Lompat ke isi

Dito dan Penyihir Angka

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis

[sunting]

Dito sangat membenci angka atau yang berhubungan dengan angka. Suatu hari, penduduk kotanya terkena sihir dari Penyihir Angka yang sudah mengambil semua angka dari dunia. Akhirnya, dia berpetualang di dunia Logika untuk mengalahkan Penyihir Angka bersama Asla.

ilustrasi penyihir angka

Lakon

[sunting]
  1. Dito
  2. Asla
  3. Penyihir Angka

Lokasi

[sunting]
  1. Hexapolis
  2. Dunia Logika

Cerpen

[sunting]

Langit cerah menyelimuti kota Hexapolis. Sebuah kota dengan berbagai teknologi canggih yang memberi kenyamanan seluruh penduduknya. Salah satunya adalah tidak adanya lagi batasan antara satu dengan lainnya. Dalam artian, kita bisa terhubung dengan semua orang tanpa mengenal jarak juga waktu. Seperti dalam sebuah game, kita bisa terhubung dengan banyak orang dari tempat berbeda dan berada dalam satu dunia yang sama.


Di kota nan canggih itu, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Dito. Anak laki-laki dengan rambut ikal itu, berbeda dari penduduk Hexapolis lainnya. Dia tak menyukai angka ataupun metode-metode numerik yang menurutnya sangat menyebalkan. Dia selalu menyelesaikan setiap masalahnya dengan seenaknya. Bahkan, untuk masalah jual-beli pun, dia melakukannya seenaknya karena selalu melewatkan kelas matematika di kelasnya. Termasuk saat ada pelanggan yang mengunjungi toko buah milik kedua orang tuanya.


Suatu hari, kehidupan kota tersebut terasa berantakan tak seperti biasanya. Lampu lalu lintas yang berubah tak beraturan, kegiatan jual-beli yang dirasa tak sesuai aturan, hingga waktu yang terasa lebih aneh dari biasanya. Meski tak menyukai matematika dan sejenisnya, Dito bisa menyadari semua perubahan yang terjadi. Bahkan, dia merasa aneh saat mendapati mata setiap orang berubah menjadi abu-abu.


“Jadi 5000,” ujar Dito sembari memberikan sekantung jeruk dengan isi 2 buah. Biasanya, orang-orang yang membeli padanya akan sedikit protes karena harganya terlalu mahal. Namun, hari ini mereka malah menerimanya dengan senang hati. Meskipun, uang yang diberikan padanya tak sama dengan apa yang dia katakan.


Dito mengerutkan dahi sambil menatap selembar uang pecahan 1000 yang baru dia terima. Meski dia tak pandai dengan operasi hitung karena tak ingin belajar, dia masih bisa membedakan pecahan setiap mata uang.


 “Orang-orang kenapa sih?” Dito meletakan selembar uang tersebut di laci. Dia hanya perlu menunggu orang tuanya pulang dari pasar agar bisa bermain dengan teman-temannya.


Dito menatap jam dinding. Benar-benar terasa aneh karena tak ada angka di sana. Padahal sebelumnya ada. Dia kemudian menggosok matanya dan berharap yang dia lihat adalah sebuah halusinasi. Ternyata situasi aneh itu benar-benar terjadi. Dia lalu memutuskan melihat ke arah computer. Betapa terkejutnya dia setiap angka yang ada benar-benar menghilang hingga tak tersisa. Dia juga memeriksa setiap harga yang biasanya tercantum pada rak-rak tempat penyimpanan buah-buah di tokonya.


Dito yang diselimuti rasa bingung, segera memeriksa hal lain. Namun, lagi-lagi hasilnya sama. Dia tak mendapati satu pun angka di sana.


“Yey!” Bukannya merasa sedih, anak laki-laki itu malah bersorak. Tanpa adanya angka, dia tak perlu repot-repot lagi menghitung. Dia juga tak perlu menunggu hingga jam tertentu hanya untuk bermain video game kesukaannya.


“Giliranku sudah selesai!” pekik Dito saat kedua orang tuanya tiba di toko. Namun, perilaku mereka benar-benar aneh dengan wajah yang datar seperti mayat, mata yang berubah abu-abu, serta cara berjalan yang sungguh tak seperti biasanya.Telanjur bahagia, Dito akhirnya memilih tak peduli dan melangkahkan kakinya menuju lantai atas. Dia segera meraih sebuah perangkat yang akan dia gunakan untuk memasuki dunia virtual dan bertemu dengan teman-temannya dari tempat yang berbeda.


Awalnya permainan itu berjalan baik. Dito bersenang-senang dengan memainkan sebuah permainan petualangan Bersama teman-temannya. Namun, tiba-tiba sebuah kesalahan teknis terjadi. Layar yang tadinya Dito lihat baik-baik saja, kini perlahan muncul hilang muncul hilang sampai akhirnya seperti sudah rusak. Melihat perangkat bermainnya rusak, Dito segera mengerang kesal. Padahal, dia sedang asyik menyelesaikan misi yang ada dan sebentar lagi dia akan memenangkan permainan.


“Apa ini?” gumam Dito saat sebuah lubang bercahaya violet muncul di monitornya yang dianggap rusak. Meski dengan ragu, dia mengulurkan tangannya dan dibuat terkejut karena tiba-tiba tubuhnya tertarik dan menyusuri lorong gelap dengan kecepatan yang sangat tinggi sebelum berakhir di sebuah tempat dengan dominasi warna merah muda.


Dengan rasa bingung yang mendominasi, Dito mulai menyusuri tempat asing itu. Hingga akhirnya dia terkejut dengan kehadiran seseorang. Namun, detik berikutnya dia merasa kenal dengan sosok yang baru saja muncul di hadapannya. Seorang wanita yang merupakan tokoh utama dari permainan yang sering dia mainkan. Dari warna rambutnya yang sebagian berwarna violet, sudah sangat jelas Dito bisa mengenalinya.


 “Selamat datang!” sapa wanita itu. Namun, karena merasa terlalu terkejut dan berusaha memahami apa yang saat ini terjadi, Dito tak langsung menjawab sapaan dari wanita tersebut. “Aku Asla! Senang bertemu denganmu!”


Dito masih terdiam dengan berbagai pertanyaan dalam kepalanya. Dia benar-benar tak percaya ada di tempat yang biasanya dia lihat dari layar komputernya. Namun, dunianya benar-benar berbeda. Dia sampai berpikir apa ini level terbaru?


Dito tersenyum senang. Dia merasa dirinya sangat keren bisa berada di sana. “Apa yang harus kulakukan? Menyelesaikan misi? Mencari harta karun? Atau … senjata tersembunyi?”


Asla hanya tersenyum mendengar setiap ocehan Dito. Melalui sebuah alat, dia akhirnya bisa menemukan orang yang tak terkena sihir dari penyihir angka. “Apa kamu sadar ke mana perginya semua angka?”


Dito mengerutkan dahinya kemudian mengangkat bahu tak tahu. “Tapi bagus. Jadi, aku tidak perlu menghitung.”


Asla mengeluarkan sebuah tablet. Kemudian, dia menunjukan sebuah peta dengan sebuah titik cahaya di sana. “Angka dan segala hal yang berhubungan dengan perhitungan, hilang karena sihir milik penyihir angka. Semua hal jadi sangat berantakan. Kamu tidak lihat soal lalu lintas? Atau yang sederhana adalah jam. Saat ini di dunia nyata, matahari dan bulan juga bingung harus bersinar kapan.”


Dito tak tahu jika dampak tak adanya matematika akan membuat semuanya berantakan. Dia hanya benci pada matematika karena dirasa rumit. Tanpa tahu jika sebenarnya, matematika adalah teman sejati kehidupan manusia.


“Kekuatan penyihir angka saat ini sangat kuat karena dia marah pada orang-orang yang membenci matematika. Dia juga seharusnya tidak ada di sini. Apa kamu mau membantuku?”


Dito mengangguk. Dia bisa membayangkan petualangan seru apa yang akan mereka lalui untuk mengembalikan angka-angka itu. Selain itu, dia juga ingin menjadi pahlawan super seperti yang dia lihat di TV atau dalam video game. “Apa yang harus kulakukan?”


“Pertama, kita perlu mencari keberadaan penyihir angka lewat semua jejak yang dia tinggalkan. Penyihir angka biasanya meninggalkan jejak setiap setengah jam.”


Dito mencoba menghitung berapa setengah jam itu? Dia memang tahu jam dinding. Namun, yang dia tahu hanya jam pulang orang tuanya dari pasar atau jam dirinya bermain game. Selebihnya, dia tak tahu. Dia memilih untuk mengekori Asla saja tanpa banyak bertanya. Dia yakin Asla pasti tahu jalan.


Dito terkejut saat Asla tiba-tiba menghentikan langkah. Ini membuat dirinya menabrak wanita tersebut dan terbentur kostumnya yang ternyata agar keras. “Ada apa?”



Dito mencari tahu apa yang membuat Asla menghentikan langkah. Dahinya mengerut bingung sambil membaca tulisan yang ada di atas pasir. “Temui aku di arah 4 jam setelah jam 11.”

“Kamu tau?”


Dito berpikir sejenak. Dia biasanya menunggu kedua orang tuanya pulang sekitar jam 1 siang. Dia lantas menggambar sebuah lingkaran dan mencoba membuat jam dari yang dia ingat di kepala. Hingga dia dibuat bingung oleh susunan angka jam dinding. Dia tidak benar-benar mengingatnya.


“Bagaimana ini? Apa ke sebelah sana?”


Asla menggeleng. Ternyata Dito separah itu dalam membenci angka. Dia pikir tidak terlalu parah. “Pantas sihir penyihir angka tidak berfungsi padamu. 4 jam setelah jam 11 itu jam 3, berarti kita pergi ke sana.”


Dito tertawa tanpa dosa. Padahal dia sudah berpikir kalau ada di sana sangat keren. Namun, bisa tahu arah dari membaca jam saja. Setelah ini dia akan belajar. Pasti akan lebih keren jika dia juga bisa membacanya seperti Asla.


Mereka menyusuri gurun itu kemudian masuk hutan. Tempat itu sudah benar-benar berbeda. Langitnya mulai berubah merah dan pohon-pohon juga terbakar. Asla hanya mengangguk sebab tahu semua ini pasti ulah penyihir angka.


“Arahnya menuju kerajaan logika. Kita harus secepatnya menghentikan penyihir angka.”

Dito mau tak mau ikut berlari mengikuti Asla. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar sesuatu di arah kanan. Dia mulai takut akan ada binatang buas yang siap menerkam mereka. Namun, saat dia akan melangkah kembali, kakinya tiba-tiba terjerat akar hidup. Dia benar-benar sulit untuk melepaskan diri. Semakin dia berusaha, semakin kuat akar itu membelit kaki juga tangannya.


“Tolong!”

Asla memukul pelan dahinya saat melihat Dito sudah bergelantung secara terbalik di pohon. Mereka tak punya waktu banyak dan Dito malah terjebak di sana sekarang. “Apa yang kamu lakukan?”


“Tadi aku kira ada binatang buas.”

“Untuk terlepas dari sana sangat mudah. Buat akar itu saling bertemu dan menghasilkan angka ganjil.”


“Ganjil?” Dito berpikir berapa angka ganjil yang harus dipertemukan? Memang di ujung setiap akar tertulis angka, tapi Dito tak tahu penjumlahan yang akan menghasilkan angka ganjil. Dia kemudian mencoba mempertemukan angka 1 dengan angka 3. Hasilnya akar itu malah semakin membawanya lebih tinggi.


“Coba dengan menjumlahkan satu angka ganjil dan satu angka genap. Hasilnya akan ganjil.”


Dito mengangguk. Terkadang, dia iseng menghitung uang yang ada di laci. Kemudian, dia kembali mencoba lagi dan akhirnya berhasil saat dia mempertemukan angka 1 dengan angka 2. “Maaf. Aku malah mengulur waktu.”


“Tidak apa-apa. Ayo.”


Bak dalam sebuah game, Dito terus berjalan mengikuti Asla. Sesekali dia harus memecahkan teka-teki angka yang ditinggalkan penyihir angka agar mereka tak cepat mengejarnya. Tiba saatnya mereka ada di desa kurcaci. Mereka dihadang banyak kurcaci yang memasang wajah kesal.


“Ada apa?”


“Kami ingin makan kue. Tapi tidak cukup.”

Dito mengerutkan dahi. Dia melihat kuenya kemudian menghitung berapa banyak kurcaci yang ada. Kue itu bentuknya sama seperti buah jeruk dan sudah terpotong menjadi 8 bagian. Namun, jumlah seluruh kurcaci itu ada 16 orang. Artinya, mereka perlu membagi lagi potongan kue itu agar semua kurcaci bisa mendapat bagian yang sama rata. Dengan begitu, semua kurcaci akan merasa adil dengan potongan yang sama.


“Boleh aku pinjam pisau?” tanya Dito sembari menatap kue itu. Dia mulai membayangkan bagaimana agar 8 potongan kue itu bisa berakhir menjadi 16 potong. Hingga sebuah ide cemerlang muncul. Dia memotong setiap bagian dengan sama rata menjadi 2 hingga akhirnya ada 16 potong kue dengan besar yang sama.


Para kurcaci bersorak gembira saat kue itu benar-benar cukup untuk semua orang. Mereka berterima kasih dan Dito merasa bangga pada dirinya. Dia tak menyangka akan bisa menyelesaikan masalah itu dan membuat para kurcaci itu tetap hidup damai bersama.


“Ternyata matematika bisa membuat perdamaian. Mungkin jika tidak ada perhitungan, para kurcaci bisa saling memusuhi,” ujar Dito.


Mereka terkejut saat merasa bumi berguncang. Kemudian, muncul lah sosok penyihir dengan jubah yang menutupi wajah. Dia tertawa dan membuat Dito takut hingga bersembunyi di balik tubuh Asla.


“Bukankah kau sangat membenci angka?” tanya penyihir itu diiringi tawa. “Wah, tidak disangka kau berakhir di sini dan membuat desa kurcaci tetap rukun.”


“Kenapa kau menghilangkan angka?” tanya Dito.


“Sederhana, banyak sekali orang yang ingin matematika hilang. Jadi aku mengambil semua angka dengan sihir. Bagaimana kau senang ‘kan?”


Dito menggeleng. Melalui perjalanannya, dia sadar kalau angka tak selamanya buruk. Justru angka sudah menyelamatkannya dan mencegah pertengkaran antara kurcaci. Kemudian, dia juga melihat dampak saat angka tiba-tiba menghilang. Lalu lintas jadi tak teratur dan jam juga berputar sesuka hati. “Angka kembalilah!”


Penyihir itu hanya tersenyum miring sambil membuat bola sihir dengan tangannya. Dia menyerang Dito dan Aslan dengan bola sihir itu hingga keduanya terpental. “Kalian pikir bisa mengalahkanku? Tidak bisa!”


Penyihir angka kembali menyerang dengan bola sihir. Kali ini meleset karena Asla menahannya. Tak menyerah, penyihir angka kembali membuat bola sihir yang lebih besar dari sebelumnya. Namun, teriakan-teriakan Dito akhirnya membuat kekuatannya melemah dan semua angka yang dia kurung dalam sihirnya, terlepas dan kembali ke dunia. Ternyata perjuangan Dito tidak sia-sia. Dia bahkan berhasil mengalahkan rasa bencinya pada angka.


Sebuah cahaya terang membuat Dito memejamkan mata. Saat dirasa cahaya itu pergi, Dito kembali membuka mata dan terkejut kini dia ada di kamarnya. “Apa penyihir angkanya sudah kalah?”


Asla tersenyum lalu mengangguk. “Kamu berhasil! Terima kasih.”


Dito berjanji mulai saat itu, dia akan giat belajar matematika. Dari perjalanan yang dia lakukan, ternyata matematika juga menarik. Dia bisa membuat perdamaian dan menyelamatkan Hexapolis dari sihir penyihir angka. Kini Hexapolis kembali seperti biasa. Tak ada lagi kekacauan dan perselisihan akibat angka. Mereka kembali menggunakan metode-metode perhitungan dengan cara yang menyenangkan.