Lompat ke isi

Di mana Topengku?

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

DI MANA TOPENGKU? Oleh Siti Anisah

“Di mana topengku?” tanya Andries. Ia sibuk mengaduk-aduk isi ranselnya, mencari topengnya yang tidak ada. “Tadi kau taruh di mana?” tanya Sarju. Sarju sendiri sudah siap dengan kostumnya. Ia memakai celana hitam sepanjang betis, dengan rumbai-rumbai merah dan kuning di kedua sisinya. Ia juga memakai pakaian tanpa lengan berwarna merah. Topengnya pun sudah siap. Topeng itu berwujud raksasa. Warnanya merah tua. Matanya melotot, sementara hidungnya besar dan panjang. Topeng itu dilengkapi dengan rambut gimbal yang panjang di bagian depan dan samping. Topeng itu terlihat seram, tapi juga lucu. Bagian dahinya menjorok ke depan. Sarju membuka topengnya. Lalu ia membantu Andries mencari topengnya. Topeng itu tidak ada di dalam ransel Andries. Mereka mencoba mencari di atas meja rias, serta di laci-laci meja itu. Tetap saja topeng itu tidak ketemu. Mereka bahkan memeriksa isi ransel Sarju, karena jangan-jangan ada yang terlupa dan menaruhnya di situ. Tapi topeng itu tetap tidak ketemu. “Jangan-jangan ada yang iseng dan menyembunyikannya,” gumam Andries. “Masa sih? Sebentar lagi kan kita akan tampil. Masa ada yang mau berbuat iseng seperti itu?” Sarju tidak percaya. “Coba saja kita tanyakan pada para penari lainnya, barangkali ada yang tahu di mana topeng itu,” ajak Andries. Sarju setuju. Keduanya lalu melangkah mendatangi para penari lainnya.

“Yuk, kita tanyakan pada para penari jaranan,” kata Andries. “Baiklah,” jawab Sarju. “Hei, kawan-kawan, apakah kalian melihat topeng Andries?” tanya Sarju pada sekelompok anak perempuan yang tampak sibuk bersiap-siap di pojok ruangan. Anak-anak perempuan itu menoleh. Mereka mengenakan kostum prajurit. Pakaian atasnya berwarna putih dan berlengan panjang. Sementara celananya berwarna hitam dengan panjang selutut. Di luar celana itu, mereka mengenakan kain batik yang dipasang sedemikian rupa sehingga tampak serasi dan tidak mengganggu gerak saat menari. Di pinggang mereka diikatkan selendang berwarna merah. Di bagian leher baju, terdapat hiasan kerah yang cantik dan serasi. Demikian pula di bagian depan baju, terdapat hiasan manik-manik berkilauan yang memanjang menutupi bagian depan baju. Ikat kepala mereka berwarna hitam dengan garis putih. Pada kaki tiap penari terdapat gelang kaki yang bergemerincing setiap kali mereka menghentakkan kaki. Mereka juga membawa kuda kepang. “Tidak, kami tidak melihat topeng Andries. Memangnya di mana ia menaruhnya tadi?” jawab anak-anak perempuan itu. Andries dan Sarju saling berpandangan. “Coba kita tanyakan pada yang lainnya,” kata Sarju.

Mereka mendatangi sekelompok lelaki berbadan tegap yang berpakaian serba hitam. Baju mereka hitam, dengan kancing yang tidak dipasang sehingga dada mereka tampak jelas. Mereka mengenakan celana panjang ukuran besar berwarna hitam. Pada pinggang mereka diikatkan kolor besar berwarna putih, dengan ujung yang panjang dan menjuntai. Mereka memakai ikat kepala hitam. Kumis tebal mereka semakin menambah kesan garang. “Kau berani bertanya pada para warok? Mereka terlihat galak dan menyeramkan,” bisik Andries takut-takut. “Ah, mereka kan anggota kelompok kita juga. Mengapa harus takut?” jawab Sarju. “Paman, apakah Paman-Paman melihat topeng Andries?” tanya Sarju dengan berani. Para warok itu menoleh. Mereka menatap tajam ke arah Andries. Andries langsung menciut. “Kami tidak tahu. Memangnya di mana ia menaruhnya tadi?” para warok itu balas bertanya. Andries pun beringsut-ingsut meninggalkan mereka. Sarju menyusulnya. “Hufff….., aku takut sekali tadi. Mereka terlihat begitu garang,” kata Andries. Sarju tertawa melihatnya. “Padahal kau belum bertanya pada Paman Soma. Ia yang paling menakutkan diantara kita semua,” kata Sarju. “Justru Paman Soma adalah yang paling ramah. Walaupun ia adalah seorang pembarong, yang memainkan topeng paling menakutkan, tapi sebenarnya ia adalah orang yang ramah dan baik hati,” kata Andries. Ia kenal betul dengan Paman Soma. Paman Soma bertugas memainkan topeng dhadhak merak. Topeng berbentuk kepala harimau dengan hiasan bulu-bulu merak itu memiliki berat mencapai 50 kilogram. Paman Soma bisa mengangkat dan memainkan dhadhak merak dengan menggunakan kekuatan gigi dan lehernya saja. “Sudahlah, ayo kita tanyakan pada yang lain, barangkali ada yang tahu di mana topengmu itu,” kata Sarju.

Mereka mendatangi sekelompok pria yang juga berpakaian hitam. Tetapi wajah mereka tampak ramah. Mereka adalah para pemain alat-alat musik. Mereka duduk-duduk di dekat gong, terompet, kendang, ketipung, dan angklung. “Paman, apakah Paman-Paman semua ada yang melihat topeng Andries?” tanya Sarju. “Topeng Andries? Hei, kawan-kawan, coba cari di sekitar sini, di antara alat-alat musik kita. Barangkali topeng itu terselip di suatu tempat di sekitar sini,” kata Paman Penabuh Gong. Mereka langsung sibuk membantu mencari topeng Andries. Tapi walaupun dicari dengan teliti, topeng itu tetap tidak ketemu. “Mungkin topeng itu ada di tempat lain. Coba kalian tanyakan pada penari lainnya,” usul Paman Penabuh Gong. Setelah mengucapkan terima kasih, Andries dan Sarju pun melanjutkan pencarian topeng.

Di dekat tangga ke panggung, mereka melihat seorang anak laki-laki berpakaian mewah dan sangat indah. Pakaiannya seperti tokoh wayang. Ia memakai topeng berwarna merah. Di tangannya tergenggam sebuah cemeti. “Mari kita tanyakan pada Prabu Kelana Sewandana,” ajak Sarju. Kedua anak itu pun mendekati anak yang berpakaian mewah tadi. “Wahai Prabu Kelana Sewandana, apakah Prabu melihat topeng Andries?” tanya Sarju dengan wajah serius. Ia bahkan membungkuk dan menggerakkan tangannya sedemikian rupa, seolah memberi hormat pada raja. Andries yang berdiri di sampingnya, tertawa cekikikan. Si anak berpakaian mewah itu mengayunkan cemetinya ke arah Sarju. Tentu saja hanya dengan main-main. “Ah, kalian jangan menggodaku. Prabu Kelana Sewandana itu kan cuma peranku saja,” kata anak itu sambil membuka topengnya. Kini mereka bisa melihat wajah asli Sang Prabu. Ia adalah Ega, seorang anak yang tampan dan memang terlihat berwibawa. Agaknya, anak itu memang memiliki darah kaum ningrat alias bangsawan. “Maaf…maaf…, kami cuma ingin menanyakan topeng Andries. Apakah kau melihatnya, Ga?” tanya Sarju. “Tidak. Aku tidak melihatnya. Dari tadi aku duduk di sini, dan tidak melihat ada topeng yang tercecer atau yang dibawa seseorang,” jawab Ega. “Oh, sayang sekali. Baiklah, terima kasih atas informasimu, Prabu,” kata Sarju sambil menghormat sekali lagi. Kedua anak itu bergegas pergi sebelum Ega sempat mengayunkan cambuknya lagi ke arah mereka.

“Waduh, di mana topeng itu, ya? Bagaimana sekarang? Aku tidak akan bisa tampil jika tidak memakai topeng itu,” kata Andries panik. “Tenanglah, Ndries. Sekarang, coba kau ingat-ingat lagi. Apa kau benar-benar membawanya ke sini tadi? Jangan-jangan, topeng itu tertinggal di rumahmu?” tanya Sarju. “Tidak. Aku benar-benar membawanya, kok. Aku ingat, sebab tadi aku sempat memakainya sebentar,” kata Andries. “Kau memakainya? Kapan itu? Di mana?” tanya Sarju penasaran. Ia merasa, agaknya inilah jawaban dari misteri hilangnya topeng Andries. “Tadi saat baru tiba di sini, aku melihat sekelompok anak-anak kecil di halaman. Mereka langsung menyambutku dengan gembira. Rupanya mereka tahu bahwa aku adalah pemain Bujangganong. Ia lalu memintaku mengajari mereka beratraksi. Mereka begitu bersemangat, jadi aku mengajari mereka sedikit. Lalu….,” “Lalu kau memakai topeng itu?” tanya Sarju tak sabar. “I…iya. Aku memakainya untuk ditunjukkan pada mereka. Mereka kagum sekali,” kata Andries. “Lalu sekarang, di mana topeng itu?” tanya Sarju. “Entahlah. Aku….aku meminjamkannya pada mereka. Saat mereka sedang asyik mencoba topeng itu, kau datang dan memanggilku. Lalu kita masuk ke dalam ruang rias dan bersiap-siap,” kata Andries. “Berarti, sekarang topeng itu masih dibawa anak-anak itu?” tanya Sarju. “Entahlah, mungkin saja,” kata Andries ragu-ragu. “Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Ayo kita cari anak-anak itu!” kata Sarju bersemangat. Mereka bergegas menuju ke halaman.

Ternyata benar. Anak-anak kecil itu masih di sana. Mereka sedang asyik berlatih salto seperti pemain Bujangganong. Salah satu dari anak itu memakai topeng Andries.

“Hei, Ju. Itu topengku! Syukurlah, akhirnya topengku ketemu,” seru Andries. Mereka segera mendatangi anak-anak itu. Dengan malu-malu, anak-anak itu mengembalikan topeng Andries. Andries pun segera memakainya. Tepat pada waktunya. Sebab, tak lama kemudian, acara dimulai. Andries, Sarju, dan para penari lainnya harus tampil.

Dan inilah dia, penampilan sendra tari Reog Ponorogo. Pada babak pertama, para warok tampil ke depan. Mereka memeragakan adegan layaknya prajurit bersenjata dari Kerajaan Bantarangin, kerajaan Prabu Kelana Sewandana, saat hendak mempersunting Putri Kediri, Dewi Sanggalangit.

Babak kedua adalah aksi para penari jaranan. Mereka muncul sebagai pemeraga pasukan berkuda yang mengiringi perjalanan pasukan ke Kediri.

Babak ketiga menampilkan Bujangganong, yang disusul dengan munculnya Prabu Kelana Sewandana sebagai pemeraga adegan perang antara Raja Bantarangin dengan Singobarong. Aksi Andries dan Sarju sebagai pemeran Bujangganong benar-benar memukau penonton. Mereka mampu membuat penonton tergelak-gelak serta terkagum-kagum dengan aksi mereka yang kocak sekaligus memukau. Mereka melakukan aksi-aksi akrobatik, berjungkir balik, bersalto, berjalan dengan tangan, berputar-putar layaknya pemain breakdance, serta berdiri dengan posisi terbalik dengan bertumpu pada tangan pemain lawannya.

Dan tibalah babak terakhir, yaitu kemunculan pembarong yang membawa dhadhak merak sebagai perlambang akhir peperangan antara Prabu Kelana Sewandana dengan Singobarong. Paman Soma mengibas-ngibaskan bulu merak yang menjulang di atas topeng kepala harimau yang dipakainya, melakukan kayang, bahkan mengangkat seorang penari jaranan di atas kepalanya. Sendra tari Reog Ponorogo benar-benar merupakan kesenian yang menakjubkan. Pantas saja bila kesenian itu begitu terkenal, bahkan hingga ke jagat internasional. Andries dan Sarju sangat bangga menjadi bagian dari pemain sendra tari Reog Ponorogo.