Festival Budaya

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Nitya dan teman-temannya mendapat tugas untuk menyaksikan pertunjukan di Festival Budaya. Awalnya Nitya tidak tertarik, namun di sana ia mengalami hal tidak terduga yang mengubah pandangannya.

Lakon[sunting]

  1. Nitya
  2. Niluh
  3. Sari
  4. Dian
  5. Kelompok Tari Kakak Niluh
  6. Keluarga Nitya

Lokasi[sunting]

Kota Surakarta (Rumah Nitya, Halte Bus, dan Pendopo ISI Surakarta)

Cerita Pendek[sunting]

"Kringg...Kringg…" Dering alarm terdengar dari kamar bercat dinding merah muda itu. Di dalamnya, seorang gadis berambut ikal tampak masih tertidur lelap."Kringg...kringg…" Alarm berbunyi untuk kedua kalinya. Akhirnya gadis itu pelan pelan membuka matanya.

"Nitya, bangun nduk, sholat subuh dulu!" Dari luar kamar terdengar suara Ibu yang mengingatkan Nitya untuk sholat subuh.

"Iya Bu, Nitya udah bangun kok," jawab Nitya sambil berlalu ke kamar mandi.

Setelah melaksanakan sholat subuh, Nitya keluar kamar dan menuju dapur. Walaupun masih pagi, Nitya sudah merasa lapar. "Bu, hari ini sarapannya apa?"
"Haduh kamu itu ya, baru bangun udah nanya sarapan!" balas ibu sambil tertawa kecil.

"Nitya laper Bu hehe," Nitya menjawab sambil ikut tertawa.

"Ini ibu lagi masak ayam goreng, bentar lagi udah mateng. Kamu panggil Ayah sama Kakakmu ya, kita makan sama-sama habis ini," suruh ibu kepada Nitya.

"Siap, Bu."

Nitya pun segera menghampiri ayah dan kakaknya yang sedang berada di ruang tamu dan mengajak mereka untuk makan bersama. Tak butuh waktu lama, masakan ibu sudah matang dan mereka segera menyantap masakan yang ada dengan lahapnya. Selesai makan, ibu bertanya pada Nitya, "Nduk,hari ini kamu jadi ke Festival Budaya?Sama siapa aja? Jam berapa? Terus mau naik apa?"

"Ibu nanyanya satu-satu dong," balas Nitya sambil bercanda. "Jadi Bu, sama temen kelompok Nitya. Ada Sari, Dian, sama Niluh. Rencananya mau naik bus Bu, sekitar jam 9 nanti."

"Tumben dek nonton Festival Budaya? Biasanya ogah-ogahan kalau diajak," saut kakak Nitya.

"Ya mau gimana kak, tugas dari bu Wahyu nih, mana suruh bikin artikel juga!" Nitya membalas dengan tampang cemberut.

Minggu lalu bu Wahyu, guru seni budaya di sekolah Nitya, memberikan tugas berkelompok untuk melihat pertunjukan tari di Festival Budaya dan membuat artikel tentang salah satu tarian yang ditampilkan. Festival budaya adalah suatu acara yang diselenggarakan di kota Surakarta dimana orang-orang dari berbagai daerah akan menampilkan bermacam-macam kesenian tradisional. Tahun ini, acara akan diadakan di Pendopo ISI Surakarta. Nitya sebenarnya tidak tertarik dengan kesenian tradisional. Ia selalu berfikir bahwa seni tradisional adalah suatu hal yang kuno atau ketinggalan zaman. Ia lebih tertarik dengan kesenian yang lebih modern, seperti lagu lagu pop kekinian dan tarian modern. Namun, tugas yang diberikan bu Wahyu mau tak mau memaksanya untuk datang ke Festival Budaya dan menyaksikan pertunjukan tari disana.

Karena hari ini adalah hari Minggu, setelah selesai sarapan Nitya membantu ibu untuk membersihkan rumah. Nitya pun membantu ibunya dengan semangat. Tak terasa, jam sudah menjukkan pukul 08.00. Nitya segera bersiap-siap untuk berangkat menemui teman temannya. Kemarin mereka sepakat akan bertemu di halte bus dekat sekolah. Kebetulan, rumah Nitya dan teman sekelompoknya tidak jauh dari sekolah. Pukul 08.50 Nitya sudah selesai bersiap siap. Hari ini ia menggunakan celana jeans dan kaus cokelat lengan panjang. Rambutnya yang ikal dikuncir satu dengan pita yang mempermanis tampilannya. Setelah memasukkan barang barang bawaannya ke tas, ia segera keluar kamar dan berpamitan ke kedua orang tua serta kakaknya.

Sesampainya di halte, Nitya melihat dua orang gadis sedang duduk di bangku halte. Mereka adalah Sari dan Niluh.

"Halo Sari! Halo Niluh! Udah lama ya?," sapa Nitya.

"Eh Nitya, nggak kok aku sama Niluh baru aja nyampe."

Tak lama setelah itu, Dian pun akhirnya datang. "Halo teman teman! Maaf ya, aku paling terakhir dateng," ucap Dian.

"Gapapa, belum telat kok," balas Nitya.

Sambil menunggu bus datang, mereka pun bertukar cerita.

"Eh tau nggak? Kemarin aku baca berita katanya chip di e-KTP itu bisa buat melacak lokasi kita lho!" ujar Sari.

"Emang iya Sar? Kok serem sih?" Dian membalas sambil bergidik ngeri.

Nitya yang pernah mendengar kakaknya membahas hal ini tahu bahwa kabar tersebut tidak benar.

"Itu nggak bener tau, kemarin kakakku habis cerita masalah ini. Jadi, chip di e-KTP fungsinya buat menyimpan hal hal yang berkaitan sama diri kita, contohnya identitas diri dan sidik jari," jelas Nitya kepada teman-temannya.

"Oh, ternyata gitu ya? Wah berita yang kubaca kemarin hoax doang ya? Padahal banyak banget yang percaya."

"Emang nggak semua berita di internet bisa langsung dipercaya. Kita juga harus cari tau dari berbagai sumber baru deh bisa menyimpulkan apakah berita itu benar atau cuma hoax. Apalagi sekarang teknologi makin maju, jadi semakin mudah juga kita cari suatu informasi di internet." Niluh yang sedari tadi diam pun memberikan nasehat ke teman temannya.

"Ngomong ngomong, nanti cara kita memilih pertunjukan tari yang mau dibuat artikel gimana ya? Terus cari bahan artikelnya gimana?" tanya Dian kebingungan.

"Hmm...sebenarnya hari ini kakakku kebetulan tampil di Festival Budaya. Kalo kalian mau, nanti kita tanya tanya aja sama kakak tentang tariannya, gimana?" saran Niluh kepada teman temannya. Nitya, Dian, dan Sari pun setuju.

Setelah menunggu hampir 10 menit, bus yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Perjalanan yang dibutuhkan untuk sampai ke ISI hanya 15 menit. Turun dari bus, Nitya dan teman-temannya segera menuju ke Pendopo ISI. Sesampainya disana, mereka segera mencari tempat duduk yang strategis di sekeliling pendopo. Pertunjukan baru akan dimulai 5 menit lagi. Sambil menunggu, Nitya mengedarkan pandangannya ke sekeliling pendopo untuk mengamati suasana. Pengunjung yang datang utuk menyakskan Festival Budaya bisa dibilang cukup ramai. Bahkan tak hanya warga lokal saja, namun Nitya menyadari bahwa ada beberapa Warga Negara Asing di antara pengunjung yang datang.

"Eh Sar, ternyata lumayan banyak juga ya orang yang nonton? Bahkan WNA juga ada tuh! Kukira Festivalnya bakalan sepi banget," ucap Nitya keheranan. Memang, awalnya Nitya kira festival ini akan sepi pengunjung. Hari gini siapa yang masih tertarik sama kesenian tradisional, fikir Nitya.

"Iya nih, ramai ya ternyata! Emang selalu ramai kaya gini ya?" balas Sari.

"Ini belum seberapa tau! Sebelum pandemi orang-orang yang datang lebih banyak lagi. Aku sering kehabisan tempat duduk saking padatnya pengunjung. Tapi tahun 2022 kemarin yang datang sedikit. Untungnya, tahun ini jauh lebih banyak pengunjungnya!" ungkap Niluh.

Begitu Niluh selesai menjelaskan, tiba-tiba musik gamelan berbunyi dari panggung. Tak lama kemudian, dua orang pembawa acara masuk dan membuka acara. Setelah itu, salah satu pembawa acara mulai memperkenalkan penampil pertama dalam Festival Budaya ini, yaitu kelompok tari bernama Larasati dari Klaten. Dari arah samping pendopo, Nitya melihat tiga orang penari bersanggul melangkah dengan anggun menuju tengah pendopo. Tarian yang akan mereka bawakan adalah tari gambyong, tari yang biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu. Selain bersanggul, para penari memakai jarik dan atasan berupa kain jumputan dengan selendang berwarna senada yang tersampir dari pundak hingga pinggang mereka.

Tari Gambyong

Ketika iringan gamelan berbunyi, para penari mulai meliuk liukkan badannya dengan gemulai. Semua pengunjung disana tampak terpukau dengan tarian yang dilakukan, tak terkecuali Nitya. Awalnya Nitya sudah yakin bahwa ia akan merasa bosan. Namun, entah mengapa begitu mereka menari, Nitya tidak bisa melepaskan pandangannya dari panggung. Gerakan mereka yang gemulai dan alunan musik ya

ng mengikuti membuat Nitya terpikat. Bahkan, ia merasa sedikit sedih saat tiga penari itu berhenti menari. Walaupun begitu, Nitya masih berfikir bahwa ia belum merasa bosan karena baru melihat penampilan pertama. Ia yakin, lama kelamaan ia akan bosan karena memang kesenian tradisional adalah hal yang membosankan.

Setelah penampil pertama selesai menari dan berjalan keluar pendopo, pembawa acara kemudian memperkenalkan penampil berikutnya. Penampilan kedua adalah tari gandrung yang akan dibawakan oleh kelompok tari bernama Java. Sama seperti sebelumnya, setelah perkenalan selesai dibacakan, lima orang penari dengan tampilan yang memukau berjalan ke atas panggung. Kali ini, kostum yang dipakai para penari lebih meriah dibandingkan penampilan sebelumnya. Di bagian kepala, mereka menggunakan hiasan mirip mahkota. Lalu sebagai atasan, mereka menggunakan beludru hitam yang dilengkapi dengan berbagai macam perhiasan. Sedangkan pada bagian bawah, penari memakai jarik sepanjang mata kaki serta pelengkap berupa kaus kaki.

Penari Tari Gandrung

Nitya mengamati satu persatu penari yang sudah siap di tengah panggung. Ketika mengamati penari yang berada di tengah, Nitya sedikit terkejut melihatnya memiliki mata biru dan rambut pirang. Nitya juga semakin terkejut ketika melihat dua penari lain di sebelah kanan penari berambut pirang. Mereka bertiga tidak tampak seperti warga lokal. Niluh yang duduk disampingnya sepertinya sadar akan keterkejutan Nitya.

“Kenapa Nit?” tanya Niluh.

“Itu tiga penari di sebelah kanan WNA ya? Kok kaya bukan warga Indonesia sih?”

“Haha iya Nit, mereka WNA. Dua dari Amerika yang satu dari Australia,” ungkap Niluh.

“Kok kamu tau?”

“Ini kelompok tari kakakku Nit, itu kakak yang paling kiri. Kata kakakku saking cintanya sama budaya Indonesia, mereka sampai memutuskan buat tinggal di sini terus kuliah di ISI jurusan tari lho!”

Mendengar jawaban Niluh, Nitya pun tertegun. Ia juga teringat bahwa ada WNA di antara pengunjung yang datang tadi. Bagaimana bisa, mereka menaruh ketertarikan yang luar biasa terhadap kesenian tradisional. Kesenian yang bahkan banyak dilupakan oleh generasi muda Indonesia. Karena penasaran, Nitya bertekad akan menanyakan hal ini kepada mereka saat wawancara nanti.

Pertunjukkan demi pertunjukkan pun berlalu dan tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.00. Festival dihentikan sementara untuk rehat dan akan mulai lagi pukul 13.00. Selama pertunjukan berlangsung, Nitya ternyata tidak merasa bosan sama sekali. Ia mulai berfikir bahwa kesenian tradisional tidak seburuk yang ia ia kira.

Di sela sela waktu istirahat itu, Niluh mengajak teman temannya untuk kebelakang panggung dan mewancarai kelompok tari kakaknya. Setelah menanyakan hal hal tentang tarian yang mereka bawakan tadisebagai bahan artikel, Nitya akhirnya menanyakan hal yang ingin ia tanyakan sedari tadi.

"Kak, dari tadi aku pengen nanya nih, kan ada tiga WNA dikelompok tari Kakak, aku pengen tau dong gimana ceritanya sampe mereka bisa masuk ke kelompok tari ini!" ujar Nitya.

"Sebentar ya, aku panggil mereka aja biar dijelasin secara langsung. Tenang, bahasa Indonesia mereka lancar kok hehe," balas kakak Niluh.

Ketiga penari tadi kemudian memperkenalkan diri. Angela dan Carla masing-masing berasal dari Amerika Serikat. Sedangkan Sarah berasal dari Melbourne, Australia. Mereka bercerita bahwa awal kecintaan mereka terhadap budaya Jawa dimulai saat berkunjung ke Surakarta untuk berlibur. Saat itu mereka bertiga melihat pertunjukan Sendratari Ramayana di Taman Balekambang. Di sana mereka duduk bersebelahan lalu akhirnya berkenalan. Selesai melihat pertunjukan mereka merasa jatuh cinta dengan penampilan tersebut. Mulai saat itu, mereka terus berhubungan dan selalu menyempatkan diri ke Surakarta serta berbagai kota di Indonesia untuk menikmati kebudayaan yang ada.

Lama kelamaan, mereka merasa ingin memperdalam pengetahuan mengenai kesenian tradisional Indonesia. Akhirnya ketiga wanita tersebut memutuskan untuk berkuliah di ISI Surakarta dan mengambil jurusan tari. Di sinilah mereka bertemu kakak Niluh dan temannya. Kemudian mereka memiliki ide untuk membentuk suatu kelompok tari dan lahirlah kelompok tari Java. Selain itu, Angela juga bercerita bahwa ada beberapa universitas di Amerika yang mempunyai klub gamelan dan tari jawa.

Setelah mendengar cerita mereka, Nitya kembali tertegun. Ternyata, kesenian tradisional yang ia kira kuno dianggap menarik bagi WNA. Saat itu ia merasa malu. Ia sebagai Warga Negara Indonesia, yang lahir dan dibesarkan di Surakarta, salah satu Kota Budaya, tidak dapat mencintai kesenian tradisional sedalam Angela, Carla, dan Sarah. Selesai bercerita dengan kakak Niluh dan kelompok tarinya, Nitya dan teman temannya kembali ke pendopo. Di sisa hari itu, Nitya amat menikmati setiap penampilan yang ada di Festival Budaya. Nitya sadar, bahwa kesenian tradisional merupakan suatu hal yang harus dilestarikan dan bukan merupakan suatu hal yang kuno. Mulai saat itu Nitya berjanji akan terus mencoba semampunya untuk menjaga kelestarian kesenian tradisional.