Burung-Burung Kertas

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Ilustrasi cerita pendek Burung-Burung Kertas

Premis[sunting]

Ranu, seorang anak biasa yang gemar ermain besama temannya di lapangan, tanpa sengaja terlibat dalam percakapan dengan Kung Har, pemiliki toko kelontong yang gemar membuat boneka wayang dari kertas dari karton-karton bekas dagangan. Percakapan ini menyadarkan Ranu pada sesuatu hal yang remeh namun penting dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Lakon[sunting]

  1. Ranu
  2. Kung Har
  3. Opang
  4. Uthe
  5. Giyot
  6. Ekin
  7. Bondan
  8. Teman-teman

Cerita Pendek[sunting]

Hari minggu kali ini terasa amat terik. Etalase Kung Har sampai berkilauan. Ranu duduk bersama teman-temannya di atas lincak depan toko kelontong milik Kung Har. Toko ini unik, pemiliknya juga unik. Meskipun sudah berusia senja dan jalannya sedikit dingklang, Kung Har masih memiliki suara berat yang khas dan merdu. Ia suka sekali bernyanyi dan menirukan berbagai suara hewan di waktu senggangnya. Selain berjaga toko, hobi Kung Har adalah menggunting, memotong lidi, dan membuat semua karton bekas jualannya menjadi berbagai macam bentuk hewan dan tokoh yang kaki tangannya bisa digerakkan. Ia suka menggantungnya di atas-atas langit atap tokonya. Barangkali ia mempunyai maksud untuk membuat pembelinya senang.

Ranu baru saja menghabiskan es lilin yang ia beli dari toko Kung Har. Dari jauh, terdengar Opang mulai meneriaki namanya, tanda permainan akan dimulai kembali. “Hooi, sini! Ranu!” Beruntungnya, kali ini angin banyak berembus, sedikit meredakan panas di tengah terik. Ranu segera menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu ke depan berlari menuju lapangan, meninggalkan boneka wayang Kung Har yang ikut bergoyang tertiup angin.

“Pas! Ada delapan. Empat jadi penjaga, empat jadi penyerang!” Seru Giyot puas. Mereka yang ikut bermain mulai membuat garis dengan bata merah. Bermain Gobak Sodor memanglah seru. Membutuhkan strategi tipu daya gerakan dan memerlukan kelincahan agar dapat menjadi tim pemenang.

“Hap!” Ranu lolos dari petak pertama setelah Opang tertipu gerakan dan gagal menangkap tubuhnya. Mereka yang bertugas sebagai tim terlihat serius memperhatikan gerak lawannya, jangan sampai ada yang lolos begitu saja. Setiap gerakan mereka amati dan,

“Eits! Uthe kena!” Seru Giyot. Uthe menepuk jidat. Semua bertukar posisi sambil tertawa. Kemudia bersiap untuk ronde selanjutnya. Kali ini Opang, Giyot, dan kawan-kawan lain berganti menjadi tim penyerang.

Opang memicingkan mata, sesekali berceloteh “Eits, eits!” Ketika ia bisa menghindari sergapan lawan. Semua tertawa terbahak. Keseruan kali ini dirasakan oleh semua orang yang berada di lapangan, kecuali dua orang yang sedang duduk berjongkok di pinggir lapangan. Ekin namanya. Sambil menyimak keseruan bermain, ia menghabiskan sisa-sisa es lilinnya. Tentu masih sambil berjongkok. Sedang teman sebelahnya, ialah Bondan, Si pemilik badan besar dan gempal. Keduanya asyik menonton permainan ini sedari tadi.

Ranu menyadari keberadaan mereka. Ia langsung melambaikan tangannya seraya mengajak. “Mau ikut?” dari jauh. Ia kemudian mendekat ke arah Ekin dan Bondan.

Permainan berhenti sejenak. Semua anak yang ikut bermain kini berdiri di belakang Ranu. Ekin berdiri dengan gugup. Ekin yang hanya setinggi pundak Ranu, mendongak ke arahnya dengan harap, memberikan sinyal bahwa ajakan Ranu sangat berarti.

“Kami ingin ikut. Boleh ya!” Kata Bondan mengawali. Ekin mengangguk dengan ragu. Ranu menjawab dengan sigap.

“Boleh dong!”

“Boleh, boleh! Kalau kalian ikut, kita tetap genap. Jadi bisa dilanjut main dengan tambah orang! Ya kan, teman-teman.” Timpal Opang. Ranu menyambut dengan anggukan, sudut bibirnya naik melebarkan senyum. Opang lalu berpikir.

“Hmm.. gimana kalau kalian suit? Yang menang ikut kelompok penyerang. Kelompoknya Uthe!” Ia memberikan ide.

Yang lain nampak setuju, Namun kali ini Uthe tampak menggerakkan kaki tanda tak nyaman. Uthe melempar pandangan kepada teman-teman yang lain. Kemudian ia mulai berbicara dengan berhati-hati.

“Eh… bagaimana ya.” Katanya sambil melirik Ekin dan Bondan. “Bukannya enggak mau. Tapi ini kan permainan tim yang butuh strategi. Kalau ada yang tingginya tidak rata begini, pasti akan menyusahkan timnya pas lagi bertahan.” Tukasnya. Ranu menggigit bibir, takut Ekin bersedih mendengarnya.

“Kemudian, Kalau terlalu besar juga… pasti sangat mudah buat ditangkap dan tim jadi susah menang.” Tandas Uthe.

“Iya juga ya. Bisa-bisa kita ganti peran terus, tanpa ada tim yang menang.” Kata Giyot menimpali. Anak-anak di belakang Giyot pun tampak memikirkan hal ini dengan seksama lalu mengangguk dengan pelan.

Ada seberkas kecewa pada raut muka Bondan dan Ekin. Ekin menunduk lesu. Ranu jadi tak enak hati. Suasana pun jadi canggung, dan bagaimanapun ia lah yang mengawali ajakan kepada Ekin dan Bondan. Satu per satu akhirnya kembali ke posisi masing-masing. Uthe menepuk punggung Ekin sebagai tanda penyemangat. Ranu yang sedari tadi terdiam pun tak bisa berbuat lebih banyak karena ia lagi-lagi dipanggil Opang yang sudah lebih dulu menjauh untuk melanjutkan permainan.

Ekin dan Bondan sudah pergi entah kemana, sedang permainan masih berlanjut denga seru. Sampai tak terasa matahari mulai terasa terik kembali karena sudah di penghujung siang. Semua yang sedang bermain memutuskan untuk istirahat sejenak. Uthe dan beberapa kawan yang lain memutuskan untuk makan dahulu di rumah, sedang Giyot, Opang, dan lainnya duduk di bawah pohon kersen untuk mendinginkan diri.

Dari jauh, kepala Kung Har nampak menyembul dari belakang toples-toples jajanan yang berjejer di atas etalase kaca. Ranu bisa menyadari tatapan itu mengarah padanya. Dari lapangan, Ranu langsung bergegas menuju toko Kung Har. Lagi pula, sebungkus roti titipan Lek Erna di toko Kung Har untuk panas matahari yang sampai mengoyak perut ini sepertinya lumayan juga.

“Roti Cokelat, Kung.” Pintanya. Kung Har hanya mendelik sambil membenarkan kacamata. Alih-alih menjawab Ranu yang kelaparan, Ia malah mendudukkan boneka wayang berbentuk burung di atas toples roti. Ranu mengernyitkan dahi tak mengerti.

“Tak boleh.” Kung Har mulai mengubah suaranya menjadi tokoh burung pipit yang ketus. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya terlihat pantulan cahaya matahari di kacamatanya. “Tak boleh, roti ini hanya boleh dibeli orang yang punya rambut ikal.” Tegasnya lagi.

Ranu semakin tak mengerti. Ia diam sejenak, menyisir rambutnya yang cenderung lurus sepanjang tengkuk. Tanpa menjawab dan bertanya lebih jauh, ia memilih makanan lain yang ingin dibeli. Ranu menunjuk toples lain yang berisi biskuit kemasan.

“Ini, boleh?”  Tanyanya lirih. Kung Har tampak mendehem dan berpikir sejenak. Kung Har nampak mengambil benda di atas mejanya. Diletakkannya boneka wayang burung yang lain di atas toples

“Ini juga tak boleh.” Cetusnya, masih dengan suaranya yang mendadak aneh. Kali ini ia gerak-gerakkan sayap burungnya seolah-olah memang bukan Kung Har yang melarang Ranu untuk membeli.

“Kenapa?”

“Yang ini hanya boleh dimakan kalau kamu punya setidaknya satu helai rambut berwarna putih di kepala.” Imbuh Kung Har dengan suara yang masih sama. Ranu semakin bergidik. Ada apa gerangan Akung satu ini. Biasanya ia memang suka memainkan boneka wayangnya di waktu senggang, dan juga saat diminta warga untuk mementaskannya di balai desa untuk acara-acara tertentu agar anak-anak terhibur. Namun bukannya memainkan secara dadakan dan membingungkan pembeli tokonya seperti ini.

“Yang itu nggak boleh juga?” Tunjuk Ranu pada balok gabus berisi es lilin berbagai rasa. Kung Har tampak mendekati gabus tempat es tersebut dan meraih boneka burung lain yang berada di atas langit-langit atapnya. Dengan berjinjit pada kursi kayunya, ia memainkannya dengan lihai, potongan kertas itu seolah nyata bernyawa dan berbicara.

“Ssst. Es ini.. tidak boleeeeeh dimakan sembarang orang, ha? Hanya orang suci pemilik tujuh tahi lalat di badannya yang boleh mebeliii!. Mengerti kauu!”

“Ha?” Ranu pun menganga. Logat tokoh burung terakhir yang barusan ia dengar memang sudah berhasil membuatnya berada di puncak kekesalan. Kung Har terlihat membenarkan kacamata. Tersenyum simpul dan kembali pada posisi awal.

“Syarat yang aneh ya kan?” Kata Kung Har sambil menggerakkan paruh bonekanya. “Sudah kesal, belum?”

Ranu hanya memicingkan mata. Menebak hal apa Kung Har coba lakukan padanya setelah mendengar celotehan kertas-kertas ini. Untuk kesekian kali, Kung Har membenarkan kacamatanya smebari tersenyum. Kali ini ia berbicara dengan nada yang pelan dan yang terpenting, memakai suaranya sendiri.

“Kalau kamu kesal, Ranu, pertanda baik. Bahwa kamu mengerti bagaimana rasanya tak nyaman karena diberi perlakuan tidak adil. Masa iya, hanya orang-orang yang punya tujuh tahi lalat di badan yang boleh beli es.” Kung Har terkekeh. “Kung Har sebagai penjual seharusnya bagaimana?” Ia ganti melemparkan pertanyaan pada Ranu. Ranu tampak berpikir.

“Kung Har seharusnya membolehkan siapa saja membeli apapun di toko Kung Har?”

“Seratus.” Ucapnya. Kali ini disertai senyum. “Lalu, sebagai orang yang melihat ada teman lain yang sangat ingin ikut bermain di lapangan seharusnya bagaimana?” Pertanyaan kedua dari Kung Har membuat Ranu meneguk ludahnya sendiri

“Ya… mengajak mereka..” Jawabnya Ragu. Kemudian ia buru-buru berkilah. “Kung, aku sudah mengajaknya, tapi yang lain-”

“Yang lain tidak mau?” Potong Kung Har. Ranu mengangguk. Ditepuknya kedua bahu Ranu. “Ranu,” lanjutnya. “Apasih yang buruk dari berbeda? Apalagi perbedaan yang berasal dari ketetapan-Nya. Rambut ikal, lurus, mata cokelat, hitam, biru, tahi lalat satu dan tujuh! Memangnya kita bisa milih?” Pungkasnya. Jarinya menjentik di dekat tahi lalat Ranu di samping mata sebelah kanan.

“Hm.. ya kadang-kadang kita tertipu. Inginnya yang ‘sama’ saja, biar nyaman. Misalnya main gobak sodor dengan orang yang sama tinggi, keliatannya jadi lebih seru.” Kung Har mulai menyinggung hal yang Ranu tak pernah bayangkan sama sekali. Bagaimana tidak, mata Kung Har sudah pasti jeli, mampu memperhatikan anak-anak berlarian di lapangan yang mungkin hanya setinggi ruas jari jika ia melihat dari tokonya.

“Tapi, bukankah kamu tahu sendiri, itu namanya tidak adil. Dan ketidakadilan itu amat menyakitkan.” Tandasnya lagi. Ranu menjadi teringat kembali raut muka Bondan tadi siang. Ia dapat merasakan perasaan kecewa yang menggumpal di hatinya, juga Ekin. “Makanya, ketidakadilan itu sangat sangat dilarang. Makanya juga, tokoh pejuang kemerdekaan kita memasukkan kata ‘adil’ pada pedoman hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila. Keren sekali, kan? Mereka sudah kepikiran untuk mencegah banyak hal yang berpotensi membuat sakit hati dan membuat kecewa hanya karena berbeda.”

“Kerennya lagi kita punya ini.” Kung Har meletakkan jari ke dahi Ranu dengan lembut. “Kita bisa mengatasi ketidaknyamanan karena perbedaan dengan ini. Namanya akal. Dengan akal, orang yang merasa kesulitan karena sedikit berbeda…” Kalimat Kung Har sempat terpotong karena ia sibuk mencari sesuatu di ujung celananya. kemudian ia menaikkan celana kain yang dikenakannya. Ranu terbelalak ketika Kung Har mulai mencopot sesuatu dari lututnya. Kini kaki kanannya bisa ia pegang sendiri sambil terkekeh kecil. Mata Ranu melotot.

“Bisa hidup lebih nyaman!” Pungkasnya. Ranu kaget bukan kepalang. Kali ini ia baru sadar, bukan usia tua yang membuat Kung Har kesulitan berjalan tegap. Tetapi karena Kung Har perlu memakai kaki palsu untuk membantunya berjalan. Tak tampak kesedihan di raut mukanya, barangkali karena ia sudah merasa tak jauh berbeda dengan orang-orang yang memiliki kaki lengkap. Mereka berdua diam sekejap.

“Kung…” Kata Ranu tergagap. “J-jadi, seharusnya aku lebih mengusahakan untuk adil ya?” Rasa tak enak pada Bondan dan Ekin rupanya masih menyelimuti Ranu. Ia mencoba mendapatkan petuah dari Kung Har kembali atas sikapnya tadi.

“Ya! adil harus diperjuangkan! Semua anak berhak ikut main!” Seru Kung Har. “Perbanyak toleransi, apalagi pada hal-hal yang merupakan ciptaan Tuhan. Apa Ranu punya akal?”

“Ya, tentu punya, Kung?”

“Coba pikirkan, bagaimana caranya supaya bisa main bersama-sama dan tetap seru!”

Ranu menopang dagu, mencoba memikirkan cara agar permainan berjalan dengan menyenangkan. Ia mulai merencanakan membuat petak yang ukurannya sesuai dengan gerak tubuh Ekin, lalu kemudian Bondan perlu dibuatkan… “Aha!” Senyum merekah menghiasi wajah Ranu siang itu. Ia menatap mata Kung Har lekat-lekat. Kemudian ia mendongak keatas dan mendapati boneka wayang kertas yang tergantung di langit-langit, bergerak riuh tertiup angin, seolah menyambut niat baik Ranu. Tak lama, suara Opang kembali terdengar memanggilnya dari tengah lapangan. Ia segera berlari menuju lapangan, melambaikan tangannya pada Kung Har yang semakin terlihat kecil, dan juga burung-burung kertas karena telah menemaninya menemukan pesan hangat tentang keadilan.