Lompat ke isi

Eropa di Tiongkok/Bab 2

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
BAB II.

Hubungan Internasional.

1625 sampai 1834.

Sepanjang periode yang telah dijelaskan, hubungan antara Pemerintah Tiongkok dan Perusahaan Hindia Timur merajut kesepemahaman, yang selama nyaris dua abad sangat dipengaruhi oleh Perusahaan tersebut, bahwa Tiongkok mengklaim kedaulatan atas semuanya di bawah surga; bahwa perdagangan, entah eceran atau paket, merupakan pekerjaan yang bertingkat rendah, hanya diselaraskan untuk kelas-kelas bawah alih-alih priyayi, sastrawan dan pejabat Tiongkok. Namun Kaisar Tiongkok, selaku bapak seluruh umat manusia, mengasihi bahkan kepada orang-orang barbar, dan kala keberadaan mereka nampak bergantung pada suplai periodikal sutra, rhubarb dan teh, Kaisar memperkenankan para pedagang asing di Kanton untuk mengikuti insting dasar mereka dan memperkenankan mereka untuk mengumpulkan uang untuk diri mereka sendiri untuk perdagangan, di bawah pengawasan, pembatasan dan pemberlakuan resmi. Pada saat yang sama, melalui ijin untuk singgah di bagian dalam anak wilayah Kanton, warga asing tak harus menuntut agar mereka disetarakan bahkan dengan golongan terrendah dari rakyat Tiongkok. Mereka tak perlu memutuskan untuk masuk gerbang kota di bawah pendahuluan apapun, maupun perjalanan wilayah dalam, maupun mengambil jasa penduduk asli manapun kecuali orang-orang yang masuk kasta Paria dari pemukim perahu (dikenal sebagai Ham-shui), dilarang oleh hukum untuk tinggal di pesisir atau bersaing dalam ujian sastra. Sepanjang Superkargo perusahaan dan pedagang asing lainnya datang ke Kanton, diam-diam menerima status menunjang yang ditujukan pada mereka, dan memahami ketuanan politik dan yurisdiksi yang diturunkan dari Sorga dari Pemerintah Tiongkok, hal-hal yang dioleransi dan perdagangan berlanjut di samping seluruh pembatasan.

Tiongkok mengkonfirmasi dalam perkiraan rendah karakter dan budaya asing dengan fakta tunggal mereka bahwa, dengan pengecualian yang sangat jarang, tak ada warga asing yang nampak dapat memahami bahasa Tionghoa maupun bahkan memberikan apresiasi apapun terhadap sejarah, filsafat atau sastra Tiongkok, di samping ketidakmampuan untuk memahami prinsip kebijakan, moralitas dan etiket Tiongkok. Walau bangsa barbar menunjukkan tanda-tanda kehidupan keagamaan apapun, sejauh yang dapat diamati oleh Tiongkok, mereka nampak tak memiliki jiwa apapun di atas uang dan kesenangan sensual. Selain pandangan Tiongkok terhadap warga asing, mereka mendapati diri mereka sendiri dapat mengklasifikasikan mereka dengan bangsa lain seperti Korea, Jepang, Loochooan, Annam atau Tibetan, semuanya yang siap diapresiasi dan mengadopsi budaya Tiongkok dan bentuk agama dan etiket Tiongkok. Sehingga, mereka hanya dapat mengarakterisasikan bangsa barbar dari Eropa atau Amerika sebagai 'para iblis asing.'

Hubungan pertama Tiongkok meraih kekuatan moral tinggi, diwariskan dalam karakter warga asing, membuat mereka kontak dengan perwira AL Inggris. Kala sosok perang Inggris pertama, Centaur, datang ke perairan Tiongkok (November 1741), para pejabat Hoppo tak memutuskan untuk memahami perbedaan anpapun antara kapal Yang Mulia, dan pedagang Perusahaan Hindia Timur. Mereka memutuskan untuk memperlakukan Centaur, dan menuntut bayaran dagang yang biasa. Namun, komandannya, Komodor Anson, secara diam-diam dan beritikad baik menentang seluruh tekanan dan dengan mengerahkan unsur karakter, dipadukan dengan tindakan hukum, menerjang seluruh tantangan yang ada, dan memaksa kapalnya tanpa pertikaian positif melalui Bogue dan sampai ke Whampoa. kala datang, ia diserahkan pada para pejabat Tiongkok dengan memberikan catatan pada mereka bahwa ia mengusulkan untuk secara pribadi memanggil Waliraja untuk memberikan penghormatannya kepada pemimpinnya, yang merupakan tugas terikatnya sebagai Pejabat Yang Mulia Raja George II dari Britania Raya dan Irlandia, dan itu 'harus tanpa pelanggaran etiket.' Penekanan tak sama dari ciri khas Inggris merrendahkan Otoritas Tiongkok yang mempercundangi mereka sepenuhnya. Waliraja memanggil pelaut untuk wawancara pribadi, menjamunya dengan teh dingin dan etiket sedingin es, dan tak sampai Komodor berlayar dan meninggalkan perairan Tiongkok, Otoritas Tiongkok memulihkan napas mereka dan meneruskan bekas kebijakan mereka dari perhatian tak terhiraukan untuk seluruh warga asing. Namun, pada kesempatan berikutnya (Februari 1791), kala Kapal-kapal Yang Mulia Leopard dan Thames datang berniat untuk mengikuti pendahuluan yang dirancang oleh Komodor Anson, mereka mendapati hal-hal yang berubah. Para pejabat Tiongkok kini lebih dini menolak untuk memperkenankan kapal-kapal tersebut masuk Bogue dan para pejabat tersebut mendatangkan diri mereka sendiri dengan kunjungan pribadi ke pelabuhan dan anak wilayah Kanton. Selain itu, pengunjung berikutnya, Kapten Maxwell, dari H. M. S. Alceste (12 November 1816), memutuskan untuk mengikuti contoh Komodor Anson. Kala datang ke Bogue, seorang pejabat Tiongkmok menumpangi Alceste dan memberitahukan Kapten bahwa, sebelum bergerak lebih lanjut, ia harus menghimpun keamanan dua pedagang Hong dan menyatakan isi dari kargonya. Kapten menyatakan bahwa meriam-meriam terbesarnya sebagai pengamanannya dan menyatakan satu-satunya kargo yang dibawa oleh pihak perang Inggris adalah bubuk dan tembakan. Sehingga, pejabat tersebut menarik diri dan kemudian menyatakan penolakan kerasnya untuk memperkenankan kapal tersebut memasuki Bogue. Menanggapi hal tersebut, Kapten Maxwell secara jujur memberitahukan para panglima benteng Bogue soal waktu kala ia memutuskan untuk melintas melewati Bogue, dan, setelah memberikan merek waktu yang cukup untuk melakukan seluruh persiapan mereka, ia melarikan diri ke benteng Bogue, dengan berlayar, kembali menembaki benteng setelah berniat dan menembaki meriam pertama dengan tangannya sendiri. Meskipun kawasan benteng tersebut hening, ia terus menekan perjalanannya ke Whampoa tanpa korban luka berat pada pihaknya sendiri. Setelah berlabuh kesana, Kapten Maxwell meneruskan komunikasinya dengan para pejabat Tiongkok dengan sikap yang sangat baik, dan Pemerintah Tiongkok, yang nampak menghiraukan apa yang telah terjadi, memperkenankannya untuk melakukannya kala ia perlu sampai ia membawa pergi kapalnya. Namun tak ada perbincangan resmi langsung yang ditujukan kepada Kapten Maxwell meskipun ia berani.

Sejumlah utusan yang mengirim surat-surat autografi dari Raja George III, didampingi oleh persembahan mahal dan banyak pompa yang ditunjukkan, kurang berdampak pada sikap Dinasti Tatsing yang ditujukan terhadap perdagangan asing, alih-alih tawaran dan persembahan Superkargo Perusahaan Hindia Timur atau demonstrasi periodikal pihak Inggris lewat para perwira AL Yang Mulia. Utusan Lord Macartney (1792), yang dikirim maju oleh George III, dengan keluhan kekuatan dan harapan yang optimis, diperlakukan oleh Pemerintah Tiongkok sebagai kedatangan para pembawa upeti, seperti orang-orang yang secara periodik datang dari Kepulauan Loochoo. Utusan Lord Amherst (1815), sangat puas dengan hasil dalam penjalinan hubungan diplomatik dengan Peking, diperlakukan secara jujur namun ketat sebagai komisi pemberi upeti. Kala Lord Amherst singgah, berharap untuk diperkenankan untuk menetap di dekat Istana, ia diam-diam berujar bahwa ini adalah waktu baginya untuk petisi terhadap masalah paspor dan pengeluarannya. Sehingga, para pembuat kronik Dinasti Tatsing secara jelas mencatat fakta Britania Raya secara resmi dicantumkan ke dalam daftar negara-negara yang memberikan upeti kepada Tiongkok lewat pengajuan sukarela.

Meskipun demikian, kemunculan menonjol kapal-kapal Inggris di perairan Tiongkok dan penonjolan di Dewan Utusan Inggris memiliki jumlah dampak tertentu dalam menekan warga Tiongkok dengan dakwaan bahwa bangsa Eropa setelah semuanya berada di luar kelas barbar biasa yang diketahui mereka.

Contoh-contoh khusus dari peningkatan pengaruh cepat AL Inggris tidaklah menunggu. Pada tahun 1802 dan 1808, para marinir Inggris menduduki Makau untuk melindungi pemukiman Portugis melawan ancaman serangan oleh Prancis. Pada tahun 1802, pasukan tak menarik diri, meskipun diprotes oleh Otoritas Kanton, sampai perdamaian dengan Prancis dicapai. Pada tahun 1808, Laksamana Drury menarik pasukannya lagi dan tak hadir dari forcino- jalannya menuju Kanton dalam rangka mempersilahkan Komite Perusahaan Hindia Timur dan mencegah campur tangan dalam perdagangan. Lagi-lagi, pada tahun 1814, H.B.M. Frigate Doris bergerak ke perairan kanton untuk mengusik kapal-kapal Amerika, dan kala Waliraja memerintahkan Komite untuk mengusirnya, Komite tersebut, dengan kejutan dari para pejabat Tiongkok, menyatakan bahwa mereka tak memiliki kekuatan apapun dalam hal tersebut dan sangat berkehendak agar perdagangan, kala diancam oleh Waliraja, harus dihentikan. Selain itu, Komite tersebut melalui kepengurusan menghimpun kesempatan untuk diraih dari penarikan menonjol Waliraja, hak untuk mengirim petisi Tiongkok ke Gubernur Kanton dengan segel, mempekerjakan para pegawai penduduk asli tanpa pergesekan dan mengamankan mereka dari gangguan Tiongkok.

Perkembangan bertahap AL Inggris tak hanya menekan otoritas Tiongkok namun menghimpun keperluan yang memperkenankan para pedagang asing untuk mengambil sikap terhadap ketuanan politik dan hukum Tiongkok. Para pedagang asing tak pernah secara resmi menantang pengakuan tunduk mereka terhadap yurisdiksi kriminal Tiongkok, walau mereka seringkali dikeluhkan oleh halangan untuk mengajukannya. Namun tak sampai tahun 1822, Tiongkok memberitahukan bahwa warga asing menolak prinsip untuk tunduk pada yurisdiksi Tiongkok.

Pada tahun 1750, Prancis menyerah pada Otoritas Tiongkok lewat salah satu pelaut mereka, dan kembali pada 1780. Pada 1784, Inggris menyerahkan pasukan meriam yang, dalam menembakkan penghormatan, tak sengaja menewaskan seorang penduduk asli, dan mereka benar-benar memohon agar ia dieksekusi dengan cara dicekik. Pada 1807, lagi-lagi seorang pelaut Inggris menyerah, dan melalui Kapten Rolles, dari H.M.S. Lion, meraih pembebasannya, dengan pembayaran denda $20. Pada 1821, Amerika menyerahkan seorang warga asing (Terranuova) kepada yurisdiksi Tiongkok dan diajukan agar ia dicekik. Namun pada tahun berikutnya, kala dua penduduk asli tewas dalam sebuah pertikaian dengan pasukan H.M.S. Topaze, panglima Inggris, dibantu oleh Dr. Morrison sebagai penerjemah, menjadikannya sangat jelas bahwa pengakuan klaim yurisdiksi Tiongkok atas pelaut Inggris dan utamanya atas para kru pasukan perang sepenuhnya tak dipertanyakan. Sehingga, tak ada warga asing yang diserahkan pada Pengadilan Tiongkok.

Pada 1831, sebuah peristiwa penting terjadi, menggambarkan perenggangan hubungan internasional yang timbul secara bertahap. Pada musim semi 1831, Komite PemilihanPerusahaan Hindia Timur mengerahkan dirinya untuk memperlebar taman di depan pabrik mereka dengan mereklamasi jalur sempit depan pesisir. Tak lama setelahnya, kala semua pedagang cuti ke Makau untuk musim panas, Gubernur Kanton, melakukan reklamasi tanpa ijin, datang perorangan ke pabrik Inggris dan memerintahkan keputusan untuk mengembalikan kondisi sebelumnya. Sementara itu, ia bergerak ke ruang makan Komite Pemilihan kala gambar ukuran normal, yang menampilkan George IV sebagai Wali Pangeran, digantung. kala diberitahukan bahwa ini adalah potret Raja Inggris yang kala itu berkuasa, Gubernur menduduki kursi dan duduk bersandar di bawah gambar tersebut. Komite Pemilihan melaporkan penghinaan tersebut kepada para direktur dan pedagang mereka memakai berbagai cara untuk membuat keluhan mereka diketahui para pejabat Tiongkok. Salah satu penggugat mereka secara terbuka menuduh (15 September 1831) bahwa Gubernur menarik janji ketidakhormatan intensional apapun dan menyalahkan Komite karena menodai gambar tersebut dengan memajangnya tanpa tirai kuning kekaisaran dan karena menempatkannya di depan altar dengan frankincense. Lord William Bentinck, Gubernur-Jenderal India pada masa itu, melayangkan (27 Agustus 1831) sebuah surat kepada Gubernur yang menuntut penjelasan, namun tak ada langkah lebih lanjut yang diambil kala Gubernur, saat enggan menanggapi surat Lord Bentinck, mengeluarkan (7 Januari 1832) sebuah edik yang menyangkali imputasi. Gambar yang dipertanyakan (oleh Sir T. Lawrence) yang kini berada di ruang makan Dewan Pemerintahan Hongkong, dipindahkan dari Makau pada Februari 1842.

Seluruh pengalaman tersebut menekan Otoritas Tiongkok dengan dakwaan bahwa klaim yurisdiksi luar teritorial selain gejala klaim yang sangat diduduki dari hak internasional, pengakuan yang akan mematikan kedaulatan Tiongkok atas seluruh bangsa di bumi.