Lompat ke isi

Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 1/Divisi 1/Bab 10

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
BAB X

MONASTISISME TIMUR

Kami melihat bahwa di ranah pemikiran, ini adalah cabang Timur dari Gereja yang mengembangkan teologi dan menetapkan pengakuan iman dunia Kristen. kini, kami mengamati bagaimana hal-hal terapan dan pelaksanaannya berada pada kawasan Timur yang sama membentuk gagasan dan memajukannya sejauh mungkin hingga pencapaiannya. Setelah hari-hari awal kebebasan kegembiraan, tak hanya pada zaman patristik, namun sepanjang Abad Pertengahan, asketisisme merupakan sinonim dengan pengurbanan pada ranah Gereja, baik di Timur maupun di Barat. Kini dan lagi-lagi, muncul seorang mistikus, dari segala hubungan dengan waktu dan keadaan, seringkali melalui mistisisme alamnya; dan kemudian kami mendapati sorotan sinar pada spiritualitas agama yang diwujudkan oleh penerapan kasih. Namun pada kenyataannya, gagasan kehidupan Kristen sepenuhnya lekang dengan jaman yang melibatkan penarikan satu pihak dari dunia, pemajuan ragawi, mematahkan dampak alami, dan di sisi lain devosi sepenuh hati, mendalam, terdorong, setia tanpa hambatan terhadap pengakuan iman dan Gereja. Hanya minoritas terpilih yang secara serius memajukan tujuan sulit tersebut.

Abad keempat adalah zaman kebangkitan besar dan pengembangan monastisisme di Timur. Seabad kemudian, kami memandangnya menyebar cepat sepanjang dunia Barat. gerakan Barat tersebut utamanya dipicu oleh Hieronimus, yang selama bertahun-tahun menjalani hidupnya pada selnya di Bethlehem, dan dirancang oleh Cassian, yang membawa gagasan-gagasan Marseilles yang dikumpulkan olehnya dari aransemen Basil di Asia Kecil. Sehingga, kedua sosok tersebut menjadi pengaruh utama yang memimpin pembentukan monastisisme Barat awal—yang satu untuk inspirasinya, yang lainnya untuk pengaturannya—mengambil penekanan dan pengarahan mereka dari Timur. Sehingga, ini adalah cikal bakal dan pengembangan monastisisme dalam sejarah Gereja Timur.

Akar monastisisme telah ada sejak masa lampau. Perkembangannya berakar melalui tahap-tahap berikut ini:—(1) Asketisisme Umum; (2) Asketisisme Khusus, (3) Ankoritisme; (4) Cœnobitisme; (5) Monastisisme Terregulasi.

1. Jiwa asketisisme selalu ditemukan sepanjang gagasan agama bahkan kala agama tak dijamah mendalam pada gagasan tersebut. Doa dan puasa seringkali dijalankan bersama. Meskipun Allah tak pernah memerintahkan pratek maupun menerapkannya, dan meskipun Ia membenarkan murid-murid-Nya dalam mengkecualikan kebiasaan tersebut, Ia beranggapan bahwa hal tersebut akan diterapkan pada masa kesedihan, dan Ia juga memberikan pengarahan untuk ketiadaan penekanan dalam pelaksanaannya oleh para murid-Nya, menandakan bahwa, selaku Yahudi, mereka akan membawa kebiasaan Yahudi mereka dalam persoalan tersebut. Pada kenyataannya, hal tersebut diterapkan pada zaman apostolik, meskipun secara khusus jika tak secara khusus pada keadaan kritis dalam doa awal yang dikhususkan. Kristen Palestina dari zaman sub-apostolik tak melakukan puasa pada hari-hari puasa Yahudi—sebuah tindakan yang menandakan bahwa puasa pada hari-hari yang ditentukan merupakan bagian dari pratek biasa mereka. Pada zaman berikutnya, hal ini selalu dorong kurang lebih sebagai bagian kehidupan Kristen biasa di kalangan orang-orang yang berniat untuk melakukannya.

2. Pada abad kedua, asketisisme menerima dorongan kuat dari badan-badan seksional Kristen dalam protes melawan peningkatan sekulerisasi Gereja usai keantusiasan tinggi zaman primitif mereda. Hal ini secara khusus ditanamkan oleh Gnostik, yang mengklaim bahwa dalam etika terapan serta bentuk intelektual yang dihimpun mereka menjadi bentuk otokrasi spiritual di kalangan Kristen mereka. Marcion, kala berniat mengikuti St. Paulus dalam injil kerahmatannya, muncul sebagai reformator moral dalam asketisisme yang sangat tak melibatkan Paulus, walaupun "pernikahan terlarang"nya seperti ketakjuban lainnya benar-benar menjadi Paulisme yang dilebih-lebihkan dan didistorsi. Montanis juga menekankan sifat Puritanisme merekd alam pengarahan yang sama. Di pihak Yahudi, Enkratis terdiri dari para asketis. Sementara itu, seperti biasanya, badan utama Gereja menempati bagian tengah. Gereja memandang asketisisme dengan kehormatan besar, meskipun tak mewajibkannya. Keperawanan berulang kali dihormati pada Gembala Hermas, dan Yustinus Martir menyebut pria tua dan wanita melakukan selibasi dalam hal ketaatannya. pada abad ketiga, gagasan tersebut banyak dimajukan, dan kami mendapati selibasi tingkat Cyprian lebih sering disebutkan ketimbang pernikahan. Pada abad keempat, kami melihat pendangan yang memberikan penghormatan khusus terhadap keperawanan (meskipun tak dituntut, karena telah dialkukan oleh Enkratit, Marcion, Tatian, dan Gnostik lainnya) secara jelas terdaftar sebagai aturan Gereja. Dalam Konstitusi Apostolik, sumpah keperawanan diakui meskipun tak wajib. Disini, kami berada pada tahap kedua dalam perkembangan asketisisme. Orang-orang tertentu memilih untuk menjalani kehidupan selibasi dan mengambil sumpah yang ada. Namun orang-orang yang tak berasal dari rekanan mereka; mereka tinggal dengan masyarakat umum; mereka masih menjadi anggota keluarga di rumah-rumah mereka sendiri.

3. Tahap berikutnya sangat subur dan signifikan. pada akhir abad ketiga dan permulaan abad keempat, kebangkitan para pertapa timbul. Orang-orang tersebut melenggang dari kota-kota dan mendatangi gurun, hidup dalam gubuk-gubuk terpisah atau gua-gua atau bahkan di luar udara terbuka pada cuaca apapun, berpakaian kasar dan tebal, bersantap dalam gaya makan vegetarian, mengabdikan diri mereka sendiri dengan disiplin diri, diwarnai dengan persaingan singet pengurbanan diri satu sama lain, menjalani waktu mereka untuk berdoa, meditasi, bergulat dengan hal-hal jahat, melakukan kerja minimum, jika dapat, untuk bertahan hidup, dengan menanami bidang halaman kecil, membuat keranjang, atau alat manual lain, namun kala yang lainnya disediakan untuk tak melakukan hal tersebut, seringkali melakukan penyiksaan diri yang luar biasa, terkadang menjadi liar di kehidupan yang kejam dan liar mereka, terkadang menarik diri dan mendatangi kota dengan perasaan yang sangat sengit.

Kebangkitan dan persebaran cepat gerakan tersebut, yang berpengaruh sepanjang masa berikutnya, menuntut sebuah penjelasan; dan ditujukan agar hal tersebut ditempatkan dalam kesempatan bersejarah tertentu, kami harus melirik penjelasan dalam bagian setidaknya pada peristiwa-peristiwa masa itu. Akar utama monastisisme, selaku keseluruhan asketisisme, didapati dalam dikotomi sifat manusia, perjuangan antara bagian hewan dan jiwa dalam susunan manusia, perang antara daging dan roh—sebuah konflik yang terealisasikan dalam agama-agama India timbul dalam Kristen. Namun hal tersebut sering menimbulkan pertanyaan pada kami, kenapa bentuk aneh dari monastisisme timbul khususnya pada permulaan abad keempat Masehi? Ini tepat pada waktu kala penindasan paling mendera yang menyingkirkan umat Kristen dari waktu ke waktu telah hengkang, dan fajar keterpikatan kekaisaran mengirimkannya pada nuansa gaya mewah yang memecah Gereja. Pada masa sebelumnya, kehidupan yang baik dilakukan lewat arah angin; kini marabahaya tersebut diredam oleh sifat lembut dari kemakmuran duniawi. Adopsi kristen sebagai agama istana mengalihkan arus gayanya. Dunia dimahkotai pada Gereja; dampaknya adalah Gereja menjadi cepat terasimilasi pada dunia. Pada masa-masa keras, pengaku iman dianggap sebagai atlet. Dorongannya kemudian mendenyutkan otot-otot spiritualnya. Kini, kesempatan untuk atletisisme sempurna telah berlalu. Bagaimana percikan devosi murni dibiarkan jelas dan sinar dalam atmosfer dunia tertuju pada Kristen, namun sebetulnya nyaris tak sespiritual dengan masyarakat pagan yang melaksanakannya? Ini adalah pertanyaan waktu. Sosok terawal menjawabnya dalam cara yang dapat kami pikirkan sendiri, jika tak pengecut. Alih-alih belahan dunia tersebut seperti raginya, mereka bersantap dari dunia untuk lari dari kontaminasinya. Namun kesalahan dari kekeliruan mereka dilebih-lebihkan kala kurang menyakitkan. Sosok tersebut tak hilang di masyarakat selaku pengaruh moral. Hal ini menjadi kebiasaan bagi para uskup kota dan pihak lainnya untuk mengambil liburan dengan menarik diri menjadi pertama untuk alasan spiritual, sebagaimana para tenaga kerja kota modern menggadaikan kekuatan mereka dengan mendaki gunung atau beberapa rekreasi lainnya yang bersentuhan dengan alam. Ketenaran para pertapa besar menyebar lewat gereja dan membuahkan gagasan kehidupan sederhana pada orang-orang dari suatu peradaban. Beberapa orang menjadi pengkotbah yang berusaha lebih seperti Yohanes Pembaptis di alam liar. Lagi dan lagi, seorang biarawan dilatih lewat disiplin kemandirian yang diserukan untuk mengisi beberapa jabatan tinggi dalam Gereja, dan kemudian, sesuai dengan pengaturan yang tak menyambut, memajukan dirinya sendiri dengan dampak tersendiri lewat alasan penarikannya dari persoalan sekuler.

Terdapat sisi lainnya; namun itu di tempat pengamat penaungan dapat melihatnya. Sosok yang diragukan pergi dari dunia dapat mempengaruhinya lebih banyak dengan mengadopsi kehidupan warga biasa ketimbang mereka melakukan dengan menyadarkan khayalan populer dan menyulut antusias populer dari penarikan mereka sendiri.

Kekeliruan nyata monastisisme sangat jauh dan halus, namun bukan kurang menyakitkan pada akhirnya. Kekaisaran dialami oleh penarikan banyak sosok terkuat dalam pelayanan masyarakat. Disamping itu, untuk orang-orang terbaik tak menikah, dan karena keberlanjutan masyarakat yang tersisa dari pria dan wanita dari moral tingkat dua, menimbulkan pengikisan ras. Sehingga, gagasan asketis sebagai kewajiban ditujukan untuk menghimpun pengarahan tersebut. Ini membuktikan bahwa ketiadaan masyarakat efektif disebabkan oleh eksodus orang-orang selibat ke alam liar, hanya pada waktu kala gelombang pertumbuhan suku bangsa Teutonik berkembang cepat berkumpul pada perbatasan kekaisaran dan bahkan memenuhi dan membanjirinya, menjadi sebab langsung dari perpecahan kekaisaran. Para kaisar berikutnya menyorotinya dan beberapa dari mereka menganggap para biarawan sebagai musuh negara paling mematikan. Selain itu, bahkan dianggap secara gerejawi, monastisisme—khususnya pada tahap-tahap sebelumnya—bertindak sebagai pengaruh yang menggerogoti. Pada penarikan gurunnya, biarawan juga menghadap uskup. Ia mengutip mazmur-mazmurnya dan melakukan devosinya dengan caranya sendiri, dan sehingga membebaskan dirinya sendiri dari keruwetan yang disusul dengan pertemuan biasa untuk ibadah terbuka. Ia menjadi gerejawan bebas pada suatu waktu kala otoritas merangkul Gereja secara keseluruhan. Dalam penghormatan yang secara spotan diberikan kepadanya dengan nasehat publik, ia menjadi pesaing berbahaya dari uskup. Biasanya, ia menjadi jawara tangguh ortodoksi; namun ortodoksinya menjadi sempit, keras, kejam. Selain itu, disamping semua ini, monastisisme menyelamatkan situasi di kesempatan kritis kala Gereja berada dalam bahaya yang berkaitan dengan dunia, sungai mendadak lenyap dari tepiannya untuk menyebar ke rawa dan tanah basah di antara masyarakat dan akhirnya membawa dirinya pada pasir sekuleritas.

Bentuk khusus monastisisme yang timbul dalam perpisahan dari dunia, dan sikap yang dari Gereja selaku masyarakat, mula-mula muncul di Mesir. Hal ini menimbulkan keraguan soal apakah tradisi yang berkembang dari adat istiadat India memiliki hal apapun yang secara langsung memicu kebangkitannya, meskipun terdapat kemiripan kebiasaan yang menonjol. Therapeutæ—jika pencantuman penjelasan Philo oleh Tuan Conybeare diterima sebagai penyelarasan—secara tunggal menjadi penggerak serupa dari para biarawan Kristen. Namun ini lebih seperti sebab-sebab serupa yang berujung pada dampak serupa ketimbang kasus yang menjadi peniruan langsung. Aleksandria menjadi pusat peradaban buatan tingkat tinggi; gurun dengan pada tangan orang-orang yang ingin kabur dari pengaruh merusak dari kehidupan kota. Wilayah yang disinggahi Therapeutæ memiliki Gereja, dan kemudian jatuh ke tangan rezim Muslim, biasanya mengadakan penerapan-penerapan serupa pada zaman Kristen. Kami tak ingin selalu memajukan motif paling menonjol dari gerakan tersebut. Tanpa ragu, selalu ada pria dan wanita yang terpikat oleh kemenarikannya sendiri, seperti Thoreau dalam karyanya Walden; selalu ada pecinta alam yang menyebut daerah pada kota tersebut.

Penyorotan segar kini tertuju pada kehidupan dan perilaku asketis gereja perdana, khususnya di Mesir, lewat penerbitan The Lausiac History of Palladius, serangkaian sketsa biografi para biarawan, kebanyakan dari mereka merupakan penulis yang dikenal secara pribadi, dengan beberapa dari mereka ia berbagi sel-sel mereka pada suatu waktu, sementara ia menerima informasi lainnya dari laporan para muridnya. Palladius lahir di Galatia pada tahun 367; ia mendatangi para asketis Mesir pada 388, menjalani tiga tahun bersama mereka. Semunya terjadi pada masa mudanya. Kemudian, ia mengunjungi asketik di wilayah lain, dan ia menulis bukunya pada tahun 420.

Sosok-sosok terawal di gurun Mesir singkatnya pensiun sebelum penindasan tanpa rancangan asketis apapun. Eremit pertama yang sebenarnya dikatakan adalah Paulus, yang hidup di gua dekat Laut Merah dan dikunjungi dalam waktu singkat oleh St. Antonius sebelum kematiannya. Hieronimus menyebutnya "pendiri kehidupan monastik"; ia tinggal di gubuk alih-alih kepribadian yang membayangi, meskipun kami sebetulnya tak memiliki alasan untuk menyangkali keberadaannya. Kebanyakan pengaruh lainnya adalah Antonius agung sendiri. Kontroversi besar timbul pada keaslian kehidupan terkenal Antonius dikisahkan pada Atanasius. Kisah tersebut berisi mukjizat berlebihan, kekanak-kanakan, rancu dari cerita yang mentonjolkan jawara keyakinan Nikea, dan tak dapat dikeluarkan dari pena yang menulis risalah-risalah terkenal yang terkandung dalam karya-karya terkenalnya. Namun kini kami sama-sama memiliki hal-hal berlebihan dan nampak tak mungkinkan dikatakan dari pelandasan lain oleh Palladius, dan ia mengisi beberapa kisah paling luar biasanya selaku teman pribadi yang dalam beberapa kasus berbagi sel sosok terse but selama berbulan-bulan terkait dengan yang dikisahkan olehnya. Atanasius menyebut Antonius sebagai "pendiri asketisisme." Terdapat landasan kala ia menjalani kehidupan serupa, namun tinggal di gubuk yang mereka bangun sendiri di dekat kota. Lahir pada tahun 250, ia menerima panggilannya dalam usia delapan belas tahun dalam perkataan Kristus pada penguasa muda tersebut yang sempat didengar olehnya di gereja. Ia menjalani lima belas tahun di gubuk dekat kampung halamannya; setelah itu ia menutup diri dalam salah satu makam baru yang berada di Mesir. Setelah itu, ia hidup tertutup dalam reruntuhan istana, dan memblok halaman depan dengan batu besar. Tempat akhirnya berada di tempat paling terpencil di Laut Mati, di tempat ia meninggal dalam usia 105 tahun, dilayani pada masa tuanya oleh para murid kepercayaannya Amathas dan Macarius. Pada kehidupan panjang asketisisme, Antonius meraih ketenaran yang membuatnya mencontohkan model untuk hal-hal yang masuk pada kehidupan para pertapa. Berkali-kali, pengaruh kritis ditinggalkan olehnya pada masa penarikan dirinya dan datang ke Aleksandria untuk mengkotbahkan orang-orang dengan dampak langsung, selaku penasehat paling mulia. Ia melakukan pengusiran setan berkali-kali, secara penuh berkeyakinan. Dalam kontroversi Arian, ia menjadi pendukung kuat pendirian Nikea, dan ia melayani Atanasius dengan baik dengan memberikan derajat kesuciannya untuk disematkan pada sisi persoalan tersebut. Secara bersamaan, ia disebut sebagai sosok yang dihadiahkan dengan kekuatan otak dan dapat mendorong orang-orang dengan argumen-argumen yang dimajukan. Kala sekarat, ia menyerahkan kulit domba miliknya kepada Athanasius, yang menerimanya selaku warisan paling berharga.

Wanita serta pria ditarik lewat kemenarikan kehidupan asketis. Dalam beberapa kasus, mereka memiliki alasan pribadi untuk mengadopsinya. Sehingga, Palladius mengisahkan cerita pelayan Alexandria, yang menutup dirinya sendiri selama sepuluh tahun dalam sikap penuh semacam itu agar hadirinnya tak dapat melihat wajahnya. Ia mengujarkan hadirinnya bahwa ia tak pernah lalai, karena ia menjalankan waktunya dengan berdoa, melantunkan mazmur-mazmur, dan merajut linen. Ditanya kenapa ia memilih untuk hidup dengan cara tersebut, ia berujar bahwa hal ini dilakukan dalam rangka untuk lari dari peluang tercinta. Beberapa pertapa paling menonjol adalah Stylites, kelompok yang tinggal di puncak pilar. Praktek tersebut bermula pada abad kelima dengan Simeon, yang lahir di Sisan, sebuah desa di perbatasan Siria dan Kilikia. Ia datang melalui penerusan pertapaan yang dilakukan sendiri, tinggal selama musim panas terkubur sampai lehernya di taman; kemudian di gua gelap dengan ikat pinggang berduri di pinggangnya; kemudian di sebuah sel dekat Antiokhia dimana sejumlah penasehat berkumpul di sekelilingnya. Pada tahun 423, ia membangun pilar rendah, tinggal pada suatu waktu, kemudian pada pilar yang lebih tinggi, dan sampai ia membangun 40 kulit di atas tanah, entah di gubuk, atau, seperti yang nampak memungkinkan, sebetulnya pada peron rel. Disana, ia menjalani tiga puluh tahun—keajaiban dunia. Kerumunan Arab dan Armenia, dan bahkan para pezaiarah yang berasal dari sejauh Spanyol dan Inggris, berjalan ke sana untuk melihat sosok suci dan menerima berkatnya. Simeon mengkotbahi mereka dari mimbar tingginya, dan kemudian menjadi salah satu pengaruh agama paling menonjol pada masanya. Pihak lainnya mengikuti contohnya, khususnya di Siria dan Yunani. Keeksentrisitasan tak diadopsi di Mesir dan ditolak di Gereja Barat.

4. Sementara itu, tahap keempat kehidupan asketis berjalan dengan baik. Ini dikenal sebagai cœnobite. Ini merupakan kehidupan umum, kehidupan komunitas. Berseberangan dengan kehidupan eremit yang sangat menonjol. pertapaan kuno mendorong sikap mutlak, memilih pelatihannya sendiri, hidup selaku penyelarasannya terhadap kehidupan yang sangat mengisi sendiri. Biarawan dalam konven menenggelamkan diri dalam kehidupan umum, tak menjalankan tujuan-tujuan berkehendak diri, menggikuti otoritas yang menaungi penempatannya. Dari tiga sumpah monastik yang mendominasi monastisisme sepanjang Abad Pertengahan—kemiskinan, kepedulian, kesetiaan—dua sumpah pertama hanya terlihat pada pertapaan primitif; yang ketiga berasal dari kehidupan cœnobite. Gerakan dalam pengarahan tersebut bermula lewat pertemuan para murid yang maju di sekitaran sel dari beberapa pertapa terkenal. Kala orang-orang tersebut memiliki sel-selnya sendiri, mereka juga menghimpun penekanan satu sama lain. Selain itu, kami disini melihat kesepakatan gagasan pengelompokan biarawan bersama. Terkadang, sekelompok eremit akan bertemu untuk perjamuan kudus di gereja biasa jika tempat semacam itu dapat dicapai. Namun, pendirian pasti dari sistem cœnobite ditujukan kepada Pachomius, yang mendirikan biara pertamanya di Tabenniti dekat Denderah, sekitar tahun 305. Gagasan tersebut menyebar cepat, dan pada masa kematian Pachomius pada atau menjelang tahun 345 terdapat delapan biara dan sekitar ratusan biarawan. Ini merupakan sistem yang sepenuhnya terorganisir dari permulaan, dengan petinggi, sistem kunjungan, dan bagian-bagian umum. Biara terdiri dari sejumlah rumah yang masing-masing terdiri dari sekitar tiga puluh atau empat puluh biarawan. Aturannya diselaraskan pada prinsip-prinsip sistem militer. Selain itu, terdapa ruangan untuk beragam kegiatan. Menyebut biara di Panopolis (Akhmīm), Palladius menceritakan kami bahwa meja-meja diletakkan dan hidangan disiapkan di tengah siang dan setiap jam berturut-turut sampai menjelang sore, untuk menyelaraskan kebiasaan para biarawan yang berpuasa berkali-kali pada masa itu. Sehingga, ia berujar, bersantap hanya setiap tanggal dua, beberapa hanya setiap tanggal tiga, beberapa hanya setiap tanggal lima.

Palladius merupakan rangkaian cerita aneh pertapa dan biarawan Mesir, beberapa dari mereka terlalu fantastik untuk menjadi lebih baik ketimbang fabel kanak-kanak, sehingga kebanyakan dari mereka bersifat signifikan dari beberapa perilaku dalam kehidupan asketis. Kesalehan yang dicatat olehnya didapati olehnya kala kunjungannya pada penarikan diri ke gurun harus dihimpun dengan keyakinan yang baik. Macarius mendera dirinya karena membunuh serangga kala terusik dengan pawai-pawai Sketis, dan menjalani enam bulan dalam keadaan tanpa busana di antara serangga-serangga, sampai ia kembali, ia hanya dikenal dengan suaranya, kulitnya telah menjadi seperti persembunyian gajah. Untuk Valens dari Palestina, iblis sempat muncul dalam penampilan Kristus, dengan suara datar kepala orang miskin tertunduk, dan ia berujar padanya soal persaudaraan pada keesokan harinya bahwa ia tak perlu ikut persekutuan. "Karena," ujarnya, "Aku melihat Kristus Sendiri." ia mengumpulkan besi-besi selama dua belas bulan, dan kemudian mengacuhkan dan menyembuhkan delusinya—jika hal semacam ini terjadi; namun cerita terkenal Sir Walter Scott tentang Kolonel Gardiner mengingatkan kami bahwa kejadian tersebut dapat menjadi tafisran yang sangat berbeda. Cerita karakter serupa lainnya tak nampak sangat suci. Suatu malam, seperti yang dikisahkan oleh Palladius kepada kami, iblis datang ke Eukarpus, yang menjalani lima belas tahun dalam kehidupan asketis, berbicara kepada sosok tak berwujud, dan berujar, "Akulah Kristus." Biarawan tersebut percaya, dan merunduk dan menyembah penglihatannya. Penjeratan kejadian tersebut mendorong pria malang tersebut untuk membangkang, sehingga ia menyebut Macarius "citra terlukis" dan Evagrius "pematah firman sebenarnya." Ia kemudian menempatkan besi-besi selama setahun, setelah itu ia hanya tinggal tiga belas bulan, melayani orang sakit dan mencuci kaki orang-orang asing. Stefanus kehilangan segala keinginan untuk makan dan berlaku bak orang-orang yang kala itu mengeluarkan susu atau daging masak. Kebanggaannya menjadi kejatuhan yang mengerikan. Mendatangi otoritas Macarius, ia lari ke Aleksandria, dan disana jatuh ke dalam kerakusan, kemabukan, dan pesta pora.

5. Tahap terakhir dalam perkembangan monastisisme Timur adalah karena kebijaksanaan dan tenaga Basil agung bak negarawan, yang dianggap sebagai Benediktus dari Gereja Timur. Aransemennya yang dibuat oleh Pachomius hanya diterapkan pada para biarawannya sendiri. Sejauh ini, jumlah asketis yang lebih besar hidup seturut sorotan pribadi mereka, dan bahkan ada biara-biara yang diurus secara sangat beragam. Basil sering berpergian, mengunjungi banyak lembaga dan menemukan unsur-unsur berlawanan mereka. Dua praktek yang utamanya dilakukan olehnya sangat nakal. Yang pertama adalah kebiasaan eremit. Kemandirian yang ia anggap berbahaya pada kerendahhatian dan pengamalan. "Siapa yang akan membasuh kakimu?" tanyanya; "siapa yang akan melayanimu? bagaimana kau mengakhiri semuanya—jiak seturut kehendakmu sendiri?" Yang kedua dari kejahatan tersebut adalah kemalasan. Aturan Basil bergantung pada industri. Pada saat yang sama, ia menempatkan penekanan pada penekanan liar asketisisme. Sosok asketis mengatur dirinya sendiri—dengan makan kacang sekali sehari—ia menulis, "Jika berpuasa menghindarkanmu dari pekerjaan, lebih baik bersantap seperti orang yang menjadikanmu seperti pekerja Kristus." Biarawan tak dapat mengumpulkan harta benda pribadi, tak bertemu wanita, tak meminum anggur, hanya membaca kitab-kitab kanonik. Asketis sebenarnya memakai keringan dan hidangan yang kurang nikmat dan bersantap hanya sekali sehari. Itulah yang dibacakan kala bersantap. Kebanggaan dan kehandalan Basil tak diperkenankan untuk membutakan kita untuk bersikap murah hati. Ia mempelajari kesejahteraan para biarawan, menyelaraskan keputusan mereka yang sangat bergesekan, namun mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan biasa. Dengan berpikir mulia sendiri, ia berniat untuk menimbuhkan percikan keantusiasan pada pihak lain. Sehingga, ia menyatakan, "Para atlet, pekerja Yesus Kritus, kau mencurahkan dirimu sendiri untuk berjuang untuk-Nya sepanjang hari, untuk menyematkan seluruh kehangatannya. Bertujuan agar tak memberlakukannya sebelum berakhir; menunggu sampai sore, agar diujarkan, akhir hayat, waktu yang pemegang rumah harus diserahkan untuk terikat denganmu dan membayar upahmu."