Lompat ke isi

Buku Bacaan Untuk Lila

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pemeran[sunting]

  1. Bima
  2. Lila
  3. Om Farhan

Matahari sudah tenggelam ke arah barat, jingga mulai terganti dengan gelapnya malam. Lampu-lampu mulai terang benderang dari segala penjuru kota. Lalu lintas mulai padat oleh para karyawan yang hendak pulang ke rumah mereka yang hangat dan nyaman. Namun, di sudut gang yang sempit, di dekat tumpukan sampah, seorang anak laki-laki sibuk memilah dan memilih pada tumpukan buku-buku bekas nan rusak. Ia membawa sebuah karung lepek dan koyak yang isinya hampir penuh.

Ketika menemukan apa yang ia cari, wajahnya sumringah tidak terkira. Ia memeriksanya dengan hati-hati, tangan kurus penuh kapalannya mengusap pelan permukaan sebuah buku tulis kotor dimana setengah isinya hampir penuh dengan tulisan, kertasnya berwarna kuning lepek dengan cover yang robek disana sini. Setelah memastikan buku tersebut masih bisa di pakai, ia segera memasukkan buku tersebut ke dalam karung yang ia bawa.

Kaki kurus kecilnya membawa tubuhnya pergi dari gang sempit tersebut. Langkahnya dibarengi dengan senandung riang yang ia kumandangkan dengan tulus dan gembira. Kakinya berhenti melangkah ketika sampai didepan gubuk kecil yang terbuat dari bahan seadanya.

Suara anak perempuan terdengar dari dalam gubuk tersebut. Terdengar ia sedang mengucapkan sesuatu berulang kali, seperti mencoba menghafal. Saat suara-suara tersebut mulai menghilang dan digantikan dengan gerutuan kecil. Anak laki-laki itu membuka pintu reyot di hadapannya.

Ketika pintu mengeluarkan bunyi yang cukup mengganggu telinga, sebuah pekikan melengking menyambut anak laki-laki tersebut.

“Kak Bimaa! Akhirnya Kakak pulang. Kakak tahu? Aku sudah hafal huruf alphabet sampai K”

“Oh ya? Hebat sekali adikku yang manis ini,” Bima menutup pintu, menyimpan karung yang sedari tadi ia bawa, kemudian menepuk dan mengusap kepala sang adik dengan sayang.

“Tentu dong, Lila gitu loh!” ucap sang adik dengan bangga, “Kakak ingin mendengarnya?”

“Boleh, tapi nanti setelah Kakak membersihkan diri ya. Tubuh Kakak sudah sangat lengket dan tidak nyaman. Bagaimana?” Bima bertanya sambil menyejajarkan tubuhnya dengan tinggi sang adik.

Lila menganggukkan kepalanya dengan semangat, duduk kembali ke tempat dia belajar sementara Bima pergi membasuh diri.

“Lila, ka—" ucapan Bima terhenti ketika penampakan adiknya tertidur yang ia lihat. Bima tersenyum dan mendekat, kemudian mengangkat tubuh sang adik ke tempat tidur lepek dan keras.

Malam telah berganti, cahaya dari mentari mulai menyinari sebagian bumi. Aktivitas sudah mulai terlihat dan toko-toko sudah mulai membuka gerainya.

“Lila, kemarin saat mencari barang bekas, Kakak menemukan buku tulis loh. Ya, walaupun tidak bagus sih, tapi masih bisa digunakan kok.” Ucap Bima Ketika sarapan bersama adiknya.

“Benarkah? Itu bagus! Buku yang lama sudah penuh. Mana? Lila ingin melihatnya.”

Bima menyodorkan buku yang kemarin ia pungut di tempat sampah, “ini, tapi isinya tinggal setengah.”

Lila dengan cepat mengambil buku tersebut dari tangan sang Kakak. Kemudian melihat-lihat jejak tulisan dari buku bekas tersebut. “Lila juga ingin bisa menulis seperti ini. Rapi dan indah!”

“Tentu, Lila akan bisa menulis seperti itu. Jadi, jangan sampai kendor belajarnya. Oke?”

“Oke!”

“Baiklah, selesaikan makannya. Setelah dipikir-pikir nafsu makanmu berkurang akhir-akhir ini dan kulitmu terasa lebih pucat. Kamu baik-baik saja?” Bima bertanya dengan suara lembut penuh kasih, “Aku baik-baik saja Kak, tenang saja, Aku adalah anak yang kuat!” Ujar Lila dengan mengepalkan jari dan mengangkat kedua tangannya, meyakinkan sang Kakak bahwa ia kuat. “Hahaha, baiklah. Jaga dirimu ya! Kakak pergi sekarang, sampai jumpa nanti malam.”

“Iya, sampai jumpa,” suaranya perlahan hilang bersamaan dengan kepergian Bima. Lila terdiam dan merenung, wajahnya muram dan sedih, ia memandangi tangan kecilnya yang seiring waktu bertambah pucat, tangannya yang dulu berisi sekarang terlihat mulai mengurus, persendian dan otot-ototnya seringkali sakit sehingga mengganggu waktu tidurnya di malam hari. “Maafkan Lila, Kak Bima,” bisiknya perlahan terisak dan menangis.

Ditengah teriknya matahari siang, dua anak laki-laki sedang berbincang di sebuah lapangan luas, di samping masing-masing anak tersebut ada karung yang hampir penuh dengan sampah plastik minuman gelas juga botol.

“Bim, akhir-akhir ini kok tidak datang kumpul sama kita. Kemana saja?” tanya anak laki-laki berkulit sawo matang, rambut ikal dan berpakaian sama lusuhnya dengan Bima.

“Ah, ya. Aku sibuk mencari buku-buku bekas.”

“Buku bekas? Untuk dijualkah? Kau kekurangan uang Bim?”

“A-ah tidak, itu untuk adikku. Dia sedang belajar membaca dan menulis, jadi Ia membutuhkannya.”

“REN! Cepat ke sini!” Teriak seseorang dari warung di belakang mereka.

“YA!” jawab anak laki-laki di sebelah Bima, ia kemudian berbicara, “baiklah. Sampaikan pada Lila, semangat belajarnya. Titip salam juga dari Kak Rendi yang tampan nan rupawan ini ya!” Anak bernama Rendi tersebut menjauh dari Bima dan berlari menuju warung di belakangnya.

“IYA, AKAN KU SAMPAIKAN! TAPI TIDAK DENGAN KALIMAT TAMPAN NAN RUPAWANNYA! HAHAHAHA” Teriak Bima Ketika Rendi sudah sampai di warung tersebut.

Setelah dirasa cukup lama beristirahat di lapangan hijau itu, Bima berdiri dan bergegas pergi. Ia pamit kepada temannya, kemudian berjalan menyusuri jalanan yang ramai kendaraan.

Ketika hendak menyebrang, tiba-tiba sebuah mobil hitam mengkilap muncul dan hampir menabrak Bima. Bima terkejut, ia mundur dan kakinya lemas hingga dirinya terduduk di aspal yang keras. Mobil berhenti tepat di depannya, kemudian seorang pria keluar dari mobil dengan wajah khawatir dan kaget.

“Nak, kau baik-baik saja? Ada yang terluka atau terasa sakit? Jika ada, ayo kita ke rumah sakit.” Tanya pria berjas biru tua elegan yang nampak pas ditubuhnya, sehingga orang yang melihat dibuat terpana sekaligus takjub. “Nak?” Panggil pria berjas sekali lagi karena tidak menerima tanggapan dari Bima.

“A-ah ya. Saya baik-baik saja, tidak ada yang terluka.”

“Sungguh? Kau bisa jujur padaku Nak, jika memang ada yang terasa sakit.”

“Tidak. Itu tidak perlu, Saya benar-benar baik kok.” Ucap Bima sambil berdiri, mengambil karungnya yang tergeletak di samping tubuhnya.

“Hei, Nak! Kau mau kemana? Biar Om antar kamu pulang”

“Tidak usah Paman, Saya pamit”

“Tidak, tidak. Tolong, terima ini sebagai permintaan maafku. Kumohon!”

Bima diam tidak menjawab, mempertimbangkan apa yang ditawarkan oleh si Paman, “baiklah, terimakasih sebelumnya Paman.”

Setelah sepakat untuk diantar oleh Paman tersebut. Mereka masuk ke dalam mobil, kemudian mobil melaju membelah jalanan.

“Siapa namamu, Nak? Aku Farhan, kau bisa memanggilku Om Farhan.” Tanya sang Paman yang bernama Farhan itu untuk memulai percakapan.

“Bima”

“Bima,” Farhan menganggukkan kepalanya, “nama yang bagus. Berapa umur kamu Bima?”

“12” Jawab Bima dengan singkat, pandangannya lurus ke depan dimana jalanan begitu lenggang.

“Oh, 12 ya. Om juga punya teman yang adiknya berumur 12 sama sepertimu. Dia kelas 6 sekarang, cantik dan manis.”

“Indonesia mempunyai Hukum mengenai anak dan perempuan, Paman.” Ujar Bima masih menatap jalanan di depannya.

“Hah? Y-ya, tentu. Om tahu itu.” jawab sang Paman dengan bingung. “Tunggu! Aku bukan pedofil, tahu! Maksudku dia hanya anak yang manis dan cantik, aku hanya memuji tidak bermaksud apapun.” Jelas Farhan.

Mendengar penjelasan Farhan, Bima akhirnya melirik Farhan, kemudian mengangguk.

W-well, Kau bersekolah dimana? Ya, bukan bermaksud kepo atau apa han—”

“Aku tidak sekolah.” Sebelum perkataan Farhan selesai, Bima sudah memotongnya.

“Kenapa?”

“Hanya tidak ingin saja.”

“Hanya tidak ingin? Apa kau benar-benar tidak ingin bersekolah?”

“Ya.”

“Tapi kau pernah pergi ke sekolah sebelumnya?”

“Pernah, sampai kelas 5.”

“Kelas 5, berarti itu setahun yang lalu. Kenapa tidak lanjut kelas 6?”

“Paman, apa kau pernah mendengar perkataan ini? Jangan terlalu ikut campur dengan urusan orang lain! Apalagi orang itu bukan orang yang kita kenal.”

Mendengar jawaban Bima yang sarkastik, Farhan membuka sedikit mulutnya tidak percaya. “Maksudku, Aku hanya bertanya. Siapa tahu Aku bisa membantu kan? Maafkan Aku jika itu menyinggungmu, sungguh.”

Bima menatap Farhan, kemudian berpaling kembali ke jalanan. Wajahnya menunjukkan kegelisahan dan rasa bersalah, mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun berhenti ketika menatap wajah Farhan. Farhan membiarkan dan tidak memaksa, ia mengerti dan paham.

“Baiklah, dimana rumahmu?”

“Di depan belok kanan.”

Setelah pertemuan tidak sengaja dengan Farhan. Bima terus saja berpapasan dengan Paman yang pedofil tersebut. Walaupun sebenarnya Bima mengakui bahwa Farhan tidak pedofil, hanya saja panggilan itu cocok untuknya menurut Bima. Bima sedikit jengkel namun juga bersyukur dapat bertemu dengan orang yang baik seperti Farhan. Farhan sering kali membantu Bima ketika ia kesusahan.

“Kak! Kakak sedang memikirkan apa? Daritadi Lila tanya kok tidak menjawab sih.” Lila menegur sang Kakak yang melamun sedari tadi. Mereka sedang berada di dalam rumah, hari ini Bima memutuskan untuk tidak pergi mencari barang bekas karena semalam Lila demam dan mengeluh kesakitan.

“A-ah tidak, Kakak tidak memikirkan apa-apa. Jadi, Lila tanya apa?”

“Kan Lila sudah hafal semua huruf alphabet, dari A-Z. Boleh tidak kalo nanti Kakak punya uang, Lila mau buku bacaan? Agar Lila bisa terus mengasah kemampuan membaca Lila.” Ucap Lila, nada suaranya semakin kecil, wajahnya menunduk tidak berani menatap mata sang Kakak.

Bima yang melihat hal tersebut berdiri dari duduknya dan mendekati sang adik. Dia mengambil dagu adiknya untuk membuatnya melihat wajah Bima, “Jadi, Lila sudah pintar alphabet ya?” Tanya Bima dengan nada main-main. Lila menganggukkan kepalanya dengan semangat, “Baiklah. Kakak janji jika Kakak punya uang lebih, Kakak akan membelikan Lila buku bacaan yang bagus dan baru,” mendengar ucapan Bima, mata Lila berbinar bahagia. “Eits, tapi sebelum itu. Beritahu Kakak, apa yang sakit saat kemarin malam? Kenapa saat Kakak tanya kamu tidak menjawab?”

“O-oh i-itu, itu…”

“Lila, kamu tahu kan kalau kamu tidak bisa menyembunyikan apapun dari Kakak?” Bima memperingati.

“Iya, Lila tahu. Jadi, kemarin itu Lila sakit badan, tangan Lila sakit, kaki juga.” Bisik Lila dengan memainkan jari-jarinya tanpa menatap mata Bima. “Tapi, tenang saja. Itu Cuma sakit biasa kok, mungkin karena Lila sebelumnya jatuh.”

“Oh, jadi itu sebabnya tubuh kamu memar-memar begitu?”

“H-hah? O-oh Iya!”

“Baiklah, sekarang istirahat saja. Berhenti belajarnya, Kakak akan menyiapkan makanan.” Lila mengangguk sebagai jawaban. Ia membereskan buku-buku belajarnya yang berwarna kuning lapuk dan kusut karena terlalu banyak digunakan.

Beberapa hari telah berlalu, namun keadaan Lila masih sama seperti waktu itu, malah dirasa bertambah parah. Bima sering mendengar ringisan kecil yang bersumber dari Lila, bahkan saat siang pun Lila sering membuat ekspresi kesakitan. Bima juga sering kali melihat mulut Lila berdarah. Namun ketika ditanya apakah semua baik, Lila selalu menjawab ya, semuanya baik. Seakan-akan Lila berusaha menyembunyikan sesuatu dari Bima, hal itu sering membuat Bima merasa kesal dan marah. Namun, ia tidak bisa mengeluarkannya pada Lila, ia tidak ingin adiknya merasa ditekan.

“Hei! Kenapa kau melamun saja?”

“Hais, Paman membuatku terkejut!”

“Maafkan. Habisnya dari tadi dipanggil kok tidak menjawab,” Ujar Farhan meminta maaf. Melihat Bima merenung Kembali dan tidak menjawab, Farhan berkata, “Kau pernah mendengar kalimat ini, Bim?” Bima mengalihkan pandangannya kepada Farhan, “Ketika kau punya masalah yang membuatmu merasa kesulitan, akan lebih ringan jika masalah itu kau bagi dan ceritakan pada orang lain.”

Mendengar perkataan Farhan, Bima termenung. Kemudian mulutnya terbuka dan menutup lagi. Farhan hanya menyaksikan dan menunggu dengan sabar.

“Yah, ini masalah yang bersangkutan dengan Lila.” Ucap Bima sebagai permbuka.

“Lila? Adikmu?”

“Ya. Aku merasa kalau Lila sedang menyembunyikan sesuatu dariku.”

“Menyembunyikan sesuatu? Bukankah itu wajar kalau adikmu mempunyai rahasia yang tidak ingin dia bagi denganmu?”

“Tapi ini pertama kalinya Lila seperti ini, aku khawatir. Aku takut terjadi sesuatu kepadanya.”

“Tenang dan percaya saja pada Lila. Mungkin ini karena kamu terlalu lelah Bima, jadi otakmu berpikir berlebihan. Semuanya akan baik-baik saja, percayalah.” Ucap Farhan menenangkan.

“Ya, semoga saja,” Harap Bima, kemudian bangkit dan membawa sekarung sampah plastik.

“Mau kemana lagi, Bim?”

“Pengepul, jual ini,” mengangkat karung ditangannya, “Lila ingin buku bacaan, jadi ini harus cepat-cepat dijual.”

Mendengar ucapan Bima, Farhan tersenyum, ia bangga terhadap Bima. Bima mampu bersikap dewasa, ketika umurnya yang seharusnya masih bermain dan bersenang-senang serta bermanja pada orangtua.

“Ayo, Om antar.”

Setelah semuanya terjual, Farhan membawa Bima ke toko buku. Farhan memberinya uang ketika uang Bima tidak cukup untuk membeli buku bacaan untuk Lila, ia bahkan membelikan peralatan dan kebutuhan untuk menulis. Bima sempat menolak, namun Farhan bersikeras dan menjawab bahwa ini hadiah untuk Lila darinya. Akhirnya, Bima menerima semua pemberian tersebut. Setelah selesai, Farhan mengantar Bima pulang.

“Terimakasih untuk semuanya, Paman pedofil.”

Farhan hendak menjawab, namun berhenti ketika Bima sudah melenggang pergi. Akhirnya dia hanya tersenyum dan memperhatikan Bima yang masuk ke gubuk reyot yang menurut Farhan tidak layak huni, apalagi untuk anak-anak.

Ketika Farhan akan pergi dan menyalakan mobilnya. Tiba-tiba Bima berteriak dan berlari ke arahnya. Dia terlihat kacau, air mata jatuh di wajahnya yang biasanya terlihat keras dan dingin.

“Ada apa?”

“Li-Lila. Paman, to-tolong Lila!” Suaranya tersendat menahan isak tangis.

Farhan segera masuk ke rumah dan menemukan Lila tidak sadarkan diri, tubuh kecil kurusnya pucat dan rapuh. Ia segera membawanya ke rumah sakit, Bima menunggu dengan masih terisak.