Cerpen Dilema Cinta di Negeri Melayu
Lakon:
[sunting]Saripah, Bujang, Nenek, Keluarga Saripah
Setting:
[sunting]===
[sunting]Kampung Melayu, Indragiri Hilir, Riau
Sinopsis:
[sunting]Saripah, gadis Melayu dari keluarga yang sangat menjunjung tinggi kebudayaan Melayu. Dihadapkan pada dilema sebab kekasihnya bernama Bujang merasa malu atas identitas Melayu. Bahkan tidak mau konsep pernikahannya menggunakan tradisi adat Melayu. Saripah bingung. Sebab, tidak mau kehilangan keduanya. tradisi Melayu amat ia cintai seperti ia mencintai kekasihnya, Bujang.
Cerpen
[sunting]Aku minta maaf, karena tiba-tiba pergi darimu. Bukan aku telah membencimu, hanya saja perpisahan ini harus mengajari untuk mencintai dirimu sendiri, bukan dengan menjadi orang lain. Sebenarnya permintaan ini cukup sederhana sekali, Aku ingin pernikahanku nanti dengannya dipenuhi dengan nuansa adat Melayu lengkap dengan segala keseniannya. Tetapi lelaki yang mencintaiku ini dan aku juga mencintainya sama sekali menolak keingananku. Padahal semua keluarganya sudah setuju, kecuali dia.
Permintaan Saripah
[sunting]“Bang, andai saja permintaan ini telah Abang penuhi, tentulah kita sudah lama duduk di pelaminan.” Ungkitku padanya pada suatu kesempatan, kata-kata ini sudah puluhan kali Aku sampaikan padanya. Tetapi dia tetap bersikeras mau memakai konsep pesta seperti orang kota yang jelas-jelas sudah banyak mengimpor budaya luar. “Hidup sudah modern Saripah, apakah kau tak mau pesta pernikahan kita menjadi sejarah pertama di kampung ini? “Tapi, bukan dengan cara seperti ini Abang, meninggalkan tradisi kita.” Bantahku. “Dengarlah apa kata Abang, kita sama sekali tidak meninggalkan tradisi, hanya mencoba sesuatu yang baru, apa salahnya kan?” Bantah kekasihku itu. Aku membuang muka. Ini sudah kesekian kalinya kami memperdebatkan rencana konsep pesta pernikahan. Sampai pertemuan yang kesekian ini, sama saja. Dia tak mengurungkan niat, padahal sudah hampir tujuh bulan kami mengulur-ngulur waktu pernikahan hanya karena dia tetap tidak mau mengikuti keinginanku. Aku sendiri tidak mungkin mengamini keinginannya juga, bagiku tradisi sudah tidak ada tawaran lagi, bersusah payah orang-orang terdahulu melahirkan dan memelihara tradisi adat resam budaya Melayu, malah sekarang di pesta pernikahanku mau dikonsepkan seperti pesta orang Barat sana, apa kata arwah nenek moyangku? Kalau bukan kita yang menjaga kecintaan pada khazanah negeri kita siapa lagi? Kita lahir, dibesarkan dan makan dari hasil alam negeri ini, lalu melupakan tradisinya, apa-apaan ini? “Aku kira, Abang akan luluh bersama waktu, ternyata Abang, begitu keras kepala.” Itu saja yang mampu keluar dari lisanku. Jujur saja, sikap kekasihku membuat malam-malam terasa sembab. “Saripah, di luar sana, orang Barat dan orang China sudah bisa berjalan ke bulan, sedangkan kita masih terkungkung pada tradisi seperti ini, kapan kita majunya?”. masih pertanyaan yang serupa dengan sebelumnya. “Abang, apakah kau kira dengan melestarikan kebudayaan negeri kita, bukan sebuah tanda kemajuan? Ini adalah cinta Bang, Jika pola pikir Abang masih seperti ini, berarti Abang yang kolot.” Bantahku. Dia mendongak ke langit yang mendung, hanya ada beberapa bintang berpijar. Tampaknya dia berpikir keras untuk kembali membantah jawabanku. Ternyata cinta bisa menjelma menjadi rumit, padahal tinggal selangkah lagi kami sudah bisa menyempurnakan cinta itu, dalam sebuah ikatan yang dicita-citakan semua perempuan Melayu sepertiku, tapi kali ini aku dihadapkan pada sebuah pilihan. Inilah yang disebut dilema cinta. Aku memang mencintai lelaki yang bernama Bujang ini, tetapi pada tradisi negeri, aku juga tidak boleh mengkhianatinya. Aku cinta pada keduanya. Untuk itu sampai sekarang berjuang untuk mendapatkan keduanya adalah sebuah pilihan tepat bagiku, meski harus terus berjuang meleburkan batu di pikirannya. Dan aku tidak boleh luruh dari pilihan ini. “Saripah, apakah kau tahu mengapa ketika kita tertidur, sedang menangis, dan di saat membayangkan sesuatu, semua kita lalui dengan memejamkan mata?” Aku bergeming. “Pertanyaan jebakan apa lagi ini” batinku. Melihatku tiada respon, puluhan detik selanjutnya, dia kembali bersuara. “Jawabannya adalah bahwa segala sesuatu keindahan itu tidak tampak melainkan dirasakan.” Aku mengatur napas sejenak sebelum membantahnya. “Apakah Abang juga lupa bahwa keindahan yang ada di dunia adalah hasil dari sesuatu yang tampak?” “Sudahlah Saripah, Abang tidak mau bertengkar hebat denganmu, kau harus tahu di kedalaman hati ini hanya namamu senantiasa bersenandung, aku tidak mau kehilangan dirimu.” Ucapnya meyakinkanku. “Bang, aku juga begitu padamu, bahkan terasa hebatnya cinta yang merajai hati, dalam kondisi seperti ini cintalah menguatkanku untuk bersabar menyikapi sikap Abang.” Aku tidak mau kalah. Sebenarnya tentang cinta kami, tidak ada dipermasalahkan dari perasaan, perkara yang ada hanya tinggal pada teknisnya saja, sudah tinggal selangkah lagi pun cinta itu mampu kami wujudkan menjadi sesuatu yang tampak hingga mampu melahirkan kembali keindahan-keindahan dunia. Awan melepaskan gundah, bulirnya jatuh serentak ke tanah. Aku pun beranjak pergi meninggalkannya, barangkali hujan akan mampu menghancurkan batu pikirannya. Ia melepasku dengan tatapan sendu.
Saripah Pergi
[sunting]Sekarang ini, aku berada di kampung Nenek. Sekitar enam jam waktu tempuh untuk bisa tiba di sini. Aku pergi tanpa pamit padanya, hanya menitipkan secarik kertas yang telah kutuliskan pesan. Dua hari lagi akan dilangsungkan pesta pernikahan sepupuku yang tinggal bersama Nenek, aku merasa sedih sebenarnya. Padahal dalam perencanaan pesta pernikahan, kamilah yang terlebih dahulu. Hanya karena perbedaan pendapat terkait konsep pesta, akhirnya pernikahan itu pun belum terwujud. Tentang yang menyentuh hatiku adalah konsep yang akan digunakan sepupuku ini, konsep yang aku cita-citakan dalam pesta pernikahan, apa lagi kalau bukan tradisi Melayu lengkap dengan keseniannya. Aku membayangkan betapa bahagianya jika aku yang berada pada posisi sepupuku itu. Teman-teman kuliahku yang dari luar Riau, tentunya akan senang melihat berbagai kesenian adat tradisi di negeriku ini, aku sudah berencana mengundang mereka yang berada di Palembang, Bengkulu, dan yang di pulau Jawa, untuk dapat hadir dipesta pernikahanku. Aku juga ingin mempromosikan bahwa negeri Melayu kaya akan budaya bukan hanya yang terdapat di Jawa atau belahan pulau lainnya. Nenek bercerita tentang tradisi dalam pernikahan Melayu, karena aku sendiri masih banyak yang belum kuketahui.
Tradisi Pernikahan Melayu Riau
[sunting]“Tradisi pertama yang dilakukan dalam tradisi nikah-kawin dalam budaya Melayu adalah merisik. Merisik itu sebenarnya semacam pekerjaan menyiasati sesuatu dengan secara hati-hati, sehingga tidak diketahui orang lain. Karena itu dalam merisik orang mencari keterangan secara sembunyi, tujuannya adalah agar tidak diketahui orang lain sebab kita akan merasa malu jika maksud tersebut diketahui orang banyak.” Dengan ucapan yang patah-patah, Nenek memaparkan penjelasannya.
“Merisik itu dilakukan pada siapa Nek?” tanyaku penasaran Nenek tidak segera menjawab, ia lebih memilih menguyah sirih terakhirnya. Hingga beberapa puluhan detik kemudian baru ia jawab. “Merisik itu dilakukan terhadap pihak anak gadis, yang diselediki adalah berbagai perkara tentang anak gadis itu, seperti keturunan, sifat, dan pergaulannya serta kaum kerabatnya.” Nenek bersemangat menceritakan tradisi ini padaku, sampai terbatuk-batuk beberapa kali. Untuk kasus merisik pada sepupuku ini, Nabila, tidak butuh waktu lama, meski pun dijodohkan dengan Pandi teman sekolahnya dulu tetapi, pihak keluarga mempelai lelaki sudah sangat mengenal Nabila dan keluarganya. “Timbangan merisik itu pokoknya merujuk pada kaidah-kaidah agama, adat, dan resam. Jika pihak yang dirisik dapat diterima atas dasar agama, adat yang bersendi syarak dan resam memelihara alam, maka tergolonglah dia sebagai orang baik-baik,” Nenek jeda sebentar, menarik napas panjang, lalu kembali menyambung ceritanya.
“Setidaknya dia menjalankan syariat, mengenal alur dan patut yaitu adat bergaul dan bermasyarakat serta arif membaca alam sekitar sebagai lambang kehidupan.” tutup Nenek
Saat aku tiba di sini, proses menisik sudah berlalu, proses tepak sirih juga sudah lewat, tepat tiga bulan yang lalu telah dilangsungkan proses pertunangan. Dan di sini aku baru tahu bahwa arti dari tunang itu adalah merindu, lebih tepatnya masa kerinduan bagi kedua calon suami isteri. Alamatlah Nayla selalu aku usik. Dia hanya tertawa bahagia. Dua hari lagi kenduri pernikahannya akan berlangsung. Sebenarnya aku juga ingin merasakan tawa itu, tapi entah kapan, sebab sampai sekarang kekasihku masih belum luluh. Aku berharap, sepulangku nanti dari sini, kekasihku sudah mengambil keputusan. Sebab, aku sudah memberikan dia pesan pada secarik kertas kemarin. tulisan itu aku buncahkan dari hati. Aku tidak bisa memutuskannya, dilema.
Surat Saripah
[sunting]Untuk kekasihku siang dan malam Aku minta maaf, karena tiba-tiba pergi darimu. Bukan aku telah membencimu, hanya saja perpisahan ini harus mengajari untuk mencintai dirimu sendiri, bukan dengan menjadi orang lain. Bujang, kau harus bangga dengan namamu, bahagia dengan identitas negerimu, dengan itu cintaku milikmu. Jika sampai sekarang kau belum mau menirami permintaanku, lalu sampai kapan Abang? sampai cinta kita habis terkikis dimakan bulan? Aku memang begitu mencintaimu dan katamu juga begitu mencintaiku, tetapi sampai detik ini, orang-orang meragukan kesungguhan cinta kita Abang, sebab cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang berani tegas untuk sebuah ikatan yang sah, bukan cinta namanya bila selalu terjadi keluh kesah di dalamnya. Aku mungkin adalah gadis Melayu yang kolot di matamu. Tapi inilah aku, anak bungsu di keluarga. Kami sangat menjunjung tinggi tradisi adat resam Melayu. Seandainya Abang malu dengan tradisi seperti ini, silahkan Abang mencari gadis lain yang bisa menikah dengan Abang tanpa harus memakai tradisi negeri kita. Keputusan terakhir ada padamu Bang, di sinilah cinta kita diuji kesetiaannya. Menetak-netak rasanya airmata mengalir, bagaimanapun juga aku harus berani mengancam kekasihku itu, lagi pula sudah malu rasanya pada keluarga, sudah tujuh bulan namun pernikahan itu belum jua kami wujudkan, sedangkan Nabila, hanya butuh proses empat bulan menjalani semuanya. Aku harus siap dengan segala akibatnya, termasuk berpisah dengannya. Terkadang cinta yang kita damba-dambakan adalah cinta yang tak bisa kita miliki. Meskipun di rumah nenek begitu ramai sanak keluarga yang datang, begitu juga penduduk setempat turut membantu segala persiapan kenduri yang akan dilangsungkan dua hari lagi, tetapi hatiku terasa begitu sepi, semoga dengan jarak seperti ini rindu menjadi kekuatan untuk menyatukan cinta kami.
Pertanyaan Nenek
[sunting]Nayla, tampak begitu cantik di hari pernikahannya, Pandi seolah tak mau kalah, hari ini dia begitu tampak gagah, sepertinya dia mengeluarkan semua energi cintanya untuk hari ini. Bak sepasang raja dan permaisuri, duduk bersanding di pelaminan. Nenek bisa dibilang orang ketiga paling bahagia setelah kedua mempelai, di hari tua seperti ini, melihat pernikahan cucu adalah dambaan seluruh nenek yang ada di dunia. Aku merasa malu sendiri jadinya.
“Saripah, kau kapan menikah Nak? kalau Bujang bersungguh-sungguh padamu, suruh saja segera datang melamar, Nenek juga ingin melihat pesta pernikahanmu seperti pesta Nayla. Sebelum nenek meninggal Nak.” Ucapan Nenek membangunkanku dari lamunan. Aku bingung harus menjawab apa pada Nenek, antara malu dan sedih bercampur jadi satu. Langsung saja kucium tangannya, dan memeluknya erat. Tangisku pecah, beruntung saja kami berada di bilik pengantin, di luar sana tentunya orang-orang bahagia menyaksikan Nayla dan Pandi, di dalam bilik ini aku begitu bersedih. Satu tangisan untuk dua permintaan, aku semakin dilema. Aku masih saja terus menangis, sebab tak tahu lagi bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Bujang, ditambah lagi pertanyaan nenek barusan, apa yang harus kukatakan padanya.? Nenek sepertinya mengerti perasaanku, dielus-elusnyalah kepalaku. Hanya karena perbedaan memandang tradisi, cinta begitu sulit kami satukan. Sebenarnya bukan hanya pada pesta pernikahan saja aku banyak berdebat dengan kekasihku itu, tetapi juga pada undangan pernikahan, kekasihku itu tidak mau namanya diundangan ditulis dengan kata “Bujang” padahal Bujang adalah nama aslinya. Dia mau namanya diganti sesuai dengan nama panggilan yang dipaksakan kepada teman-temannya, yaitu Dimas. Aku tidak mau, bagaimanapun nama dia di KTP adalah Bujang, dan ini adalah pemberian dari orang tua.
Kejutan Bujang
[sunting]Tiba-tiba pintu kamar ada yang mengetuk. Lalu masuklah Mak tima, tanteku yang merupakan anak pertama Nenek. Ada yang mau bertamu katanya. Aku dan nenek pun keluar. Betapa terkejutnya saat menyaksikan kehadiran Bujang dengan beberapa keluarganya. Di pesta pernikahan Nayla dan Pandi adalah hari dimana aku dilamar Bujang, dia telah berubah pikiran, bahkan dia berjanji padaku bahwa akan membuat sejarah di kampung kami nanti, dengan melangsungkan kenduri perkawinan yang sangat kental dengan tradisi Melayunya, menjadi sejarah pertama semenjak kampung ini berdiri. Dua minggu lagi pesta pernikahan itu akan kami langsungkan, bahagia tiada terkira, akhirnya kekasihku itu sudah tidak malu lagi dengan adat tradisi negerinya sendiri, bahkan dia sudah menyiapkan nama-nama Melayu untuk anak-anak kami nantinya. Dilema menjelma bahagia. “Alamak! betapa bahagia sangat hati ini, dapat mewujudkan cinta yang sesungguhnya. Cintaku pada kekasih mampu kurengkuh, dan cintaku pada tradisi negeri mampu terwujud.”