Lompat ke isi

Ekspedisi Trenggiling

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis

[sunting]

Sebuah kisah petualangan dan eksplorasi Rara bersama saudaranya di hutan belakang rumah neneknya untuk mencari jejak trenggiling. Akankah petualangannya yang penuh dengan tantangan dapat terselesaikan dan membuahkan hasil yang sesuai tujuannya.

Tokoh

[sunting]
  1. Rara
  2. Cendana
  3. Baron

Latar Tempat

[sunting]

Kalimantan Barat

Cerpen

[sunting]

Dalam suatau rumah di kaki bukit yang tenang, datanglah seorang anak bernama Rara datang dari kota. Anak ini tidak punya rasa takut akan sesuatu hal yang biasanya anak kecil takutkan. Dia datang ke rumah nenekya yang berada di Kalimantan bersama keluarganya, sesampainya di tempat tujuan, tanpa ragu Rara langsung menyeletuk, “Nenek, lusa aku ingin mencari trenggiling di hutan belakang,” kata Rara tergesa-gesa dan terdengar memaksa. Nenek diam sekejap dan menjawab. “Baiklah, tapi nenek akan meminta Baron dan Cendana untuk pergi bersamamu, tidak ada kata tidak,” jawab nenek dengan tegas dan sedikit menyunggingkan bibirnya. “Hmm, apaboleh buat, baiklah, hari ini juga aku akan membeli perlengkapan di toko seberang,” tegas Rara mantap sambil menatap kedua orang tuanya yang masih kebingungan atas sikap Rara. Sesaat kemudian, sampailah Rara di toko serba ada bersama kedua orang tuanya. Rara mengambil hampir semua benda yang menarik baginya dan dimasukkan ke dalam kranjang belanja. “Hentikan, Nak. Apa tujuanmu ke sini, tidakkah kamu mengambil terlalu banyak barang yang tidak berkaitan dengan petualanganmu besok?” ucap Bunda Rara, sambil menenteng boneka beruang dan bando kuda poni. Rara mematung sejenak, seakan berpikir bahwa benar dia terlalu berlebihan, dan dengan cepat dia kembali menghampiri kranjang belanja dan mengembalikannya sambil tersenyum nyengir. “Hehe, maaf Bunda, Rara terlalu bersemangat,” ucap Rara sambil mengaitkan kedua tangannya di depan tubuh. Bundanya tersenyum dan mengelus kepala Rara dan terlihat di belakang Ayahnya yang tersenyum sambil sedikit memiringkan kepala. “Oke, ini sudah siap. Aku akan menemui Cendana dan Baron sekarang juga,” kata Rara setelah kembali ke rumah Nenek dan pergi begitu saja tanpa menghiraukan orang sekitarnya. Sesampainya di tempat Baron dan Cendana berada, Rara langsung membicarakan rencananya untuk berpetualang mencari trenggiling. Dalam beberapa saat Baron tidak tertarik karena, dia pikir itu terlalu kekaak-kanakan dan mustahil. “Kenapa, itu menyulitkan dan memangnya bisa menemukan jejak trenggiling dalam waktu sesingkat itu?” ucap Baron sambil mengernyitkan dahinya. “Tenang saja, kemarin aku sudah banyak membaca tentang kehidupan trenggiling, dan dulu Nenek juga pernah bilang di hutan belakang rumah ada trenggiling,” tegas Rara meyakinkan Baron. “Wah itu, sepertinya akan sangat hebat. Aku akan membawa kamera kecil untuk memotretnya,” balas Cendana dengan mengusap rambutnya yang bergelombang terurai sebahu. “Hmm, mau bagaimana lagi, aku harus menjaga Cendana. Baiklah aku ikut, tapi kalian harus mendengar kataku sebagai kakak, dan terus berdekatan satu sama lain,” sambut Baron menegaskan. Kemudian, Rara tersenyum puas sambil membayangkan ekspedisi mereka esok hari dan pulang untuk menyiapkan ranselnya dalam ekspedisinya besok.

Memulai Ekspedisi

[sunting]

Keesokan harinya, dengan semangat yang meletup-letup, Rara menyuap sarapan dengan lahap ke dalam mulutnya yang mungil lalu bergegas ke depan rumah menunggu Baron dan Cendana tiba di rumah itu. Setelah beberapa menit, keduanya datang dan menyapa orangtua dan nenek Rara dengan sopan. Sempat neneknya menawarkan untuk menemani namun, mereka bertiga dengan percaya diri menolak saran Nenek dengan tegas. Perjalanan untuk masuk ke dalam hutan sekitar sepuluh menit dari rumah neneknya, karena jaraknya tidak terlalu jauh. Dan saat itu pula ketiganya memulai petualangan ke hutan dengan ransel yang lumayan besar digendong di punggung mereka yang mungil. Sekelompok pohon yang tampak seperti berunding menggoyangkan ujung daun-daun mereka memmbentuk gerbang hijau yang sejuk dan daya tariknya yang tinggi merasuk ke dalam perasaan Rara dan Cendana, tanpa disadari mereka bertiga sudah berada di hutan seakan memasuki gerbang pertama pintu kerajaan hijau. Beberapa saat setelah puluhan langkah dari gerbang pohon, terlihat, rimbunnya daun pinus merkusii yang tumbuh subur tanpa penghalang apapun. Warnanya yang hijau dengan daun yang selayaknya duri panjang sangat menawan membuat Cendana secara reflek mengeluarkan kamera digitalnya yang sudah usang. Sembari memotret deretan pinus yang tumbuh subur mata Cendana sangat berbinar begitu pula Rara yang sangat antusias hingga menyentuh tubuh pohon tersebut hingga tekstur kasar dari kulit coklat kehitamannya terasa bergelombang dijari Rara. Dengan terus melangkah dan masuk ke dalam hutan kecil itu jalanan semakin terjal, betonisasi yang bergerimpil di bagian pinggirannya, membuat hati Baron was-was sambil terus melihat Cendana yang lincah menapakkan kakinya di jalan penuh dengan lumut hijau. Warna hijau cerah itu, memang sempurna di dalam pandangan, namun tidak dihati Baron. Jalanan yang lembab dan sedikit licin, sangat menakutkan untuk dipandang lekat-lekat, namun bagaimanapun itu, Baron tetap terus menatap Adiknya Cendana dan Rara yang masih kegirangan tanpa terlalu memperdulikan sekitarnya. Langkah demi langkah dilewati, dan dari kejauhan terlihat tumbuhan yang mengantung dengan warna hijau muda dan bercak merah yang begitu menarik. “Wuahh, lihat itu Baron, bukankah itu kantong semar?” tunjuk Rara sambil menyodorkan badan dan menyipitkan matanya ke arah barat tempat tumbuhan itu menampakkan dirinya. Dengan cepat Baron menjawabnya. “Benar sekali, itu Kantong semar atau Nepenthes gracilis, kantong semar jenis itu, banyak ditemui di sini, apa kalian tahu, mereka makan serangga.” Jelas Baron sambil terus melihat ke arah tanaman itu. “Wah benarkah, Bang? Indah sekali, bagaimana mereka memakannya? Apa mereka punya gigi?” tanya Cendana sambil meringis hingga matanya mengecil. “Hohoho, aku juga tahu, aku sudah membacanya di buku, tentu saja mereka tak punya gigi Cendana, tapi mereka punya cairan di dalam tubuh yang dapat memerangkap serangga itu.” jelas Rara bangga, dan tersenyum miring ke arah Baron walaupun dia tak peduli akan kesombongannya. Dan seperti di awal, Cendana memotret tumbuhan itu dengan menarik lengan abangnya sedikit mendekati tanaman tersebut. Sebenarnya, mencari rumah atau jejak trenggiling itu sangat susah terlebih lagi apabila tanah tertutupi oleh rerumputan, sehingga jejaknya tak akan mudah dilihat. Namun, belakangan ini banyak sekali kasus hilangnya trenggiling di suatu daerah misalnya di rumah nenek Rara Kalimantan Barat, untuk itulah Rara berencana untuk mencarinya, lagi pula dia juga belum pernah melihatnya langsung. Karena ketertarikannya pada flora dan fauna membuatnya bersemangat untuk terus mencari trenggling yang sering diambil secara paksa dari habitat aslinya. Dalam perjalanan yang lebih jauh, Rara, Cendana dan Baron yang berada di belakang sendiri dalam urutan mereka berjalan, mendengar suara nyanyian kecil yang sangat merdu, hingga membuncah perhatian mereka dan akhirnya berhenti dengan seketika. Suara itu terdengar sangat nyaring dan menawan, bersautan di ujung pohon meranti yang tingginya sekitar 40 meter itu. Bertaburkan cahaya matahari yang terang pola-pola bulatan kuning dan merah hingga putih tertangkap mata mereka bertiga yang berasal dari bauran sinar matahari, sambil menyipitkan mata ketiganya terus mendongak ke kanan dan ke kiri, untuk mencari asal dari nyanyian yang merdu itu. Beberapa saat setelahnya, secara sekilas terlihat burung kecil yang menawan hinggap di pohon satu ke pohon lainnya sambil bernyanyi dengan cicitannya yang khas menggema di hutan yang penuh dengan pohon tersebut. Burung tersebut terlihat memiliki seerkas warna merah di bagian dadanya dengan tubuh lain yang didominasi dengan warna hitam atau sering disebut dengan burung cabai panggul hitam. “Itu, disana aku melihatnya,” ucap Rara sambil mengaungkan telunjuknya. Dengan cepat Cendana terus meilhat ke atas dan menyipitkan mata sambil menyodorkan kameranya untuk bersiap memotret. “Dimana, aku tidak melihatnya,” jawab Cendana dengan penuh antusias, hingga tak memperhatikan sekelilingnya. Seketika itu Baron melihat cendana sedang berada di tepi lubang yang dalamnya sekitar setengah meter. Dengan terbelalak dan berlari menuju Cendana, Bruno berteriak, “Dik, majulah jangan mundur!” ucap Baron sambil berlari. Karena terkejut, tanpa sengaja cendana melangkahkan kakinya ke belakang, dan kakinya terpeleset dari pijakannya. Bruukk Cendana jatuh terperosok ke dalam lubang itu, kedua saudaranya pun langsung secara serentak memanggil nama Cendana. Lubangnya lumayan dalam dengan tinggi Cendana yang kurang lebih hanya satu meter, karena tubuhnya yang mungil dia kesulitan untuk dapat keluar dari lubang itu, karena terkejut Cendana menangis dengan keras dan terus berusaha untuk naik ke atas. “Abang, Kak Rara, tolong Ana. Ana tidak bisa naik..,” tangis Cendana sambil menyodorkan lengan dan satu lengannya menggosok matanya yang berair. Dengan sigap Baron mencari alat untuk dapat mengeluarkan Adiknya itu dari dalam lubang. Sedangkan Rara malah panik dan menyalahkan Baron karena tak menjga Cendana dengan baik. “Ini semua salahmu, Baron! Kalau kamu memegangi Cendana dia takkan jatuh. Sekarang Cendana jadi tidak bisa naik, ini semua salahmu!” tegas Rara sambil menatap Cendana yang masih berada di lubang tersebut. Dengan sabar, Baron hanya diam dan mengambil tali tambang serta mengulurkannya kepada Cendana. “Cendana, tangkap ini dan pegang erat-erat, Abang akan menariknya dari atas,” ucap Baron dengan wajah yang penuh kewaspadaan. Saat itu, ketika mencari keberadaan burung cabai Cendana terus menjauh dan tanpa sadar jarak antara mereka bertiga lumayan jauh, dan saat itu Baron sedang mencari air mineral di dalam tasnya untuk diberikan kepada Cendana. Namun Rara yang lebih dekat dengan posisi Cendana tidak menyadarinya. Sehingga Cendana yang sedikit dikejutkan dan berupaya untuk berbalik kepada Baron malah terpleset ke dalam lubang tersebut. “ Iya Bang, Ana pegangan ya..” Cendana memegang tali tersebut sambil menyeka air mata yang sudah berhenti keluar dari dalam matanya. Di saat seperti itu, Baron dengan sekuat tenaga menarik Cendanake atas, namun Rara hanya berdiam diri dan melihat Cendana sambil jongkok dan menapakkan tangannya ke tanah. Saat melihat posisi Rara yang tak bergerak untuk membantu, seketika Baron sedikit kesal akan tetapi dia mengurungkan kemarahannya. “Rara, cepat bantu aku, jangan hanya berdiam disitu,” perintah Baron pada Rara sambil terus menahan tali tersebut. Ketika tersadar oleh kata-kata Baron, dengan cemberut Rara menghampiri dan ikut menarik tali itu dengan sekuat tenaga. “Cendana apa kamu bisa sedikit memanjat ke dinding tanag itu, agar mudah untuk keluar, karena sepertinya tenaga kita tidak terlalu kuat,” nasihat Baron kepada Cendana yang berusaha untuk memanjat ke atas. Dalam beberapa waktu akhirnya Cendana berhasil naik dengan selamat dan dalam keadaan yang baik-baik saja. “Dik, apa yang sakit? Abang ambilkan plester untuk kamu,” tanya Baron sambil mengelus kepala Cendana. “Tidak, Abang. Ana tidak terluka, hanya terkejut saja. Maafkan Ana ya, tadi Ana terus menjauh dan tidak mendengarkan nasihat Abang dan Nenek,” sesal Cendana dengan wajah yang sedih. “Tapi, kak Rara. Ana tidak jatuh karena Bang Baron, Ana hanya jatuh karena mau berbalik menemui Abang saja, jadi jangan marah, lagi pula Ana juga baik-baik saja,” ucap Cendana kepada Rara yang bermuka masam kepada Baron. “Huuh, baiklah mungkin aku memang yang tidak menyadari, aku yang lebih dekat dengan Cendana, malah menyalahkan orang lain, Maaf ya Baron,” sesal Rara sambil menundukkan kepalanya ke arah Baron. “Yah, ini adalah musibah, aku juga salah dan lagi karena kita juga tidak mengizinkan nenek untuk ikut dalam petualangan ini, kalua begitu kita makan sebentar, istirahat, dan nanti saat perjalanan Kembali kita harus berdekatan dan bila perlu memegang tangan Cendana bersama,” ucap Baron bijaksana. “Omong-omong, itu tadi lubang apa, kenapa bisa tertutup seperti itu, sehingga kurang terlihat, jangan-jangan itu lubang trenggiling,” tanya Rara kepada kedua saudaranya dengan antusias. “Bisa jadi, tapi dimana trenggilingnya, apakah sudah pindah rumah? Tapi kalua dilihat Kembali sepertinya ini, memang lubang trenggiling, karena mereka hidup dengan menggali lubang dengan kukunya yang itu, di bawah tanah untuk bersembunyi dan tempat tinggal,” jelas Baron sambil berpikir dan terus melihat sekitar lubang tersebut. Secara tidak sengaja, Rara melihat hewan yang berada beberapa meter dari lubang itu, sedang mengintip dan dengan cepat pergi hingga tak terlihat. Ternyata, itu memang lubang trenggiling, setelah ketiganya sadar dan menyaksikan sendiri hal tersebut, mereka masih bingung dan terdiam melihat ke arah yang sama secara bersamaan dalam kondisi duduk sambil membawa potongan roti. “Hei, yang tadi itu…,” ucap Baron masih ragu-ragu. “Iya, benar itu trenggiling ya Bang, Kak Rara? Yee, aku bisa melihatnyaa, dia sangat lucu. Tapi aku ingin memotretnya dan menunjukkannya pada nenek, tapi sudah pergi,” rengek Cendana yang merasa takjub dapat melihat trenggiling namun kecewa karena tidak bisa memotret. “Iya, sudah dipastikan misi ini selesai, akhirnya aku bisa melihatnya, wahh benar-benar seru,” kata Rara sambil mengangkat kedua lengannya yang mengepal dan berekspresi ceria. Setelah itu, ketiganya merasa sangat puas, dan ingin melindungi trenggiling tersebut. Dengan cepat mereka membereskan makanan dan mengambil sampah yang tersisa. Kemudian, mereka bertiga Kembali ke rumah dengan Bahagia.