Lompat ke isi

Emak Mau Main Lato-lato

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Penulis:[sunting]

Sukiati, seorang ibu dengan 3 (tiga) orang anak laki-laki.

Premis:[sunting]

Dimas jarang ke luar rumah karena bermain game online. Lalu Emak, ibu Dimas memaksanya bermain Lato-lato sehingga Dimas melalui petualangan mental yang sangat berharga.

Lakon:[sunting]

  1.     Dimas
  2. Emak

Lokasi:[sunting]

Desa Bandar Setia, Deli Serdang, Sumatera Utara

Cerita Pendek[sunting]

Emak Beli Lato-lato

Emak Mau Beli Lato-lato

Oleh: Sukiati Sugiono


“Apa?” Emak mau beli Lato-lato?” Tanyaku terkejut ketika Emak, panggilanku untuk ibu, menanyakan berapa harga lato-lato kepadaku.

“Iya. Memang kenapa?” Jawab Emak

“Mak…, Emak kan sudah tua? Ngapain beli Lato-lato? Lato-lato untuk anak-anak lho Mak, seperti aku. Aku saja ga mau belinya, lebay…di mana-mana main Lato-lato…suaranya mengganggu.” tambahku

“Pokoknya belikan saja,” kata Emak ngotot. Emak sudah pesan tiga kali minta belikan lato-lato tidak juga dibelikan. Coba tengok di simpang sana, ada ga dijual. Cepat sudah sore ini, nanti tutup. Emak seperti ga sabar dan terdengar seperti anak kecil yang merengek minta belikan Lato-lato.

Ayah menyahut dari ruang tamu, “Ada nampak ayah di simpang, dijual Lato-lato, banyak.” Aku heran ayahpun seperti mendukung Emak beli Lato-lato. Aneh orang tuaku ini fikirku.

Entah kenapa aku malas sekali pergi ke simpang membelikan Emak Lato-lato. Aku abaikan saja permintaan Emak yang bolak balik minta belikan lato-lato. Aku fikir Emak pasti ga bisa ngomong apa lagi. Dia pasti nyerah memaksaku membelikan Lato-lato. Aku malulah kalau Emak benar-benar main Lato-lato.

#

Besok pagi, setelah pulang belanja dari pasar, kulihat Emak mengeluarkan Lato-lato dari keranjang belanjanya. “Alamak, Emakku inilah…buat malu aja… teriakku dalam hati.

Kulihat Emak, meninggalkan belanjanya, dan mendekatiku. Emak mulai menggoyangkan lato-lato dan tek-tek, tek-tek.

“Dimas, Dimas…ini Lato-latoo....ajari Emak main Lato-lato. Kufikir Emakku memang sudah demam Lato-lato, seperti anak-anak kecil.

“Sudahlah Mak, itu permainan untuk anak kecil, Emak ga usah ikut-ikut,” jawabku tanpa bergerak dari dudukku.

“Ini juga permainan Emak dulu. Waktu Emak kecil, tahun 1980-an, permainan ini sudah ada. Dulu namanya “kletekan,” Emak dulu pandai memainkannya, tapi sekarang Emak kok ga pandai lagi ya…,” kata Emak cari alasan

Dengan rasa malas aku bangun dari dudukku, sambal kuprotes soal nama Lato-lato itu, “bukan kletekan lho mak, tapi ‘tek-tek’.

Tek-tek itu nama di tempat lain, di tempat Emak itu dulu namanya kletekan. Ayoklah..Emak penasaran ini.” semangat emak.

“Ayok coba, Dimas mainkannya, ajari Emak,” lanjutnya.

Aku ambil lato-lato dari tangan Emak, “Begini lho Mak cara mainkannya, mudah saja, kataku.

Tek-tek, tek-tek, tek-tek, langsung angkat,” dan akupun terkejut, karena akupun tidak bisa memainkannya.

“Nah,,,nah…lho Dimas pun tak pandai memainkannya?” tanya Emak terkejut..tapi kata Dimas, mudah saja?”

Langsunglah Emak menyemprotku, dengan kata-kata yang aku sudah bosan mendengarnya. “Makanya jangan main HP saja. Nih mainkan Lato-lato ini, mana HP Emak tadi…sini… jangan main game saja!”

Baru aku sadari, Emak membeli Lato-lato bukan untuk dia, tapi untukku biar ikutan main Lato-lato sepeti anak-anak lain. Aku ga suka Lato-lato. Apa hebatnya fikirku, permainan anak kecil. Cuma goyangkan, bising lagi, belum lagi sudah makan korban, kena kepala, kena mata, kaca lemari pecah. Aku letakkan Lato-lato. Terus aku masuk kamar. Emak pun merepet panjang lebar.

Sejak hari itu, aku tidak diizinkan lagi pinjam HP Emak ataupun HP ayah. Aku disuruh main Lato-lato. Karena ga semangat, aku disuruh keluar mencari teman-teman yang juga main Lato-lato. Kata Emak Lato-lato ini bagus untuk melatih konsentrasi, melatih keseimbangan berfikir. Enggaklah fikirku, lebih enak main game HP. Cuma mainkan jari.

#


Aku pegang Lato-lato pemberian Emak ini dengan tidak bergairah. Aku mulai mainkan, ternyata memang tidak semudah yang kulihat. Aku bunyikan ‘tek-tek’, tek-tek, tek-tek, gagal lagi, ga seimbang. Aku coba lagi, gagal lagi, coba lagi, gagal lagi. Malah tanganku terbelit lato-lato, sakit juga. Kadang-kadang lato-lato bukan saling memantul malah menghantam tanganku. Gagal terus, aku tinggalkan lato-lato, aku mau masuk kamar lagi, enak rebahan aja. Emak marah.

“Padahal Emak yang mau yang beli dan main Lato-lato aku kan ga mau,” kataku sambil keluar kamar. Lalu, Emak mengunci kamarku. Aku terkunci di luar. Emak memaksaku untuk ke luar rumah, sambil merepet kalau Emak dulu justru dilarang ke luar rumah karena asyik bermain saja ke ladang, ke parit, ke sungai, ke kebun manjat pohon, biarpun Emak perempuan. Untuk menghindari repetan Emak akupun ke luar duduk di teras/ ku pegang Lato-lato yang dipaksa Emak untuk kubawa. Kupandangi Lato-lato Emak, “Apalah ini, cuma dua bola kecil. Menurutku lebih enak permainan di HP lebih menantang dan mengasyikkan.

“Sana pergi ke rumah kawan-kawanmu, main Lato-lato bareng,” kata Emak. Aku merasa seperti diusirnya, cuma gara-gara Lato-lato.


#

Sudah beberapa hari aku mainkan Lato-lato. Aku berhasil memainkannya tapi tidak seperti kawan-kawanku. Mereka lancar memainkannya dengan berbagai gaya. Aku terus berlatih. Akhirnya, aku sadari bermain Lato-lato itu mengasyikan juga. Aku sudah mulai terbiasa memainkannya, dan keinginan bermain HP mulai memudar.

Apalagi permainan Lato-lato dibuat perlombaannya di mana-mana. Hadiahnya cukup menarik. Hadiah sepeda yang membuatku ingin ikut lomba Lato-lato. Sudah lama aku minta sepeda, tapi Emak belum punya uang untuk membelikanku sepeda.

Akhirnya, di desaku ada perlombaan lato-lato dan hadiah utamanya? Wow, Sepeda dari pak kepala Desa. Aku harus ikut, fikirku.


#

Lomba Lato-lato[sunting]

Hari perlombaan itupun datang.

“Aku pasti akan menang, karena aku berlatih setiap hari,“ fikirku penuh optimis.

Semua peserta lomba baris berjajar, siap mengikuti lomba.

“Dengar…!! Siapa yang bertahan paling lama maka dia menjadi juaranya! “ kata panitia lomba melalui Toa.

“Ah gampang!” seruku dalam hati.

“Satuu…, duaa…., tigaaaa….!” di iringi lagu dangdut, lombapun dimulai dengan serentak. Kami memainkan Lato-lato penuh harapan akan kemenangan. “Tek-tek, tek-tek, tek-tek, ramai sekali suara dari lato-lato yang dimainkan secara serempak.

Emak menyemangati ku di bangku penonton dengan semangatnya “Dimaas, Dimaas…, Dimaas, ayo kamu bisa nak…!” teriaknya dengan semangat

Aku memainkannya dengan sangat serius. Tapi tanganku tidak seimbang saat memainkannya, hingga tiba-tiba….Lato-lato itu mengenai tanganku, “Aduh…!” kataku terkejut.

Aku peserta pertama yang dieliminasi karena Lato-latoku sudah berhenti. Seketika itupun, aku kecewa.

“Padahal sudah setiap hari aku latihan Lato-lato tapi kenapa bisa kalah’’ gumamku kesal. Aku pergi meninggalkan lokasi lomba dengan penuh kesal dan kecewa, kubuang Lato-latoku di lapangan, kemudian berlari ke rumah sambil menahan tangis.


#

Sampai di rumah aku duduk dengan sedih, sambil membayangkan kekalahanku.

“Aku tidak mau main Lato-lato. Aku bosan. Lato-lato ga ada gunanya” kataku kesal.

Lalu Emak duduk di sampingku sambil mengelus punggungku.

“Dimas, berlomba memang untuk menang. Tapi hikmah dari perlombaan adalah berlatih bersaing untuk menjadi yang terbaik. Dimas tahu enggak?  Hakikat dari persaingan bukanlah mengalahkan orang lain” kata Emak sambil terus mengelus.

Aku pun mendengarkan Emak dengan serius walaupun masih kesal dengan kekalahan ku.

“Hakikat persaingan adalah bersaing dengan diri sendiri, mengalahkan diri sendiri. Dimas harus mampu mengalahkan diri sendiri. Mengalahkan rasa malas, mengalahkan rasa tidak mampu, mengalahkan rasa minder dan mengalahkan lain-lain yang tidak baik dari diri sendiri. Maka Dimas tidak perlu sedih dan malu bila kalah dalam perlombaan, karena Dimas hanya harus mengalahkan diri sendiri dan kalaupun menang, Dimas harus menang dengan cara menjadi diri Dimas yang terbaik.” lanjut Emak.

“Gimanalah itu mak?”  tanyaku kurang ngerti

“Caranya mudah saja Dimas,” Emak terus menyemangatiku.

“Dimas harus melakukan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Itu saja. Dimas pernah enggak mendengar pesan yang mengatakan; “Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dia beruntung. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia merugi dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka dia celaka.” Ini adalah ajaran agar kita tetap berbuat lebih baik dari hari sebelumnya. Jadi Dimas harus berlatih lebih baik dari hari ke hari. Jangan menyerah,” lanjut Emak sambil memberikan Lato-lato yang tadi kubuang di lapangan. Aku pun terharu saat Emak memberikan Lato-lato itu.

Aku bertekad untuk berjuang agar bisa memainkan lato-lato lebih baik lagi, apapun tantangannya.

Setelah dua minggu berlalu aku berlatih Lato-lato dengan serius, Rizki temanku memberi kabar kalau ada lomba Lato-lato di desa sebelah. Hadiahnya juga sepeda. Aku semangat dan izin ke Emak untuk pergi mendaftar.


#

Suara musik dangdut pun diputar pertanda lomba dimulai. Aku dan peserta lain langsung memainkan Lato-lato. Aku serius dan tidak memperdulikan peserta lainnya. Tanpa kusadari ternyata satu per satu lawanku gagal. Aku melirik mereka, ada seorang anak perempuan yang masih bertahan, hebat juga dia, fikirku. Tiba-tiba, “adduuuh,” tanganku terbelit lato-lato. Akupun tereliminasi lagi.

Anak perempuan itu ternyata Yulia namanya.  Anak desa tuan rumah perlombaan. Aku tak menyangka dia sangat hebat bermain Lato-lato. Semua peserta gagal. Yulia jadi pemenangnya.

Aku pulang ke rumah dengan sangat kesal.

“Wah hebat Dimas sudah bisa masuk 7 (tujuh) besar “ kata Emak senang.

“Iya mak, tapi Dimas kalah! “kataku sedih. “Hebat Yulia itu ya Mak..! sesalku dalam hati karena dikalahkan seorang anak perempuan.

“Berarti Yulia sudah latihan lebih dari yang lain sehingga dia lebih terbiasa. Dimas juga sudah hebat bisa mengalahkan 13 dari 20 peserta. Lomba sebelumnya Dimas belum bisa mengalahkan siapapun” kata Emak sambil tersenyum. Itu artinya Dimas sudah menang juga.” kata Emak menyemangatiku

Mendengar Emak, aku pun tersadar bahwa kemampuan bermain lato-latoku meningkat. Aku yakin pada lomba selanjutnya aku akan menang.

Mengambil Pelajaran[sunting]

#

Hari ini, Om Iwan datang ke rumah. Kami bercerita ke sana ke sini termasuk tentang Perlombaan Lato-latoku. Om Iwan memberiku semangat bermain Lato-lato. Dia bilang selain kemampuan memainkan gaya dan daya mantul Lato-lato, endurance bermain juga sangat diperlukan.

“Apa itu endurance Om?” tanyaku

Endurance itu adalah semacam daya tahan diri dalam mempertahankan keseimbangan, kelelahan dan tantangan selama memainkan Lato-lato, jelas Om Iwan.

“Dimas perlu latihan lagi dari awal. Dimas sudah bertahan berapa lama memainkannya?” tanya Omku. “Mungkin 5 sampai 7 menit, Om,” jawabku.

“Baik,!” lanjutnya. “Coba sekarang, Dimas latihan tidak berdasarkan waktu, tapi berdasarkan productivy? katanya pakai Bahasa Inggris. Om Iwan memang orangnya suka sok kebarat-baratan, katanya biar terdengar keren dan pintar.

Productivity itu adalah hasil kerja. Memang hasil kerja bisa diukur dengan waktu. Tapi kadang terasa lama. Nah, sekarang coba Dimas latihan berdasarkan jumlah berapa kali bisa memantulkan Lato-lato, misalnya 100 kali, 200 kali, kalau mungkin 1000 kali.”

“Setelah itu,” lanjutnya. “Coba Dimas latihan sambil duduk, sambil berjalan, sambil lompat kecil, sambil berbalik badan, sambil memutar badan tanpa menghentikan Lato-latonya. Yang paling penting lagi, Dimas harus latihan setiap hari,” tegasnya.

“Dari segi waktu Dimas harus latihan dengan durasi yang teratur misalnya sehari Dimas Latihan satu atau dua jam. Setiap hari. Setiap hari. Karena untuk menjadi seorang professional, seseorang harus berlatih mencapai 10.000 jam. Tapi ada satu lagi hal penting, katanya. “Dimas jangan lupa belajar untuk sekolah. Jangan abaikan sekolah karena Lato-lato. Om Iwan terus memompa semangatku.

Om Iwan bangkit dari duduknya, sambil menuju ke dapur ambil minum. Dia menoleh sambal berteriak kecil, “Ingat Dimas, pepatah Atok kita!

“Apa itu Om?” tanyaku penasaran.

Practice Makes Perfect!!!”

Owalah ..... Omku yang gila ke Inggris-inggrisan.

Akupun mengangkat tangan tanda hormat, “Ashiaaap!” kamipun tertawa.

#

Kali ini pihak kecamatan yang mengadakan lomba. Hadiah utamanya sepeda dan uang tabungan. Aku bertambah semangat untuk ikut. Aku semakin Pede dan percaya diri, karena sudah latihan setiap hari secara teratur.

Kulihat Yulia, juara lomba di kampung sebelah juga ikut, tapi hatiku tidak gentar. Aku sudah mempersiapkan diri dengan matang.

Kami baris berjajar dan berhadap-hadapan karena peserta lomba cukup banyak. Kali ini Yulia berdiri di hadapanku. Yulia hebat dalam permainannya. Aku deg-degan juga, tapi aku yakin bisa mengalahkannya.

Seperti biasa, lomba dimulai dengan lagu dangdut. Aku berdoa, bismillah. Aku mainkan Lato-lato dengan tenang dan serius.

Saking tenang dan seriusnya aku tidak mendengar suara lain, kecuali suara Lato-lato “tek..tek…tek…tek..tek tek..tek…tek…tek..tek.”

Tek..tek..tek..tek..tek” suara Lato-lato itu terus dan masih berbunyi, terdengar indah dan nyaman di telingaku. Hingga akhirnya baru kusadari peserta lomba hanya tersisa, dua orang. Aku dan Yulia. Kami beradu skill Lato-lato. Dan tiba-tiba “Aduuh,” kata Yulia. Aku melihat Lato-lato Yulia putus. Aku terus memainkan lato-latoku sendirian tidak berhenti. Sampai panitia menyatakan aku pemenangnya, aku tetap memainkan Lato-latoku. “OK. Stop!” Seru panitia. Hatiku bersorak gembira. Horeee…Aku menaaang!!!

#

Aku membawa pulang sepeda impian dan tabungan satu juta rupiah. Aku bahagia sekali. Aku menyadari bahwa kemenangan dan keberuntunganku ini bukanlah satu hal yang datang dengan sendirinya. Kemenangan dan keberuntungan adalah hal yang harus diperjuangkan. Terimakasih Emak, yang telah memberi aku pendidikan melalui permainan Lato-lato, agar aku tidak terpuruk di game online semata. Terimakasih Emak karena mengajari aku arti persaingan dan apa arti sebuah perjuangan. Terimakasih Emak karena mau main Lato-lato.

TAMAT[sunting]