Lompat ke isi

Dakon dan Misteri Buku Rahasia

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Rara telah lama terobsesi untuk memecahkan misteri dakon di sekolah. Dia memerlukan bantuan Chandra untuk mengungkap misteri buku rahasia yang menjadi rumor. Chandra tidak percaya dengan rumor dakon tersebut dan tidak tertarik. Apakah misteri dakon ini akan terpecahkan ?

Lakon[sunting]

  1. Ratih (Rara)
  2. Chandra

Lokasi[sunting]

Sekolah

Cerita Pendek[sunting]

Rumor[sunting]

Hening, terlalu hening.

Udara malam ini hangat, namun heningnya tidak biasa. Jam dinding pun tidak terdengar detaknya, aneh, gumam Chandra yang bersandar di dinding krem usang sambil menunggu Rara. Perpustakaan ini ada di lantai paling atas dan tangga darurat jadi satu- satunya karena lorong utama ditutup setelah jam 8 malam. Walaupun lampunya tidak menyala, atmosfernya cukup terang oleh sinar bulan yang merasuk celah - celah jendela kaca dengan anggunnya. Irama pintu berderit yang biasanya akrab di telinga Chandra kini sunyi, nuansa redup dan aroma buku - buku berdebu membawa aura tidak bersahabat.

“Jika dimainkan di tengah malam sampai sebelum subuh, 14 kecik yang terkumpul tanpa putus di setiap lumbung akan menyingkap kilau buku rahasia !”

“Omong kosong !”, sentak Chandra.

“Apanya ?”, Rara berbisik.

“Astaga, bikin kaget ! Aku uda nunggu lama tahu”

“Sorry”, Rara terengah - engah. “Aku jaga - jaga semisal perlu rekam sesuatu, makanya nunggu baterai HP penuh. Hehe, mau permen jahe ?”. Permen yang sudah dikenal sejak zaman Hindia-Belanda itu memang cukup langka dijumpai sekarang, entah dari mana Rara mendapatkannya. Chandra hanya bengong memperhatikan tingkah Rara.



Rara itu seperti matahari : ceria, comel dan semangatnya berapi - api. Definisi karakter pemicu sakit kepala bagi Chandra. Rara juga populer sebagai “Sherlock kecil” di sekolah, jika ada misteri yang perlu dipecahkan, dia ahlinya.


“Terus dimana dakonnya ?”, Rara penasaran.

“Itu, di lemari kaca di ujung belakang”, kata Chandra sambil menunjuk. “Jam segini uda dikunci sih”.

“Tapi ada kuncinya kan ?”, Rara memastikan.

“Enggak”, jawab Chandra. “Itulah kenapa ada Miss Sherlock, pasti ada 1-2 alat aneh di tasnya yang bisa buka kuncinya kan ?”

“Hey !”, Rara protes.


Mereka berjalan melewati rak - rak buku raksasa yang nampaknya sudah puluhan tahun disini. Sesekali angin bersemilir membawa aroma khas buku - buku tua yang berdebu. Tak lama keduanya berhenti di depan lemari kaca besar dengan ukiran motif bunga di tepi kayunya.

“Ini ? Lima menit ya”. Clak ! suara kunci menggema di seluruh ruangan.

“Ternyata langsung kebuka”, gumam Rara bangga.

Chandra tercengang, “Fix, bakat maling professional”.

“Apa sih  !”, jawab Rara tersipu sambil meraih dakon di ujung belakang lemari.


Seketika keduanya terkesima lalu berujar bersamaan, “Bersinar !”

Permainan Pertama[sunting]

Dakon kepala naga dengan kecik berpendar emas

Papan dakonnya cukup besar, terbuat dari kayu merah kecoklatan, tekstur dan baunya seperti mahogani. Setiap sisi memiliki 7 lubang kecil dinamakan “sawah” dan 1 lubang besar di setiap ujung yang disebut “lumbung”. Lumbungnya dihiasi oleh pahatan kepala naga. Biji atau “kecik” dakonnya berpendar cahaya keemasan, seakan terbuat dari kaca kristal.

“Terus, tinggal main aja ? 14 biji tiap lumbung kan ?”

“Ya, supaya buku rahasianya kebuka”, Chandra ragu, “Jangan - jangan ini prank ?”, tambahnya panik.

“Terus kecik - kecik yang silau kaya kunang - kunang ini prank juga ? Ayo main !”


Mereka berjalan ke tengah ruangan. Lantainya sempurna untuk bermain, keramik putih luas tanpa meja maupun rak - rak buku yang menghalangi cahaya dari jendela - jendela kaca. Permainan dakon diawali dengan mengisi setiap sawah dengan 7 kecik. Rara memilih salah satu sawah di sisinya lalu bermain dengan memindahkan satu per satu kecik ke setiap sawah yang dilewati dan lumbungnya melawan arah jarum jam. Saat kecik terakhirnya jatuh di sawah yang berisi, Rara lanjut bermain dengan mengambil semua kecik dari sawah tersebut dan gilirannya berhenti ketika kecik terakhirnya jatuh di sawah kosong. Umumnya, pemain dengan isi lumbung terbanyak yang menang.

Rara dan Chandra bermain dakon.

“Giliranmu”, kata Rara

Chandra yang telah memperhitungkan posisi setiap kecik, mulai bermain.

“Kamu ga takut malem - malem gini ?”, Chandra penasaran.

“Takut apa ? hantu ?”

Oh, dia anak pemberani, pikir Chandra

“Takut kalah sama aku”, goda Chandra, “Aku udah 14 nih, giliranmu. Jangan lupa, Rara uda punya 11, cuma butuh 3 lalu harus berhenti”, Chandra mengingatkan

Rara mengisi lumbungnya dengan kecik ke-14 lalu berhenti sawah yang masih berisi. Chandra menepuk jidat.

“Aku sekarang uda hitung gimana supaya kita bisa selesai 14 kecik di setiap lumbung”, kata Chandra, “Ulang ya”. Chandra mengawali permainan kedua mereka.

“Ini jam berapa, masih ada waktu kan ?”, tanya Rara.

“Hampir subuh”.

“Ya ampun”, Rara tersentak, “Udah 14 nih aku”.


Kedua lumbung telah terisi 14 kecik, papan dakonnya lalu menyala dengan cahaya kuning keemasan layaknya obor. Keduanya menahan nafas sejenak karena terkesima. Rara berdiri girang, “Waktunya berburu !”. Chandra yang awalnya berpikir rumornya hanya isapan jempol, kini benar - benar tertarik. Mereka berjalan berlawanan arah untuk mencari bukunya.


Chandra memeriksa setiap rak buku dengan teliti. Aroma buku - buku tua berdebu menusuk dada Chandra, kenapa mendadak dingin ? pikirnya. Tangannya gemetar, dia berusaha menarik nafas ketika matanya mendadak terpaku pada salah satu buku di rak paling bawah. Bukunya pendek dan sangat tebal seperti kamus. “Bulan”, tulisan di sisi bukunya bersinar seakan - akan alfabetnya memancarkan cahaya emas.

Panggil Rara, pikirnya namun suaranya tidak keluar.

Brak ! Rara berlari ke arah suara, “Kamu gapapa ?”, Rara panik.

Chandra jatuh bertumpu pada lututnya dan menoleh ke arah Rara. “Bukunya, Bulan !”.

Rara memperhatikan sekeliling Chandra yang kosong.

Chandra menoleh kembali ke raknya, bukunya sudah tidak ada. Tak lama suara adzan pun terdengar.

Misteri[sunting]

Suara berisik di kantin seakan redam di telinga Rara, dia mengingat - ingat saat dakonnya bersinar dan Chandra nyaris menemukan buku misteriusnya namun terlambat karena keburu subuh. Setelah malam itu, Rara kembali lagi bersama Chandra. Mereka berjalan melewati rak - rak buku yang sama untuk mengambil dakonnya.

“Aneh”, gumam Chandra sambil memperhatikan papan dakon dan kecik - kecik cangkang kerangnya yang kusam.

“Coba main dulu, mungkin nanti bakal bersinar kaya sebelumnya. Kita kan sudah hafal gimana supaya langsung dapat 14 kecik di lumbung, jadi bisa sekali jalan aja”.


Diulang bermain berkali - kali pun hasilnya nol. Mana mungkin ?

Chandra frustasi, “Lokasinya yang sama, apa yang salah ? Atau cari bukunya langsung aja ? Ini gelap banget sih, tapi aku masih inget tempatnya” katanya. Mereka berjalan sembari menabrak beberapa kaki meja, raknya kosong. Mereka kembali lagi esoknya, dan lagi. Rara juga coba kembali bersama teman dari klub bukunya. Sebulan berlalu, tetap nihil. Mustahil, apa sebelumnya cuma mimpi ?


Rara meraih buku kecil bersampul coklat dari tasnya. Jemarinya tidak berhenti mengetuk meja, pandangannya terpaku pada coretan didalamnya :

Catatan Rara

Rara mengerutkan dahinya, apa yang terlewat ?

“Hey”, sapa Chandra yang secepat kilat mengambil catatan Rara, “Sudah kuduga.”

“Kembaliin, ga tenang aku kalo belum ketemu jawabannya”, berontak Rara sambil berusaha merebut catatannya kembali.

Chandra duduk di depan Rara, “Gimana waktu balik sama Dewi semalem ?”

Rara menggeleng, namun seketika matanya membelalak. Tangannya cepat mengambil handphone di sakunya.

“Eh, waktu kita pertama kesana itu tanggal berapa ?”, tanyanya cepat.

Chandra ikut mengambil handphonenya untuk mengecek kalender, “6 Januari 2023, kenapa ?”

“Ini tanggal berapa ?”, Rara mulai panik.

“Tanggal 6 Februari. Kenapa sih ?”, Chandra ikut panik.


Rara gelisah memencet - mencet handphonenya.

“Inget ga, pertama kita main ruangannya terang, tapi besok - besoknya pas kita balik lagi itu gelap banget sampai kita nabrak - nabrak kaki meja”. Rara mendadak menahan nafas, matanya tajam menatap layar handphonenya, “Astaga !”, teriaknya sambil berdiri menggebrak meja.


Rara melompat - lompat kegirangan, matanya berseri memancarkan aura kemenangan.

“Apa ?”, Chandra kebingungan

“Malam pertama, tanggal 6 Januari 2023 itu lebih terang dari biasanya, karena purnama ! Bukunya judulnya ‘Bulan’ juga kan ? Lalu total 28 kecik, 28 hari itu satu siklus bulan penuh. Nah, paham kan sekarang ?”.

Chandra masih berusaha keras memproses semua tumpahan informasi dari Rara,

“Jangan ngaco deh ! Maksudnya gimana, aku enggak paham sama sekali”, jawabnya.

“Semalem aku coba balik sama Dewi, semalem tanggal 5 Februari kan ? Dakonnya ga berfungsi, padahal semalem ternyata purnama juga”, lanjut Rara sambil memperlihatkan jadwal bulan purnama di handphonenya.

“Kuncinya itu purnama ! Kita harus balik lagi purnama depan”, kata Rara yakin.

“Bentar deh, barusan bilang pas purnama sama Dewi tetep gabisa ?”, balas Chandra.

“Iya, pasti ga bisa, karena petunjuknya ‘Bulan’. Harus kita berdua main”


Chandra mengerutkan alis dan menggaruk kepalanya.

Rara memegang erat kedua bahu Chandra lalu mengguncangnya, “Chandra tahu namaku ?”

“Rara ?”, jawab Chandra. Rara hanya memutar matanya.  “Loh, Rara bukan nama asli ?”

“Itu panggilan, namaku itu Ratih. Sekarang, siapa nama dewi bulan ?”

Chandra menggelengkan kepala.

“Ratih ! Dewi bulan itu Ratih. Terus, dewa bulan siapa ?”

Chandra terdiam sesaat lalu mengangguk. Semuanya mulai jelas di kepalanya.


“Iya, di kepercayaan Bali, Ratih itu dewi bulan dan Chandra itu dewa bulan. Makanya gabisa sama Dewi, karena yang main harus dewa - dewinya, Ratih dan Chandra”.

Chandra takjub sekaligus heran dengan pengetahuan Rara.

“Beneran kaya Sherlock. Tahu info - info beginian darimana sih ?”, tanyanya heran.

“Aku sering baca Wikipedia

Wikipedia ? Jaman sekarang masih cari info disana ?”

“Hey, Wikipedia itu bisa diandelin ! Semua informasi ada referensinya. Ini uda bukan kaya Wikipedia tahun 2010 lagi”, protes Rara.

“Terus, kenapa dewa - dewi dari kepercayaan Bali ?”, tambah Chandra

“Ga tahu, mungkin kita akan tahu setelah buka bukunya nanti. Intinya, kita harus balik lagi purnama depan, 7 Maret 2023. Deal ?”, Rara mengulurkan tangannya.

Chandra menyambut tangan Rara.



Permainan Terakhir

Jika diam sejenak saja Rara akan langsung hanyut memikirkan misteri dakon yang sudah lama mengusik rasa penasarannya. Hampir setahun dia kesulitan menemukan lokasinya.

“Chandra, pasangan sama Ratih ya untuk latihan voli”, terdengar suara guru olahraga.

Rara tersentak, dia segera kembali fokus ke pelajaran olahraga.

Chandra, pikirnya. Anaknya pintar di pelajaran tapi tidak banyak bersosialisasi, sepertinya belum pernah ngobrol sebelumnya.


Plakk ! bolanya tertahan di net.

Pukul yang keras”, teriak Rara dari seberang net.

“Sorry, aku ga terlalu jago olahraga fisik”, jawab Chandra.

“Jagonya apa dong ? Olahraga yang ga fisik ?”, balas Rara iseng.

“Iya”, kata Chandra. “Olahraga yang strategi, asah otak. Kaya catur, atau dakon yang di perpustakaan”.


Plak !

Bola ini salah sasaran lagi, kali ini mendarat di kepala Rara yang membelalak dengan mulut menganga.  “Dakon ? Dimana ?”, dia bergegas menerobos net berlari ke arah Chandra. Seluruh mata menuju ke arah mereka, “Dimana ? Anterin !”, Rara belum berhenti merengek. Chandra yang panik mendadak diperhatikan seluruh orang cepat - cepat mengiyakan, mereka berjanji untuk bertemu di perpustakaan di malam yang sama. Malam itu menandai pertama kalinya bertemu di perpustakaan.


Rara tersenyum sendiri mengingat - ingat peristiwa itu. Lucu, katanya ga percaya tapi mau nganter, gumamnya sambil berdiri di depan perpustakaan menunggu Chandra. Kini mereka telah memecahkan misterinya dan kembali lagi untuk menemukan rahasia dibalik bukunya. Chandra datang, mereka masuk ke perpustakaan untuk mengambil dakonnya dan skakmat ! Kecik dakonnya berpenjar keemasan seperti saat pertama kali.

“Purnama, antara tengah malam sampai subuh, Ratih dan Chandra. Aku kira awalnya cuma omong kosong”, gumam Chandra sambil takjub memperhatikan papan dakonnya. Dari pengalaman bermain berkali - kali, sekali putaran mereka berhasil mengisi 14 kecik di setiap lumbung dan papan dakonnya berpenjar. “Bukunya !”, kata Rara.


Mereka berdua berjalan ke arah rak bukunya. Dingin, perasaan familiar ini merasuk ke badan Chandra. Kenapa mendadak dingin, ini atmosfer dingin yang sama yang membuat Chandra jatuh saat pertama kali melihat bukunya yang kini didepan mata, “Bulan” seakan tertulis dengan tinta emas. Terlambat bagi Chandra untuk berkata apapun, dalam sedetik tangan Rara telah menggenggam bukunya

“Bukunya dingin banget”, kata Rara.

Mereka menatap satu sama lain, lalu mengangguk.

Rara perlahan membuka bukunya, tiba - tiba pancaran silau menyeruak ke dalam ruangan. Silau ! Betapa terkejutnya saat membuka mata, mereka berdiri di depan candi besar dengan patung Dewa Chandra di pintu masuknya.

"Candi ? Kita dimana ?", teriak Rara.


Magis, suasananya sangat mistis, buku ini adalah portal ke dunia lain. Mereka terpaku takjub dan cemas namun tetap memberanikan diri masuk ke dalam candi yang di temboknya terukir :

"Soma menuliskan kalimat pertama pada buku suci Bulan. Jalannya tertutup hingga penyangga bulan yang lain datang menjemputnya dalam cahaya."


Chandra memahami kekuatan buku Bulan dan tujuan dari misteri petualangan ini. Seseorang harus diselamatkan, tapi siapa ?

"Soma", kata Rara, "itu nama lain dewa Chandra".

"Patungnya !", teriak mereka berdua kompak.

Mereka berlari keluar menghampiri patungnya. Patung ini terbuat dari batu besar, hampir 3x tinggi Chandra. Tangan kanannya menggenggam dan tangan kirinya terbuka. Rara teringat mitos kutukan terhadap dewa Chandra yang menyebabkan terjadinya pergeseran fase bulan, mungkin ini kenapa hanya bisa diselamatkan saat purnama, pikirnya. Rara meletakkan buku 'Bulan' di tangan kiri patungnya. Patungnya retak, batu - batunya berjatuhan dan dari dalamnya terlihat sosok emas. Silau, tidak terlihat !


Terima kasih

Terdengar suara yang hangat dan lembut, menggema dari pancaran cahaya yang ada. Rara dan Chandra membuka mata, perpustakaan ? Mereka telah kembali ke perpustakaan ! Di telapak tangan mereka terdapat simbol pudar berbentuk bulan sabit.

"Ah, kita barusan nyelametin dewa", kata Chandra bangga.