Bukan untuk Siapa, tapi Untuk Diri Sendiri
Danesh di usianya yang baru lima tahun mendapatkan kesempatan emas tinggal di Negeri Kanguru menemani mamanya kuliah. Sayangnya, meski sudah sering menonton video Tayo, dan kartun lain yang berbahasa Inggris, ternyata Danesh masih belum berminat untuk mempelajarinya secara serius. Dia merasa puas bermain-main saja dengan adiknya yang berusia dua tahun, Ifa, hanya di sekitar rumah.
Suatu hari mama bertanya untuk kesekian kalinya pada Danesh, “Kamu benar-benar tidak mau sekolah? Sekolahnya sambil bermain, kok, di kindergarten dekat kampus mama.”
“Tidak, ma. Danesh lebih suka di rumah saja,” jawabnya enteng sembari memaju mundurkan mainan mobilnya.
“Sudah, jangan dipaksa.” Papa tiba-tiba datang dan ikut duduk di antara mama, Danesh, dan Ifa.
“Tapi, tahun depan kita sudah pulang ke tanah air, loh. Sayang kalau dia tidak belajar apa-apa selama di sini.” Mama bersikeras.
“Nggak apa-apa, Kita ada di sini karena pendidikan kamu. Kalau memang hanya kamu yang mendapatkan ilmu di sini, ya, nggak ada salahnya. Nanti juga mereka punya kesempatan sendiri untuk belajar.” Papa memain-mainkan rambut Danesh dan Ifa bersamaan.
Mama menghela napas panjang
***
Sore itu, pemandangan berbeda terlihat saat mama pulang dari kampusnya. Mama tersenyum lebar melihat Danesh bermain frisbee dengan dua anak tetangga yang usianya tidak lebih dari 10 tahun. Mama dan papa memang bergantian menjaga rumah dan anak-anak. Papa baru bekerja di saat mama tidak ada jadwal kampus, jadi akan selalu ada yang menemani Danesh dan Ifa di rumah.
“Anak-anak punya cara sendiri untuk bersosialisasi.” Papa menyambut mama di depan pintu sembari menggendong Ifa. Sepertinya, sejak menginjakkan kaki di Canberra-Australia tahun lalu, baru kali ini Danesh bermain dengan orang lain, selain Ifa.
“Iya, mungkin Papa memang benar, dia nggak perlu dipaksa.” Mama mencium tangan papa dan menyambut Ifa ke dalam pelukannya. Tak lama, papa melangkah pergi dari rumah menuju ke tempat kerjanya sembari menyapa Danesh dan teman-teman barunya.
Kesenangan Danesh bermain dengan Mathew dan Andrew ternyata berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Mama bahkan pernah mendapati mereka sedang bermain trampoline di rumahnya Mathew hingga senja menyapa.
Hal itu membuat mama tergelitik untuk menguji kemampuan Bahasa Inggris Danesh.
“Danesh, can you help me please,” ucap mama di sela-sela makan malam.
“Hah, Mama panggil Danesh?” tanyanya polos.
Oh, ternyata dia belum bisa berkomunikasi dengan Bahasa Inggris, batin mama.
“Iya, Mama cuma mau minta tolong diambilkan ayam itu satu potong.” Meski sedikit kecewa, namun mama sangat paham bahwa tidak ada yang perlu dipaksakan. Meski Danesh sudah bisa bermain dengan tetangga, tapi bisa jadi selama ini mereka hanya berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Bukankah bagi anak-anak bisa bermain dan bersenang-senang bersama itu sudah lebih dari cukup.
Sejak saat itu mama tidak pernah lagi memaksakan Danesh untuk bisa berbahasa Inggris. Sisa waktu yang ada di negeri orang itu dihabiskan untuk bersenang-senang, mengunjungi tempat wisata, dan mengambil foto sebanyak-banyaknya agar menjadi kenangan indah yang bisa diingat sampai kapanpun.
***
Lima tahun berlalu dengan cepat, Danesh sudah menjadi siswa kelas empat SD yang selalu mendapatkan ranking di kelasnya. Hal itu membuat mama percaya bahwa dia bisa dijadikan teman diskusi saat hendak memutuskan sesuatu hal yang penting.
“Nak, pilihannya adalah UGM di Jogya, UI di Jakarta, atau Udayana di Bali,” sebut mama saat hendak memutuskan akan mendaftar di kampus mana untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang doktoral.
“Jogja itu pakai Bahasa Jawa, kan, Ma? Danesh nggak mau,” ucapnya menggugurkan salah satu opsi.
“Loh, kenapa? Kan, Danesh tau kalau mama keturunan Jawa, kan?” Mama terkesiap.
“Betul, tapi Danesh ‘kan nggak pernah mengerti kalau mama bicara Bahasa Jawa sama mbah. Sama seperti dulu waktu tinggal di Australia, Danesh nggak bisa ngerti orang-orang itu bicara apa, akhirnya jadi susah berkomunikasi.”
“Oh ya? Tapi, bukannya kamu dekat dengan Mathew dan adiknya, Andrew? Mereka bahkan kasih hadiah perpisahan, loh, waktu kita pindah dulu.”
“Benar, tapi saat main bersama kadang nggak mengerti mereka mau apa. Nggak enak rasanya, Ma, kalau nggak nyambung bicara sama orang lain.”
“Wah, wah. Ini kejutan buat Mama. Dulu Mama kira kamu nyaman-nyaman aja temenan sama mereka.”
“Kalau sekarang ada teman yang seperti mereka, Danesh sudah bisa komunikasi, jadi pasti akan lebih menyenangkan. Di roblox ada banyak, loh, Ma, teman Danesh yang pakai Bahasa Inggris. Jadi, kalau Danesh ingat apa yang terjadi dulu waktu main dengan Mathew, rasanya malu sendiri. Please Ma, jangan kuliah di tempat yang bahasanya kami belum mengerti, ya,” ucapnya memelas.
Pikiran mama melanglang buana seketika. Ada rasa bersalah yang begitu besar karena tidak mempersiapkan dengan baik kemampuan berbahasa Inggris Danesh dulu sebelum ikut ke Australia, padahal di usia lima tahun itu sebenarnya sudah ada beberapa percakapan sederhana yang bisa diajarkan padanya. Kesibukan mempersiapkan keberangkatan, ditambah lagi padatnya jadwal kuliah sesampainya di sana, membuat mama benar-benar lalai akan hal ini. Belum lagi dengan entengnya merasa si anak akan bisa adaptasi jika dimasukkan ke sekolah, pasti nanti akan bisa sendiri. Ternyata tidak demikian. Untung saja mama mengikuti saran papa untuk tidak memaksakan Danesh sekolah di sana. Sekiranya dipaksa tanpa ada pengantar terlebih dahulu di rumah, bisa jadi dia akan trauma berat karena dipaksa berbahasa Inggris dengan orang banyak sekaligus.
“Maafin Mama, ya. Kalau begitu Mama akan daftar di UI saja. Kalau lulus dan kita harus pindah ke Jakarta, bahasanya masih Bahasa Indonesia, kok. Nggak usah khawatir.”
“Yeay!” sorak Danesh.
“Atau, bagaimana kalau kita ke luar negeri lagi?” Keisengan mama muncul. Padahal sudah ada pembahasan sebelumnya dengan papa, dan keputusannya adalah kuliah di dalam negeri saja.
“Jangan, Ma! Ifa mungkin sudah bisa Bahasa Inggris karena sering main Roblox juga dengan Danesh. Tapi, Nuha dan Nara kan belum bisa. Kasian mereka nanti,” jelasnya dengan nada diplomatis.
“Ya … kamu benar. Makasi ya, sudah perhatian dengan adik-adik.” Mama mengusap-usap kepala putra satu-satunya itu. Anak tertua yang selalu membanggakan dan pandai menjaga ketiga adiknya.
***
“Mama, coba lihat buku ini. Danesh beli seharga lima ribu dari Rian yang kemarin bantu bu guru membersihkan perpustakaan dan dapat hadiah buku-buku lama.” Si sulung mengejutkan mamanya yang sedang menyapu rumah dengan membawa sebuah buku bacaan berbahasa Inggris yang terlihat lusuh.
“Wah, kalau kemarin kamu nggak sakit, bisa dapat gratisan itu bukunya,” canda mama.
“Nggak apa-apa, Ma. Kan, Mama sendiri yang pernah bilang bahwa ilmu itu tidak gratis,” komentar anak kelas empat SD itu sembari mengambil posisi duduk yang nyaman dan mulai membaca lembar demi lembar.
“Memangnya kamu mengerti, itu artinya apa?” Mama tiba-tiba penasaran, mengingat di sekolah Danesh masih belum ada pelajaran Bahasa Inggris.
“Ini cerita tentang seorang anak bernama Nino yang pergi ke rumah neneknya saat menjelang natal, Ma.”
“Sejak kapan kamu bisa Bahasa Inggris?”
“Sudah lama, tapi masih sedikit-sedikit aja taunya.”
“Bukannya dulu kamu nggak suka Bahasa Inggris karena susah?” Mama meletakkan sapu di sudut ruangan dan memilih duduk di samping putra kesayangannya itu.
“Iya, Ma, tapi itu Danesh bilang karena merasa masih sulit untuk belajar sendiri, nggak bisa langsung mengerti. Kalau sekarang, Alhamdulillah sudah lebih mudah, dan rasanya jadi menyenangkan, pengen tau lebih banyak lagi kata-kata Bahasa Inggris.”
“Wah, syukurlah. Nanti Mama bantu-bantu juga, boleh ya?” Wajah mama sumringah.
Sungguh hati mama sangat berbunga-bunga, lebih dari ketika papa memberikannya hadiah ulang tahun. Melihat buah hatinya memiliki ketertarikan pada buku saja sudah istimewa rasanya, terlebih lagi saat ini buku yang dibaca menggunakan bahasa lain yang dikenal sebagai bahasa internasional dan berlaku hampir di seluruh dunia. Semoga kesenangan Danesh ini bisa menjadi sebuah kebiasaan baik yang bertahan seumur hidupnya, sehingga bekal literasinya akan semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu.