Lompat ke isi

Cerita Kucing

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis

[sunting]

Seekor kucing tinggal bersama dengan dua mahluk dari spesies lain, Kucing ini ingin membagikan sesuatu yang Ia dapat selama menjadi saksi dalam dinamika hubungan di antara kedua mahluk lain tersebut.

Lakon

[sunting]
  1. Seekor kucing
  2. Mahluk Besar dan Mahluk Kecil

Cerita Pendek

[sunting]

Identitas

[sunting]

“Cing”

….

“Cing”

….

“KUCINGGG!!!”

HUH. Suara melengking itu lagi-lagi menusuk telingaku. Aku jadi terpaksa membuka mata dan bertatapan dengan si pembuat lengkingan barusan. Aku meregangkan badan sambil menguap. Mahluk yang berada di hadapanku memasang ekspresi yang tidak aku mengerti. Sejujurnya, aku memang tidak pernah mengerti ekspresi apa pun yang dibuat oleh mahluk-mahluk di sekitarku termasuk mahluk satu ini. Aku hanya bisa ‘merasakan’ emosi yang menguar dari tubuh mereka. Kemampuan merasakan yang demikian itu kerap disejajarkan dengan insting atau naluri yang dimiliki dalam dosis tinggi oleh spesies tertentu semisal hewan sepertiku.

Pencerita

Ah, iya. Aku lupa memperkenalkan diri. Aku adalah hewan mamalia pemakan daging yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Singa, Harimau, atau pun Macan. Bisa dibilang aku adalah jenis terkecil di dalam kerabat perkucingan. Aku memiliki bulu dengan warna campuran antara putih, hitam, dan coklat seperti yang terlihat di foto samping.  

Di Indonesia, mayoritas orang akan menyebutku Kucing Kampung atau Kucing Jawa sedangkan di luar negeri aku lebih dikenal dengan nama Moggy. Sementara itu, nama ilmiah yang diberikan untukku adalah Felis Catus dan aku termasuk ke dalam ras Brown Mackeral Tabby with Gray-Brown. Saat ini aku tinggal bersama dua mahluk lain. Kedua mahluk ini sangat mirip. Mereka berdiri dengan kedua kaki yang panjang juga mengeluarkan suara serta ekspresi yang asing bagiku. Perbedaan mencolok di antara mereka hanya soal ukuran tubuh. Mahluk yang satu lebih besar dan tinggi dari mahluk yang lain. Aku kerap mendengar mahluk yang lebih kecil memanggil “Mama” kepada mahluk yang lebih besar, namun, aku tidak tahu banyak soal arti dari panggilan itu. Sama seperti aku tidak tahu banyak soal panggilan “Putri” yang diucapkan oleh mahluk yang lebih besar ketika mencari keberadaan mahluk yang lebih kecil atau bahkan soal panggilan “Kucing” yang keduanya tujukan padaku.

Pergolakan

[sunting]

Sejauh ini interaksiku dengan kedua mahluk itu cukup baik kendati di saat-saat tertentu, sebagaimana yang kuceritakan di awal, si Mahluk Kecil kerap mengusikku. Beruntungnya, aku tidak pernah menerima sesuatu yang lebih buruk dari lengkingan si Mahluk Kecil sejak pertama kali Mahluk Besar membawaku ke tempat ini. Sebaliknya, mereka cenderung menguarkan emosi menyenangkan ketika aku muncul di hadapan mereka atau ketika mereka muncul di hadapanku. Akan tetapi, ketika kedua mahluk itu berhadapan satu sama lain, emosi yang kutangkap di antara mereka justru malah mengarah pada kemuraman.

Seringkali kemuraman itu berubah menjadi tetesan air yang membasahi wajah keduanya, aku yang menyaksikan peristiwa itu tanpa sadar ikut merasa sesak. “Cing, hari ini Putri dimarahi lagi sama Bapak Guru. Bapak Guru bilang Putri bodoh karena masih tidak bisa berhitung dan menulis. Putri takut Bapak Guru melapor ke Mama.” Si Mahluk Kecil yang sedari tadi di depanku mulai bersuara. “Kalau Bapak Guru betulan melapor ke Mama, pasti Mama bakal tambah benci sama Putri,” Mahluk Kecil melanjutkan dengan suara yang kian lirih. Mahluk Kecil lalu menatapku lekat, seolah menunggu tanggapan atas ujarannya. Aku memberinya tanggapan berupa kedikan telinga sebanyak dua kali. Melihat tanggapanku Mahluk Kecil lantas mengelus ringan dagu dan atas kepalaku sembari menyambung “Kalau Mama tambah benci sama Putri, apa nanti Putri bakal ditinggalin sama Mama ya, Cing? Kayak yang Putri denger dari temen-temen di sekolah.”

Mahluk Kecil tidak lagi menatapku, alih-alih, Ia menatap lurus langit-langit ruangan yang dipenuhi warna biru cerah dan beberapa gumpalan putih. Beberapa waktu kemudian Mahluk Kecil beranjak dari posisinya. Kukira Ia pindah ke ruangan lain tetapi ternyata Ia kembali dengan membawa sejumlah benda. Ada benda putih yang tipis dan berbentuk persegi panjang, kotak berisi kayu-kayu kecil berwarna-warni yang runcing di tiap ujungnya dan satu kotak lain yang tidak bisa kujelaskan apa isinya.  Mahluk Kecil mengambil posisi yang nyaris sama seperti posisinya semula dan mulai menggunakan benda-benda yang Ia bawa. Baru kali ini aku melihat aktivitas ini dilakukan oleh si Mahluk Kecil. Biasanya, setelah Ia selesai membuat suara-suara separuh lirih itu Ia akan sibuk memainkan benda-benda yang perawakannya menyerupaiku. Sesekali si Mahluk Kecil akan mengangkat benda putih yang tipis itu lalu mendekatkannya pada wajahku. Ia juga membuat suara berulang “Bagus, kan, Cing?” setiap melakukannya sedangkan aku menanggapinya dengan membuat suara “Mreoong”. Aku dan si Mahluk Kecil tenggelam dalam aktivitas itu sampai kantuk menjemput kami.

Aku terbangun ketika mendengar derap langkah. Itu adalah derap langkah yang selalu dan hanya ku dengar dari si Mahluk Besar. Sosoknya muncul tak lama kemudian. Mahluk Besar menempatkan dirinya di dekatku dan menepuk lembut sisi badanku sejenak. Fokusnya sekarang beralih kepada Mahluk Kecil yang rebah di sebelahku. Mahluk Besar mengelus kepala si Mahluk Kecil lalu mendaratkan kecupan di semua titik wajahnya. Pandangan Mahluk Besar selanjutnya jatuh ke benda tipis yang ada di antara aku dan Mahluk Kecil. Ia mengambil dan menatap benda itu dalam waktu yang lama. Aku merasakan emosi pilu perlahan menguar dari tubuh Mahluk Besar. Emosi itu lagi-lagi mengundang kuyup di sepanjang garis matanya. “Mama enggak pernah… enggak pernah sama sekali benci sama Putri. Mama.. Mama justru sayang sama Putri. Sayang banget.”

Suara Mahluk Besar pecah dengan begitu parau. Seolah segala kemuraman yang ditutupinya selama ini tersibak tanpa bisa Ia cegah. Aku menyisihkan diri ke atas kusen jendela yang terbuka setengah. Menyuguhkan pemandangan luar yang terdiri hanya dari kegelapan dan sorot benda angkasa yang jauh. “Maafin Mama yang egois ini ya… Mama marah sama Putri tanpa berusaha ngebantu Putri. Maafin Mama yang ngelampiasin beban Mama ke Putri… Maafin Mama.” Suara Mahluk Besar kembali membuatku memandanginya. Sekarang Ia sudah menggantikan posisiku dan mencoba memeluk si Mahluk Kecil dengan tubuhnya yang gemetar. Tindakannya itu mau tidak mau membuat si Mahluk Kecil terbangun dan menyemburkan rentetan tanya dalam kebingungan, “Mama, Mama kenapa nangis?”, “Mama sakit, ya?”, “Mama sakit apa?”

Tidak adanya jawaban dari Mahluk Besar mendorong inisiatif Mahluk Kecil untuk mendapat kesimpulan atas situasi yang melingkupinya saat ini semakin besar. “Mama, Mama kenapa? Apanya yang sakit, Ma? atau Mama nangis karena Pak Guru bilang tentang Putri ke Mama, ya?” “Putri minta maaf ya Ma, Mama jadi nangis karena Putri bodoh. Putri janji bakal belajar lebih giat jadi Mama jangan nangis lagi. Maafin Putri, Ma.” Mahluk Besar yang sudah cukup berhasil mengendalikan diri akhirnya membuka suara, “Putri, Putri enggak perlu minta maaf ke Mama karena Putri enggak punya salah sama Mama. Malah Mama yang mau minta dimaafin sama Putri. Maafin Mama yang suka marahin Putri. Maafin Mama yang enggak punya waktu buat Putri. Maafin Mama. Maafin Mama. Enggak apa-apa kalau Putri belum bisa berhitung atau baca yang penting Putri tetep mau belajar. Kalau mulai besok Mama juga mau ikut belajar bareng Putri boleh, ya?”

Kesimpulan

[sunting]

Aku tidak lagi mendengar kelanjutan suara antara kedua mahluk itu karena rasa kantuk yang mulai menyelimuti kesadaranku. Melegakan rasanya menyaksikan kehangatan yang terjalin di antara mereka. Aku mendapat pengetahuan baru yang sangat berharga dari peristiwa yang kusaksikan hari ini, yakni bahwa interaksi dalam spesies kedua mahluk itu memerlukan lebih dari sekadar berhadapan satu sama lain. Interaksi mereka juga membutuhkan penyampaian hal-hal yang terendap dalam hati dan pengertian untuk memahami satu sama lain. Mungkin saja penyebab si Mahluk Kecil belum bisa berhitung dan membaca selama ini karena Ia hanya diajarkan dalam interaksi yang tidak melibatkan pengertian si Bapak Guru di dalamnya dan begitu juga ketiadaan pengertian dalam interaksi antara si Mahluk Besar dan Mahluk Kecil selama ini. Yah.. itu mungkin saja, kan? Omong-omong aku sudah benar-benar nyaris terlelap. Aku tidur dahulu, ya. Selamat tidur dan mimpi indah untuk kalian semua.