Lompat ke isi

Cacaka

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis

[sunting]

Laili Namirah, seorang anak yang mengumpulkan banyak ulat-ulat untuk ditunggu menjadi kepompong dan kupu-kupu. dia berharap salah satu diantara mereka ada yang bisa menyampaikan rindunya pada sang ayah.

Cerpen

[sunting]

Laili Namirah namanya, dia biasa dipanggil Lili. Gadis cantik yang berambut ikal ini sangat suka sekali dengan namanya. Kata sang Ibu namanya diberikan oleh ayahnya, “Hai Lailikuuuu… Laili Namirah artinya tuan putri cantik yang lahir di malam hari. Tuan putri yang hadir melengkapi hidup Biyung,” itu yang selalu dikatakan oleh Ibunya setiap hendak tidur. Dengan pelukan hangat, Laili merasa dirinya menjadi anak yang paling beruntung. Seolah menjadi sebuah mantra, kalimat itu mejadi penyemangatnya dalam menjalani hidup. Dia tumbuh menjadi anak yang baik hati dan ceria. Teman-teman di sekolahnya pun sangat menyukainya. Apalagi sikap ramah dan sopan santunnya yang membuat guru-guru tertarik kepadanya.

Laili yang periang dan menyenangkan ini dari sejak berumur lima tahun sangat menyukai kupu-kupu. Semua barang yang dia miliki pasti bergambar kupu-kupu. Baik itu baju, tas, ikat rambut, juga sepatu. Bahkan setiap kali pelajaran menggambar, pasti menggambar kupu-kupu. Ayahnya yang menjadikannya sangat menyukai kupu-kupu. “Li, kupu-kupu itu hidupnya hanya sebentar, antara dua sampai empat minggu. Tapi kira-kira menurutmu Nak, bisa terbang ke mana saja kupu-kupu dengan waktu yang hanya sebentar itu?” pertanyaan itu yang selalu membuatnya penasaran. Apalagi ketika dia tahu bahwa asal muasal kupu-kupu adalah dari ulat yang berubah menjadi kepompong lalu menetas menjadi kupu-kupu bersayap nan manis. Selain itu banyak sekali hal yang diceritakan ayahnya yang membuat dia semakin jatuh cinta pada kupu-kupu. Termasuk salah satu misi untuk membuat tempat sejenis kebun, tempat ulat-ulat hijau hidup. Ayahnya ingin sekali dia menyaksikan langsung bagaimana proses metamorphosis pada ulatnya.

Pada saat Laili berusia 8 tahun, ayahnya pergi pamit untuk bekerja sangat jauh katanya. Laili dan Ibunya tidak bisa ikut. Namun yang membuat Laili bingung dan sedih pada saat itu, ibunya hanya terlihat diam dengan wajah seperti memendam marah. Rasa marah yang bercampur aduk dengan sedih. Dia tidak berani berkata apa-apa, saat itu dia hanya fokus pada sang ayah dan meminta ayahnya agar segera kembali. Dia memeluk erat ayahnya sambil memanjatkan doa dalam hati. Ayahnya berjanji akan pulang jika kepompong di kebun kecil mereka itu sudah banyak.

Sejak saat itulah Laili hanya seorang diri mengumpulkan ulat-ulat hijau. Ulat-ulat itu dia dapatkan dari kebun-kebun pinggir jalan atau pohon jeruk milik tetangganya. Lalu dia pindahkan ke tempat yang dia buat dengan ayahnya. Tempat itu mereka beri nama cacaka. Dalam bahasa Sunda cacaka artinya kepompong. Tak sedikit orang yang aneh pada Laili, karena kebiasannya mengumpulkan ulat, karena menurut beberapa orang ulat itu sangat menjijikan. Namun tidak sedikit juga teman-teman Laili yang membantu mencarikan ulat itu.

Setiap harinya dia saksikan ualat-ulat berubah menjadi kepompong. Dia bahagia sekali juga sangat sedih karena merindukan sang ayah. Tapi dia semangat ingin segera menunjukan banyak kepompong dan kupu-kupu cantik kelak pada ayahnya. Proses berubahnya ulat menjadi kepompong berbeda-beda ada yang satu sampai dua minggu. Begitu juga dari kepompong ke kupu-kupu, ada yang dua sampai tiga minggu. Selama itu pula dia menunggu ayahnya pulang. Sambil menanyakan kabarnya pada sang Ibu. Namun jawab ibunya tetap sama, tugasmu hanya mendoakan katanya. Dengan perasaan yang selalu sedih dan rindu dia tidak pernah berhenti memanjatkan doa. Berharap agar Tuhan Yang Maha Wening mengabulkan doa tulusnya.

Di suatu pagi yang cerah, Laili menghampiri ibunya yang berteriak kegirangan di kebun cacaka. Saat dia lihat tak disangka hampir tujuh puluh kupu-kupu keluar bersamaan dari kepompongnya. Dia memeluk ibunya dengan penuh rasa bahagia. Kupu-kupunya sangat indah sekali ada yang berwarna biru langit, kuning, merah ati, bahkan hijau tosca. Kupu-kupu yang sangat membuat dia bahagia adalah kupu-kupu bersayap putih. Namun sejenak dia duduk lalu menangis sejadi-jadinya. Ibunya sudah paham apa yang membuatnya bersedih. “Suatu saat ayah pasti datang,” kata ibunya menenangkan.

Semenjak itu dia tidak bersemangat lagi mengumpulkan kupu-kupu. Rasa sedihnya berubah menjadi rasa sakit hati karena sang ayah tidak juga datang dan mengingkari janjinya. Ibunya pun tidak bisa memberikan kejelasan apa-apa. Permintaan maaf ibunya pun hanya membuat dia semakin sedih. Kebun cacaka menjadi kering, tidak ada lagi bunga-bunga berwarna-warni tempat ulat-ulat hidup. Apalagi kupu-kupu yang manis berterbangan. Kini yang tinggal di sana hanyalah ranting-ranting yang dipenuhi kepompong kering. Tak ada yang indah. Sunyi.

Di ulang taunnya yang ke sembilan, dia kembali ke kebun cacaka. Saat menatap kepompong yang agak besar dan terbuka dia mendapat sebuah ide. Saat itu semangatnya seolah tumbuh lagi. Dia menulis sesuatu di kertas kecil lalu dimasukanlah ke kempompong. “Semoga kau bisa jadi kupu-kupu, dan bisa terbang mencari ayahku untuk menyampaikan rinduku.” Setiap hari hal itu dia lakukan sampai seluruh kepompong penuh dengan surat-surat kecil, sedangkan sang ibu hanya bisa menangis melihatnya. Apalagi saat Laili berkata bahwa dia yakin kertas-kertas itu akan jadi kupu-kupu.

Tak disangka suatu hari benar saja, ada sebuah kepompong yang kertasnya hilang. Laili mencari kesana kemari. Di sekeliling kebun cacaka pun tidak ada. Namun saat dia menoleh ke belakang ada ayahnya datang kembali. Dia langsung berlari dan memeluknya. Ayahnya menangis sambil meminta maaf tiada henti, karena katanya sudah membuat salah dan membuat ibunya terluka. Sehingga harus pergi. Ibunya ikut menghampiri. Mereka kembali berkumpul bahagia. Saat Laili menatap ke langit, dia menangis terharu. Ada kupu-kupu kertas terbang dikelilingi cahaya yang sangat indah.