Lompat ke isi

Dongeng Indah Kak Gayatri

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Kak Gayatri, anak pertama dari tiga bersaudara. Ia galak tapi penyayang. Ia menulis dongeng-dongeng indah untuk dibacakan pada adik-adiknya sebelum tidur.

Tokoh[sunting]

  1. Gayatri
  2. Larasati
  3. Kinanti
  4. Bapak

Cerita Pendek[sunting]

Siang Yang Mengalun[sunting]

“Kak, bacakan cerita, dong!” rajuk Laras, begitu Kak Gayatri membuka pintu rumah.

“Ih, kamu kan sudah jago membaca. Kok masih dibacakan?” ledekku.

“Biarin, week! Lebih enak dibacakan. Tidak capek,” balas Laras.

Huh, dasar anak manja. Anak kelas dua SD tapi tingkahnya seperti balita.

Aku dan Laras memang jarang akur. Kami sering berantem dan biasanya Kak Gaya yang melerai. Tentu saja dengan suara tegasnya. Juga lirikan matanya yang bisa membunuh kecoa lewat. Tatapan mata Kak Gaya lebih tajam dari pisau Master Chef di televisi. Sumpah!

“Mau cerita yang mana?” Kak Gaya yang kini kelas 10 itu menunjukkan judul cerita yang ada di aplikasi ponselnya.

“Duma Juga Bisa!”

“Ih, bacanya buku itu terus, apa tidak bosan?” celetukku.

“Biarin, Duma itu strong girl, dia bisa melakukan apa saja,” balas Laras, berbaring di sebelah kakak.

“Pakai bahasa Inggris saja ya biar kamu sekalian belajar!”

Anak itu merengut. Bahasa Inggris menakutkan untuknya. Menurut Laras, lebih mudah belajar bahasa kalbu daripada Bahasa Inggris. Hihi.

“Bahasa Inggris susah. Bacanya tidak sesuai tulisannya,” rengeknya.

“Makanya harus dibiasakan biar cepat lancar,” ujar kakak mulai membaca.

Suaranya yang jernih mengisi keheningan rumah kami. Angin sepoi-sepoi dari jendela ruang tengah terasa menyejukkan. Kami berdua jadi terhibur olehnya.

Mendongeng dari Hati[sunting]

Ya, Kebiasaan membacakan buku ini sudah dimulai bertahun-tahun lalu. Tepatnya, setelah Ibu meninggal. Ya, ibu kami dirawat di rumah sakit dan tak pernah kembali.

Waktu itu, Kak Gayatri masih kelas enam dan aku kelas lima SD.

Kak Gayatri dan aku sedang menonton televisi. Adegannya seorang ibu membacakan dongeng untuk anaknya sebelum tidur. Tiba-tiba, Kak Gaya menangis tersedu-sedu!

Aku langsung kaget. Sumpah, aku nggak jahilin dia lho. Nggak ada apa-apa kok nangis? Filmnya juga tidak seram atau sedih.  

“Kasihan ya kalian tidak pernah dibacakan cerita atau didongengi Ibu,” tangisnya.

“Kasihan kenapa?” aku mengernyit.

Aku yang sudah lancar baca sejak TK sih lebih senang baca buku sendiri karena bebas memilih buku yang aku inginkan.

“Kalian nggak pernah dibacakan Ibu. Dulu, aku sering dibacakan Ibu buku sebelum tidur. Aku suka pelukan Ibu. Kamu ingat tidak, dipangku Ibu saat ia bacakan cerita tapi kamu nggak bisa diam? Sampai aku menjitakmu karena kesal tidak bisa mendengarkan cerita Ibu,”

Aku menggeleng. “Mungkin aku trauma Kak dengan pukulanmu jadi aku amnesia,”

Duk! Kak Gayatri meninju lenganku. Ampun, sakit banget! Dia ini anak cewek atau Hercules, sih?

Kak Gaya Panutanku[sunting]

“Waktunya membaca buku!” teriak Kakak, memegang sebuah buku tipis dari perpustakaan sekolahnya.

“Asyik! Aku mau dipangku, Kak!” teriak Laras.

“Nggak ah, berat!” kata kakak, menepuk kasur di sebelahnya. Menyuruh kami duduk dekatnya. “Judulnya Bugi Hiu Suka Senyum!”

“Ih, Hiu kok tersenyum. Seram banget kan giginya runcing dan tidak rapi! Harus pakai behel!” protesku.

Laras tergelak. “Iya, aku pernah lihat di buku Vio temanku, gigi hiu banyak dan berantakan!”

“Bugi ikan hiu paling ramah di samudra. Senyum Bugi tidak seperti..”

Kami terhanyut mendengarkan suara kakak yang jernih, sesekali cempreng dan serak kalau ia mulai capek membaca. Asyik kali ya, aku minta dibacakan novel Harry Potter setebal bantal? Hahaha. Suara Kakak bisa langsung hilang!

Tekad Kak Gayatri[sunting]

Dasar kakak memang bertekad kuat sesuai namanya.

Ia bertekad membacakan kami cerita tiap malam. Saat ia kehabisan buku bacaan, Kakakpun mulai menuliskan cerita sendiri untuk kami dengan imajinasinya. Ceritanya kebanyakan aneh. Sumpah. Ada cerita Putri gula kapas yang hobinya makan gula kapas tapi nggak mau makan nasi, terus ada cerita Cokelat yang bisa terbang ke mulut anak kecil yang kelaparan. Semua cerita sepertinya diilhami dari makanan. Kakak memang gembul dan tukang makan, haha.

Ups, Aku bisa dijitak kalau dia tahu aku mengatainya gembul!

Semua Ada Jalannya[sunting]

Suatu hari, Kak Gayatri nggak ada ide untuk menulis cerita.

Padahal, nanti malam ia harus membacakan cerita pada kami.

“Huhuhuhu..” ia menyembunyikan wajahnya di bantal.

“Kakak kenapa?”

Ia menangis keras-keras sambil menunjukkan kertas HVS kosong padaku. Aku mengambil kertas itu dan menggambar mukanya yang sedang menangis. Jelek banget! Haha.

Plak! Bahuku dikeplak! Huhuhuhu.

“Ada apa? Kok menangis begitu?” Bapak tergopoh-gopoh masuk kamar kami.

Bapak lalu duduk di tepi ranjang dan menunjuk bahunya.

Kakak menaiki punggung Bapak sambil tersedu-sedu.

“Bapak, aku juga mau gendong! Pak, mau!” teriak Laras heboh.

Coba aku ada kamera ya pasti kuabadikan wajah Kakak. Lucu banget! Haha. Lumayan, bisa untuk jadi kartu AS kalau mau minta sesuatu ke dia, hohoho. Kalau tidak dituruti, akan kusebar foto mukanya yang sedng mewek.

Kakak memeluk leher Bapak, lesu.

“Ternyata, kakak juga manja ya,” ledek Laras geli. Aku mengangguk.

“Ada apa, Kak?” tanya Bapak.

“Kasihan adik-adik, Pak. Hari ini mereka tidak ada cerita. Aku tidak bisa menulis cerita hari ini. Aku sudah berusaha cari ide. Baca majalah Bobo, nonton sinetron Carita de Angel tapi gagal. Tetap tak ada cerita. Nanti malam pasti Laras nggak bisa tidur.”

“Cerita? Cerita apa?!” Bapak mengerutkan kening.

Aku lalu cerita tentang kebiasaan kakak mendongeng pada kami. Bapak termangu. Ia tidak menyangka bahwa sudah berbulan-bulan, anak sulungnya membuat cerita dan membacakannya untuk adik-adiknya.

Bapak selalu pulang malam akhir-akhir ini karena pabriknya sedang banyak produksi. Sehabis Magrib, biasanya kami dititipkan ke Bude Tika, tetangga kami untuk sesekali diawasi.

Kak Gayatri menunjukkan buku kumpulan dongengnya yang aneh pada Bapak. Bapak menerima bukunya dengan tangan bergetar. Ia lalu pelan-pelan menyusut matanya.

“Hayo, Bapak menangis ya?” Ledekku.

“Bapak kelilipan,” katanya membuka-buka buku tulis tebal dengan tulisan tangan kakak yang rapi. Dilengkapi gambar-gambar yang berantakan kayak karya anak TK. Kakak memang nggak bisa menggambar.

“Kamu anak baik, Nak. Bapak yakin kelak kamu akan jadi anak yang berhasil. Kenapa nggak bilang Bapak pas kamu capek atau nggak ada ide? Itu biasa dialami penulis. Writer block. Bapak punya banyak persediaan cerita untuk kalian. “

Ya, Bapak memang gudangnya cerita. Ia berperawakan tinggi besar, suara menggelegar, tapi orangnya lucu dan punya banyak cerita seru.  

“Maafkan Bapak selalu lembur ya jadi nggak pernah sempat bercerita.” Bapak memeluk Kak Gaya.

Kakak mengangguk. “Kakak takut ganggu Bapak. Kasihan, Bapak sudah capek,”

“Nggak capek kok kalau hanya satu cerita setiap malam. Nanti gantian dengan Bapak, ya.”

Kak Gaya tertawa, mengangguk.

“Hm, Sebenarnya, kamu tidak perlu menulis cerita setiap hari jika tak ada ide. Kamu bacakan saja satu dongeng dari bukumu ini untuk adik-adik.”

Kak Gayatri terbelalak. Matanya membulat.

“Iya, ya. Kenapa aku rajin sekali menulis cerita ya? Kenapa nggak kubacakan saja dongengku? Hm, Mungkin suatu hari nanti aku bakal jago menulis dan sekaya Auntie JK Rowling!” ia bertepuk tangan. Ekspresinya lucu sekali.

Iya, Kakak yang maunya serba sempurna itu nggak kepikiran. Kenapa nggak membacakan dongeng yang ada saja untuk kami daripada pusing bikin satu cerita setiap hari, Haha.