Diamku adalah proses untuk membuatmu diam

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Diamku adalah proses untuk membuatmu diam

Ada seorang gadis yang hidup sederahana di perkampungan.

“Kamu harus hati-hati di kampung orang yah nak,” ucap ibu Lastri sambil merapikan pakaian anaknya yang akan dibawa anaknya untuk kuliah ditempat yang lumayan jauh.

“Iya ibuku sayang,” jawab gadis yang bernama Widya Wati.

Widya Wati adalah seorang gadis yang baru lulus sekolah menegah atas. Dia diterima disalah satu universitas di Jakarta. Ayah Widya sudah meninggal sejak umur Widya 13 tahun dan dia hidup hanya berdua dengan ibunya dibawah atap yang hampir rubuh.

Setiap malam ibu Lastri selalu mendoakan Widya agar Widya bisa melanjutkan pendidikan seperti anak-anak pada umumnya yaitu kuliah. Karena itu saat ibu Lastri tahu jika anaknya diterima di perguruan tinggi dia merasa sangat bangga.

“Ibu, Widya gapapa kalau ga lanjut kuliah asal Widya bisa sama ibu jagain ibu disini,” ucap Widya pada ibu Lastri yang umurnya sudah 45 tahun.

Ibu lastri mengangguk dan tersenyum.

“Pergilah nak, doa ibu bersamamu, nanti kalau kamu punya waktu luang kamu bisa pulang kesini untuk beberapa hari,” ucap ibu Lastri menenangkan anaknya.

Dengan bujukan ibu Lastri, beberapa hari setelahnya Widya akhirnya berangkat ke Jakarta.

Berada ditengah kota yang jumlah penduduknya jauh lebih padat daripada dipedesaan bukanlah hal yang mudah untuk sosok Widya yang menyukai ketenangan.

Untuk menghemat biayanya selama di kota Jakarta, Widya memutuskan untuk mencari kos-kosan yang biayanya lebih murah.

Setelah perkuliahan berjalan selama 2 bulan ditemani dengan teman dekatnya bernama Suleha. Widya merasa jika dia tidak bisa jika terus tinggal diam dan tak melakukan apa-apa, apalagi Widya berat untuk selalu menerima uang pada ibunya dikampung meski Widya tidak minta.

Widya memutuskan untuk mencari pekerjaan paruh waktu yang menurutnya bisa dipertanggungjawabkannya. Setelah bertanya kebeberapa temannya, Widya akhirnya mendapatkan pekerjaan, dia bekerja disebuah cafe pada malam hari.

Pada awalnya semuanya berjalan dengan lancar hampir satu bulan.

Ditengah-tengah kesibukan Widya dia tidak lupa untuk selalu menghubungi ibunya di kampung agar tak cemas dengan keadaannya setiap hari.

Widya baru tahu bagaimana rasanya jauh dari seseorang yang memang selama ini hanya seperti hidup berdua. Hingga pada suatu hari, Widya menjadi depresi saat dirinya sudah sedikit kehilangan konsentrasi dan kecerobohannya dalam mengatur waktu. Tugas kuliahnya jadi terbengkalai.

Beruntungnya Suleha ada untuk menenangkan Widya dan mencoba membantunya.

“Jangan sedih, kamu harus semangat, ada aku yang siap bantu kamu,” ucap Suleha sambil tersenyum dan memegang tangan Widya yang sedang mencemaskan semuanya.

Berkat bantuan Suleha, Widya berhasil untuk memperbaiki semuanya termasuk nilainya pada beberapa mata kuliah yang semakin anjlok akibat kesalahannya dalam mengatur waktu. Selama ini Widya tidak pernah bercerita pada ibunya jika dia di Jakarta kuliah sambil kerja karena tak ingin ibunya mengkhawatirkan dirinya akan kecapean atau tak bisa mengatur jadwalnya.

Widya masuk kerja pada pukul 4 sore dan pulang pukul 10 malam sering juga Widya pulang hampir jam 11. Selama bekerja Widya jarang untuk menetap di kos, karena biasanya sepulang kuliah Widya akan segera ke cafe tempat kerjanya untuk mengganti teman kerjanya yang memang waktunya sudah harus pergantian pemain.

Selama hampir 1 bulan bekerja, Widya selalu diharuskan pulang tengah malam karena kerjaan.

Hingga pada suatu malam salah seorang tetangga kosnya melihatnya pulang diantar oleh laki-laki yaitu Rehan. Rehan adalah teman kerja Widya tapi tidak melanjutkan pendidikannya, Rehan hanya tamat SMA.

“Makasih yah Rehan,” ucap Widya sambil tersenyum lalu segera masuk.

Rehan mengangguk lalu segera melaju pergi.

Saat esok hari betapa terkejutnya Widya saat dia melihat sekumpulan ibu-ibu yang sedang membeli sayur sedang berkumpul dan langsung menatap Widya dengan tajam. Widya yang keheranan hanya bisa tertunduk dan segera pergi menuju kampas.

“Ibu-ibu coba lihat anak itu,” ucap ibu yang melihat Widya tadi malam namanya ibu Eka.

“Semalam saya lihat dia diantar cowo jam 10 malam, dari mana coba bukannya dia kuliah yah?” Sambung ibu itu dengan ekspresi julidnya.

Tiba-tiba seorang gadis keluar dari dalam rumah ibu Eka. Gadis cantik nan anggun yang tertutup dengan balutan hijabnya yang panjang.

“Ibu, Erin berangkat dulu,” kata Erin sambil mencium tangan ibunya.

“Lihat tuh anak ibu Erin cantik tertutup pula, kelihatan banget kalau nak Erin anak yang baik-baik,” ucap salah satu ibu-ibu disana.

“Bener banget buk, beda banget sama anak yang barusan lewat,” sambung ibu-ibu yang lain. Mereka menyinggung Widya.

2 bulan telah berlalu dimana Widya masih diberi label anak yang kurang baik yang bagi semua tetangga tempatnya tinggal mustahil baginya untuk berhasil karena sering pulang hampir tengah malam, dan itu adalah bagian yang tersulit bagi Widya.

Bahkan karena hal itu Widya kembali depresi dan strees hingga tak ada malam tanpa cucuran air mata dibantalnya. Sedangkan dikampung ibu Lastri berusaha untuk tetap tabah dan sabar saat cacian dan hinaan bahkan perkataan yang merendahkannya dan anaknya terus menerus menusuk telinganya, semua itu tak mudah apalagi jika hal itu datang dari keluarganya sendiri.

“Anak kamu suruh pulang aja, ga mungkin bakal sukses juga dia disana!”

“Alaahh palingan cuman sampai semester 1,2 atau 3 aja, gausah berharap lebih deh buk!”

“Hati-hati loh anaknya, bisa jadi pergi sendiri eh pulangnya berdua sama anak diperutnya, upss!”

Setiap kali diperlakukan tak baik ibu Lastri hanya bisa sabar dan berdoa disetiap sujud dipersetiga malannya, “ya Allah, Widya disana sendiri tolong lindungi dia, berikan Widya kemudahan untuk menyelesaikan kuliahnya ya Allah, tolong bimbing anak hamba agar tak salah pergaulan, izinkan hamba panjang umur dan sehat selalu ya Allah agar bisa menemani Widya melewati semuanya, aamiin.”

Setiap kali menelpon ibu Lastri tak pernah lupa untuk mengingatkan anaknya untuk sekolah dengan baik dan menjaga kepercayaan ibunya dikampung, beruntungnya Widya selalu berhasil untuk menenangkan ibunya.

Sedangkan ibu Erin yaitu Eka tak pernah berhenti untuk memberitahu anaknya agar selalu belajar dengan sungguh-sungguh, dia juga melarang anaknya untuk keluar rumah dan terlalu bersosialisasi dengan orang luar.

Pada suatu hari Erin merasa jenuh dengan keadaan dalam rumahnya, Erin merasa jika kedua orangtuanya sudah melewati batas dalam memberikan nasehat, Erin merasa tertekan.

Ditengah tekanan Erin bertemu dengan Feby, seorang gadis yang pergaulannya tak terbatas karena Feby adalah seroang anak yatim piatu yang kehilangan arah. Feby sering keluar dengan cowo bahkan sering gonti-ganti cowo. Feby melihat ada celah untuk mengajak Erin menjadi seperti dirinya.

Erin yang terbujuk dengan rayuan Feby akhirnya menerima ajakan Feby dengan mudahnya dan dengan senang hati.

Setelah pertemuan itu, Erin sering berbohong pada orangtuanya jika dia ada kelas tambahan atau bahkan tugas yang kelompok yang harus dia hadiri padahal Erin hanya keluar dengan Feby keclub dan berbaur dengan lawan jenis tanpa rasa malu.

Erin juga sering keluar malam melalui jendela dengan cara menaruh bantal guling ditempat tidurnya lalu menutupnya menggunakan selimut dan cara itu selalu berhasil membuat orangtuanya percaya jika Erin sudah benar-benar tidur.

Sedangkan kehidupan yang dilalui Widya semakin tajam. Keuntungan dari itu Widya berhasil mengetahui kunci dalam mengatur waktu, dia juga berhasil menabung separuh uang gajinya untuk membayar uang spp.

Bertahun-tahun Widya tinggal di Jakarta dengan tidak mudah, tapi beruntungnya Widya punya Suleha yaitu sahabatnya yang selalu bersedia ada untuk Widya.

Begitupun dengan ibu Lastri dikampung, cacian, hinaan dan orang-orang yang merendahkannya, yang membuat ibu Lastri kuat dan bertahan hanyalah karena rasa percayanya pada anaknya sendiri jika anaknya pasti sukses, dibarengi dengan doa dan usaha ibu Lastri tetap sabar.

Hingga pada tahun ke 4 saat angkatan Widya sudah menginjak semester 7 dimana masa itu fokus untuk skripsi.

Widya yang baru pulang dari kerja pukul 10:20 malam terkaget-kaget saat mendengar suara teriakan dirumah tetangganya yaitu ibu Eka. Mungkin hanya Widya yang mendengarnya karena rata-rata orang didaerahnya tidur cepat.

“Apa itu yang bapak ajarkan sama kamu selama ini?” Teriak pak Yanto suami ibu Eka.

Terdengar suara isak tangis ibu Eka.

Dibarengi suara tangis dari Erin.

Widya yang lelah dari bekerja tak ingin ambil tahu dengan apa yang terjadi.

“Urus saja dirimu Widya, tak usah urus urusan orang lain!” Gumam Widya lalu segera masuk kekamarnya.

Keesokan harinya di kampus, beredar sebuah kabar buruk dimana Suleha ternyata juga sudah tahu.

Tanpa basa-basi saat melihat Widya dari jauh Suleha langsung mengejarnya dan memberitahukan berita yang sangat mengejutkan seluruh orang yang sejurusan dengan mereka.

“Hei Wid,” ucap Suleha sambil ngos-ngosan.

“Apaansih coba ambil nafas dulu, kamu kayak dikejar rentenir aja!” Jawab Widya bercanda.

Suleha langsung to the point.

“Kamu tahu Erin?” Tanya Suleha.

Sambil mengernyitkan dahinya Widya menjawab, “Erin? Erin siapa?”

“Erin yang tetangga kamu itu, anaknya ibu Eka, ituloh yang kita bilang ketua geng disekitar sana, yang selalu gosipin kamu yang engga-engga selama ini,” jawab Suleha antusias.

“Emang dia kenapa?” Tanya Widya seperti tak peduli sambil mengingat kelakuan ibu Eka selama ini.

“Di-dia hamil!” Jawab Suleha.

Widya yang berjalan spontan berhenti dan menatap Suleha dengan tajam seolah tak percaya.

Semua orang yang tahu berita itu tidak percaya karena selama ini Erin terkenal sebagai anak yang baik dan tertutup.

“Nah aku juga bilang apa itu sih ibu-ibu semua ngurusin kamu, keluar jam berapa dan pulang jam berapa eh taunya anaknya sendiri gak diurusin, karma is the real!” Sosor Suleha yang selama ini sudah sangat geram dengan perlakuan yang didapat Widya.

“Hustt kita ga boleh gitu!” Jawab Widya mengingatkan.

Setelah berita itu tersebar, Erin sudah tidak pernah kelihatan dikampus, dia seperti hilang ditelan bumi, bahkan beberapa temannya sudah mencoba menghubunginya tapi tidak bisa.

Feby yang tahu semuanya memasang wajah polosnya didepan semua teman-temannya seolah tak tahu apa-apa padahal karena ulahnya lah Erin bisa seperti itu.

Sementara itu Widya fokus pada dirinya, dia berusaha untuk menyelesaikan skripsinya secepat mungkin. Siang benar-benar Widya gunakan untuk mempersiapkan dan memperbaiki skripsinya dan malam dia habiskan untuk fokus bekerja.

Saat lelah, Widya hanya perlu mengingat ibunya dikampung sebagai motivasinya.

Alhasil setelah hampir 3 bulan, Widya berhasil menyelesaikan skripsinya yang sebelumnya sudah diminta diperbaiki.

Setelah sidang dan dinyatakan lulus, Widya menangis terharu dan langsung menelpon ibunya.

“Ibu, Widya berhasil buk, Widya udah lulus dengan nilai terbaik dikampus, ini semua berkat ibu dan doa ibu setiap hari, terimakasih bu, terimakasih selalu ada untuk Widya, ibu panjang umur yah sehat selalu, tunggu Widya sukses, aku janji untuk membuat ibu sama seperti orang-orang yang lain seperti ibu ingin aku sama seperti anak-anak yang lain, pokoknya ibu harus datang di wisuda aku minggu depan, ibu liat anak ibu yang cantik pakai toga,” ucap Widya sambil terus mengusap air matanya yang jatuh tak tertahan.

Ibu Lastri yang mendengarnya tak bisa membendung air mata bahagianya.

“Ibu percaya sama kamu nak, kamu pasti bisa, terimakasih nak sudah berusaha, terimakasih sudah menjaga kepercayaan ibu dan tidak mengecewakan ibu, in shaa Allah ibu akan datang minggu depan sehari sebelum acaranya dimulai,” jawab ibu Lastri sambil tersenyum.

Sehari sebelum acara, ibu Lastri bersiap-siap untuk berangkat ke Jakarta tanpa sepengetahuan keluarganya kalau anaknya berhasil jadi sarjana.

“Orang miskin kayak kamu mana cocok ke Jakarta, buang-buang duit aja, lagian anakmu suruh pulang aja, cuma jadi beban pasti disana!” Ucap saudara dari suami ibu Lastri.

Ingin sekali ibu Lastri menjawab tapi dia sadar jika meladeni orang seperti itu hanya perlu diam.

Saat sampai dikos Widya, ibu Lasti baru tahu jika selama ini Widya tinggal ditempat yang kurang layak demi menghemat uang selama di Jakarta.

Widya yang mengetahui ibunya sudah datang langsung memeluk ibunya dengan erat saking rindunya hampir 4 tahun mereka tidak bertemu dan hanya berkomunikasi melalui telpon.

“Nak mungkin sebaiknya ibu tidak usah ke acara wisuda kamu besok, ibu takut nanti kamu malu,” ucap ibu Lastri yang duduk dikamar Widya.

Widya yang sedang merapikan barang ibunya langsung menoleh sambil mendekat dan duduk disamping ibunya.

“Loh kok ibu bilang gitu sih, Widya kenapa harus malu punya ibu hebat kayak ibu, malah Widya bangga sama ibu dan Widya merasa beruntung banget bisa lahir dari rahim ibu, ibu dateng yah,” ucap Widya sambil mengelus lembut tangan ibunya.

Ibu Lastri mengangguk setuju.

Widya sudah sampai disalah satu hotel di Jakarta tempat acara wisudanya akan digelar.

Sedangkan ibu Lasti baru bersiap-siap, Widya juga sudah memesankan ibunya grab.

“Para hadirin sekarang kita sambut seseorang yang berhasil lulus secara cumlaude, mari kita sambut Widya Wati!” Teriak mc yang mempersilahkan Widya untuk naik berbicara menyampaikan beberapa kata.

Sambil berjalan menaiki panggung mata Widya tak berhenti untuk mencari keberadaan ibunya yang tak kunjung terlihat. Widya memutuskan untuk berbicara.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, yang terhormat pak Rektor, para dosen ketua prodi dan para dosen hebat semuanya yang saya sayangi tak lupa dengan teman seperjuangan yang saya banggakan. Tak mudah bagi saya untuk berada dititik ini, titik dimana saya harus berusaha sekeras mungkin untuk mencapai ini semua, awalnya saya ragu bahkan sempat tak percaya bahwa aku akan berhasil dan menyelesaikannya tapi berkat dorongan dari ibu yang hebat dan doa darinya setiap hari aku bisa berada dititik ini, tak lupa terimakasih untuk sahabat tercinta Suleha, aku tidak tahu bagaimana aku tanpa dia dikota yang sebesar ini, aku mau kalian ingat bahwa jangan pernah menilai orang dari luarnya karena kita tidak tahu apa yang sebenarnya mereka alami dan belum tentu juga orang itu sebaik yang kita pikir atau seburuk yang terlintas dipikiran kita, mumpung ibuku belum datang aku ingin cerita sedikit, ibuku tidak tahu jika selama ini aku bekerja sambil kuliah karena tak ingin ibu khawatir denganku, dan ibuku tak pernah cerita kalau dikampung dia selalu hina dan diremehkan katanya aku tidak akan bisa bertahan sampai lulus, kata mereka aku akan pulang dengan status hamil diluar nikah, aku mau bilang, buk, terimakasih karena sudah percaya sama Widya terimakasih sudah kuat dan tabah demi Widya, sekarang Widya lulus dengan predikat terbaik dikampus ibu, sekarang rasanya aku ingin beritahu semua orang dan seluruh dunia jika orang sepertiku bisa lulus sarjana aku ingin membeli mulut orang-orang yang sudah menghina, mencaci dan merendahkan ibuku, kalian ingin lihat sosok malaikat tak bersayapku, dia disana!” Papar Widya sambil menunjul ibunya yang baru saja memasuki ruangan.

Semua pasang mata menatap kearah ibu Lastri.

“Bu, Widya lulus dengan nilai terbaik dikampus!” Teriak Widya dengan mata basahnya sambil mengangkat piala ditangannya.

Seketika ruangan dipenuhi suara tepuk tangan untuk Widya dan ibu Lastri.

Widya berlari untuk memeluk ibunya lalu bersujud dihadapan ibunya sambil mencium kakinya. Semua seisi rungan ikut terharu dengan kejadian itu.

Setelah acara selesai Widya foto dengan ibunya dimana topi toga dipakai oleh ibu Lasti sambil tersenyum lebar moment itu diabadikan.

Beberapa hari setelah itu banyak perusahaan bahkan sekolah-sekolah yang memberikan tawaran pekerjaan pada Widya.

Sekarang Widya sudah bekerja disalah satu sekolah di Jakarta, dia memilih untuk jadi guru agar dia bisa untuk turun tangan langsung memotivasi dan membimbing anak muda bangsa agar berhasil dan bermanfaat.

Widya berhasil mengajak ibunya pindah ke Jakarta untuk menetap disana dengan rumah yang jauh lebih baik dari rumahnya dikampung ataupun dikosnya dulu.

Ibu Lastri sekarang sudah memaafkan semua orang termasuk keluarganya dan menganggap Suleha seperti anak kandungnya sendiri.