Lompat ke isi

Ceritaku

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
                                                       Kisah Fatuleu

Sejauh mata memandang area pemukiman tertutup pepohonan sehingga orang tidak menyangka bahwa di antara pepohonan itu ada rumah-rumah warga. Menuju gunung Fatuleu Bai bercerita. “Katong ni pi Fatuleu.” Ku arahkan pandanganku kepada Bai, nama sapaan yang artinya Kakek. Rasa ingin tahuku pun tiba-tiba, “Dia pung Arti Bai, Kenapa dia pung gunung disebut Fatuleu?’ Pertanyaanku membuat Kakek seperti mengernyitkan keningnya. “Ini orang kuan pung bahasa. Dong bilang tu Tuik Nenok artinya pencakar langit. Ada lai yang omong batu keramat atau batu angker.” Jawab Kakek. Kurang lebih satu jam kami pun akhirnya sampai di tempat wisata Fatuleu. Lalu secepat kilat saya bertanya kepada penjaga gunung. “Pak, izin bertanya.” Sapaku. Penjaga gunung tersenyum dan dengan spontan menjawab, “Silakan”. Dialek Dawannya begitu kental. “Betul gunung ini keramat? Kalau keramat atau angker kenapa di buka secara umum?” belum di jawab sama penjaga gunung aku arahkan pandanganku, “Gunung yang disana tu gunung apa? Keramat juga makanya tidak dibuka untuk umum?” Petugas yang berjaga menggaruk kepalanya dan ditemani senyuman. “Begini Adi” penjaga menyapa dengan panggilan Adi. “Ini memang hanya gunung batu. Orang sini mengatakan gunung ini ‘Tuik Nenok’ artinya pencakar langit. Yang kecil sebelum gunung ini namanya Fatu Skau Ana artinya batu gendong anak.” Penjaga Gunung Fatuleu menjelaskan. “Kenapa tidak ada disinggung Fatuleu?” Rasa ingin tahuku pun semakin menjadi-jadi. Sementara Kakek dan keluargaku sudah di dampingi petugas yang lain untuk mendaki. Aku memilih duduk di tempat duduk yang disiapkan oleh pengelola wisata ini. Penjaga gunung bergegas masuk kantor dan kembali membawa buku panduan dimana ada latar belakang gunung Fatuleu. “Aku lebih nyaman dan enak kalau Bapak yang jelaskan.” Ketika penjaga gunung datang menyerahkan buku panduan Gunung Fatuleu. Kemudian penjaga itu pun duduk di sampingku. “Sejak dahulu sudah dinamakan Fatuleu. Katanya dulu di puncak gunung Fatuleu, ada batu yang kecil tumbuh sebuah pohon ajaib dan bermacam tanaman di atasnya. Ketika seseorang membutuhkannya untuk pengobatan dan ingin memiliki sejenis tanaman yang ada itu, maka Ia harus melakukan perjuangan ekstra yang sangat sukar. Begitu beratnya perjuangan untuk mencapai puncak dan ada kalanya disaat sampai di atas tanaman itu tidak ada. Maka orang tersebut memilih untuk bertapa di bawah gunung yang kecil yang di dalamnya ada gua yang besar. Memang tidak salah jika di lihat dari jauh selayang pandang gunung itu menyerupai seorang ibu yang menggendong anak.” Penjaga menjelaskan secara perlahan. “Selanjutnya?” aku bertanya kembali. “Fatu itu artinya Batu, dan Leu artinya obat. Jadi Fatuleu itu artinya Batu yang berkhasiat untuk menyembuhkan.” Jawaban singkat dari penjaga gunung Fatuleu. “Terus kenapa disebut keramat atau angker? memang anak kecil yang bertanya pasti membuat pusing penjaga?” sahutku kemudian. “Mungkin pada saat itu tidak semua orang bisa mencapai puncak. Orang yang bisa mencapai puncak hanyalah mereka yang beruntung yang bisa menemukan pohon ajaib itu, dan kalau lagi bernasib sial orang itu hanya menemukan beberapa pohon biasa yang tidak mempunyai khasiat. Banyak orang yang mencapai puncak gunung tetapi tidak mendapatkan pohon yang dimaksud. Itulah mungkin awal mula disebut angker.” Penjelasan yang disampaikan oleh penjaga itu membuat kepalaku menganguk-angguk. “Kalau sekarang dari pengalaman Bapak sebagai penjaga gunung adakah hari-hari tertentu yang membuat bulu kuduk merinding di saat dapat jaga malam?” belum habis pertanyaanku Kakek dan keluargaku sudah turun. “Wah wartawan tembak ini belum selesai ya wawancaranya?” Mama yang tadinya diam sekarang bertanya. "Ah Mama ada-ada saja." Jawabku. “Pertanyaan Adi tadi memang harus di jawab supaya kalau pulang tidak penasaran lagi.” Penjaga gunung Fatuleu melanjutkan diskusi kami. Sementara Mama, Kakek sudah menuju lopo-lopo yang ada di sekitar kaki gunung. “Lanjutkan” Kakek berjalan seraya melambaikan tangan. “Semuanya berjalan biasa-biasa saja karena saya adalah asli orang Fatuleu. Rumah saya sekitar 10 menit kalau jalan kaki dari tempat ini ke arah timur. Penduduk atau masyarakat setempat dahulu itu memang menamai tempat ini keramat dan angker. Mereka menyebutnya Tuik Neok dan Fatu Skau Ana. Yang nama populernya adalah Fatuleu dimana dianggap batu itu adalah batu keramat dan angker. Oleh sebab itulah masyarakat sekitar mereka membuat ungkapan lewat Natoni atau basan Lemban Tuik Neno Ma Fatsam Naifalo Timban Nai Nob Faut Peas Ben Tum. Yang artinya Fatuleu merupakan lambang keagungan dan kepercayaan.” Bapak penjaga gunung menjelaskan seraya tangannya menunjuk ke arah gunung Fatuleu yang ada di depan kami. “Bapak dari tadi kita bercerita tentang ini gunung sedangkan Bapak dan Aku belum berkenalan.” Tangan kuulurkan dan kemudian kami bersalaman, “Anto”. Aku perkenalkan diri dan Bapak itu menyebutkan namanya “Agustinus”. “Kalau pesan yang Bapak Agus dapatkan dari cerita ini apa?” Lagi-lagi masih ada saja pertanyaan yang kusampaikan. “Pesannya tidak ada gunung yang keramat atau angker, semuanya jika dilakukan sesuai dengan maunya alam, maka kita pasti dapatkan kedamaian. Namun, disaat kita mendaki lalu kita mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas atau takabur maka ada saatnya alam berbicara dengan kita melalui teguran. Teguran bisa saja jatuh tiba-tiba, atau terkilir dan sebagainya. Selama saya bekerja sebagai penjaga gunung ini belum pernah hal-hal mistik yang terjadi. Kenapa, karena saya dan pecinta gunung ini mengikuti aturan alam.” Pesan ini dalam maknanya di hatiku. Kemudian aku pun pamit, mengucapkan terima kasih atas penjelasan yang diberikan oleh Bapak Agustinus. Aku berlari ke keluarga ku yang sedang menikmati pemandangan gunung fatuleu seraya menikmati pisang goreng dan Ubi bakar. Fatuleu punya cerita.

Sumber Sejarah Gunung Fatuleu Kabupaten Kupang, https://poskupangwiki.tribunnews.com/2021/03/19/cerita-rakyat-ntt-tuik-nenol-dan-skau-ana-sejarah-gunung-fatuleu-kabupaten-kupang?page=all.