Lompat ke isi

Cahaya

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Bunga dan Putik adalah dua orang anak yang sedang sama-sama belajar tentang cahaya kehidupan.

Cerpen[sunting]

Putik namanya. Dia tetanggaku, tapi bukan teman apalagi sahabatku. Umurnya sama denganku, 11 tahun. Berikut dengan hari ulang tahun yang sama pula. Nama pun sedikit senada. Namaku Bunga. Tapi dari nama saja sudah terlihat jelas bukan, bahwa aku yang lebih sempurna. Putik adalah bagian dari bunga. Setiap bunga memiliki putik, tapi putik saja tidak bisa disebut bunga. Hal ini bisa terjadi karena ibu kami bersahabat. Mereka dari sejak dulu sepakat untuk memberi nama yang mirip. Sampai kapan pun biarkan mereka saja yang bersahabat. Aku tidak mau.

Putik tidak sama sepertiku dan teman-teman yang lainnya. Dia aneh. Bahkan aku sangat tidak suka dengannya. Beberapa kali saat aku sedang bermain dengan Arum, Asih, dan Nala, dia selalu menghampiri dan ingin ikut bermain. Aku langsung saja berteriak sambil mendorong badannya. Arum dan yang lain pun ikut meneriakinya agar dia pergi. Setelah itu pasti Ibu berlari dari dalam rumah lalu balik memarahi kami. Tanpa sandal, Ibu berlari ke rumah Putik untuk meminta maaf pada Ibunya. Kesal sekali, adegan itu selalu diakhiri dengan memeluk Putik. Bisa-bisanya Ibu memeluk anak seaneh itu.

           Bagaimana tidak aneh, kelakuannya sungguh membuat berpikir dua kali untuk berteman dengannya. Kata orang-orang ayahnya pergi saat dia berumur 2 tahun. Dia tinggal bersama Ibunya yang bekerja sebagai penjahit. Tuh kan ayahnya saja pergi, tidak aneh jika banyak orang yang menjauhinya. Bicaranya tidak jelas. Sering sekali mengulang-ngulang kata atau pembicaraan. Apalagi jika kata itu sangat disukainya. Pernah saat di acara ulang tahunku yang ke 9, dia merusak acaranya. “Balon…! Balon…! Terbang…! Jangan..! Balon…! Langit…!” katanya sambil berteriak dan melompat-lompat seolah ingin mengambil balonnya. Meski sudah dilarang oleh ibunya dia tetap saja melompat. Hingga kue ulang tahunku tersandung dan jatuh olehnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Benar-benar hari yang tidak akan terlupakan dan tidak akan aku maafkan.

           Untung saja kami tidak satu sekolah. Terbayang bagaimana malunya jika hal itu terjadi. Sebab pasti Ibu akan menyuruhku untuk pergi dan pulang bersamanya. Kata Ibu dia sekolah di tempat khusus. Aku malah bingung, kenapa ada sekolah yang menerimanya. Apakah gurunya tidak kerepotan? Teman-temannya banyak atau sedikit? Memang ada ya yang mau berteman? Itu yang selalu aku tanyakan pada Ibu. “Putik itu tidak seperti yang kamu bayangkan, Nak. Dia pintar dan cerdas. Di sekolahnya termasuk siswi yang berprestasi. Sesekali kita main yu ke rumahnya. Ngobrol lebih santai, biar kamu juga lebih mengenalnya. Asik pokoknya, Putik anak yang sholehah.” Itu yang selalu Ibu bilang selama ini. Tapi apapun yang ibu jelaskan aku tidak percaya. Aku tetap tidak suka Putik. Masih banyak teman-temanku yang perilakunya biasa saja dan normal.

           Mengejar kupu-kupu, menghitung bintang hingga larut malam, menari di pinggir jalan, dan mewarnai batu, bukankah itu bukan hal yang normal. Lagi-lagi hanya Ibunya dan ibuku yang selalu memakluminya. Seperti kemarin malam, dia membuat ulah lagi. Sampai-sampai banyak tetangga yang ke luar rumah. Saat ini sedang musim hujan, jadi jika malam hari selalu ada laron yang mengitari lampu-lampu luar rumah. Termasuk rumah Putik, bahkan laron di rumahnya lebih banyak. Bagaimana tidak, lampu di luar rumahnya sangat banyak. Aneh kan. Katanya dia takut gelap.

           Dari jendela kamar, aku mengintip dia yang sedang kegirangan melihat banyak laron mengitari lampu-lampunya. Aneh. Aku bahkan sangat geli dan jijik melihat laron-laron itu. Dia bertepuk tangan dan berputar-putar sambil ditemani Ibunya. Sesekali ibunya mengelus kepalanya. “Dongeng…! dongeng…!” katanya kencang. Dia tetap saja menari meski beberapa laron yang mati jatuh ke rambut ikalnya. Saat dia sedang menghitung laron tiba-tiba listrik di kampung kami mati. Dia menjerit sekencang-kencangnya lalu menangis. Saat beberapa tetangga mengingatkan untuk diam, dia malah menjerit semakin kencang. Ibuku segera menghampirinya dan kali ini aku tertarik untuk ikut.

           Ibu memeluknya, sedangkan ibunya memberinya beberapa lilin kecil yang menyala. Aku tidak menyangka dia takut gelap hingga seperti itu. Tangisannya berhenti saat lilin sudah di tangannya. Ternyata lilin itu bukan untuk meneranginya, tapi untuk menerangi laron-laron. Meski banyak yang sudah mati, masih ada banyak juga laron yang mendekati cahaya lilin. Sedangkan laron-laron lainnya berterbangan tak tentu arah. Tidak lama lilin-lilin itu mati. Kembali dia menjerit dan menangis. Ibuku memberinya lampu senter, tapi tidak lama karena baterainya habis.

           Dia menjerit sambil berlari-berlari dan menjadi tontonan banyak orang. Ibunya berusaha mengejar sambil menangis. Tidak sedikit orang yang berbisik dan menertawakan. “Bintang…! Bintang..! Bulan..! Mereka mati! Mati! Jangan! Cahaya!” katanya sambil duduk di jalan dan menatap langit. Ibunya memeluknya dengan erat. Tapi dilepaskanlah pelukan ibunya dan dia kembali berlari ke rumahnya. Lalu dia kembali ke luar dan duduk di tempat yang sama. Dari tas biru nan lusuh miliknya, dia mengeluarkan Al-Qur’an lalu mengaji. Aku tidak menyangka, dan sepertinya orang-orang juga. Dia melantunkan ayat-ayat suci dengan begitu lancarnya. Ibunya dan ibuku menangis. Lalu seketika laron-laron itu berterbangan mengelilinya yang tiba-tiba diliputi banyak cahaya. Indah.

           Putik namanya. Dia tetanggaku, tapi bukan teman apalagi sahabatku. Namun kini dia menjadi salah satu cahaya bagi hatiku dan orang-orang banyak. Untuk lebih bisa menghargai perbedaan.