Gadis di Balik Layar dan Peta Rahasia

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

PENGANTAR


Sukacita dan syukur tak terkira untuk karya ini, pada Tuhan yang kusembah, dan terima kasih yang besar untuk semua teman yang mendukung saya. Cerita pendek ini adalah sebuah penghargaan untuk Leony Octavia, sahabat berkursi roda yang sangat istimewa: Seorang pendengar, penyemangat, dan inspirasi yang luar biasa.


Terkadang anak-anak merasa rendah diri karena mereka merasa tidak sempurna, padahal setiap individu punya kesempatan besar untuk menjadi istimewa dengan cara unik masing-masing. Semoga karya ini bisa menjadi inspirasi dan semangat untuk semua anak Indonesia.


Sidoarjo, 27 Februari 2023




GADIS DI BALIK LAYAR DAN PETA RAHASIA


"Kak Namu, aku menemukan sesuatu di loteng!" Bisik Simi setengah memekik.

Namu masih mengetik di laptopnya, memberi tahu Alisa bahwa adiknya mulai mengganggunya.

"Sesuatu di loteng apa maksudmu?" Tanya Namu sambil mengikuti adiknya ke loteng.

"Sssst!"

"Ngga perlu berbisik, ayah ibu tidak di rumah."


Simi cengar-cengir dan menarik tangan kakaknya ke pojok loteng, di mana terdapat rak berdebu yang penuh barang-barang antik. Lalu Simi menarik sebuah buku tipis bergambar lukisan Yunani kuno dari rak paling bawah. Ada sebuah judul di sampulnya, tapi mereka tidak bisa membacanya.


"Kurasa ini peta harta karun."

Namu tergelak. " Itu mustahil."

Kemudian Namu membuka halaman pertama dan kedua, yang semuanya berisi tulisan dan simbol-simbol Yunani, lalu di halaman berikutnya dia melihat...

"Peta."

Namu dan Simi mengatakannya di saat yang persis sama, kemudian berpandang-pandangan.

"Bagaimana mungkin ada peta di sini?" Tanya Namu.

Simi mengangkat bahunya tanda tak tahu, sambil melirik Namu dan peta itu bergantian.

“Tapi bagaimana kamu bisa tiba-tiba ke sini dan menemukannya?” Tanya Namu.

“Tadi Ibu berpesan agar aku mencari senter di sini, dan senter itu persis di atas buku ini.”

"Apa ini barang milik si empunya rumah sebelumnya?" Tanya Namu lagi, dan Simi mengangkat bahunya lagi.


Mereka memang baru pindah ke situ dua tahunan yang lalu. Itu desa yang sangat indah, jauh dari keramaian kota, dengan pohon-pohon cantik, padang rumput dan burung yang ramai berkicau setiap waktu.


"Lihatlah, Simi. Banyak simbol-simbol di sini.. Ini Kappa, Gamma, Theta, lalu Alpha,” Ujar Namu sambil menunjuk halaman kedua.

Simi tampak tertarik, tapi Namu tak bisa menjelaskan lebih banyak lagi. Dia tidak memahami terlalu banyak huruf Yunani.

"Kalau ada orang yang bisa memecahkan ini, itu pasti Alisa," kata Namu.

"Alisa?" Tanya Simi.

Namu menatap Simi, seakan heran kenapa adiknya itu tidak tahu siapa Alisa.

"Oohhh.. Gadis di layar itu? Yang mengobrol tiap hari lewat layar laptop Kakak?"

Namu mengangguk. "Dia teman paling cerdas yang pernah kukenal."

"Apa dia sudah bekerja?"

"Ah, tidak.. Dia seumuran Kakak.. Masih 13 tahun."

"Lalu bagaimana mungkin dia sepintar itu?"

"Percayalah, Simi. Kamu akan melihatnya sendiri nanti."


Simi mengeluarkan tisu dari kantong jeansnya lalu mengusap sampul buku tipis itu, agar tidak terlalu berdebu.


"Selama ini aku menyebutnya 'gadis di layar'," kata Simi sambil cengengesan.

Namu tersenyum lucu. "Yuk, kita turun. Aku akan langsung menunjukkan ini pada Alisa."

"Apa dia tidak sedang pergi? Ini Sabtu, dan hari menjelang sore."

"Dia tidak pernah pergi. Dia selalu di sana."


Simi agak bingung, tapi dia tidak menjawab. Mereka berdua turun dari loteng dan langsung menuju kamar Namu.

Namu langsung mengetik di chatroom yang masih terbuka.


"You there?"

"I'm always here," jawab Alisa.

"Aku menemukan sesuatu, sebuah buku berisi tulisan Yunani dan peta."

"Menarik."

Simi tiba-tiba mengetik di keyboard. "Halo. Aku yang menemukannya."

Alisa tak menjawab selama beberapa detik.

"Maaf, itu adikku," ketik Namu.

"Hai, Adik Namu. Aku Alisa,” balas Alisa ramah.

"Hai, Kak Alisa. Aku Simita."

"Bisakah kita menyalakan webcam? Aku ingin kau melihatnya langsung." Namu mengetik lagi dengan terburu-buru, karena hari mulai sore dan matahari mulai tenggelam. Dia khawatir ayah ibunya akan segera pulang dan biasanya mereka mengajak keluar makan di Sabtu malam. Alisa tidak menjawab, tapi kemudian muncul permintaan untuk menerima panggilan video di sana. Namu langsung menyalakan webcamnya. Simi melambaikan tangannya ramah, dan Alisa lalu membalas sambil tersenyum.

Alisa tidak menjawab, tapi kemudian muncul permintaan untuk menerima panggilan video di sana. Namu langsung menyalakan webcamnya. Simi melambaikan tangannya ramah, dan Alisa lalu membalas sambil tersenyum.

Namu menunjukkan buku tipis itu ke kamera dan membuka halaman-halamannya.

"Satu, dua, tiga... Oh hanya berisi enam halaman ya?"

"Ya, ini lebih mirip seperti brosur, tapi.."

"Tapi itu buku," sahut Alisa sambil tertawa. "Coba kulihat sampulnya."

Namu lalu menunjukkan sampul buku tipis yang bergambar lukisan kuno itu. Di tengah-tengah gambar ada tulisan tebal ‘Χρόνος’, dan satu simbol ‘α’ dengan ukuran besar di bawahnya.

Di tengah-tengah gambar ada tulisan tebal ‘Χρόνος’, dan satu simbol ‘α’ dengan ukuran besar di bawahnya.

"Chronos, artinya waktu. Lalu alpha."

"Alpha adalah awal dari semuanya kan?" Tanya Namu.

Alisa mengangguk. "Tapi alpha juga berarti 1, Namu."

Namu berpikir sejenak. "Jadi menurutmu kita harus memecahkan teka-teki di buku ini melalui sudut pandang waktu?"

"Kukira begitu," jawab Alisa.

"Aku setuju," sahut Simi.

"Coba buka halaman pertama dan kedua," pinta Alisa.


Di halaman pertama terdapat tulisan 'αυτή είναι η στιγμή που είσαι αρκετά μεγάλος για να λάβεις περισσότερα'.


"Aku mengenali beberapa kata-katanya. Hmm.. arketá megálos artinya cukup besar, dan gia na láveis perissótera artinya menerima lebih banyak. Frasa pertama kurasa artinya seperti waktu, tapi aku tak yakin. Tunggu.."

Alisa mengambil ponselnya lalu memotret tulisan itu.

"Aku akan mencari arti pastinya di Internet."


Tak menunggu lama, mata Alisa tampak berbinar.


"Aku benar! Jadi kalimat ini mengatakan 'Ini waktunya saat kalian cukup besar untuk mendapat lebih banyak.'"

Namu dan Simi berpandang-pandangan. "Kalimat itu seperti ditujukan untuk kami!?"

Alisa hanya mengangkat bahunya dan tertawa.

"Lalu di halaman kedua ada ini," Namu menunjukkan kertas yang penuh simbol seperti Kappa, Gamma, Alpha, dan banyak yang lain, berhamburan jungkir balik memenuhi kertas. "Apa artinya ini?"

"Coba fokus hanya di beberapa yang ditulis tebal," kata Alisa.


Simi menggelengkan kepalanya dengan takjub. "Kak Namu, kau benar. Kak Alisa sangat pintar!" Bisiknya.


Namu mengumpulkan 3 simbol yang tampak lebih tebal dari yang lain.

"β, ζ dan θ," ketik Namu di chatroom. “Aku tau Beta, tapi tak tahu yang berikutnya.”

“Beta, zeta, dan theta. Artinya 2, 7, dan 9,” jawab Alisa.

“Dan artinya?” Namu masih kebingungan.

Alisa memandang Namu sambil tersenyum lebar. “Mari kita pikirkan bersama, hahahaha.”

Simi tertawa. “Apa ada hubungannya dengan umur kami?”

“Aku 13 dan Simi 10. 23.. atau 3.. Ah, kurasa tak ada hubungannya,” sahut Namu sambil berpikir keras.

“Coba kulihat petanya,” timpal Alisa.


Namu membuka halaman ketiga dan keempat lebar-lebar ke arah kamera. Ada sebuah kotak besar, yang di dalamnya ada gambar beberapa kotak kecil, garis dan panah-panah dengan lingkaran merah di tengah.


“Sepertinya ini sebuah ruangan,” kata Alisa. “Tapi tak ada petunjuk apa pun lagi di sini. Tak ada angka, tak ada simbol apapun.”


Alisa memotret peta itu agar dia bisa fokus mempelajarinya. Namu menurunkan peta dari kamera dan berusaha memecahkannya juga. Dia memutar-mutar petanya, memiringkan kepalanya, berharap bisa membacanya dari berbagai sisi.


“Berhenti, Kak! Coba lihat ini,” Simi menghentikan tangan Namu yang memutar buku ke arah Barat Daya. “Tidakkah menurutmu ini seperti jam sembilan?”

“Hmm.. Tapi kenapa harus dilihat dari sudut ini?”

“Simi, kamu jenius!” Pekik Alisa. “Namu, kalau kamu melihatnya dari arah itu, apalagi yang kau temukan?”

Namu melihat posisi kotak-kotak kecil yang berada di dalam kotak besar, di sebelah garis-garis dan panah. “Aku seperti pernah melihat ini.”

“Tentu saja! Kau pernah menunjukkan foto tempat itu padaku.”

“Hah?” Sahut Namu dan Simi bersamaan.

“Kak, ini seperti...”

Namu menghitung jumlah kotak kecil yang tergambar di situ. Di sisi kiri ada dua kotak, dan di sisi atas ada tujuh.

“Ini ruang baca di rumah ini!”


Simi mengusap rambut-rambut tangannya yang berdiri. “Jadi ini peta tentang rumah kami?”

“Kurasa begitu,” jawab Alisa. “Beta menunjukkan dua kotak di sisi kiri itu, zeta adalah tujuh kotak di atas, lalu theta adalah jam sembilan, penunjuk arah dari mana peta itu harus dibaca.”

“Kamu yakin, Alisa?”

“Tentu tidak, Namu!” Sahut Alisa sambil tertawa. “Kita kan baru menebak-nebak. Tapi aku berharap itu benar.”


Simi tersenyum lebar sambil menarik tangan kakaknya ke luar kamar. “Ayo kita cari, Kak!”

“Alisa, kami akan kembali lagi nanti,” pamit Namu cepat-cepat.


Namu dan Simi kemudian berlari ke ruang baca dan berdiri di tengah-tengahnya, memandang dua sofa di sisi kiri mereka, dan lima rak buku dengan dua sofa lagi di depan mereka.


“Dua dan tujuh,” gumam Simi.

“Jadi ini beta dan zeta...” Ucap Namu sambil membuka petanya lagi.

“Dan posisi kita berdiri sekarang ini tepat di tengah-tengah jam sembilan, dengan beta dan zeta sebagai penunjuk waktunya,” kata Simi.

“Dua ditambah tujuh juga hasilnya sembilan,” sahut Namu, sambil lalu menunduk dan melihat bagian lantai kayu yang diinjaknya.


Namu mengetuk-ngetuk keras lantai kayu itu dengan kakinya, lalu berjalan beberapa langkah ke kanan dan menghentak-hentak kayunya juga.

“Coba dengarkan, Simi. Suaranya berbeda. Kayu tempat kita berdiri terasa lebih tipis.”


Simi lalu berjongkok dan meraba-raba lantai kayu tempat mereka berdiri di tengah tadi.

“Kakak benar. Kayunya berbeda, dan kenapa aku baru sadar ternyata di sini ada celah dan lubang kunci?”


Namu langsung menunduk dan memeriksa lubang kunci yang dimaksud Simi. “Tapi di mana kuncinya? Hmm.. Apa petunjuknya berhubungan dengan kita?”

“Umur kita? 10 dan 13? 23? 11?” Tanya Simi sambil berusaha melerai benang kusut di pikirannya.


Namu membuka halaman terakhir buku itu, hanya kertas kosong tanpa petunjuk apa pun.


“Mari kita coba 11,” kata Namu. “Buku ke-11?”


Bu Sagara memberi nomor di semua buku di ruang baca itu, agar gampang menata dan melihat buku apa yang tidak ada di tempatnya.


Simi mengambil buku bernomor 11 dari rak pertama.

“Tidak ada di sini,” ujar Simi.

Namu menuju rak kedua dan mengambil buku bernomor 23 dari tempatnya. Sebuah kunci jatuh dari dalam buku itu.

“Aha!” Seru Namu sambil tersenyum lebar.

Simi melompat-lompat saking gembiranya, lalu bersama-sama menuju bagian tengah tempat pintu rahasia yang mereka temukan.


Namu memasukkan kunci ke lubangnya, memutarnya dan membukanya ke atas. Mereka terngaga melihat sebuah ruang belajar yang sangat keren di bawah lantai kayu itu, dengan rak buku, dua meja belajar dan kursinya, juga ada dua sofa panjang di pojok-pojok sisinya.


“Woaaaahhh...” Kata Simi sambil terperangah, lalu mendahului kakaknya turun melalui tangga kokoh berwarna coklat, yang sudah tersedia tepat di bawah pintu rahasia yang baru mereka buka.

“Hei, tunggu!” Seru Namu yang langsung mengikuti adiknya turun ke bawah. Pintu rahasia itu cukup lebar sehingga mereka tidak kesulitan melewatinya.


Ruangan bawah lantai itu tidak terlalu luas, tapi juga tidak terasa sempit dan terasa sangat nyaman. Namu menyalakan pendingin ruangan dan membaringkan badannya di sofa panjang.


“Ahhh.. Aku bisa seharian di sini lupa makan dan minum!”


“Selamat sore, Sayang-Sayangku..”

Namu dan Simi sangat terkejut mendengar sapaan yang tak mereka duga itu.

“Ayah, Ibu!” Pekik Simi ketika mereka melihat wajah ayah ibunya muncul di pintu kayu yang masih terbuka.


Pak dan Bu Sagara kemudian turun ke ruang bawah tanah itu dan memeluk mereka berdua.

“Kalian tahu? Kami melihat apa yang kalian lakukan untuk menemukan ruangan ini, dan kami sangat bangga.”

“Benarkah?”

“Ayah dan Ibu membangun ini untuk kalian, Anakku. Dan kami memang berharap kalian sendiri menemukannya, sebagai hadiah karena kalian sudah begitu besar, dewasa dan bertanggungjawab.”

“Jadi Ibu sengaja menaruh buku peta ini dan senter di atasnya di rak loteng, lalu menutupinya dengan debu agar kami terkecoh?” Tanya Simi.

Bu Sagara mengangguk sambil tersenyum. “Dan kami sengaja keluar untuk memberi kalian waktu menyelidikinya.”

“Kami minum kopi sambil melihat kalian lewat CCTV,” lanjut Pak Sagara sambil tersenyum lebar. “Sebenarnya kami tidak menyangka kalian bisa langsung memecahkannya hari ini juga.”

“Alisa membantu kami, Ayah,” kata Namu.

“Ya! Ya! Alisa. Dia gadis yang sangat pintar yang ada di balik layar,” sahut Simi setengah memekik.

“Di balik layar?” Tanya Pak Sagara.

“Iya, aku menyebutnya begitu, karena setahuku dia hanya duduk di sana, di balik layar, tidak pernah datang ke rumah seperti teman-teman Kakak yang lain.”

“Benarkah itu, Namu?” Tanya Bu Sagara.

“Benar, Bu,” jawab Namu. “Alisa bisa bicara lebih dari dua bahasa, dan dia bisa membaca huruf Yunani dan Romawi. Dia yang membuat kami bisa menemukan tempat ini.”

“Mengagumkan. Tapi kenapa kau tidak mengundangnya main ke sini, Namu?”

“Um.. Alisa..”

“Ibu benar, Kak. Kita harus undang dia ke sini untuk makan malam hari ini!” Potong Simi sambil memekik gembira.

“Tapi dia tidak bisa..”

“Apa maksudmu tidak bisa, Namu?” Tanya Pak Sagara.

“Alisa itu .. berkursi roda,” jawab Namu. “Dia tidak bisa pergi ke mana pun dengan mudah.”


Pak dan Bu Sagara terkesiap.


“Kenapa dia berkursi roda, Kak?” Tanya Simi.

“Dia lemah dan tidak sempurna, Simi. Dia tidak bisa berjalan,” jawab Namu.

“Dia berkursi roda karena dia istimewa, Simi,” sahut Ibunya. “Kita semua orang biasa, tapi dia duduk di kursi rodanya, membantu kalian memecahkan teka-teki besar ini. Itulah artinya istimewa.”

“Aku juga tidak sempurna,” sahut Simi. “Aku tidak pandai Matematika.”

“Hahaha, Ibu juga, kok.”

“Tapi kita bisa jadi istimewa,” timpal Namu.

Semua tersenyum.

“Bagaimana kalau kita jemput dia ke rumahnya, lalu kita ajak makan malam bersama?” Ajak Pak Sagara.

Simi melonjak kegirangan.


Tak lama kemudian, mereka sudah berada di kendaraan, di perjalanan menuju rumah Alisa.

Namu membawa buku peta berharga itu, dan menulis sesuatu di halaman terakhirnya yang kosong:

“Kita tidak sempurna, tapi kita bisa menjadi istimewa.”