Lompat ke isi

Bravo Gita!

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis :

[sunting]

Gita, anak perempuan berusia 11 tahun, sangat suka menyanyi. Ketika dewasa nanti Gita ingin menjadi penyayi terkenal dan dijuluki sebagai diva. Lomba vokal solo dalam rangka peringatan HUT RI merupakan tonggak awal Gita untuk mewujudkan impiannya.

Lakon :

[sunting]
  1. Gita
  2. Reno
  3. Mama
  4. Ibu Merry

Lokasi

[sunting]

Pangururan, Samosir


Dig dug! Dig dug! Irama jantung Gita semakin cepat tak beraturan. Dia meremas tangannya yang terasa dingin sambil menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan. “Inhale, exhale”, gumamnya perlahan untuk mengatasi rasa gugup menunggu giliran menyanyi. Sembari mengingat teknik olah vocal agar bisa menyanyi dengan baik yang dibacanya, Gita melatih kembali pernafasan diafragma.

Sejak kecil, Gita memang sangat suka bernyanyi. Kata Ibu, saat baru lahir, Gita terus menangis walaupun sudah digendong dan disusui. Semua keluarga yang hadir pun bergantian menggendong dan menenangkan Gita namun tak berhasil. Lalu kakek menggendong Gita sambil menyanyikan lagu, akhirnya Gita kecil berhenti menangis dan terlelap. Karena itulah dia dinamakan Gita, artinya nyanyian.

Setelah semakin besar, Gita menunjukkan minat yang tinggi terhadap lagu. Dia mudah sekali menghafal lirik lagu. Dia selalu membayangkan dirinya tampil di panggung yang besar dan menjadi penyanyi terkenal.  Gita ingin sekali mendapat gelar sebagai Diva. Tak semua penyanyi dapat dijuluki Diva, hanya penyanyi perempuan yang luar biasa yang memperoleh kehormatan mendapat predikat diva.

Bagi Gita, sebuah lagu harus dinyanyikan dengan baik dan benar. Sementara Reno, sepupunya, suka sekali mempelesetkan lagu. Karena itu mereka sering sekali bertengkar.  Seperti kemarin, saat mereka melihat – lihat koleksi kaset lama milik tante Vina, ibunya Reno. Mereka menemukan kaset penyanyi Celine Dion dan memutarnya pada tape recorder. Terdengarlah lagu My heart will go on sangat merdu. Gita yang terhanyut mendengar lagu tiba – tiba terganggu dengan suara aneh Reno yang mengikuti nada lagu tetapi mengubah lirik hanya dengan satu kata titanic.

“Stop, stop, iihhh Reno, kalau kamu gak tau liriknya, nih, baca, ada di sampul kasetnya” seru Gita. “Biarin aja, terserah aku dong, kok kamu marah? Penyanyinya aja gak marah” balas reno tidak mau kalah.

“Aku terganggu tau. Bagus – bagus lagunya diciptakan kok kamu rusak dengan nyanyi seenaknya?”

“Yee, terserah gue dong, wee” ejek Reno. Gita sangat kesal karenanya. Dia menghela nafas. Gita memang sangat sensitif kalau menyangkut lagu. Baginya, sebuah lagu harus dinyanyikan sepenuh hati dan penuh penghayatan. Apalagi setelah Gita pernah membaca buku Teknik Dasar Bernyanyi di perpustakaan umum di kotanya. Dia semakin mengerti bahwa dalam bernyanyi ada tahapan dan ada juga teknik mengelola pernafasan agar suara semakin merdu terdengar.

Pucuk dicinta ulam tiba. Pagi itu Gita membaca di papan pengumuman sekolah ada acara Gebyar Kemerdekaan dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia tingkat kabupaten. Berbagai lomba akan dipertandingkan, salah satunya lomba vocal solo tingkat SD. Hati Gita sangat riang, “inilah saatnya aku menunjukkan bakatku” ucapnya dalam hati. Kring, kring, kring, bel berbunyi tanda istirahat. Gita bergegas menuju kantor guru, untuk menemui Ibu Merry, guru seni di sekolah mereka.

“Selamat Pagi Bu” Sapa Gita.

“Ya selamat pagi, Gita, silahkan duduk, ada yang bisa Ibu bantu?” jawab Ibu Merry.

“Begini Bu, saya lihat di papan pengumuman ada lomba vocal solo tingkat SD. Apakah saya boleh mendaftar menjadi perwakilan sekolah kita Bu?”

“Waahh, kamu mau ya? Masalahnya Ibu sudah menunjuk Leony mewakili sekolah kita, kamu kan masih kelas lima, masih ada kesempatan tahun depan, sementara Leony sudah kelas enam, karena itu Ibu langsung menunjuk tanpa melakukan audisi dulu” Ibu Merry menjelaskan.

“Tapi saya betul - betul ingin mengikuti lombanya Bu” jawab Gita memelas.

“Leony itu ikut les vokal nak, jadi Ibu yakin dia bisa mempersiapkan diri dengan baik, dan perwakilan sekolah hanya satu orang, maaf ya nak, lain kali aja kamu ikut” kata Ibu Merry dengan tegas.

Hati Gita sedih sekali. Sekuat tenaga ia menahan bulir air agar tidak jatuh dari matanya. Dengan langkah gontai ia meninggalkan ruang guru setelah minta ijin kepada Ibu Merry. Dia berjalan tak tentu arah. Beberapa teman yang menyapanya saat berpapasan tidak dia hiraukan. Jam pelajaran berikutnya Gita benar - benar tidak konsentrasi. Pandangannya tertuju ke papan tulis, tapi pikirannya melayang kemana - mana. Dia ingin cepat - cepat pulang dan sampai di kamarnya. Namun waktu menjadi sangat lambat terasa, membuatnya merasa tersiksa. Perasaannya campur aduk, antara sedih, marah, kesal, kecewa, semuanya membuat dadanya terasa sesak. Bel pertanda pulang pun berbunyi, cepat - cepat ia memasukkan peralatan sekolahnya ke tas. Setengah berlari dia menghadang ransel merah muda miliknya menuju rumahnya.

Setibanya di rumah, Gita disambut kiko dan elmo, anjing peliharaanya. Biasanya, sepulang sekolah Gita akan bermain sebentar dengan anjing - anjingnya yang lucu, memberi makan peliharaannya, makan siang dan mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi kali itu, tingkah lucu kedua anjingnya tak jua menghibur hatinya. Dering telepon genggam yang tergeletak di meja belajar menyentakkannya. Di layar telepon tertulis ‘Super Mom’, mama menelepon.

“Halo ma…” sapa Gita dengan suara serak, suaranya seolah menyampaikan suasana hatinya sedang tidak baik - baik saja.

“Hai sayang…. kok lemas? Tadi pagi masih baik - baik saja” balas mama dari seberang.

“Tidak apa - apa Ma, Gita cuma capek aja, pulang sekolah kena panas matahari”, Gita berusaha menyembunyikan kegalauan hatinya.

“Yakin?” Goda mama

“Iya loo, mama ini bikin kesal aja” Balas Gita

“Ya udah, jangan lupa makan siang  yaa, makan yang banyak, biar kuat menghadapi kenyataan” balas mama sambil tertawa geli.

“Iya nyonya bawel, udah ya, pe er ku banyak” jawab Gita ketus.

Gita benar - benar tidak selera makan, padahal siang itu terhidang makanan kesukaanya, semur ayam. Gita hanya mampu melahap beberapa suap, itupun karena dia takut kena sakit maag. Kembali dia merenung, mengingat percakapannya dengan Ibu Merry. Bagaimana bisa memilih utusan sekolah secara sepihak, bukankah setiap siswa sama hak nya untuk mewakili sekolah? Kenapa tidak ditanyakan siapa yang berminat lalu dilakukan audisi? Bukankah waktu lomba nya dua bulan lagi? Sungguh tidak adil. Benar - benar tidak adil. Gita berbicara dalam hati sambil memandangi  brosur Gebyar Kemerdekaan yang diambilnya dari kotak dekat papan pengumuman sekolahnya. Didalam brosur ada nomor telepon panitia yang menjadi narahubung. Tiba - tiba, terbersit ide untuk menelepon nomor tersebut. Gita menekan nomor sesuai yang tertera, kemudian menekan tanda telepon, dan tersambung. Berdebar jantung Gita menunggu panggilannya dijawab.

“Halo, selamat siang” seseorang menjawab

“Halo, selamat siang, saya Gita. benar ini dengan Kak Febri?” jawab Gita lega mendengar suara diseberang terasa ramah.

“Ya Dik Gita, bisa dibantu?”

“Gini kak, saya mau tanya tentang lomba vocal solo acara gebyar kemerdekaan, di brosur tertulis, setiap sekolah mengirimkan satu orang peserta. Dari sekolah ku sudah ada utusannya, padahal saya ingin sekali ikut lomba”

“Oh iya, kebetulan sudah ada juga yang menanyakan hal serupa. Besok ada rapat panitia, hal ini akan dibicarakan dulu dengan semua panitia untuk mengambil keputusan. Ini nomor Gita ya? Kakak simpan nomornya ya, selesai rapat besok kakak akan  menghubungi Gita”

“Oke kak, terima kasih” Gita bernafas lega. Ada harapan, pikirnya.

Selama dua hari menanti dengan cemas, Gita berdoa semoga ada kesempatan baginya untuk ikut lomba. Dia berjanji dalam hati, apabila diijinkan ikut, ia akan berlatih dengan sungguh - sungguh dan memberikan yang terbaik. Gita melirik brosur itu, lagu wajib : Hari Merdeka ciptaan H. Mutahar. Lagu pilihan ada tiga : Kebyar - Kebyar ciptaan Gombloh, Tanah Airku ciptaan Ibu Soed, Bendera ciptaan Cokelat. Semua lagu tersebut sudah dihafal Gita sebelumnya. Gita terus menerus melirik telepon genggamnya, menunggu pemberitahuan dari Kak Febri, panitia gebyar kemerdekaan. Namun hingga malam larut, telepon Kak Febri tak jua datang. Gita tetap bersabar menunggu sampai sore hari dihari keempat setelah rapat seperti yang dikatakan kak Febri, ia tak kunjung menerima telepon dari panitia.

Kembali Gita memberanikan diri menghubungi nomor kak Febri.

“Halo Gita, selamat sore, maaf ya, kaka lupa menelepon, sekali lagi maaf ya” lirih suara Febri menyambut telepon masuk dari Gita.

“Iya kak, tidak apa - apa, mungkin Kakak sibuk, karena itu Gita menelepon, mau tau hasilnya kak” jawab Gita memaklumi

“Terima kasih ya Gita, oh ya, hasil rapatnya, memang utusan sekolah tetap hanya satu orang, tetapi peserta juga bisa berasal dari umum, nanti sama - sama diperlombakan kok, jadi Gita mendaftarnya dari umum saja ya, ini langsung kakak bantu pendaftarannya, nama lengkap dan tanggal lahirnya boleh disebutkan?”

Begitulah, akhirnya Gita menjadi salah satu peserta lomba vocal solo tingkat Sekolah Dasar acara Gebyar Kemerdekaan. Bukan main senangnya hati Gita. Setiap hari dia berlatih. Dia meminta mama dan papanya untuk menilai penampilannya. Papa Gita mengajak Gita menemui kenalan papa yang jago nyanyi dan berpengalaman dalam lomba vocal solo untuk diminta masukan dan kritik. Melalui pertemuan singkat itu, Gita  menerima banyak saran dan masukan. Semakin hari persiapan Gita semakin matang. Selama masa latihan, ia menghindari makan berminyak dan es krim. Ia menjaga tubuhnya tetap bugar agar penampilannya bisa maksimal.

Dan tibalah hari ini, hari dimana lomba vokal solo dilaksanakan. Aula tempat lomba sudah dipadati peserta dan penonton sejak pagi. Tempat duduk peserta lomba dan penonton dipisah untuk menjaga ketertiban. Antusiasme mengikuti acara lomba dilihat dari banyaknya jumlah peserta, ada 75 orang. Gita mendapat nomor undi 50. Pukul 08.50 WIB, sepuluh menit sebelum jadwal lomba, pembawa acara mengumumkan bahwa lomba akan dimulai dan sesaat lagi, dewan juri akan segera memasuki aula, dan juara pertama dan kedua lomba, selain menerima hadiah berupa trophy dan uang tunai, akan ikut menjadi pengisi acara dalam rangka Perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia Tingkat Kabupaten. Semangat Gita semakin menyala - nyala mendengarnya.

Mendekati giliran untuk tampil, Gita merasa gugup. Ia melirik ke arah kanan, tempat duduk  Papa, Mama, Kakek, Reno danTante Vina. Mereka serentak melambai kepada Gita menyemangati, mama membuat tanda saranghae dengan jarinya, membuat Gita terkekeh. Dan tibalah gilirannya untuk tampil.

“Selanjutnya, nomor undi 50, lagu wajib Hari Merdeka ciptaan Husein Mutahar dengan nada dasar D = do, dan lagu pilihan Tanah Airku ciptaan Ibu Sud dengan nada dasar G = do. Inilah peserta dengan nomor undi 50” ucap pembawa acara mengiringi langkah Gita yang naik ke atas panggung. Gita memperhatikan penonton dari panggung. Sangat ramai, pikirnya. Rasa gugup yang dari tadi menyerang seketika hilang. Gita memberi hormat kepada juri, dan musik pengiring mulai terdengar. Gita bernyanyi dengan sangat memukau. Suaranya terdengar sangat merdu, dan sesekali dia berimprovisasi membuat lagu yang dibawakannya terasa semakin menarik, beda dari yang lain. Di akhir penampilannya, juri dan penonton memberi standing ovation. Banyak penonton yang berdecak kagum dan aula menjadi riuh. Pembawa acara kewalahan menenangkan situasi karena masih ada peserta yang akan tampil.

Turun dari panggung, Gita merasa plong. Dia merasa berhasil memberikan yang terbaik. Meskipun ia bukan utusan sekolahnya, tapi ia tetap mengharumkan nama sekolahnya apabila ia menang. Peserta selanjutnya masih tampil dan Gita duduk ditempatnya, menunggu dengan optimis. Gita yakin bahwa hasil tidak akan mengkhiananti usaha. Dia juga yakin bahwa dewan juri akan menilai secara profesional dan objektif. Saat yang dinanti pun tiba. Benar saja, Gita berhasil menjadi juara pertama dalam lomba vocal solo. Inilah langkah awal Gita mewujudkan mimpinya. Jalan masih panjang dan berliku, tapi Gita yakin, suatu hari nanti, dia pasti menjadi diva. Bravo, Gita!!!


TAMAT