Cermin
klik..klak..klik..klakk..
Jam berdetak mengisi kehampaan yang ku benci
"Ahhhhh, berisik banget si"
Aku menarik sisi kanan bantalku untuk menutup telinga dan membalik tubuhku ke arah kiri menghadap dinding.
Tuk..tukk..tuk..
Tetes demi tetes jatuh perlahan terasa membisingkan
"Ahhhhhhhh, BERISIK!"
Aku bangun dari posisi tidurku dan mendudukan diri di tempat tidur. Lalu, mengacak-ngacak rambutku karena frustasi tidak bisa tidur.
Aku mengambil ponselku di nakas samping tempat tidur, tak lupa juga menyalakan lampu tidur yang berada di samping ponselku. Aku membuka layar kunci yang ada di ponsel dan waktu menunjukkan pukul 00.31. Sudah lewat tengah malam, tetapi tetap saja jariku langsung dengan lincah membuka folder aplikasi sosial media di ponselku. Aku memilih membuka aplikasi Instagram. Postingan teman-temanku langsung bermunculan di beranda. Aku menggerakan jariku untuk melihat postingan-postingan mereka. Dan jariku berhenti di postingan teman dekatku dari SMA dulu, Rachel. Dia memposting foto dirinya yang sedang berada di New York, Amerika Serikat. Kabarnya, dia sedang mengikuti program pertukaran mahasiswa.
"Ah..iri sekali.."
Andai saja, aku menguasai bahasa Inggris dengan baik.
"Hahahahahahah, mustahil banget ga si, buat ngomong aja masih terbata-bata, anak kecil disana juga pasti lebih lancar daripada aku"
Rachel juga orangnya cantik, baik, pintar dan penuh aura positif. Tentu saja berbanding terbalik denganku, udah jelek bodoh lagi. Aku jadi teringat sebuah kejadian dimana aku salah menjawab sebuah pertanyaan dari seorang guru saat SMA dulu. Aku yang bodoh ini salah menjawab pertanyaan dan semua orang di kelas kecuali Rachel, menertawakanku. Bahkan sang guru pun ikut menertawakanku. Beliau pun menunjuk Rachel untuk menjawab pertanyaan darinya. Yah, seperti tebakan kalian. Dia menjawab pertanyaan dari Beliau dengan tepat. Semua orang berdecak kagum akan jawaban Rachel. Bahkan, ada yang nyeletuk “Yah, itulah perbedaan calon orang miskin dan orang kaya". Dan mereka semua kecuali Rachel, menertawakanku lagi. Kenangan yang pahit memang. Rasanya ingin menghilang saat itu juga. Saat itu tidak ada yang peduli dan sadar dengan diriku kecuali, Rachel. Dia melayangkan senyum terpaksanya seakan bilang “Hei, gapapa".
Rachel si pintar, berkali-kali juara kelas. Selain juara kelas, dia banyak mengukir prestasi di luar sekolah. Si Ratu Debat Bahasa Inggris. Teman sekelas menyenanginya. Guru-guru juga bangga dengan Rachel. Aku pun bangga dengan teman sebangku ku ini. Hanya saja aku iri, ingin juga berada di posisi dia. Dimana orang-orang akan menyenangiku karena otakku encer dan cepat tanggap. Penuh percaya diri, ramah, rajin, dan tetap gaul. Si pintar paket lengkap. Ahhh, enaknya kalo aku jadi Rachel. Aku pun mengambil buku rapot ku dulu saat SMA yang ada di rak buku dekat nakas. Aku membuka rapot tersebut dan membalikkan halamannya. Ugh, pantas saja aku ditertawakan. Aku sangat bodoh. Nilaiku anjlok. Jauh sekali dengan Rachel yang juara kelas. Aku bodoh dan semua orang tau akan hal itu. Aku kembali mengambil handphone-ku dan menekan tombol suka di postingan-nya tak lupa meninggalkan komentar yang manis untuk Rachel.
Aku men-scroll halaman beranda Instagram lagi dan muncul postingan teman sekampusku. Si Primadona kampus, Kirana namanya. Dia memposting foto bersama pacarnya, yang primadona kampus juga. Kirana memiliki kulit seputih susu, alis tebal, hidung mancung, bibir merah muda, dan badan yang ideal. Ku dengar dia sudah menolak puluhan laki-laki yang ada di kampus ku. Dan setelah berkali-kali gonta-ganti pacar, dia pun memutuskan bersama pacarnya saat ini. Si Ganteng dan Si Cantik. Sungguh perpaduan yang pas. Iri banget deh, batinku. Mendapat ketenaran hanya karena cantik. Bisa memilih laki-laki mana saja untuk dipacari karena dia cantik. Para dosen juga menyenangi dia karena cantik.
Sungguh indah hidup Kirana.
Aku iri sekali. Kirana memiliki kisah cinta di kehidupan kampus, sedangkan aku hambar. Laki-laki manapun betah melirik Kirana lama-lama, sedangkan Aku melirik pun mereka enggan. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan menyalakan lampu kamarku. Lalu, aku berdiri di depan cermin. Aku melihat kulitku yang sawo matang, mataku yang sayu, hidungku yang pesek dan besar, bekas jerawat di wajahku ada di mana-mana dan badanku yang jauh dari kata ideal. Tentu saja, tidak ada yang melirik diriku. Aku sangat jelek. Siapa pun yang pernah melihatku pasti setuju dengan pernyataanku ini. Aku memutar tubuhku agar bisa melihat semua sisi tubuhku. Sangat tidak menarik. Pantas saja, tidak ada yang menyukaiku, Aku jelek dan tidak menarik. Berbanding terbalik dengan Kirana yang bercahaya. Semua sisi tubuhnya cantik dan menarik. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, semuanya menarik. Tidak ada yang bosan melihatnya. Semua mata pasti tertuju pada Kirana.
Aku kembali melihat layar handphone-ku dan menekan tanda suka di postingan-nya. Jariku dengan aktif segera men-scroll dan melihat postingan yang lain. Muncul satu postingan yang membuatku berkata “wahh". Itu postingan Rebecca, salah satu teman satu SMP ku dulu. Dia memposting dua foto. Foto pertama, Rebecca berendam dalam Jacuzzi sambil memegang segelas wine. Foto kedua adalah foto dirinya menghadap cermin sambil memakai busana dan tas mewah yang harganya selangit. Rebecca berprofesi sebagai selebgram atau istilah lainnya Influencer. Postingan Rebecca di Instagram tidak jauh dari liburan dan pesta. Kehidupannya tampak menyenangkan dan selalu dikelilingi barang-barang mewah. Dalam satu minggu, Rebecca bisa mengunjungi 2-3 negara. Hanya untuk bersenangsenang. Hartanya seperti tidak akan habis. Padahal, Rebecca juga sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta. Dengar-dengar dari temanku yang juga sekampus dengan Rebecca, IP Rebecca selalu bagus dan stabil setiap semesternya. Bagaimana mungkin orang yang kerjaannya selalu liburan dan berpesta juga berprestasi dalam akademik?
Aku jadi iri. IP-ku mengalami penurunan karena aku mengambil kerja part-time di sebuah Kafe. Sedangkan Rebecca yang kerjaannya hanya bersenang-senang saja, tapi IP-nya bisa stabil. Bagaimana bisa? Rebecca memang orang yang sangat memperhatikan pendidikannya.Tetapi, dia bisa menyeimbangkan kehidupannya yang glamour dengan kewajibannya sebagai seorang mahasiswi. Aku tidak sekaya Rebecca yang bebas ingin kemana saja dan kapan saja.Untuk makan saja, aku harus berpikir bagaimana caranya supaya hemat. Tidak seperti Rebecca yang bebas memilih menu apa saja entah murah atau mahal dari restoran favoritnya. Aku bekerja sore sampai malam hanya untuk mencari tambahan uang saku. Tidak seperti Rebecca yang tidak mungkin pusing dengan berapa sisa uang yang Ia miliki.
Aku bertahan hidup merantau di kota orang seorang diri. Tidak seperti Rebecca yang dilayani oleh pelayan-pelayannya. Aku mengikuti kuliah daring dengan rasa kantuk yang luar biasa karena lelah bekerja. Tidak seperti Rebecca yang mengikuti kuliah daring dengan santai karena sambil liburan di pantai. Kehidupan Rebecca sangat menarik. Aku ingin tahu bagaimana rasanya memiliki harta sebanyak yang dia miliki. Aku kembali tersadar dan menekan tombol suka pada postingan-nya.
Aku iri. Mengapa tuhan tidak seadil itu? Aku tidak pintar seperti Rachel, tidak cantik seperti Kirana dan tidak kaya seperti Rebecca. Aku mengalami banyak kesulitan karena tidak seperti mereka. Aku jauh berada di bawah standar yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Aku tidak memiliki kelebihan dan memiliki banyak kekurangan. Aku adalah produk gagal. Aku kembali menghadap cermin. Melihat diriku bercermin. Mengambil lipstik merahku di atas meja rias dan menuliskan sesuatu. Ini adalah cermin dan aku adalah manusia gagal.
Aku menjatuhkan lipstik-ku. Tangisanku pecah. Aku merasa menjadi manusia paling tidak berguna sekarang. Aku melihat diriku yang ada di cermin. Berantakan sekali. Aku terduduk lemas. Apakah hanya aku seorang yang tidak mempunyai kelebihan? Apakah aku memang diciptakan penuh kekurangan? Aku benci diriku. Aku benci diriku karena tidak bisa apa-apa.
Cerminku tampak bercahaya terang. Aku kaget sekali. Cermin itu menunjukkan sesuatu. Itu aku. Yang ditampilkan dalam cermin. Aku tau ini seperti mimpi dan tampak tidak masuk akal. Namun, ini terjadi. Cermin itu menampilkan diriku beberapa bulan yang lalu. Saat aku pulang dari kerjaan part timeku. Aku yang sudah lelah ingin merebahkan diri di kasur namun, aku teringat tugas yang diberikan di siang hari. Aku segera menyalakan laptop-ku dan mengerjakan tugas. Aku mengerjakannya sampai larut dan menahan rasa kantuk yang menyerang. Setelah selesai, aku membersihkan diri dan kamar kos ku.
Aku menghitung sisa uang yang aku miliki hari itu. Aku sangat bekerja keras dalam menyeimbangkan akademik dan kerjaan. Cermin menampilkan hal lain lagi. Kali ini adalah saat pertama kali aku belajar menggunakan make up. Memang agak berantakan, tapi aku menyukai hasil akhirnya. Aku tampak cantik. Aku tersenyum lebar. Senyumanku ternyata manis juga. Aku tidak sejelek yang ku bayangkan. Aku lumayan cantik.
Cermin berubah lagi. Kali ini cermin menunjukkan saat diriku menerima gaji pertama part time-ku. Aku tampak bahagia. Aku meloncat kegirangan dan memeluk amplop gajiku di dalam kamar ini. Lalu, aku berandai-andai ingin membeli hal apa pun sebagai penghargaan terhadap diriku. Yah, tentu saja hanya berandai-andai. Aku tidak se-nekat itu. Aku bahagia mendapat gaji pertamaku dan aku sangat bersyukur.
Cermin pun kembali menampilkan bayanganku. Sepertinya, cermin ingin menunjukkan kalau Aku tidak perlu pintar seperti Rachel, tidak perlu cantik seperti Kirana, dan tidak perlu kaya seperti Rebecca untuk menjadi bahagia. Cermin menunjukkan aku dapat bahagia dengan caraku sendiri. Start yang kami mulai pun berbeda-beda. Aku tidak perlu membandingkan diriku dengan orang lain karena jalan yang ditelusuri memang berbeda. Hidup itu seperti menumpang kereta. Semua penumpang memiliki tujuan stasiun mereka masing-masing dan akan turun di stasiun tersebut saat kereta sampai. Aku tidak bisa membandingkan diriku karena tujuan semua orang berbeda.
Tuhan, tolong maafkan perkataanku tadi. Ternyata, aku memang mampu untuk membahagiakan diriku sendiri, tidak perlu validasi dari orang lain untuk menjadi bahagia.
Aku memang tidak sepintar Rachel, tidak secantik Kirana, dan tidak sekaya Rebecca. Persetan dengan standar yang diciptakan oleh masyarakat. Aku memiliki kekurangan dan aku menerimanya. Sebagai seorang manusia, aku sadar aku memiliki batas. Aku tidak bisa menuntut diriku untuk sempurna di berbagai hal.
Aku segera bangkit dan mengambil tisu lalu menghapus apa yang ku tulis di cermin tadi. Aku mengambil lipstik merahku yang jatuh di lantai tadi. Dan menuliskan Aku memang tidak sempurna. Aku tersenyum dan mengatakan “Tapi, Aku bangga dengan diriku dan akan berusaha memberikan yang terbaik sesuai apa yang aku bisa. pasti bisa!”