Lompat ke isi

Di Balik Panggung

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Tak tak tak… suara penghapus papan tulis yang diketukkan ke papan tulis terdengar sangat nyaring, membuatku tersadar dari lamunan. Sekali, dua kali, tiga kali, suara tersebut terus berulang, mengumpulkan atensi seisi kelas. “Minggu depan akan diadakan acara pentas seni untuk menyambut berakhirnya tahun ajaran semester genap ya, anak-anak” terang wali kelas dengan suara yang menggelegar. “Untuk ketua kelas silakan dipersiapkan karya yang akan ditampilkan.” Beberapa murid bersorak kecewa, sebagian lagi bersorak gembira dan sisanya hanya menanggapi dengan wajah datar.

“Ayo kita voting!” seru Bambang, ketua kelas 4, membuka diskusi murid-murid siang itu. Tak lama, disepakati kelas empat akan menampilkan pertunjukkan tari modern dan paduan suara. Aku hanya mengangguk-angguk setuju. Lagi pula apapun pendapatku juga nggak terlalu mempengaruhi jalannya diskusi. Melalui proses seleksi dibagilah tim yang akan mementaskan tari modern dan paduan suara. Suasana kelas menjadi ribut, tatkala banyak teman-teman yang ingin bertukar peran. “Interupsi! Suaraku jelek. Nggak mau kalau disuruh nyanyi. Aku mau tari modern saja.” Celetuk salah satu siswa di pojokan kelas. “Ayo tukeran sama aku! Aku mending disuruh nyanyi” seru siswi yang lain.

Wali kelas segera menengahi keributan murid-murid. “Sudah-sudah. Sementara fix ini dulu saja. Nanti yang mau tukar, ketua kelas tolong didata ya! Sekalian kalau bisa sudah ada pasangannya.”

“Oke siap pak!” jawab ketua kelas dengan suara lantang. Sebelum diskusi selesai, wali kelas juga mengingatkan untuk memberi tahu orang tua masing-masing tentang kegiatan ini. Karena acara pentas seni akan diadakan seusai pengambilan rapor, maka orang tua juga akan dipersilakan untuk menjadi penonton di acara tersebut.

Aku melihat tulisan di papan tulis lekat-lekat. Tertulis namaku di tim paduan suara, sebagai pengiring musik. Karena aku bisa bermain musik, khususnya biola, mungkin nanti bakal disuruh main biola. Ya, aku sudah belajar biola lewat berguru les sejak kurang lebih satu tahun yang lalu. Aku bersyukur, lewat musik seenggaknya hidupku nggak melulu berkutat buat belajar. Dari main biola aku bisa dapat bukti konkrit dalam hidupku bahagia itu sederhana: bisa melakukan apa yang betul-betul aku suka.

Sore harinya, aku curhat sama ayah dan ibu tentang diskusi siang tadi. Perihal pentas seni di sekolah, pertunjukkan yang akan ditampilkan, dan tentang aku yang terpilih di tim paduan suara. Ibu menanggapi dengan antusias, dan berjanji akan menyempatkan datang dan menonton. Mendengar respon ibu, aku mengangguk-angguk senang.

Ternyata, untuk bisa merasakan “senang”nya itu, ternyata kami harus diuji terlebih dahulu. Mulai dari menyusun jadwal latihan di sela-sela persiapan belajar untuk ujian akhir sekolah, uang patungan yang kurang untuk menyewa studio latihan, senar biolaku yang putus, pokoknya berbagai macam rupa ujian dari Tuhan yang beragam bentuknya. Bisa dibilang persiapan ini pun cukup mepet karena harus terpotong jadwal ujian akhir sekolah. Banyak murid-murid yang mulai merasa menyerah karena terlalu capek, akhirnya kabur dari jadwal latihan.