Lompat ke isi

Bon Blangtelon

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BON BLANGTELON


Premis

Selokan kumuh sudah lama ditinggalinya. Bertahun-tahun ia hidup sebatang kara. Ibunya sudah tak tercium baunya, sementara ayahnya yang hitam-garang terus saja memburunya dan ingin membunuhnya. Sungguh malang nasib makhluk yang rambutnya berhias tiga warna keramat itu, warna hitam, putih, dan oranye. Dalam sebuah mitos orang Jawa, makhluk itu digadang-gadang memiliki kemampuan untuk menjatuhkan buruannya dengan tatapan matanya saja. Oleh karena itu, kelahirannya menjadi ancaman bagi ayahnya yang merasa iri dengan kemampuan putranya sendiri.

Lakon

Kucing tiga warna (blangtelon) dan seorang perempuan kecil

Lokasi

Pasar Desa Baureno

Cerita Pendek

Penasaran

Kehidupan terbuang tidak membuatnya putus asa, nyatanya kini ia telah remaja. Ia sudah tidak takut lagi pada ayahnya yang kini sudah sepuh, apalagi kini ia adalah preman pasar. Ia sering kali membuat rusuh pasar Pasinan, sebuah pasar desa di ujung kota Bojonegoro yang hampir berbatasan dengan kota Lamongan. Ikan, daging, dan ayam-ayam potong adalah sasaran buruannya setiap hari. Pedagang-pedagang pasar pun naik pitam begitu ia datang-berlarian penuh nafsu, mangacak-acak isi pasar, hanya untuk sebuah tujuan, bertahan hidup. Akan tetapi, ia begitu gesit, meskipun pedagang itu telah bersenjatakan sapu dan tongkat rotan, tidak satu pun dari pedagang itu yang mampu menangkapnya.

Makhluk itu terkenal dengan nama Bon. Ya begitulah, salah seorang pedagang daging yang menamainya, ia bertubuh hitam besar, ia selalu membawa golok baja di tanganya. Akan tetapi, ia tak pernah bisa menancapkan golok baja itu di kepala Bon. Sudah puluhan kali dagingnya dicuri Bon, tapi tubuh besarnya menjadi beban untuk bisa mengejar Bon yang berlari bagai angin.

“Bon Blangtelon... awas Kau ke sini lagi! Akan kubunuh Kau!” kata seorang pedagang ikan lele renta yang sudah ubanan. Kala itu, ia marah karena satu ikannya yang berukurun besar dengan mudahnya disabet Bon dan dibawanya berlari tanpa terkejar. Sementara bagi Bon, ancaman pembunuhan seperti itu sudahlah menjadi remeh. Semasa kecilnya ia sudah sering diburu oleh taring tajam ayahnya. Terluka parah sudah menjadi kesehariannya, sejak saat itu ia belajar mengelak dan berlari cepat. Ia tak terkejar lagi, ayahnya pun lelah – tak sanggup lagi mengejar lari buah hatinya yang selalu ia buru dengan tatapan seorang pembunuh. Sekali lagi ayahnya telah sepuh, tatapan pembunuh ayahnya kini tak berarti lagi.

Sebuah hati bersih penuh cahaya tersimpan dalam pencuri mungil ini, meski kini ayahnya sudah sepuh dan tak lagi mampu menggunakan taringnya yang sudah tumpul untuk membunuh dirinya, ia tak pergi untuk balas dendam. Suatu ketika ia mendatangi ayahnya dan berkata, “Meeeow... Meeow! Kau tetaplah ayahku, meskipun Kau ingin membunuhku... sebenarnya aku kini sedang merindukan ibu, sekilas pandanganku saat aku kecil hanya warna putih ibu yang berubah merah kental, ia terbaring kaku di depanku dan berkata, ‘Nak... kuatlah! Tapi jangan jadi pendendam!”.

Ia pergi. Ia tinggalkan ayahnya di rumah kardusnya yang megah, duduk bersimpuh menikmati masa senja yang hampir dijemput malam. Saat malam pun menjemput dan berubah larut, tubuh tua itu seolah luruh, runtuh, tergerogoti oleh luka perang dan luka batin, “Nak... aku salah karena iri padamu. Seharusnya aku tidak memburumu seperti ayah-ayah garang lainnya... Maafkan aku! Malam sampaikan maafku ini pada anakku.... Akhrhhhh... Mmmmmeeeeow!”. Ia menghembuskan nafas terakhir dalam kesendiriannya. Tubuhnya yang hitam besar ternyata tak sanggup menahan luka bekasnya bertarung dan berburu di pasar, ia tak seperti Bon yang gesit, ia kerap kali mendapati rotan yang menghempaskan tubuhnya ke tanah, ia pun terlalu sering terluka saat bertarung dengan sesama kucing garang hanya untuk memperebutkan seekor tikus kecil di selokan pasar.

“Hah...Meeow! Perasaan apa ini?”. Jantungnya berdegup kencang, ia menatap malam dan rembulan yang kala itu sedang indah dan purnama pada sebuah tanah lapang berhiaskan beringin tua kokoh, tepat di belakang beringin tua itu adalah pasar Pasinan. Sekilas ia seperti melihat bayangan ayahnya pada rembulan. Ayahnya melambai dan mengucapkan kata selamat tinggal untuk selamanya. Bon pun berlari, ia menuju sebuah gang kecil di antara gudang rokok dan gudang perabotan rumah tangga, tempat di mana sebuah kardus megah milik ayahnya berdiri. Ia ke sana dan mendapati sebuah tubuh hitam kekar telah terkapar tak berdaya, matanya yang kuning melotot tajam, lidahnya terjuntai, ayahnya telah tiada. Bon menangis, Bon yang preman gesit itu menangisi mantan pemburu kehidupannya. “Kenapa aku menangis...? kenapa? Bukankah ia adalah makhluk yang ingin membunuhku? Ibu... Ayah...!”. Bon terus saja menangis, sampai ia lelah. Ia bawa jasat ayahnya menuju sebuah tanah lapang di belakang pasar. Ia menggali sebuah lubang kecil untuk menguburkan jasad ayahnya. Hanya malam yang menjadi saksi, sebuah hati mulia seekor makhluk kecil yang tidak banyak dimiliki manusia.

Kini ia sudah sebatang kara. Sudah tiga hari ia tak ke pasar untuk mencuri ikan, daging, atau pun hanya sekedar kulit ayam terbuang. Ia lebih banyak diam dalam kardus kecil miliknya yang terletak di seberang selokan, dua blok dari mantan wilayah ayahnya. Ia diam, matanya terus saja terpejam. Ia ingin menangis, tapi mungkin air matanya telah habis.

Hari itu seorang anak kecil lewat di depan rumah kardus sederhana milik Bon. Ia berambut pirang terkuncir dan melambai-lambai bagai ekor kuda saat berlari. Ia gadis mungil yang cantik, wajahnya bulat manis, lengkap dengan baju putih-merah berdasi yang memperindah kenampakannya. Ia bersama ibunya. Sebatang sosis goreng rasa ayam lekat dan utuh di genggamannya. Ia melihat Bon yang lusuh dan nampak begitu sedih. Dielus-elusnya rambut Bon yang blangtelon, diberikannya sosis digengamannya kepada Bon. Sementara Bon yang saat itu nampak sedih tak berbuat apa-apa, ia tidak menampakkan sifat premannya. “Ibu... kucing ini kasihan... boleh aku membawanya pulang Ibu?” tanya gadis mungil itu pada ibunya dengan wajahnya yang manja dan rona pipinya yang memerah. “Sintya... kucing itu kotor! Nggak usah Kamu bawa pulang... nanti rumah jadi kotor!” kata ibunya menolak dengan nada suara yang pelan. Ibunya pun menyeret tangan gadis mungil itu untuk segera meninggalkan tempat peristirahatan Bon dan segera menuju pasar.

Bon terpesona melihat gadis itu. Bon pun mengikuti langkah gadis itu menuju pasar. Pelan-pelan dari belakang, tatapannya tak lepas dari sepatu putih gadis mungil bernama Sintya itu. Ia tak sadar ke mana gadis kecil itu pergi, ibunya mengajaknya pergi berbelanja di pasar ikan, tempat biasanya Bon mempertaruhkan hidup. Sementara itu Bon masih lemah, semangat mencurinya belum juga kembali sepeninggal ayahnya tiga hari yang lalu, kini Bon masih bukan si gesit tak tertandingi. “Uhuk... uhuk.. Ehek...!” batuk seorang pedagang ikan lele renta yang pernah Bon curi lele dumbonya, “Kau datang lagi Bon...! Bukankah sudah kukatakan kalau Kau datang lagi, Kau akan kubunuh... kami semua sudah bosan Kau perdaya!”. Pak tua itu mengambil seikat rotan di samping kursi coklat kecil tempat ia duduk menjaga baskom ikan lelenya. “Mati Kau Bon...!” kata pak tua itu.

Ceplak... “Mmmmmeeeeeow!” ia menjerit keras.

Bon terlempar. Sementara di sudut lain, di tempat penjual ikan pindang, bandeng, dan tongkol, ada Sintya dan ibunya. Sintya melihat Bon yang jatuh terkapar di tengah-

tengah jalanan becek pasar itu. “Ibu... itu kucing yang tadi... Ibu...!” Sintya pun berlari menghampiri kucing itu, ia tinggalkan ibunya yang masih sibuk bertransaksi dengan penjual ikan. Pak tua renta penjual lele dan tukang daging yang dulu memberikan nama pada Bon Blangtelon berdiri dengan tersenyum puas di depan Bon. Mereka tertawa terbahak-bahak, merasa telah menang dari Bon yang dulu kerap kali membuat mereka kualahan saat Bon mencuri barang dagangan mereka.

Mereka masih tertawa terbahak-bahak. Ternyata Bon bangkit kembali, matanya memincing, merasakan biru perutnya yang menjalar akibat sabetan rotan. “Oh... ternyata Kau masih hidup!” kata tukang daging hitam itu. “Mau kusabet lagi pakai rotan ini sampai mati? Hah...!” ancam pak renta penjual lele. Pak tua itu mengangkat tangannya yang masih memegang rapat rotan – membuat ancang-ancang siap menampar keras perut Bon sekali lagi. Wusss... tangannya pun berayun.

Ceplak...

“Hiks...! Ahhhhh!” sebuah cairan merah menetes ke tanah becek, warna hitam keabu-abuan tanah itu berubah merah. Mata Bon masih terpincing, belum jelas siapa sosok yang berdiri di depannya. Warna putih bercampur merah, mirip dengan noda pada rambut putih ibunya yang kala itu berubah merah. Sosok di depannya itu mejerit kesakitan. Sosok itu menangis, “Bapak... Kakek... tolong jangan sakiti kucing ini ya! Tolong... biarkan dia hidup! Hidupnya tidak seenak Bapak dan Kakek. Mungkin dia telah mencuri dagangan Bapak dan Kakek, tapi tolong kasihanilah dia! Dia bukan makhluk yang bisa mencari uang seperti Bapak dan Kakek! Dia tidak bisa hidup tanpa bantuan Bapak dan Kakek!”.

“Sintya... Sintya...!” teriak ibu gadis kecil pemberani itu mencari-cari anaknya. “Ibu... aku di sini!” panggil gadis itu sambil menggendong Bon Blangtelon. “Apa yag terjadi denganmu Nak? Kenapa pipimu berdarah? Siapa yang melakukan ini Nak? Apakah kucing ini yang mencakarmu?” tanya ibunya yang nampak begitu khawatir melihat pipi anaknya yang berdarah.

“Ibu’...!” kata tukang daging dan pak renta penjual lele bersamaan, “Maafkan kami! Kami tidak sengaja memukul anak ibu... anak ibu datang begitu saja saat kami akan memukul kucing pencuri yang sekarang ia gendong. Maafkan kami!”. Kedua penjual itu duduk bersimpuh. “Jadi... Kalian yang memukul anakku! Aku tidak terima, akan kutuntut kalian!” ancam ibu Sintya, mukanya merah padam, beginilah semua

orang tua apabila melihat anaknya disakiti. “Tapi Bu...!” ucap kedua penjual itu tersenggal. “Ibu... Ibu... jangan Ibu! Tidak usah Ibu... aku tidak apa-apa Ibu! Bukankah Ibu juga yang telah mengajarkan padaku untuk selalu memaafkan seseorang! Untuk tidak menyimpan dendam pada siapa pun, meski kita disakiti seperti apa pun!” kata Sintya, matanya berbinar. Ia peluk ibunya dari belakang. Sebuah sungai dengan airnya yang hangat mengalir dari pipi ibu Sintya.

“Ya sudah Nak... ayo pulang! Ibu sudah tidak marah lagi. Nanti ibu obati pipi Sintya di rumah ya!”. Sintya mengangguk dengan senyum yang terlukis begitu manis membuat wajahnya yang sebening air nampak begitu manis. Lagi-lagi Bon tersipu melihatnya. Bon yang saat itu berdiri di samping Sintya. Bon yang saat itu akan digendong lagi oleh Sintya dan ingin diajaknya ke rumah. Tatapan Bon menyatakan keraguan. Sintya masih membelai-belai rambut Bon yang berwarna tiga jenis itu, Sintya masih berusaha mengajaknya pulang bersama. Entah apa yang Bon pikirkan. Detak jantung Bon seolah mengatakan, “Penjahat sepertiku tidak pantas menerima kebaikanmu Sintya!”. Bon berlari agak pincang, tapi masih gesit seperti biasanya. Sintya ikut berlari berusaha mengejar Bon. “Sintya... jangan! Jangan berlari! Ayo pulang Nak!” teriak ibunya. Teriakan itu sudah tak terdengar, bagai angin yang berlalu begitu saja.

Di seberang jalan raya yang ramai Bon sudah merasa tenang, merasa Sintya tidak akan sanggup mengejarnya lagi dari seberang jalan yang berlawanan. Akan tetapi, gadis kecil pemberani itu nekat berlari menyusul Bon tanpa menghiraukan jalanan yang ramai oleh deru-deruan mobil dan motor. Sintya terus berlari. Tiba-tiba, sebuah truk besar dengan kecepatan yang cukup tinggi datang menampar angin tenang di pasar. Mobil- mobil yang berada di lawan arah truk itu pun mengurangi kecepatannya, berusaha menghindar dari hantaman truk kuning besar bertuliskan “Raja Jalanan” di kaca depannya itu. “Sintya...!” teriak ibunya melihat anaknya yang berada di tengah jalan dan melihat truk yang berkecepatan tinggi itu datang dengan nafsu ingin mengakhiri hidup si gadis kecil jelita itu. “Meeeow! Sintya... gawat!” Bon yang sudah berada di seberang jalan itu berlari berusaha menghampiri Sintya.

Tooon... Tooon... bunyi klakson truk itu seolah terompet kematian.

Bon melompat tepat di depan kaca pengemudi truk. Truk itu oleng, tidak bisa mengendalikan badan besarya yang tadi berlari cepat.

Brakk... raksasa kuning beroda itu menabrak sebuah toko bangunan yang kala itu sedang tutup. Hantamannya merobohkan tembok tebal toko bangunan itu. Kepala depan truk itu penyok, kacanya pecah berkeping-keping. Sintya yang masih berdiri di tengah jalan itu selamat. Terompet kematian dari raksasa kuning beroda itu ternyata tidak jadi mengajaknya ke alam baka.

“Sintya... Nak! Kamu selamat Nak! Ibu kawatir padamu Nak! Jangan seperti itu lagi Nak! Ibu tak mau kehilangan Kamu Nak!” ibu Sintya menangis. “Ibu... Maafkan aku! Ibu... Kucing blangtelon itu menolongku... Ibu...! Kucing itu...!” Sintya menangis. Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan itu, sang supir yang ugal-ugalan tadi pun diseret warga ke kantor polisi terdekat.

Mata Sintya yang memerah dan basah oleh air mata mencoba memandang jauh ke arah tembok tebal yang dihantam keras oleh raksasa kuning tadi. “Ibu...! Jangan- jangan...! Ibu... aku ingin melihat kucing itu Ibu...! Hikz...!”. Sintya melepas pelukan ibunya. Berlari menuju tembok yang telah hancur dan runtuh itu. Ia melihat lirih pecahan kaca truk yang bertebaran di mana-mana. Ia juga melihat bercak merah di depan kaca. Bendungan sungai air mata Sintya tidak tahan lagi menahan derasnya kesedihan Sintya. “Ibu... Kucing itu! Kucing itu!” Sintya semakin terisak melihat tubuh Bon terkapar tak berdaya. Hanya tersisa satu kedipan mata, “Meeow! Ibu... aku kini telah bisa melihat sosok hati yang indah Ibu! Ucapannya sama seperti ibu dulu! Kini aku juga senang bisa menyusul ibu dan ayah di atas sana! Aku tidak menyesal telah mati untuk anak berhati berlian ini ibu!”. Mata Bon tertutup, tidak ada lagi udara yang keluar dari hidungnya. Bon berselimut darah, tetapi wajahnya seperti menyampaikan senyuman pada Sintya.

Sintya menggendongnya, air matanya terus menetes. Diselimutinya kucing blangtelon itu dengan sapu tanganya yang putih bergambar bunga mawar. Sintya membawanya untuk ia kuburkan pada sebuah tanah lapang di belakang pasar, di samping sebuah gundukan tanah yang tidak diketahui Sintya kalau itu kuburan ayah Bon. Sintya menulis sebuah surat untuk Bon yang ia kuburkan bersama jasad Bon.

“Terima kasih kucing warna-warni! Padahal kita belum sempat berkenalan! Semoga Kau bahagia di alam sana!”.