Bertanya

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Dalam kemiskinannya, ibu Elliana Hérdén bercita-cita untuk membangun sebuah rumah sakit khusus untuk menitipkan dan merawat anak-anak tunanetra, dan anak perempuannya yang terlahir secara tunanetra. Pada suatu hari, ia kemudian memberanikan dirinya untuk bertanya kepada bos toko kue-nya yang ramah bernama ibu Siana Lelli.

Lakon[sunting]

  1. Elliana Hérdén
  2. Dénisá Hérdén
  3. Kristin Hérdén
  4. Siana Lelli

Lokasi[sunting]

Sebuah desa yang berbatasan langsung dengan kota itu

Cerpen[sunting]

Ketika hujan deras sedang mengguyur seluruh desa hingga ladang jagung milik orang lain seluas satu lapangan sepak bola, ibu Elliana Hérdén yang sedang bekerja di ladang tersebut terpaksa harus menghentikan pekerjaannya menabur pupuk untuk tanaman-tanaman jagung di ladang tersebut. Dan, membuatnya kini hanya bisa duduk-berteduh di dalam gubuk-sawah-kecil itu sendirian, sambil menatap ke arah tanaman-tanaman jagung yang kini telah tumbuh dengan ketinggian rata-rata berkisar antara satu setengah sentimeter di ladang tersebut.

Di dalam gubuk-sawah-kecil itu, ibu Elliana mulai memikirkan kembali cita-cintanya yang ingin ia capai sebelum ia menjadi tua dan tidak bisa bekerja kembali, sambil ia menunggu agar hujan dapat mereda.

Satu cita-cita ibu Elliana yang ingin ia capai sebelum ia menjadi tua adalah agar ia bisa membangun sebuah rumah sakit khusus, yang memiliki fungsi utama yaitu untuk menitipkan dan merawat anak-anak tunanetra, dan anak perempuannya bernama Dénisá Hérdén yang terlahir secara tunanetra, yang kini telah berusia tujuh tahun.

Meskipun ibu Elliana kini hidup dalam kemiskinan, tapi, ia memiliki harapan yang sangat tinggi agar ia dapat mewujudkan cita-citanya membangunkan rumah sakit khusus itu. Karena, ia memiliki kekhawatiran yang sangat besar tentang; siapa yang akan merawat anak perempuannya ketika ia meninggal.

Berbagai cara telah di pikirkan ibu Elliana agar ia dapat mewujudkan cita-citanya membangun rumah sakit khusus itu. Hingga pada satu hari, ia menjadi ter-sadar jika ia seharusnya juga perlu untuk memikirkan cara-cara lain jika ia gagal mencapai-nya ketika ia menjadi tua.

Selagi ibu Elliana sedang bekerja di ladang itu, nenek Kristin Hérdén kini sedang mengasuh Dénisá di rumah kecil mereka, sambil bekerja menganyam bambu untuk menambah-nambah penghasilan keluarga mereka. Meskipun, pendapatan yang di dapatkan oleh nenek Kristin tidaklah seberapa.

Karena tunanetra yang di miliki-nya, Dénisá kini hanya dapat terbaring di atas tempat tidurnya tanpa melakukan apa-apa. Yang membuat nenek Kristin dapat terus melanjutkan pekerjaannya, tanpa harus berlarian untuk mengawasinya bermain di luar rumah itu.

Mengingat kilas balik-masa lalu ibu Elliana Hérdén yang secara resmi kini telah jatuh bangkrut, keluarga itu dulunya adalah sebuah keluarga yang cukup berkecukupan. Tapi, ketika Dénisá berusia 2 setengah tahun pada waktu itu, suami ibu Elliana yang ternyata adalah seorang pria yang serakah, meminjam uang hutang dengan jumlah yang banyak menggunakan kartu identitas ibu Elliana. Dan, dia kemudian pergi meninggalkan keluarga itu tanpa membayarkan hutang-nya terlebih dahulu, yang membuat, ibu Elliana kemudian harus menjual rumah-lama-peninggalan-ayahnya untuk membayar hutang tersebut. Karena, mereka terus di datangi oleh para penagih hutang yang datang ke rumah mereka, yang membuat nenek Kristin menjadi bergemetar-ketakutan ketika ia mendengar kemarahan penagih-penagih hutang tersebut.

Setelah menjual rumah dan melunasi hutang suaminya, ibu Elliana lalu membeli sebuah rumah yang jauh lebih kecil dan juga kumuh, yang dapat ia beli menggunakan uang sisa penjualan rumah lama itu. Untuk tempat tinggal mereka hingga saat ini.

Jangankan punya uang untuk merenovasi rumah kecilnya, untuk makan sehari-hari saja ibu Elliana harus berpikir dengan keras, agar ia bisa membeli makanan sehari-hari mereka, terutama untuk anak perempuannya. Karena, ia kini hanya memiliki uang yang sangat terbatas, dan harus memulai membangun kerajaan keuangannya dari nol, setelah kejadian itu.

Sebagai tulang punggung keluarga kecilnya, ibu Elliana kini hanya bisa pasrah, dan bekerja secara serabutan kepada setiap orang yang masih memerlukan bantuan tenaganya. Agar, ia bisa mendapat imbalan uang gaji, maupun imbalan sembako.

Ibu Elliana enggan untuk bekerja kembali di pabrik kue yang pernah menjadi tempat kerjanya sebelum ia menikah dengan suami yang serakah itu, karena alasan usia dan jarak yang akan memisahkannya dengan anak perempuannya. Setidaknya, keluarganya kini telah terbebas dari lilitan hutang, dan bisa menjalani hidup mereka tanpa harus melihat maupun mendengar kemarahan penagih-penagih hutang itu.

Hujan tak kunjung mereda, dan hari kini sudah mulai senja. Ibu Elliana beranjak dari gubuk-kecil-sawah itu, berniat untuk kembali ke rumahnya, dan akan melanjutkan pekerjaannya besok. Dengan menggunakan topi anyaman bambu buatan nenek Kristin, ibu Elliana berjalan di bawah tetesan air hujan, dan dia harus berjalan beberapa kilo meter hingga ia sampai di rumahnya.

Keesokan harinya, ibu Elliana sudah berada di ladang itu kembali untuk melanjutkan pekerjaannya menabur pupuk, yang kemarin telah terhenti karena hujan. Di saat ibu Elliana bekerja di ladang itu, seorang polisi datang ke rumah mereka untuk menyerahkan dana bantuan dari pemerintah kepada nenek Kristin. Dengan lembut, polisi itu mengetuk pintu-kusam-rumah itu, sambil ia membawa amplop yang masih ter-segel rapat.

Nenek Kristin yang kini sedang menganyam bambu di ruang tengah rumah itu dengan seketika berdiri dari tempat duduknya, ketika ia mendengar suara ketukan pintu itu. Ia kemudian berjalan menuju ke arah pintu itu, dengan pikiran, jika orang yang kini sedang mengetuk pintu itu adalah orang yang mau meminta bantuan tenaga kepada ibu Elliana.

Saat nenek Kristin tiba di depan pintu rumah itu, ia dengan seketika membuka pintu itu. Ia kemudian berdiri di depan pintu itu sambil menatap ke arah polisi dengan wajah yang tampak terkejut-ketakutan, karena ia melihat kedatangan sang polisi, alih-alih orang yang mau meminta bantuan tenaga kepada ibu Elliana, seperti yang telah di pikirkan olehnya tadi.

Melihat wajah nenek Kristin yang tampak khawatir-ketakutan, polisi dengan seketika tersenyum-lembut kearah wajahnya, dan menyapanya dengan baik. Polisi kemudian menyerahkan amplop itu kepadanya, dan pergi meninggalkan rumah itu untuk melanjutkan pekerjaannya kembali.

Setelah polisi itu pergi, nenek Kristin membuka amplop itu di dalam rumahnya dengan rasa syukur-nya. Dan di dalam amplop itu, ia mendapatkan sejumlah uang yang jumlahnya kira-kira hanya akan cukup untuk menghidupi keluarga itu selama satu setengah bulan, jika mereka bisa ber-hemat.

Menjelang sore, ibu Elliana pulang dari ladang setelah ia selesai bekerja di ladang itu. Seperti biasanya, ia kemudian membersihkan tubuhnya, mengganti pakaiannya, dan berlanjut untuk membantu nenek Kristin menganyam bambu sambil mengasuh anak perempuannya. Tapi, tidak lama kemudian, mereka mendapat tamu yang datang mengetuk pintu rumah itu, ketika mereka sedang menganyam bambu bersama.

Ibu Siana Lelli berdiri di depan rumah itu sambil terus mengetuk pintu rumah itu dengan lembut. Tidak lama kemudian, ibu Elliana datang membukakan pintu rumah itu untuknya.

"Selamat sore." Ucap ibu Siana dengan ramahnya kepada ibu Elliana.

Ibu Elliana tersenyum ke arah wajah ibu Siana, dan mempersilahkan ibu Siana untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Selamat sore." ucap ibu Elliana. "Salahkan masuk."

Di dalam rumah itu, nenek Kristin dengan seketika menyambut baik kedatangan ibu Siana ketika ibu Elliana dan ibu Siana masuk ke dalam rumah itu bersama. Nenek Kristin kemudian menghentikan pekerjaannya, dan duduk di ruang tamu rumah itu bersama ibu Siana.

Ibu Siana dan nenek Kristin mengobrol bersama di ruang tamu rumah itu dengan akrabnya, selagi ibu Elliana kini sedang membuatkan teh untuk ibu Siana di dapur. Tidak lama kemudian, ibu Elliana datang dari dapur itu membawa secangkir teh panas untuk ibu Siana.

Setelah ibu Elliana memberikan secangkir teh kepada ibu Siana, ibu Elliana kemudian duduk bersama mereka di ruang tamu rumah itu. Di saat yang bersamaan, ibu Siana dengan seketika mengambil secangkir teh di atas meja itu, dan meminumnya perlahan.

Ibu Siana meletakkan cangkir teh-nya di atas meja itu kembali. Ia kemudian mengungkapkan maksud kedatangannya ke rumah itu kepada ibu Elliana, dan ia terlihat sangat bersemangat untuk itu. Untuk mempekerjakan ibu Elliana di toko kue barunya yang akan segera ia buka.

Sebelum ibu Siana mengenal ibu Elliana untuk yang pertama kalinya, dan berniat untuk mempekerjakannya di toko kue barunya kini, ibu Siana dulu pernah mempekerjakan ibu Elliana di rumahnya sekali, ketika ibu Siana sedang mengadakan sebuah acara di rumahnya. Dan pada saat itu juga, ibu Siana melihat bakat yang di miliki oleh ibu Elliana dalam membuat kue, ketika ia menyuruhnya membuat kue bersama-sama. Hingga pada akhirnya, membuat ibu Siana pada waktu itu mulai berpikir untuk membuat sebuah toko kue baru, dan mempekerjakan ibu Elliana di toko kue tersebut.

"Maukah kamu bekerja di toko kue baru saya yang akan segera saya buka?" ucap ibu Siana kepada ibu Elliana, dengan harapan besar jika ia mau menerima tawarannya.

Dengan seketika, ibu Elliana tersenyum ke arah ibu Siana dengan matanya yang tampak berkaca-kaca. Tanpa menunggu lama, ia kemudian menerima tawaran ibu Siana untuk bekerja di toko kue barunya. Bukan hanya karena ia butuh pekerjaan, tapi, ia juga melihat ibu Siana adalah orang yang ramah kepadanya, meskipun ia jauh lebih kaya darinya.

Satu setengah tahun kemudian, ibu Elliana mulai mengumpulkan uang dari hasil kerjanya di toko kue ibu Siana, untuk mewujudkan cita-citanya membangun rumah sakit khusus itu. Di sisi lain, ibu Elliana merasa kebingungan tentang bagaimana caranya agar ia bisa mengelola uangnya untuk membangun rumah sakit itu sebelum dia menjadi semakin tua. Pada akhirnya, ibu Elliana memberikan dirinya untuk bertanya kepada ibu Siana tentang bagaimana caranya agar ia bisa mengelola uangnya dengan baik. Karena, ia mengenal ibu Siana sebagai seorang wanita yang cukup berhasil dan memiliki pengetahuan dalam mengelola uangnya sendiri.

Lima tahun kemudian, ibu Elliana akhirnya berhasil mewujudkan impiannya, dan berhasil membangun sebuah rumah sakit khusus setinggi lima lantai, dengan uang hasil investasinya di pasar saham seperti yang pernah di ajaran ibu Siana kepadanya, setelah ia bertanya kepadanya. Dan juga, uang bantuan dari ibu Siana, yang secara diam-diam telah ikut menginvestatikan uangnya di pasar saham untuk membantu ibu Elliana mewujudkan impiannya, selagi ibu Siana memandu ibu Elliana dalam menginvestasikan sebagian uang yang ia dapatkan dari hasil kerjanya di toko kue-nya.

Ibu Elliana lantas menamai rumah sakit khusus itu dengan nama, "Rumah Sakit Dénisá Hérdén", seperti nama anak perempuannya. Dan, mempekerjakan banyak perawat di rumah sakit itu, karena, ada banyak orang yang tertarik untuk menitipkan dan merawat anak-anak mereka yang tunanetra di rumah sakit tersebut.

TAMAT