Dongeng Tentang Bumi

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

DONGENG TENTANG BUMI Linda Kartika Sari Buku, sunyi, dan sendiri adalah momen paling menyenangkan bagi Salma Clavinova. Gadis berumur sepuluh tahun tersebut adalah pecinta buku. Rambutnya yang bergelombang ia biarkan diterpa angin siang, hari ini cuaca agak mendung. Ditemani dengan buku tebal yang membahas dunia fauna, Salma mengamati dengan saksama kalimat demi kalimat yang tercetak di dalamnya. Salah satu bacaan yang paling menyayat perasaannya adalah mengenai berita punahnya penyu hijau di lautan lepas. Makhluk yang diperkirakan dengan spesies terbanyak tersebut banyak yang hilang diburu manusia, atau mati karena pencemaran perairan di lautan. Tangan mungil Salma meraba binatang yang hanya bisa ia lihat visualnya itu, kendati mata bulat beningnya berkaca-kaca. Padahal, Tuhan menciptakan dunia manusia, hewan, dan tumbuhan itu berdampingan, agar semua saling mengerti jika satu sama lain itu melengkapi. Terlalu terhanyut dengan bacaan di pangkuannya, Salma tidak menyadari jika seorang wanita yang kira-kira berumur dua puluhan duduk di sampingnya. Sedari tadi, wanita berflanel kotak-kotak itu mengamati gadis mungil di sampingnya. Entah karena kagum atau apa, wanita itu tidak bisa mengalihkan pandangannya barang sejenak ke arah lain. Suara dehaman akhirnya membuat Salma peka untuk menyadari kehadirannya. “Kakak boleh duduk di sini, ‘kan?” Salma mendongak, mendapati wajah cantik itu tengah tersenyum semringah. Cantik. Gadis itu tidak memungkiri kecantikan alami wanita dewasa di sebelahnya ini. Salma balas tersenyum, mengangguk tanda setuju. “Nama Kakak, Sani. Panggil Kak Sani saja, kalau kamu?” “Salma, Kak,” jawabnya sekenanya. “Kok kamu tidak bermain seperti yang lainnya?” Sani kembali mencairkan suasana. Sebagai calon sarjana psikologi, ia harus mampu menganalisis keadaan di sekitar. Termasuk, memahami tingkah laku anak kecil seperti Salma ini. “Kata Mama, kalau kita mau menyelamatkan alam semesta, bumi, kita harus banyak membaca. Tidak perlu menghabiskan waktu tidak penting seperti halnya bermain.” “Hm, begitu ya? Memangnya hubungannya dengan membaca dan menyelamatkan bumi, apa?” Sani tidak bisa lagi menutupi ketertarikannya terhadap perkataan Salma. “Kalau kita punya banyak pengetahuan dan imajinasi, kita pasti bisa menciptakan alat-alat canggih yang akan mempercantik bumi!” Sani melihat mata yang berbinar-binar ketika Salma menyebut kata bumi. Ah, sepertinya gadis polos ini sangat menyukai alam semesta, terlebih ia sempat melirik sekilas cover buku yang dibaca Salma, dunia fauna. Sani tersenyum cerah, tangannya terulur untuk mengambil notes kecil dan bolpoin mini di saku. “Kakak punya dongeng, dongeng tentang bumi. Apa kamu mau mendengarnya?” Salma mengernyitkan dahi, selama ini tidak hanya buku nonfiksi yang menjadi pilihan bacaannya. Melainkan juga cerita dongeng dan sejenisnya, tetapi ia merasa tidak pernah mendapati buku dengan dongeng tentang bumi. “Memangnya ada ya, Kak?” tanya Salma dengan rikuh. “Ada dong, makanya dengarin aku cerita ya.” Sani terkekeh melihat wajah polos itu menatapnya bingung, kendati demikian, ia memulai debutnya sebagai narator cerita.

Dahulu, Tuhan memutuskan untuk menciptakan sembilan planet dalam tata surya sebelum manusia ada, untuk meninggali salah satu planetnya. Kesembilan planet itu bernama; Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan Pluto. Bumi merupakan planet teristimewa yang Tuhan ciptakan, Dia beri jutaan pohon hingga membuat warnanya hijau, laut yang tidak terhitung banyaknya, gunung yang menjulang tinggi yang memberi hawa menyejukkan, dan tidak lupa ... Tuhan selimuti Bumi dengan atmosfer agar Matahari tidak membuat Bumi terluka karena sengatan panasnya. Awalnya, kesembilan planet itu berevolusi terhadap Matahari secara teratur, berputar dalam orbitnya. Sampai pada suatu hari, Pluto sebagai planet terkecil yang Tuhan ciptakan merasa terkucil di antara delapan saudaranya. Ia paham akan hal itu, jika dibanding Jupiter si planet raksasa, Saturnus si planet cantik jelita, Merkurius si planet perkasa yang mampu berdekatan dengan Matahari yang teramat panas, dan apalagi dengan Bumi; definisi sempurna untuk ditinggali makhluk hidup. Pluto adalah planet biasa-biasa saja, tubuhnya paling kecil dibanding delapan saudaranya, dan ia tidak berdekatan dengan Matahari. Sebagai planet terakhir yang Tuhan ciptakan, Pluto merasa jenuh, ia pun sempat berdoa agar ia menjadi benda luar angkasa saja tanpa ada titel planet di depan namanya. Tuhan pun mengabulkan doa itu, dengan syarat Pluto tetap menjaga hubungan dengan kedelapan saudaranya. Jika Pluto bisa mengakui, ia sangat tertarik untuk menjadi pengganti Bumi, apabila saudaranya itu lelah. Bumi adalah definisi paling tepat untuk merangkum kata sempurna. Tuhan memilihnya sebagai tempat untuk ditinggali manusia, tidak seperti Pluto yang jauh dari peradaban kehidupan. Ah, beruntung sekali Bumi ini. Tetapi, belakangan ini, Pluto sering mendengar jerit Bumi, Bumi yang sedang meneteskan air mata, dan Bumi yang melenguh terluka. Tidak jarang, Pluto mendengar suara Bumi yang meronta kepanasan, selimut atmosfer yang Tuhan beri terlihat tercabik-cabik mengenaskan. Suatu hari, saat Pluto mengunjungi Bumi, ia pun tidak bisa memungkiri untuk sekadar bertanya, “Bumi, ada apa dengan dirimu? Apa kamu tengah kesakitan? Biar kusampaikan kepada Tuhan agar Beliau segera menyembuhkan.” Melihat kepiasan di wajah Pluto, Bumi pun menjawab, “Tuhan telah menyembuhkanku beberapa kali, tetapi seluruh tubuhku kembali dirusak oleh tangan-tangan jail manusia. Aku yang memberi mereka sumber kehidupan, aku yang memberi mereka tempat tinggal. Tapi, mereka membalasku dengan merusak alam semesta, mereka meranggas habis hutanku, mengeruk serakah hasil lautku, dan tidak segan mereka melubangi atmosferku dengan teknologi baru. Sungguh, aku sama sekali tidak mengerti apa kesalahanku.” “Tidak hanya itu, kepada sesama makhluk pun manusia tak ubahnya makhluk yang tidak berakal. Aku mendengarkan keluh kesah hewan dan tumbuhan yang sebagian punah di tangan mereka.” Bumi menimpali. “Lalu, mengapa kau masih bertahan? Kau bisa saja mengikuti jejakku untuk mengundurkan diri sebagai planet. Aku yakin, Tuhan pasti mengabulkan doamu.” “Belum saatnya Pluto, aku adalah Bumi. Ketika manusia menghancurkanku dengan tangan-tangan jailnya, sesungguhnya ia pun menghancurkan dirinya sendiri. Tuhan mematri janji kepadaku, apabila telah tiba waktunya maka aku akan benar-benar beristirahat dengan tenang bersama kau dan tujuh saudara kita.” “Kapan itu terjadi, Bumi?” tanya Pluto penasaran. “Saat manusia benar-benar lupa akan rasa bersyukur, berterima kasih, dan tidak mengagungkan lagi nama pencipta-Nya.”

Tak urung, Salma sangat takjub mendengarkan dongeng itu. Bumi memang diam ketika tangan-tangan usil manusia menjamahnya dengan serakah, tetapi Tuhan sebagai penciptanya tidak akan tinggal diam berpangku tangan. “Nah, sekarang kembali lagi kepada tujuanmu belajar dan membaca buku ini.” Sani mengambil buku fauna di tangan Salma, menimang sekilas lalu menyimpannya kembali tepat di antara mereka. “Bumi tidak butuh manusia pandai, pengetahuannya seluas samudra sekalipun. Bumi hanya butuh kepedulian dan kepekaan kita sebagai umat manusia. Banyak loh teman Kakak, nilainya tinggi tapi buang sampah saja masih sembarangan. Suka boros kertas, mengambil hasil tambang Bumi, tapi tidak peduli dengan keadaan Bumi.” “Terus, bagaimana Kak caranya agar kita peduli dengan Bumi?” Sani benar-benar dibuat kagum dengan kecerdasan gadis kecil di hadapannya ini. “Kepedulian itu dimulai dari diri kita sendiri, membuang sampah pada tempatnya, peduli dengan hewan dan tumbuhan, dan melakukan penghijauan misalnya. Itu sudah cukup buat Bumi.” “Ah ya, sepertinya Kakak harus pergi karena ada janji. Nah, Salma, karena kamu adalah orang pertama yang mendengar dongeng ini. Ayo tutup mata! Kakak ada hadiah buat kamu!” Salma menuruti, dengan mata terpejam rapat, ia menanti dengan suasana hati yang benar-benar berdegup kencang. “Sudah, sekarang buka matamu!” Begitu mata bening itu terbuka, bibirnya melengkungkan senyum yang indah. Sebuah gantungan replika bumi yang ciamik ada di genggaman tangannya. Gadis itu menatap Sani dengan rasa bahagia. “Sst, ini adalah tanda misi kita. Kalau kamu berhasil mengajak teman-temanmu untuk mencintai dan merawat bumi, mari beri mereka apresiasi. Tanpa Bumi kita mati, tanpa kita maka Bumi pun hampa. Mari bertemu kembali esok nanti, Salma!” Salma mengangguk antusias, menatap punggung mungil Sani yang kini terlihat menjauh. Ah, rupanya sesederhana itu untuk menyelamatkan Bumi.








Profil Penulis Bernama lengkap Linda Kartika Sari, gadis Jawa yang bertempat tinggal di Pasuruan Jawa Timur ini mulai menuliskan getar-getar aksaranya dalam sebuah karya sederhana berbentuk cerpen, flash fiction, dan novel. Merupakan kelahiran 8 Desember 2000 yang kini berstatuskan mahasiswa di Universitas Airlangga, pernah mengenyam pendidikan di SMAN 3 Pasuruan jurusan MIPA. Selain menulis, kegemaran lainnya adalah menjadi seorang pangrawit yang senang dengan gending-gending Jawa. Keep in touch with me on: LinkedIn: Linda Kartika Sari