Gambar di Kepala Sera

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Sera adalah gadis kecil berusia tujuh tahun yang sering menghabiskan waktunya menonton video di internet, ibunya, Bu Jua ingin Sera tahu ada hal menarik selain menonton sepanjang hari. Bu Jua memperkenalkan Sera dengan cerita-cerita menarik dari para penulis di penjuru dunia.

membaca buku mengayakan wawasan meluaskan pengetahuan

Lakon[sunting]

  • Sera
  • Bu Jua
    Roald Dahl, penulis buku Charlie dan Pabrik Cokelat Ajaib dan buku Matilda

Cerita Pendek[sunting]

Gambar di Kepala Sera[sunting]

Siang itu terik sekali, jendela rumah Bu Jua yang menghadap ke timur ditutupi badan mobil yang tingginya hampir dua meter. Minibus yang terparkir tepat di depan jendela dan membuat daun jendela tak bisa terkuak sekaligus menghalangi cahaya masuk ke dalam kamar. Mata Bu Jua tak setajam dulu, dia terpaksa membaca sambil mereka-reka deretan huruf yang seharusnya tertera di sana untuk menjadi sebuah kata yang punya makna, kepalanya tiba-tiba saja menjadi pusing, akhirnya dia mengakui bahwa sudah waktunya memeriksakan mata untuk bisa mendapatkan alat bantu baca semacam kacamata atau yang lainnya.


Bu Jua merasa rumahnya cukup terang sehingga tak harus menyalakan lampu di siang hari, tetapi dia mesti menyalakan lampu karena tidak bisa membaca dengan jelas jika lampu tidak menyala. Lampu itu membuat kamar mungil mereka terasa semakin panas, Bu Jua mulai menggunakan buku yang sedang dibacanya untuk berkipas.


“Bu, aku ingin menonton film baru, aku bosan dengan video yang itu-itu saja." Sera yang berusia tujuh tahun menghampiri Bu Jua.


"Sera, Ibu sudah bilang, hiburan itu bukan hanya tontonan dari balik layar yang kau saksikan setiap hari," kata Bu Jua mengulang nasihat.


"Tapi aku bosan," keluhnya lagi.


"Kau bisa melupakan bosanmu dengan membaca buku dan menggambar."


"Aku sudah membaca semua buku di rak dan aku sedang tidak ingin menggambar apa pun." jawabnya mulai disertai rengekan, "Ibu nyalakan sinyal internet dan aku ingin menonton YouTube. Aku ingin menonton video yang baru."


Internet lagi. YouTube lagi. Sera sudah menonton sejak pagi, sejak dia bangun tidur. Mandi pun bukan dengan kesadaran sendiri, Bu Jua menyuruhnya hingga lima kali. Mungkin lebih.


"Ada apa denganmu? Kau selalu menonton berlebihan, kau sudah melakukan itu sejak tadi."


Bu Jua kembali menekuri buku yang dibacanya, rasa kantuknya yang tadi tiba, mulai penyap dan berganti dengan sakit kepala yang menyiksa. Namun dia tidak tahu mesti mengadu dan berkeluh pada siapa, dulu dia memutuskan mengasuh dan mempersembahkan waktu sepenuhnya untuk Sera, anak semata wayangnya. Dia berhenti dari pekerjaan tetapnya.


"Ambil buku dan mulailah membaca atau lebih baik kau tidur siang. Sebaiknya anak kecil istirahat siang. Matamu perlu istirahat."


"Aku sudah membaca semua buku..." rengek Sera lagi.


"Kau bisa mengulangnya sekali lagi, atau sepuluh kali asal kau mau."

"Aku tidak suka!"

"Kau tak harus bersuara tinggi."


"Tapi aku bosan!"

"Ibu sudah mendengarnya tadi. Kau bilang bosan. Ibu sudah tahu dan lebih bosan lagi mendengar kau mengeluhkan hal yang sama!"


"Kalau begitu biarkan aku menonton video di internet." kata Sera lagi.


Bu Jua diam dan kembali meletakkan buku. Bu Jua menatap mata Sera yang mulai berembun. Semacam tatapan memohon sekaligus memaksa.


Angin berembus dan masuk tersuruk-suruk melalui ventilasi kamar. Bu Jua berdiri lalu berjalan ke ruang tengah dan menyaksikan layar televisi yang sedang menyala. Video kartun anak-anak yang sudah diunduh dari internet diputar berulang kali, sejak bangun tidur pagi tadi.


Mata Sera berbinar demi melihat sebuah tanda di sudut kanan layar: sebuah titik dengan beberapa garis melengkung di atasnya. Dia mulai mengakses video secara acak. Bu Jua duduk di sebelah Sera, ikut menonton video di internet. Bu Jua merasakan kepalanya mengecil.


Sejak pagi Bu Jua membereskan rumah, memasak, dan membaca buku. Sera menonton saja sepanjang hari. Seperti saat ini, Sera sangat terkesima dengan gambar-gambar bergerak yang muncul dari layar. Bu Jua juga sedang memikirkan apa yang dilakukan Anne Frank jika di pelariannya dulu ada YouTube yang bisa diakses setiap hari. Lalu bagaimana masa kecil Beatrix Potter jika YouTube sudah ada pada masa itu. Oh, mungkin ilustrasi buku-buku Tom Kitten dan Peter Rabbit-nya bisa dikerjakan oleh mesin dengan kecerdasan buatan yang bisa membuat ilustrasi jauh lebih menarik dan cepat. Bu Jua berpikir, pastinya dia tidak akan bisa menikmati masa kecil dengan serial Lima Sekawan dan Mallory Towers yang ditulis Enyd Blyton, melihat-lihat ilustrasi halus yang dibuat Beatrix Potter, dan dia tak akan susah payah begadang demi menyelesaikan serial detektif Sherlock Holmes atau Hercule Poirot.


Lalu bagaimana jadinya masa kecilku? gumam Bu Jua dalam hati.


Sudahlah, mungkin kita memang sedang hidup di zaman yang mengerikan seperti ini. Bu Jua bisa membayangkan di sela-sela waktu luang Sir Arthur Conan Doyle yang berprofesi sebagai dokter, dia takkan sempat melakukan eksperimen apa pun, apalagi mereka-reka kasus-kasus dan menyusun hipotesis yang akan dipaparkan Sherlock Holmes, tokoh rekaannya. Alih-alih menulis, dia akan lebih senang menggulir layar ponselnya dan bermain di media sosial.


Begitu juga Anton Chekhov setelah lelah membantu mengobati orang-orang pinggiran, dia akan membaca sebentar dan mungkin dia akan lebih suka membuat konten di sebuah aplikasi yang diakses sejuta umat tentang bagaimana cara mencuci tangan yang benar.


"Kenapa internetnya mati?" tanya Sera karena melihat gambar-gambar mulai bergerak pelan dan putus-putus.


"Paket data internet Ibu terbatas, Ser," jawab Bu Jua.


"Ayo, Bu, isi lagi!" pinta Sera mulai merengek.


“Kau tahu, Sera. Saat di usiamu dulu, Ibu pernah membaca sebuah buku yang bercerita tentang anak bernama Sera dan Danu tersesat ke hutan saat mereka berlibur ke rumah nenek.”


“Aku tak mau mendengar cerita. Ibu ayo isi lagi data internet Ibu!”


“Lalu kau tahu, Sera? Mereka tak sengaja memakan buah berbentuk bulat sebesar kancing bajumu itu dan berwarna ungu. Buah itu membuat mereka bisa berbicara dengan hewan-hewan yang ada di hutan.”


“Tapi aku tak mau mendengar cerita!”


“Apa benar kau tak mau tahu bagaimana caranya mereka kembali ke rumah nenek dan tidak kelaparan hingga mati di hutan?”


“Kenapa mereka harus mati?”


“Ya, makanya kukira kau harus mendengarkan cerita Ibu …”


“Ayo, Ibu harus mengisi paket data supaya aku bisa menonton lagi,”


“Berapa usiamu kini?” tanya Bu Jua sambil menatap mata Sera.


“Tujuh tahun.”


“Tujuh tahun. Usiamu tujuh tahun sekarang dan ingatkah buku atau cerita apa saja yang bisa kau ceritakan pada Ibu?”


Sera hanya bersungut dan dia masih tak tertarik dengan pertanyaan ibunya. Lekas-lekas Bu Jua memasang wajah semringah dan dia menatap kedua mata Sera lurus-lurus.


“Kalau sudah tujuh, semestinya kau malu pada Matilda karena dia sudah membaca buku-buku Dickens ketika usianya masih empat. Dia lekas sekali bisa membaca. Itu bukan urusan kita, tapi dia membaca semua buku anak yang ada di rak buku perpustakaan dekat rumahnya dan kemudian dia mulai membaca buku-buku lain. Dia anak jenius dan saking pintarnya, dia bisa menggunakan kekuatan otaknya untuk menggerakkan benda.”


“Siapa Matilda?” tanya Sera mulai tertarik.


Bu Jua tersenyum melihat binar di mata Sera. Dituntunnya anak perempuannya itu duduk di atas sofa, sejak tadi Sera berselonjor di lantai.


“Dia anak yang sangat menyukai buku dan … ”


“Di mana rumahnya?”


“Di suatu tempat.” jawab Bu Jua setelah diam beberapa saat.


“Jadi, maksud Ibu, apakah dia sudah tidak ada lagi? Matilda sudah meninggal?”


“Begini, Sera … Matilda itu memang tokoh rekaan Roald Dahl, seperti yang pernah Ibu ceritakan tentang Pippi si Kaos Kaki Panjang dan Emil yang dikarang Astrid Lingdren.”


“Maksud Ibu, lagi-lagi kita akan membahas cerita bohong tentang tokoh-tokoh seperti Charlie dan pabrik bualan itu dan anak laki-laki kecil yang tersesat di gurun?”


Bu Jua tersenyum mengembang karena Sera masih mengingat cerita yang pernah dibacakannya pada Sera, salah satunya Le Petit Prince yang ditulis Antoine de Saint Exupéry.


“Ibu, lebih baik Ibu sering-sering menonton bersamaku daripada membaca buku. Kurasa uban ibu bertambah banyak kalau melakukan hal-hal membosankan seperti itu.” kata Sera.


“Apa kau berpikir begitu? Apa menurutmu membaca buku itu membosankan?”


Sera mengangguk keras. Ibunya lagi-lagi tersenyum dan kemudian merangkul bahu Sera, mendekatkan Sera ke dadanya dan berbisik sedikit keras.


“Sera, kau tahu tidak? Bagi Ibu menonton itu sangat membosankan. Dia memenjarakan mata dan pikiran kita. Dia menyuruh kita terus-terusan melihat, menatap, dan mendengarkan layar yang luasnya tak seberapa. Berbeda dengan buku-buku yang kita baca. Dia bisa meluaskan pandanganmu dan dia tidak pernah memerintahkan imajinasimu untuk menggambarkan seperti yang orang lain inginkan. Dengan kata-kata yang kau baca, kau akan dibebaskan dari tuntutan menggambarkan sesuatu. Kau selalu bisa membayangkan apa pun yang ditulis sesuai dengan imajinasimu. Membaca membuatmu menjadi diri sendiri.”


Sera tercenung, dia diam beberapa saat seolah paham apa yang dikatakan Bu Jua. Lalu bibirnya yang sejak tadi terkatup mulai membuka.


“Aku tak mengerti apa yang Ibu katakan.”


“Baiklah. Tidak apa-apa. Kau hanya perlu mempraktikkan sampai kau benar-benar merasakan bagaimana asyiknya tenggelam dalam buku-buku dan bermain di dunia baru yang belum pernah kau datangi. Kau mungkin tak kenal Jhumpa Lahiri, tapi dia pernah berkata: Begitulah buku, dia mengajakmu bertualang tanpa perlu melangkahkan kakimu.”


“Ibu, itu kata-kata yang hebat!” kata Sera, matanya menyipit seperti bulan sabit.


“Tentu, Nak.”


“Aku akan membaca buku nanti karena aku tak mau tenggelam oleh buku-buku. Aku bisa mati. Aku pernah mendengar orang yang tenggelam di sungai dan dia meninggal, Bu. Sekarang giliran Ibu menemaniku menonton dan Ibu akan mengisi paket data internet Ibu, kan?”


“Tidak, Sera. Kita akan membaca buku karena tenggelam tidak selalu berarti hal yang buruk.”


Sera semakin gusar dan tak sabar. Dia merasa tidak memahami apa yang diinginkan ibunya. Ibunya ingin dia mati bosan dan tenggelam dalam kebosanan itulah gambar yang ada di kepala Sera.


“Tapi aku tidak suka dipaksa. Aku akan membaca nanti kalau aku sudah mau!”


Seketika itu Bu Jua teringat saat dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai pustakawan di perpusda. Banyak sekali yang menentang keputusannya, bahkan suaminya sendiri, tetapi hatinya telah bulat karena ternyata dia tak pernah menikmati bekerja di sana. Dia selalu harus meninggalkan Sera dengan pengasuh yang berganti-ganti. Puncaknya salah satu pengasuh mengabaikan dan bahkan melakukan kekerasan fisik pada Sera.


Kau tak usah memikirkan bagaimana agar perpustakaan bisa ramai pengunjung, lagi pula kenapa kau harus peduli kalau sebenarnya teman-temanmu yang bekerja di sana pun tak terlalu peduli, mereka hanya perlu check point di sana bisa tinggi, karena itu menjadi deskripsi tugas kalian. Sebaiknya tidur dan berhenti memikirkan hal itu, ubanmu bisa bertambah banyak.


Kata-kata suaminya itu terngiang kembali, Bu Jua menekan sakelar untuk memadamkan lampu kamarnya. Dilihatnya Sera masih terpaku di depan layar televisi dengan video yang sudah diulang-ulang sejak pagi.[]


TAMAT