Eropa di Tiongkok/Bab 10

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
BAB X.
Sejarah Pra-Inggris Pulau Hongkong.

Keadaan geologi yang membentuk Hongkong terbuat dari material terkeras dan menempatkannya di tempat Benua Asia—yang banyak dijadikan tempat tujuan Tiongkok, Rusia dan Inggris—menghadap ke Pasifik, seperti jika memasukkan belahan dunia lainnya. Sebagai titik kecil di samudra, Hongkong menghimpun kebutuhan besar untuk takdirnya sendiri: untuk dijadikan sebagai ujung tipis dari tepian yang membuka Tiongkok dengan peradaban Barat; untuk membentuk Kunci Inggris di Timur, sebagai Malta dan Gibraltar dari Pasifik; untuk dijadikan penjagaan Tiongkok terhadap dukungan Inggris di sepanjang garis strategis yang dibentuk oleh India, Negeri-negeri Selat dan Laut Tiongkok.

Sebelum diduduki Mahkota Inggris, Pulau Hongkong sangat sedikit diketahui pada catatan khusus dalam Tawarikh atau Topografi Kekaisaran Tiongkok, yang mencantumkannya.

Hongkong, dan bagian seberang dari daratan utama Tiongkok, yang dikenal sebagai Semenanjung Kowloon, bersama dengan beberapa pulau kecil yang berada dekat pesisir (Kellett Island, Stonecutter's Island, Green Island, Tree Island, Aberdeen Island, Middle Island, dan Round Island), semuanya pada saat ini membentuk perbatasan koloni, yang membentuk, sejak masa itu, bagian dari Provinsi Kwangtung (Kanton). Pulau Hongkong (yang memiliki luas sekitar 29 mil persegi) berjarak 76 mil dari tenggara Kanton, dekat mulut Sungai Mutiara, tepi timur yang berbatasan dengan Distrik Tungkoon (24 mil dari tenggara kota Kanton) dan Distrik Sanon (52 mil dari tenggara kota Kanton) yang berada di Semenanjung Kowloon dan Tanjung Kota Kowloon dari ujung tenggaranya, sementara Hongkong terpisah dari Semenanjung Kowloon oleh aliran selebar satu mil.

Selama berabad-abad, Hongkong menjadi bagian dari Distrik Tungkoon, namun kala paruh timur distrik tersebut dijadikan distrik terpisah, yang disebut Sanon, wilayah tersebut kini meliputi Koloni Hongkong Britania yang berada di bawah yurisdiksi Magistrat Sanon yang bermukim di kota tembok di Sungai Kanton bernama Namtau (atau Sanon), dan yang berada di bawah pengarahan Magistrat Tingkat Rendah yang bermukim di kota Kowloon, sebuah kota benteng kecil, yang berada di dekat garis depan Inggris, di pojok timur laut Semenanjung Kowloon. Namun, pendaftar lahan yang membuat Domesday Book untuk beberapa ladang subur dan sayur yang berada di koloni tersebut sepenuhnya bertahan di sepanjang Tungkoon. Ini menggunakan catatan pengumpul pajak dari waktu ke waktu untuk mendorong warga desa untuk membayar pajak bahan pokok dan mengkhawatirkan mereka memegang lisensi untuk tanah yang baru dipakai untuk penanaman.

Selain itu, lahan perikanan, yang semuanya berada di sepanjang pesisir Hongkong dan Kowloon, digabung, di bawah lisensi khusus yang dipakai Magistrat Sanon untuk mengumpulkan bayaran tahunan. Perairan Hongkong, dengan pelabuhan yang indah, berruang dan nyaris terkunci daratan, berdekatan di Utara dengan Semenanjung Kowloon dan tanjung timurnya, dan di selatan oleh Pulau Hongkong dengan beberapa teluknya, berada di bawah naungan khusus Persinggahan Tetap Kelautan Taipang, sebuah kota tembok di bagian timur laut Teluk Mirs, yang berjarak sekitar 30 mil dari timur laut kota Kowloon. Namun kala Koloni tersebut diduduki Inggris, markas besar Kolonel komando tempat persinggahan tetap kelautan Taipang dan Kowloon dipindahkan ke istana kota Kowloon.

Penghimpunan administratif dan eksekutif yang disebutkan di atas bermula, pada bentuk saat ininya, tak lebih jauh dari masa pendirian Dinasti Tatsing (Manchu) saat ini dan terutama pada masa pemerintahan Kaisar Kanghi (1662 sampai 1722), yang memegang pendirian menonjol di kalangan warga asing yang mendatangi istananya dan secara sistematis menyenangi perdagangan asing. Pada masa kekuasaannya, jalur-jalur air Hongkong, dengan aliran Kap-shui-moon dan Sulphur di Barat, dan perlintasan Ly-ee-moon di Timur, membentuk seluruh jalan perdagangan alami, menghubungkan Kanton dan pesisir barat daya dengan pelabuhan-pelabuhan Swatow, Amoy, Foochow dan Shanghai di pesisir timur Tiongkok, berkembang dalam pengaruh perdagangan.

Sejarah Hongkong sebelum pendirian Dinasti Tatsing (1644) sangat sedikit di ketahui.

Namun, di semenanjung Kowloon, dan wilayah Inggris, terdapat prasasti batu kuno, pada batu granit besar, yang menandai puncak bukit melingkar, yang berada di luar laut, dekat dengan desa Matauchung, barat kota Kowloon. Prasasti tersebut, yang terdiri dari tiga karakter Tionghoa (Sung Wong T‘ong, yang artinya Balau Raja Sung) yang tertulis secara horizontal, awalnya merupakan potongan sekitar separuh inchi di wajah utara batu besar. Pemerintah Tiongkok meyakininya sebagai prasasti penting, yang berusia sekitar 600 tahun. Karakter-karakter aslinya, yang nyaris terkikis sepanjang waktu, diperbaharui ulang pada permulaan abad saat ini (1807) atas perintah Waliraja Kanton, tanggal pemulihannya tercatat lewat prasasti terpisah dari karakter-karakter yang dijajarkan secara tegak lurus. Kenangan yang timbul dari prasasti tersebut dan seluruh bukit, yang masih menandakan garis parit asli, sangat dikeramatkan di mata para pegawai dan sastrawan Tiongkok, agar ekskavasi dan penggalian dilarang di wilayah tersebut dengan hukuman terberat. Kala Semenanjung tersebut direbut dan kemudian diduduki Mahkota Inggris, Pemerintah Tiongkok secara khusus menyatakan bahwa prasasti baru tersebtu dan seluruh bukit tersebut harus tetap tak terjamah. Meskipun demikian, pelanggaran terkadang diupayakan disana sejak wilayah tersebut dijadikan wilayah pendudukan Inggris.

Sejarah Tiongkok menyatakan bahwa, kala Dinasti Sung diserang oleh invasi Mongol di bawah Kublai Khan yang kemudian mendudukkan dirinya sendiri pada takhta Tiongkok (1280), Kaisar Dinasti Sung terakhir, yang kala itu berusia muda, dibawa beserta kalangan Istana Tiongkok ke tiongkok Selatan dan akhirnya memutuskan untuk mengungsi menggunakan kapal, kala ia meneruskan perjalanannya, didampingi oleh armada kecil. Berlayar dari Foochow, melintasi Amoy dan Swatow, ia melewati (sekitar 1278) Ly-ee-moon menuju perairan Hongkong. Usai bersinggah dalam jangka pendek di Semananjung Kowloon, ia berlayar ke barat sampai ia mencapai Ngaishan, di mulut Sungai Barat (barat daya Makau). Namun kala Mongol merebut wilayah Kanton dan menghimpun armada yang dikerahkan dalam glotilla Kekaisaran di segala sisi, Perdana Menteri (Luk Sau-fu), memandang semuanya lenyap, menempatkan Kaisar muda di punggungnya, menjatuhkan diri ke laut (1279) dan tewas bersama dengannya.

Dalam beberapa bulan sebelum peristiwa tersebut, Istana Kekaisaran singgah kala di teluk kecil Kowloon, yang disebut Matauchung. Tradisi menuturkan bahwa kota Kowloon dan desa-desa kecil saat ini Matauchung dan Matauwai belum didirikan pada masa itu, dan bahwa pasukan ekaisaran berkemah pada suatu waktu di bukit yang kini ditandai oleh prasasti, sementara Istana membangun istana kayu yang dibangun melingkar yang didirikan berjarak pendek dari pantai, di sisi lain cekungan Matauchung, di tempat yang kini ditandai oleh kuil. Dikatakan juga, Kaisar Sung terakhir singgah di sana, atas dasar kini Inggris dan sorotan Hongkong, menunggui kabar dari Kanton terkait pergerakan Mongol, dan berharap meraih keberhasilan dari kota yang direbut tersebut.

Tradisi lebih lanjut menyatakan bahwa, bahkan sejak keruntuhan the Sung (1279) dan sepanjang masa kekuasaan Dinasti Mongol Yuen (1280 sampai 1333), Hongkong menjadi tempat para pembajak. Teluk Shaukiwan (dekat perlintasan Ly-ee-moon) dan teluk Aberdeen (dekat dengan aliran Lamma) secara khusus dilintasi oleh para pedagang damai, karena kegiatan pembajakan dipakai untuk mengeluarkan penindakan atau melayangkan surat gelap pada kapal-kapal jung yang melintas. Para pembajak tersebut dikatakan umumnya melakukan perikanan kala pasukan ditempatkan di puncak bukit memantau kapal-kapal dagang. Para keturunan nelayan pembayak tersebut selama bertahun-tahun kemudian menjalin kesepakatan bersitegang tiada akhir terhadap Pemerintah Inggris. Ini merupakan peniadaan dini pembajakan nelayan yang bermukim di wilayah Hongkong yang menyebabkan para navigator Portugis awal memberikan Kepulauan tersebut dengan nama umum Ladrones.

Pada masa kekuasaan penduduk asli Dinasti Ming (1468 sampai 1628), sebuah masa perdamaian dan ketentraman tercapai kala kapal-kapal nelayan Shaukiwan dan Aberdeen mendapatkan tekanan mereka pada bayaran biasa berjumlah kecil, berniat dibayar oleh jung yang dimanfaatkan lewat potongan pendek yang disediakan lewan aliran Ly-ee-moon dan Lamma atau lewat pelabuhan aman yang didapati pada beberapa teluk Hongkong kala angin ribut menerjang. Semenanjung Kowloon dan Pulau Hongkong kini mulai duduki oleh pemukim damai dan industrial dari wilayah tetangga Tungkoon. Kota Kowloon dibentuk pada sekitaran masa itu oleh para pemukim penutur dialek Kanton, yang disebut Punti (artinya penduduk asli). Punti, usai menempati pinggiran bukit tempat seluruh kayu atau pohon tersedia, menduduki seluruh tanah sburuh yang ditemukan di wilayah yang kini menjadi milik Inggris, dan mencabut lisensi untuk ladang semacam itu dari Magistrasi Tungkoon. Sehingga, wilayah-wilayah terpencil Matauwai (dekat kota Kowloon) dengan Kwantailou (Eastpoint) dan Wongnaichung (di Pulau Hongkong) menjadi beberapa pemukiman pertama yang dibentuk, dan mereka kemudian menambahkan wilayah terpencil Sookonpou (Bowring-town), Tanglungchau dan Pokfulam. Beberapa desa nelayan, Chikchü (Stanley), Shekou (antara Tanjung Collinson dan Tanjung D'Aguilar), dan Yaumati (di Semenanjung Kowloon) kini juga berkembang pengaruhnya. Sejumlah warga yang kemudian bermukim di Hongkong terdiri dari sejumlah keluarga klan Tong yang memegang seluruh bagian lahan terbaik dan para anggota klan Tong tersebut memandang diri mereka sendiri sebagai pemilik Hongkong.

Namun, beberapa kali usai Punti menduduki bagian terbaik Kowloon dan Hongkong, para pemukim dari timur laut Provinsi Kanton, yang menuturkan dialek berbeda, yang disebut Hakka (artinya warga asing), mulai menekan jalan mereka di antara pemukiman Punti. Hakka mencabuti rumput dari sisi bukit untuk bahan bakar, membuat arang selama ada kayu yang ditinggalkan, membuat ladang sayur di perbukitan atau tanah rawa yang diterlantarkan oleh Punti, memulai penambangan granit, atau bekerja di desa-desa Punti sebagai pandai besar atau tukang cukur. Sehingga, desa-desa Hakka yang meliputi Mongkok, Tsopaitsai, Tsimshatsui dan Matauchung dibentuk di Semenanjung Kowloon, dan di Pulau Hongkong Island dengan wilayah-wilayah terpencil Hungheunglou, Tunglowan, Taitamtuk, Shaiwan, Hoktsui, Wongmakok, dan Little Hongkong. Wilayah-wilayah terpencil serupa dibentuk oleh Hakka di wilayah Taikoktsui, Hokün, dan Tokwawan di Kowloon, dan di wilayah Tsattsimui, Shuitsingwan, Wongkoktsui, dan Akungngam di Pulau Hongkong.

Sehingga yang terjadi bahwa, bahkan sejak Dinasti Ming, dua suku Tiongkok berbeda, yang memiliki perbedaan dari satu sama lain dalam bahasa, adat istiadat dan kebiasaan, membentuk populasi penduduk asli di Hongkong dan Kowloon. Dalam hal peran, Punti lebih cerdik, aktif dan handal , dan menjadi ras dominan, sementara Halla, berperawakan baik, industrial dan jujur, bekerja sebagai pengolah kayu dan batu dan pengolah air. Namun dari pergerakan pertama Inggris dan seluruh perang dengan Tiongkok, Punti berperan menjadi musuh dan Hakka menjadi teman, pendorong, komisariat dan penggerak angkutan kendaraan warga asing, sementara warga nelayan menyediakan tukang perahu dan penggerak kendaraan untuk perdagangan asing.

Kemudian, penduduk asli kelas tiga, yang menuturkan dialek lain (dialek Tiehchiu, atau Swatow), bermukim di Shaukiwan, Tokwawan, Hunghom dan Yaumati. Umum disebut Hoklo, orang-orang tersebut semuanya adalah pelaut, berkarakter lebih menonjol ketimbang Hakka atau Punti, dan secara khusus gemar menyeludupkan dan membajak. Di antara seluruh pembajak di pesisir, Hoklo adalah kelompok paling menonjol pada catatan perbuatan ganas dan berani mereka. Pada masa berikutnya, hoklo mensuplai awak dari nyaris seluruh kapal penyeludup candu dan garam, ketakutan dari pengumpul pendapatan Tiongkok.

Usai keruntuhan Dinasti Ming (1628), sisa-sisa tentara Ming, masih berharap untuk mendapatkan keberuntungan Ming dan mengusir Tsing (Manchu), yang mengungsi di Pulau Hongkong (sekitar 1650). Sehingga, Kaisar Kanghi mengeluarkan Edik, membataskan seluruh penyewaan yang dikeluarkan untuk Hongkong dan menyerukan agar seluruh warga yang tunduk pada Dinasti Tatsing untuk menarik diri mereka sendiri dan seluruh suplai barang dari Pulau tersebut, sampai seluruh pemberontak yang mengungsi disana mengalami kelaparan dan dimusnahkan. Seluruh pemukim pertanian, Punti dan hakka meninggalkan Hongkong pada masa berikutnya—sebuah pelarian yang, dalam sejarah Hongkong Britania, berulang beberapa kali—sampai para pemberontak ditindak dan ketentraman dipublikan, kala mereka kembali dan lisensi mereka diperbarui.

Tradisi Tiongkok tak menyebutkan lebih lanjut soal Hongkong, kecuali bahwa, pada permulaan abad ini (1806 sampai 1810), Victoria Peak (tinggi 1.774 kaki)menunjukkan pemandangan dan markas besar berbenteng dari seorang pembajak, bernama Chang Pao, yang dikenal dalam sejarah lokal populer atas tindakan eksploitasinya sampai, merebutsejumlah daerah yang berbatasan di Sungai Kanton, yang didatangkan oleh Waliraja Kanton dan menjalankan penugasannya.

Kala dinamai Hongkong, Tiongkok tidak terbiasa menamakan sebuah pulau, secara keseluruhan, selain dari tempat penting manapun atau pemandangannya. Sebelum pendudukan Hongkong, tak ada sebutan yang ada yang menyebut Pulau Hongkong secara keseluruhan. Pelabuhan utama selatan pulau tersebut, yang kini dikenal sebagai Aberdeen, selalu dikenal dip kalangan Punti, dan para nelayan secara khusus, dengan sebutan Heung-kong (artinya pelabuhan harum) dda sehingga dikenal di kalangan penduduk asli pada umumnya sampai saat ini kala merujuk kepada pelabuhan yang berbeda dari desa Shekpaiwan (desa Aberdeen) dan desa Aplichau (Pulau Aberdeen). Desa Hakka yang bernama Heung-kongtsai (Little Hongkong) berjarak dua mil jauhnya dari tanah dalam. Lewat air terjun kecil, aliran mengalur ke laut di desa Aberdeen (kini pabrik kertas), tak melakukan tindakan terhadap istilah asli Hongkong, namun melayani kapal-kapal Eropa yang memakai daerah perairan kosong mereka disana. Para marinir Eropa, yang secara keliru memakai nama pelabuhan tersebut untuk seluruh Pulau, menandai Pulau Hongkong pada catatan mereka, dan pada tahun berikutnya, kala kesepakatan Perjanjian Chuenpi (1841) dan Nanking (1843), istilah 'Hong Kong' diadopsi sebagai sebutan seluruh pulau tersebut dan kemudian disahkan dalam penggunaan umum, baik warga asing dan penduduk asli, dan akhirnya istilah 'Hongkong' dipakai sebagai sebutan seluruh Koloni (termasuk Kowloon).

Sepanjang pesisir utara Pulau dipakai untuk, yang sebelum pendudukan Inggris, tempat pelayaran sempit, yang berada di atas tinggi pantai, melewati bebatuan dan batu keras, semua jalan dari Westpoint ke wilayah terpencil di dekat Eastpoint disebut Kwantailou, yang dijelaskan dalam sensus pertama (15 Mei 1841) sebagai desa nelayan dengan 50 penduduk. Wilayah tersebut dipakai oleh para awak kapal jung dagang, kala angin dan pasang tak diinginkan, untuk menelusuri kapal-kapal jung yang berada di sepanjang garis menara yang ditempatkan pada puncak terdepan. Kini, bangunan berbahan keras didirikan, untuk pengamat dari pesisir berseberangan, dibersihkan dari sisi bukit yang ditumbuhi rumput, seperti pinggiran atau perbatasan di sepanjang sekitaran bukit, yang disebut oleh penduduk asli sebagai Kwantailou (artinya jalan lintas pinggiran), dan wilayah terpencil tempat wilayah tersebut berujung yang secara alami disebut dengan nama yang sama. Namun di kalangan Hakka, Pulau Hongkong, atau alih-alih bagian utaranya, kini disebut dengan nama yang sama Kiuntailou.

Nama semenanjung Kowloon, yang memiliki luas empat mil persegi, memiliki serangkaian sembilan puncak atau bukit (Kau-lung, artinya sembilan naga) yang membentuk latar utara dari pemandangan yang terlihat di hadapan pengamat yang berdiri di pinggiran utara Pulau Hongkong. Dari sembilan nama tersebut, kota Kowloon (yang berada di wilayah Tiongkok) dan Semenanjung Kowloon (diduduki Britania Raya pada 1861) dinamakan.

Sebelum pendudukan Hongkong oleh Inggris, populasinya mungkin tak pernah terlampau, pada suatu kali, sebanyak 2.000 orang, yang meliputi Punti, Hakka dan Hoklo, entah di darat atau tempat apung.