tambah Xenan bersemangat.

"Untuk kain tekstil hitam baunya seperti cat atau bensin, ya,"kata Shinta ragu-ragu.

Bu Guru Indah menghargai semua pendapat murid-muridnya. Sebagai guru, beliau bangga diskusi pagi ini berlangsung seru, dan semua murid aktif mengutarakan pendapat tanpa takut salah.

"Bu, kalau baju yang dipakai Xenan ini, apakah bisa disebut batik?"tanya Shinta penasaran.

Sejenak Bu Indah terdiam, sebelum akhirnya meminta Xenan untuk maju ke depan kelas. Terlihat Bu Indah dan Xenan mengobrol sebentar di depan kelas. Ternyata Xenan diminta bercerita mengenai kunjungan ke galeri batik waktu berlibur akhir tahun lalu. Matanya berbinar mengenang liburan di Jogja. Gadis kecil itu bercerita dengan lancar sampai selesai.

"Anak-anak itu tadi adalah pengalaman Xenan. Baju yang dikenakan Xenan adalah batik dengan motif kekinian, motif modern. Bisa disebut batik kontemporer. Yang perlu diingat, batik adalah proses. Baju Xenan diproses dengan cara membatik.”

"Waaa, keren!" kata Thomas kagum diikuti kawan-kawan lain.

"Sabtu depan, kamu pakai batik apalagi, Nan?"tanya Susi tak sabar.

"Batik motif dinosaurus," jawab Xenan sambil tersenyum penuh arti.

"Haaah, batik dinosaurus!?" seru teman-temannya keheranan, berbarengan dengan bunyi bel tanda istirahat.

Tamat