Lompat ke isi

Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 1/Divisi 1/Bab 3

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
BAB III

ARIANISME

Arianisme menyebabkan perpecahan paling serius dalam Gereja yang terjadi sepanjang sejarah dunia Kristen. Ini merupakan subyek kontroversi paling berkenang pada abad keempat, zaman Bapa-bapa Gereja Timur terbesar, zaman polemik paling tajamnya dan sastra teologi paling handalnya. Pengakuan Iman Nikea, standar esensial doktrin ortodoks di Timur, dirumuskan untuk keperluan khusus yang menyingkirkan dan menumpas bidah'ah ini, yang berkali-kali memegang jabatan kepalanya, didorong oleh keterpikaran kekaisaran, yang terancam mendominasi Gereja dan menggantikan teologi ortodoks saingannya. Pertanyaan tersebut dianggap sangat serius, bahwa golongan tersebut diperlakukan sebagai pengaruh utama Negara, dan faktor politik utama sepanjang abad menjadi sikap para kaisar terhadap Arianisme. Sepanjang waktu itu, golongan tersebut secara khusus menjadi pertanyaan Gereja Timur; Barat meskipun berdampak kecil , namun protagonis dalam kontroversi tersebut adalah Hosius dari Cordova. Hilary dari Poitiers menjadi satu-satunya teolog Barat penting yang mengambil bagian dalam kontroversi tersebut pada tahap awalnya. Kemudian, usai Arianisme disingkirkan di Timur, golongan tersebut menjadi dominan di Barat, datang dengan invasi Goth yang menjadi bida'ah tanpa mengetahuinya, menjadikannya jalan yang mecelakakan, singkatnya karena misionaris besar Ulfilas, yang berpindah agama menjadi seorang Arian. Kemudian, Arianisme pada masa berikutnya di Barat murni tak disengaja, hasil migrasi suku bangsa tersebut. Rumah asli Arianisme adalah Timur, dan kontroversi besar tersebut nyaris sepenuhnya dipantau Gereja Timur. Sehingga, beberapa perhatian dituntut dalam keadaan saat ini, meskipun golongan tersebut telah diperlakukan dalam dua karya sebelumnya dari Seri yang sama.

Cikal bakal kontroversi besar tersebut, yang mengguncang seluruh belahan Gereja turun sampai fondasinya—seperti banyak sungai yang turun ke bawah aliran air kecil yang menetes ke bawah pinggir bukit—yang nampak sangat tak menonjol. Arius, yang namanya dipakai untuk menyebut bidah'ah tersebut, menjadi presbiter Gereja di Aleksandria. Disana, presbiterasi mempertahankan pengaruhnya lebih lama ketimbang tempat lainnya, dan ia menjalankan tugas pastor di gereja desa tetangga Baukalis dari sekitar tahun 313. Lima tahun kemudian (tahun 318), ia didakwa uskupnya Aleksander dari Sabelianisme. Motifnya membuat iri pada catatan ketidaksepakatannya karena tak terpilih pada episkopat yang tak diakui, dan mereka harus selalu berada pada penjagaan mereka melawan kepribadian yang berkelanjutan yang menimpa dan berada di antara kontroverisalis gerejawi, dan melihatkan unsur paling melukai dan menghina pada sejarah gereja. Aleksander menyelamatkan keadaan tersebut dengan memajukan mejanya pada lawan rekanannya dan menuduh Arius memberikan ajaran palsu. Kemudian, seperti yang telah terjadi, pemberantas bida'ahnya sendiri jatuh dalam kesesatan. Tak diragukan dalam kasus ini bahwa Arius bersalah. Aleksander bukanlah seorang Sabellian yang ditunjang oleh pernyataannya soal pandangan yang terkandung dalam surat penting. Di sisi lain, Arius tanpa diragukan lagi menjadi bida'ah, dalam esensi teknikal dari istilah tersebut; dapat dikatakan bahwa, kebohongan memajukan opini pribadi yang beragam dengan tren umum ajaran Gereja.

Meskipun Arianisme menyebar di Aleksandria, akarnya bermula dari Antiokhia. Origenes mengajarkan doktrin subordinasi yang kuat; namun ia mendorong sifat abadi Putera, dan nada serta penekanan dari pikirannya menjadi asing dari apa yang mereka pandang dalam Arianisme. Teologi Aleksandria besar bersifat sangat Platonik, dan pengembangan iman ortodoks pada abad keempat sepenuhnya dikendalikan oleh penekanan Platonisme. Namun metode kering, keras, logis Arius adalah Aristotelian, dan sehingga menjadi aliran Antiokhia. Harnack berujar, "Aliran tersebut merupakan induk doktrin Arian dan Lusianus kepalanya adalah Arius sebelum Arius." Selain itu, Profesor Gwatkin menyebutnya pemujaan Aleksandria.

Penetapan niat Arius terhadap ajaran Aleksander adalah doktrin keabadian Putra Allah, yang, ia tekankan, melibatkan Sabelianisme. Di sisi lain, ketidakabadian Sosok Kedua Tritunggal menjadi titik awal Arianisme. Ditekankan dalam suatu sudut, Arius tak akan berujar bahwa "waktu berlangsung ketika Ia tidak ada," karena waktu itu sendiri tak ada kala itu, semenjak dimulai dengan penciptaan, dan Ia telah ada sebelum segala hal lainnya ada; namun ia menyatakan bahwa "itu terjadi saat Ia tak ada." Kala ia mengembangkan sistemnya, unsur-unsur berikut ini timbul:—

1. Kesatuan Allah. Ia sendiri tak diturunkan maupun diciptakan—sosok esensial, abadi, τὸ ὄν, ilahi di atas segala hal lainnya. Arius bersimpati dengan kesesatan tersebut dan kemudian konsep transendensi Allah Yahudi.

2. Kepribadian independen Kristus. Disini Arius berada dalam perlawanan langsung terhadap Sabelianisme. Lawan-lawan ekstrim Arius—Marcellus, Photius, dll.—berada pada tepi pisau ortodoksi di sisi lain dan menjadi Sabelian. Setiap sistem pemikiran dinyatakan telah masuk simpati sosok terawal yang memiliki kasihnya, dan salah satu kasih Arianisme bahwa hal tersebut diturunkan untuk menyelamatkan gagasan Mediator, dari pribadi sebenarnya Penebus dunia yang diwahyukan dalam injil, sebuah gagasan yang menyingkirkan konsep metafisika Allah tertinggi.

3. Cikal bakal Kristus lewat penciptaan. Menurut Arius, keperanakan Kristus hanyalah merupakan konsep figuratif. Allah tak benar-benar memiliki Putra dari sifat-Nya sendiri. Kristus seharusnya dibuat, diciptakan dari ketiadaan, dan lewat kehendak Allah. Ia dibuat sebelum seluruh makhluk lainnya; dan bahwa perbedaan antara cikal bakal-Nya dan hal lain di alam semesta adalah bahwa ia diciptakan langsung oleh Allah. sementara seluruh hal lainnya datang dengan diciptakan melalui-Nya.

4. Ia tak memiliki jiwa manusia. Kristus datang dan berinkarnasi dalam raga manusia; secara keseluruhan. Kemudian masalah sifat Kristus disederhanakan. Tak ada kompleksitas kesadaran ganda.

5. Kristus dapat berubah. Ia dapat berubah menjadi jahat, jika ia memilihnya.

6. Suatu bagian tak konsisten dari sistem tersebut adalah penyataan bahwa Kristus menerima penghormatan ilahi dalam pengakuan perbuatan baiknya. Pada penekanan ini, Arianisme berhubungan dengan adopsionisme. Tak mudah menyelaraskan konsep semacam itu dengan gagasan pra-keberadaan Kristus menurut Arius; namun rekonsiliasi tersebut dibuat sepengetahuan ilahi. Allah sangat memandang bagaimana Kristus memperlakukan diri-Nya sendiri dan menghargai-Nya seturut dengan antisipasi.

Arianisme menjadi sistem yang sangat sederhana; ini menjadi rekomendasinya. Golongan tersebut didorong untuk bebas dari tantangan teologi populer. Golongan tersebut menyangkal misteri dari agama. Penerapannya dilogiskan. Selain itu, golongan tersebut diklaim konservatif, jatuh pada esensi Kitab Suci melawan penyematan spekulatif dari teologi metafisika; namun rangkaian otoritas kitab sucinya bersifat kecil, sekumpulan tulisan diseleksi dan dalam beberapa kasus tak diterapkan. Dalam persoalan ini, kedua belah pihak nyaris sama-sama dinyatakan bersalah terhadap prinsip-prinsip yang digaungkan dalam penjelasan tertulis.

Selain itu, kala mereka memegang seluruh anggapan semacam itu, hal tersebut menjadi serangan terhadap mereka selaku pernyataan yang sistemnya dibuat berstruktur, dan bersinggungan dalam penjelasannya, harus memenangkan jalannya dalam Gereja. Tujuan-tujuannya menjadi jelas. Pada wajahnya, Arianisme menyatakan penghormatan bahwa umat Kristen yang antusias menjadi makin dekat dengan Allah mereka. Meskipun diperbolehkan menjadi Mediator, hal anehnya adalah soal Allah maupun manusia, soal penyatuan dengan Allah pada satu sisi maupun pada manusia pada sisi lain. Sehingga, persoalan ini masih tetap tak terjembatani, dan semua itu menawarkan sosok besar yang berdiri terisolasi di tengah-tengahnya; atau jika kami memandang gagasan tersebut dengan cara yang lain, kala Kristus bukanlah sosok yang bersama dengan mereka dalam sifat manusia, Ia termasuk dalam alam penciptaan mereka, sehingga jika mereka memikirkan Allah pada satu sisi dan ciptaan pada sisi lain, Kristus sepenuhnya berada pada sisi ciptaan, dan tak ada mediasi nyata secara keseluruhan. Selain itu, ini membolehkan agar beberapa bentuk penyembahan dapat diberikan pada-Nya, dan Ia disebut Allah dalam esensi sekunder, sebagai belalang yang disebut "kekuatan besar" Allah. Namun kemudian, karena Ia bukanlah ciptaan, pemujaan semacam ini menjadi pemujaan makhluk, yang dikatakan, pemberhalaan. Paganisme esensial dari skema tersebut nampak pada Atanasius, yang menuturkan sikap perubahan ini terhadap Arian. Mereka menganggap dewa-dewi dari aliran luar Gereja berasal dari satu-satunya Allah yang benar-benar hidup.

Kala pertentangan terjadi, kami takjub terhadap bagaimana Arianisme nyaris merasuki Gereja, menyebar sangat cepat, dan memegang pengaruh besar seperti halnya kassu tersebut. Beberapa hal dihimpun pada ketertarikan pribadi penulisnya. Serangan pertama Atanasius terhadap bida'ah tersebut berdasarkan pada namanya, Arian mengambil nama dari sosok yang ortodoks sendiri sebut "Kristen". Menunjukan bahwa nama tersebut bukanlah label yang diterapkan pada mereka oleh musuh-musuh mereka, ini bersifat signifikan seperti gelar "Swedenborgian" yang umum diberikan kepada komunitas yang menyebut dirinya sebagai "Gereja Baru." Arian bangga terhadap Arius—setidaknya ini menjadi kasus pada masa awalnya; kemudian, kala penghinaan disalurkan atas namanya, beberapa dari mereka tak terlalu ikut mengklaimnya.

Kami lihat, Arius merupakan sosok yang aneh—seorang pria kurus tinggi, menata rambutnya yang kusut, dengan tatanan jelalatan di matanya, dan gerakan tak kenal lelah pada kakinya, berbusana asketis, seringkali diam dan tenang, namun dapat melakukan pernyataan kala disinggung, dan sangat atraktif dalam perilakunya dan suara manisnya. Ia bersikap ragu-ragu dalam mempopulerkan doktrinnya, yang mengandung kidaung didaktik kering dalam unsur lagu-lagu bersifat vulgra, pada skandal Gereja, namun menyiratkan bahwa ia mengetahui bagaimana mendapatkan perhatian masyarakat. Kidung-kidung tersebut akan dinyanyikan dengan musik dan tarian—sebuah unsur dari praktek pagan yang menghibur dan bersifat duniawi, diwariskan dari agama kuno bangsa Mesir dan dilanjutkan sampai saat ini dalam praktek-praktek yang tersebar luas.

Selain itu, tak diragukan jika Arius akan membuat banyak cara kala ia mencetuskan gagasannya dengan caranya sendiri dan hanya dengan memajukan pengaruh tak tertandingi. Aleksander mengadakan sinode uskup-uskup tetangga yang mengekskomunikasikan bida'ah tersebut, yang kemudian meninggalkan mesir dan mengunjungi golongan-golongan gerejawi utama di Siria dan Asia Kecil, dari beberapa orang yang ia anggap bertindak simpatik. Namun ada satu sosok yang ikut menghimpun kepentingannya. Itu adalah Eusebius dari Nikomedia, prelatus paling kuat di Timur, teman lama Arius, yang kemudian menjadi pemimpin sebenarnya dari golongan tersebut, dan harus mengatributkan sifat politik gerakan tersebut dalam perkembangan berikutnya. Dengan dorongan presbiter tersebut, Arius hanya berkarya secara lokal; di bawah naungan uskup besar Eusebius, golongan tersebut memiliki pengaruh kekaisaran, sehingga persoalan tersebut menjadi perhatian pertama Negara dengan Konstantinus sendiri. Setelah itu, intrik-intrik politik dalam kepentingan orang dan golongan memiliki pengaruh besar dalam kekuasaannya dan persebarannya alih-alih argumen teologinya. Meskipun selama jangka panjang, Arianisme menjadi agama yang diakui di dunia Kristen Timur, peristiwa tersebut utamanya terjadi karena rencana-rencana diplomasi yang dipakai untuk kepentingan kekaisaran. Kebanyakan uskup wilayah Yunani dari Gereja menjadi Arian pada suatu waktu, namun hanya karena para penganut dari golongan yang berlawanan sangat menentang tindakan despotisme dan penerus mereka dalam pandangan mereka dan menyatakan bahwa tindakan mereka berlawanan dengan kehendak masyarakat. Tak ada yang menunjukkan bahwa badan utama Gereja di Timur pernah menjadi Arian; dan tentunya ini tak pernah menjadi kasus di Barat. Pada akhirnya, kami harus menyatakan bagaimana Arian memperoleh dukungan dari wilayah yang sangat tak terjangka, dengan penyertaan Meletian. Orang-orang tersebut, golongan dari Meletius, uskup Likopolis, kini Assiūt—pada abad keempat hanya menempati peringkat kedua dalam hal pengaruh setelah Aleksandria, yang murni mengecam dasar-dasar disiplin dan terbebas dari dakwaan kesalahan doktrinal, menempatkan mereka berharapan dengan Arian, dan sehingga membantu penyingkiran unsur bida'ah dalam perlawanan umum terhadap mayoritas dominan.

Dibentengi oleh dorongan bahwa ia menerima kala perjalanannya, Arius kembali ke Aleksandria dan menghimpun gereja para pengikutnya seturut uskupnya. Ini adalah tindakan pemisahan yang hanya dapat dipandang oleh pihak gereja sebagai sebuah pemberontakan. Krisis tersebut menjadi akut. Persebaran luasnya kini menjadi pertikaian, dan jiwanya mengalami kepahitan, yang menjadikan persoalan serius pada Konstantinus. Ini merupakan penunjangan dasar dari pengaruh besarnya.

Sehingga, ini menjadi keadaan yang memalukan, sebuah contoh paling menyakitkan dari ironi sejarah. Tak lama usai perdamaian dihimpun antara Negara dan Gereja, Negara campur tangan untuk mengayomi perdamaian Gereja. Masih setengah pagan, sangat pemula, dalam karater yang secara menyedihkan di bawah standar Kristen, kaisar yang baru berpindah agama perlu untuk menangani Gereja dalam rangka mencegahnya dari keruntuhan kepentingannya sendiri. Hal ini dapat dianggap bahwa Kristen mengalami rasa malu untuk menghadapkan pada pertentangan moral dari orang yang berpindah agama. Namun, itu merupakan pandangan kasus dari sudut pandang kaisar. Untuk Aleksander dan para temannya, hal ini akan nampak dalam sorotan yang sangat berbeda. Konstantinus menulis surat kepada Aleksander yang menyatakan penyelesaian atas sengketa tersebut, pada asumsi bulat atas dasar yang cukup sepele, dan memperlakukan para uskupnya nyaris seperti halnya mereka adalah kelompok para murid sekolah yang berkelahi. Sehingga, ia berujar sepanjang suratnya: "Atas sebab perbedaanmu tidaklah menjadi doktrin atau pandangan utama dari hukum Ilahi, maupun memiliki bida'ah baru yang menghormati pemujaan Allah yang bangkit atasmu. Kau berada dalam kebenaran yang satu dan penghakiman yang sama; sehingga kau juga tergabung dalam persekutuan dan keanggotaan. Sepanjang kau tetap memegang pertanyaan yang kecil dan sangat tak signifikan, ini tak selaras dengan sebagian besar umat Allah yang harus berada di bawah arahan penghakimanmu, karena kamu kemudian terpecah di antara kamu sendiri." Dalam membaca pernyataan semacam itu, kami tak tau apa yang memajukan arogansi paling mencolok yang dianggap untuk mengupayakan penyelesaian perbedaan keagamaan lewat pesan otoritas kekaisaran, atau penyederhanaan sublim yang sepenuhnya tak dapat dianggap penuntasan pertanyaan atau masalah atau kedalaman celah dalam Gereja yang dihasilkan. Bukan "bida'ah baru"—"penghakiman yang satu dan sama"—"pertanyaan yang kecil dan tak sangat signifikan"—terdapat pernyataan yang menandakan ketidakmampuan penuh untuk mengatasi masalah sebenarnya dari sengketa tersebut. Surat tersebut dokumen karakteristik yang masih ada dalam setiap paragraf yang membongkar penulisnya sebagai sosok dunia yang akan menuntaskan diskusi teologi paling serius seperti halnya mematahkan rambut, namun juga negarawan praktikal dini yang berniat menjalin perdamaian dalam masyarakat pada pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya.

Tujuan Konstantinus bersifat sempurna; namun tak lama ia memahami bahwa metode pertama yang dipakai olehnya untuk mengamankannya sangat sia-sia. Cabang zaitun ini tak memiliki dampak apapun; dokumen tersebut secara harfiah menjadi surat mati. Ini disertai oleh salah satu kapelan kaisar, sosok yang sangat dimuliakan dalam Gereja, yang memainkan bagian penting dalam negosiasi-negosiasi berikutnya, Hosius, uskup Cordova.

Namun upaya sosok baik dan handal yang menuntaskan penetapan pada hal tersebut sangatlah gagal. Kemudian, kaisar mencoba metode lain dengan lebih bijak, lebih terapan. Ia membujuk para uskup seluruh Gereja untuk membahas persoalan tersebut dan menyelesaikannya lewat jajak pendapat. Ini menjadi contoh pertama dalam upaya apapun pada pertemuan yang mewakili badan Kristen umum di seluruh belahan dunia. Konsili-konsili lokal telah diadakan di berbagai daerah—di Asia, di Home, di Aries, di Kartago, di Aleksandria, dan tempat lainnya. Kini untuk pertama kalinya, terdapat penghimpunan konsili umum, yang berbeda dari sinode sementara. Ini menjadi imperialisme Konstantinus paling komprehensif dan berpikiran luas yang melahirkan gagasan tersebut. Kaisar memajukan konsili dan membayar para anggotanya dengan dana Negara. Tujuannya banyak diakui dalam penjelasan konsili-konsili berikutnya yang Gereja Inggris resmi mengakuinya pada pasal ke-21 dari Tiga Puluh Sembilan Pasal: "Konsili-konsili umum tidaklah dikumpulkan bersama namun lewat perintah dan kehendak para penguasa." Selain itu, konsili tersebut ditujukan untuk di luar batas-batas kekaisaran yang meliputi seluruh Gereja, dan pada kenyataannya, dua uskup dari luar perbatasannya—Yohanes dari Persia dan Teofilus dari Skitia—hadir dalam pertemuan tersebut. Gagasan besarnya adalah bahwa Gereja menyelesaikan sengketanya untuk dirinya sendiri. "Konsili-konsili," tutur Dean Stanley kala menjelaskan karakteristiknya, "juga merupakan landasan utama dari prinsip pemerintahan perwakilan." Para presbiter dan deakon hadir; serta para uskup; dan para uskup benar-benar menjadi perwakilan masyarakat, karena mereka dipilih lewat hak suara universal dalam gereja-gereja mereka.

Konsili umum pertama dan paling menonjol diadakan pada tahun 325 di Nikæa, sebuah kota kecil di ujung danau laut di tempat pegunungan Bitinia berada sepanjang pesisir tak jauh dari Nikomedia, ibukota timur kaisar menghadap bangunan Konstantinopel. Perselisihan dalam Gereja tersebut yang menyoroti penjelasan para uskup yang berkembang di Timur dan secara khusus menyoroti Timur; konsili tersebut didatangkan di Timur; ini terdiri dari nyaris seluruh perwakilan gereja-gereja Timur. Walaupun para uskup dipanggil dari seluruh belahan kekaisaran, dan luar kekaisaran, dan meskipun jalan konsilinya diakui dan didukung di Barat, konsili tersebut ditujukan pada seluruh kepentingan dan keperluan majelis Timur. Hal yang sama dikatakan pada seluruh konsili kuno; konsili-konsili tersebut semuanya diadakan di Timur dan mereka nyaris sepenuhnya terdiri dari para prelatus Timur. Di Nikæa, hanya tujuh uskup dari seluruh wilayah yang dinaungi oleh Gereja Latin. Silvester, uskup Roma, tak hadir, usianya menjadi alasannya atau memutuskan untuk tidak hadir, dan ia diwakili oleh dua presbiter. Ini bukanlah dalam esensi konsili kepausan. konsili tersebut tak didorong oleh Paus. Konsili tersebut tak dipimpin oleh Paus. Hefele berpendapat bahwa Hosius, yang duduk pada tempat kehormatan di sebelah kaisar, benar-benar dalam jabatannya karena ia mewakili Barat untuk Paus. Namun hubungan dekatnya dengan Konstantinus dan bagian utamanya, ia dibawa dalam negosiasi dini yang ditambahkan pada bobot karakter pribadinya akan terhitung untuk posisi bermartabat yang sesuai dengannya. Disamping itu, perwakilan Silvester oleh dua presbiter tak konsisten dengan pernyataan tersebut. Dalam ketidakhadiran kaisar, Hosius nampak memimpin dengan tiga uskup lainnya, Eustathius dari Antiokhia, Aleksander dari Aleksandria, dan Eusebius dari Kaisarea—sejarawan menyatakan bahwa kami tak perlu menyamakannya dengan pemimpin Arian, Eusebius dari Nikomedia. Seluruh ketiganya adalah uskup Timur.

Tantangan berbahaya dari perkumpulan tersebut nampak sengit, pada kenyataannya sejumlah surat mengandung dakwaan melawan berbagai uskup yang dimajukan kepada kaisar; dan niat baik dan tujuan damai Konstantinus dengan cepat terbongkar lewat seruannya untuk pertemuan pertamanya dengan konsili tersebut, dan membakar seluruh lembaran yang tak dibaca oleh mereka. Ia datang untuk menghimpun perdamaian, dan kebijakannya adalah toleransi, bukan penekanan, atau pengusiran, atau penindasan. Ia tak bersalah atas perlangsungan diskusi yang mengarah ke sifat lainnya. Konstantinus berbicara dengan nada jantan dan dengan penekanan sederhana, menyebut dirinya sebagai uskup, dibuktikan dengan niat tunggal menghaluskan keberadaan debat dan memberikan keputusan damai. Namun Arius kemudian dikecam dengan sikap yang sangat murka dan diusir dari majelis tersebut.

Para anggota rohaniwan tingkat rendah, meskipun mereka mungkin tak memiliki suara, diijinkan untuk hadir dan terlibat dalam diskusi, secara bebas dan terbuka. Kebebasan ini memberikan kesempatannya menjadi pelaku seluruh kontroversi, satu orang yang kemudian menjadi kepala menara dan pundak atas setiap raga lainnya lewat unsur dorongan tenaga kecerdasan dan penyertaan moral, deakon hadirin Aleksander, Atanasius muda. Nuansa lingkup zaman Arian mengelilingi sosok besar tersebut dalam dorongan anehnya, rambut lebatnya yang terurai; kemenangan luar biasanya; namun lebih baik ketimbang, kala ia meningkatkan seluruh kontroversi tersebut ke ranah perorangan dan golongan, merebut unsur-unsur signifikan sebenarnya, dan menangani masalah-masalah vital yang terlepas dari fitnah, dendam dan kekerasan brutal, dengan penekanan yang menjadi sangat heroik sampai ia membawa mereka menuju penyelesaian. Kemudian, terbaik dari semuanya, ia mewahyukan kebesaran jiwa yang sebenarnya dan penjunjungan sifat Kristen yang khas, dengan hanya diputuskan pada bagian yang vital, dengan memajukan penguburan pertikaian lama, dengan menyambut balik para lawan lama kala mereka kembali ke apa yang ia pegang sebagai keyakinan yang benar.

Dipandu oleh deakon muda tersebut, yang kemudian menghimpun dirinya sendiri menjadi teolog paling handal saat ini, perkumpulan tersebut dengan cepat memutuskan untuk mengecap Arianisme dapat disertai pada tugas paling sulit dari penetapan pengakuan iman positif Gereja. Dan sehingga, Atanasius terlalu benar dan berpikiran luas untuk memperlakukan banyak bagian dari pengakuan iman. Ini menjadi fakta signifikan bahwa kala ia menjadi jawara tak tertandingi dari gagasan Nikea, ia jarang memakai istilah dalam penulisannya yang menjadi sorotan rombongan Nikea dan tangisan perjuangan mereka dalam perseteruan dengan para lawan—kata Homoousios. pada tahap awal diskusi, Arian memandang tak ada kesempatan dari penulisan khusus mereka sendiri yang diijinkan oleh konsili tersebut. Sehingga, mereka jatuh pada bahasa kitab suci. Dalam penyederhanaan mereka, mayoritas para Bapa Gereja tersebut nampak menyingkirkan jalan dalam cara ini agar keluar dari kesulitan. Kala ledakan timbul dalam pertemuan tersebut dalam bentuk surat Eusebius dari Nikomedia, menyatakan anggapan bahwa Putra tak diciptakan setara dengan perkataan bahwa Ia berasal dari satu esensi (homoousios) dengan Bapa. Perkumpulan tersebut menyingkirkan perkataan tersebut; inilah hal yang mereka inginkan. Putra merupakan satu esensi dengan Bapa. Sehingga, perseteruan tersebut berjalan seputar perkataan tersebut. Disini, golongan Arian memiliki pergerakan tertentu terhadap lawan mereka. Terdapat tuduhan bida'ah terhadapnya. Kami mula-mula dipertemukan dengan hal tersebut dalam deskripsi dari pernyataan Gnostik Valentinus. Dan meskipun, menurut Pamphilus, hal tersebut dipakai oleh Origenes, dan Tertullianus memakai rekanan kata Latin dari hubungan Putra dengan Bapa, hal ini kemudian dikecam dalam sinode di Antiokhia sehubungan dengan bida'ah Paulus dari Samosata, entah sebagai penjelasan gagasan kepemimpinan Allah-nya sendiri, atau dalam balasannya terhadap penekanan Sabellian oleh para lawannya. Sehingga, Arian dapat banding terlebih dahulu, dan berlagak selaku konservatif, kala benar-benar dihadapkan pada prasangka. Terdapat dua penjelasan—klaim untuk hanya memakai bahasa Alkitab dalam melawan unsur-unsur pasti teologi ilmiah, dan pertentangan terhadap istilah meragukan sebagai inovasi berbahaya dalam bahasa Gereja—memberikan Eusebius dan teman-temannya beberapa pegangan terhadap mayoritas konsili, yang terdiri dari para pastor daerah tanpa landasan teologi. Hal ini menjadi diperlukan untuk melucuti taktik Arian, dan ini sepenuhnya berhasil. Selain itu, kala reaksi yang datang nampak membuat keputusan terakhir konsili tersebut telah diakui oleh mayoritas orang yang menunjang kecerdikan dan mengedepankan kemauan. Tentunya, mayoritas bukanlah Arian. Namun, mereka pada waktu itu memajukan kebutuhan bahasa teknis terhadap para lawan Arianisme. Mereka sendiri meninggalkan penyelesaian dengan solusi yang lebih sederhana; namun mereka dibayangi oleh beberapa pihak pimpinan budaya dan keputusan besar—khususnya Aleksander, Atanasius, dan Hosius. Hal berada dalam cara yang sepanjang mereka ikuti untuk memberikan suara nyaris tanpa perlawanan untuk keputusan akhir.

Selain itu, pengakuan iman yang diadopsi berdasarkan pada pengakuan iman Palestina lama yang diperkenalkan oleh Eusebius dari Kaisarea. Sampai kini, tak ada bentuk perkataan yang diterima oleh seluruh Kristen sebagai ekspresi terhadap keyakinan mereka. Meskipun "aturan keyakinan" diakui oleh Irenæus dan terdiri atas penjelasan besar oleh Tertullianus, ini tak berdiri dalam bentuk verbal yang kaku, karena beragam kata di bagian-bagian berbeda. Sehingga, peribahasa tersebut singkatnya akan nampak mewakili kesepakatan umum keyakinan yang dimengerti. Selain itu, semenjak awal masa itu, yakni sekitar akhir abad kedua, mereka memiliki Pengakuan Iman Rasuli di Roma dalam bentuk gereja perdananya. Pengakuan iman tersebut, yang merupakan bentuk pengakuan iman paling dasar, berdasarkan pada rumus pembaptisan, dasar dari segala pengakuan iman. Namun tak ada alasan yang diyakini bahwa pengakuan iman bersama benar-benar diulang oleh orang-orang yang berpindah agama kala pembaptisan. Mula-mula, penarikan dari kehidupan lama dan iman pada Kristus menjadi satu-satunya syarat. Dalam versi Etiopia dari Konstitusi Apostolik, mewakili tulisan tertua, calon baptisan berkata, "Aku percaya akan satu Allah yang benar, Bapa yang Maha Kuasa, dan dalam satu Putra-Nya yang diperanakkan, Yesus Kristus Tuhan dan Juruselamat kita, dan dalam Roh Kudus Pemberi Kehidupan"—dengan peribahasa lainnya yang harus disematkan mengikuti konsili Nikea. Kemudian, pengakuan iman tersebut dikembangkan, mungkin selaras dengan doktrin yang dipakai oleh para pengajar katekumen. Daalm cara ini, contoh roma disusul, dan sehingga yang lainnya menghasilkan pengakuan iman Palestina awal yang diadopsi sebagai dasar Pengakuan Iman Nikea. Kala pengakuan iman tersebut diadopsi oleh konsili menjadi pengakuan iman pertama yang dibuat oleh otoritas untuk seluruh Gereja. Bahkan kala itu, hanya rohaniwan yang diwajibkan untuk menyatakannya. Pengakuan iman tersebut menjadi pengujian untuk rohaniwan, bukan pengkondisian keanggotaan dalam Gereja. Kaum awam tak diwajibkan untuk menyatakannya.Dan langkah besar diambil menuju pengesahan ortodoksi. Sampai saat ini, tak ada satu standar resmi yang dapat menetapkan doktrin pengajar Gereja. Kini, hal tersebut menjadi akhir dari kebebasan Ante-Nicene. Sehingga, perbedaan dari rumus yang timbul pada bagian dari uskup atau iman akan melibatkan penghilangan jabatan dan bahkan ekskomunikasi. Serangkaian anathema keras ditambahkan pada pengakuan iman tersebut untuk mengakhirinya. Seluruh anggota konsili diwajibkan untuk menandatangani dokumen tersebut; lima orang yang menolaknya diturunkan dari jabatan yang diemban oleh mereka dan dikeluarkan dari Gereja. Gereja Katolik kini menjadi Gereja Ortodoks, dan ortodoksi dibuat menjadi pengujian Katolisitas.

Di sisi lain, perlu dicatat bahwa penekanan-penekanan yang tidak dalam pengakuan iman tersebut dibiarkan terbuka. Kala kami menganggap bagaimana sebagian besar bidang teologi tak harus dimajukan, kebungkaman menjadi signifikan: selain itu, jika standar ortodoksi dibutuhkan, hal tersebut menjadi suatu unsur yang mengamankan ketonjolan iman. Setelah semuanya, kala kami menyoroti fakta-fakta di balik peribahasa tersebut, kami melihat bahwa dengan sosok berpikiran terbuka dan terdepan seperti Athanasius menjadi pengujian sebenarnya yang tak wajib untuk menjadi pengakuan iman yang sangat teknis. Itulah yang diterapkan untuk menyatakan kesetiaan kepada keilahian-manusia Kristus.

Beberapa persoalan lain juga diselesaikan di konsili Nikea. Kontroversi Paskah, yang telah memecah beberapa gereja Asia Kecil yang mempertahankan Paskah pada urutan Yahudi hanya menurut hari bulan, dari gereja-gereja Barat dan lainnya sepakat dengan mereka yang mengesahkannya menurut hari pekan, diputuskan dalam pengesahan pemakaian Barat. Pada waktu itu, banyak orang menganggapnya penting seperti persoalan Arian. Meletian menentang dan pengurutan mereka tak selaras. Pada akhirnya, pegangan disiplin tertentu disahkan. Namun konsilit ersebut memutuskan untuk menyelesaikan sengketa Arian dan keputusannya terhadapnya bersifat mutlak dan sah. Kala Konstantinus meraih kekuasaan Negara untuk menegakkan aturan Gereja, mengecam Arian sebagai "Porfirian," mencekal Arius dan beberapa pengikutnya, dan memerintahkan seluruh buku Arian dibakar—yang tak kalah kejam dengan tindakan para penguasa pada masa Inkuisisi, yang membakar para bida'ah mereka sendiri—dan mengancam mati siapapun yang ketahui menyimpan buku yang dikompilasikan oleh Arius—sebuah ancaman yang benar-benar sangat signifikan.

Meskipun demikian, sengketa tersebut jauh dari penetapan. Sehingga pada akhirnya, permulaan kontroversi Arian besar menerjang Gereja dan nyaris seluruh belahan kekaisaran selama lebih dari separuh abad lamanya, dan sehingga setelah itu timbul-tenggelam lafi dalam keadaan tak diinginkan. Adalah benar bahwa mula-mula protes Arian dikurangi dalam proporsi yang tak signifikan. Dua teman Arius membelot darinya dan menyepakati pengakuan iman tersebut; sehingga dari lima pihak yang mendukung Arius sepanjang diskusi, hanya dua uskup yang bertahan dengannya pada akhirnya dan menerima hukuman pengasingan. Namun tanda ketegangan mendatang dapat terdeteksi dalam tindakan konsiliasidari salah satu sosok paling pasifis. Eusebius dari Kaisarea, sejarawan terkenal, cendekiawan paling handal pada masanya, menulis kepada Gereja-nya yang menjelaskan esensi yang ia sepakati dalam pengakuan iman tersebut; dan penjelasannya terhitung menjadi apa yang setelah itu dikenal sebagai "Semi-Arianisme," karena ia menafsirkan kata pengujian "homoousios" dalam esensi pengingatan, berujar bahwa "ini menandakan bahwa Putra Allah tak menyematkan ingatan terhadap makhluk, namun berada dalam setiap penghormatan seperti Bapa yang hanya memperanakkannya." Kebanyakan orang harus memberi pendapat mereka pada pengakuan iman tersebut tanpa benar-benar mengetahui apa yang mereka tanda tangani; yang lainnya harus dinaungi oleh otoritas kekaisaran agar bergabung dengan ketetapan mutlak mayoritas, dan kala dikeluarkan dari tekanan konsili dan keberadaan kaisar, orang-orang tersebut kemudian menunjukkan bahwa mereka tak memiliki kecintaan terhadap pengakuan iman tersebut, dan beberapa dari mereka maju sebagai pendukung Arius. Kemudian, bobot mendalamnya berayun ke skala reaksi. Konstantinus memanggil kembali para uskup yang dicekal dan memerintahkan restorasi Arius. Perubahan bentuk menakjubkan tersebut dikaitkan dengan pengaruh saudarinya Konstantia, yang menjadi pelindung Eusebius dari Nikomedia, sampai fakta—mungkin karena pengaruh istananya—bahwa Eusebius menaungi Hosius atas keinginan kaisar, sampai unsur diplomatik Arian, dan sebab lainnya, semuanya memainkan bagian mereka dalam apa yang kini menjadi drama politik dimensi tinggi. Namun, kami tak harus lupa bahwa seluruh tujuan Konstantinus utamanya tertata baik dan damai sepanjang masa kekuasaannya. Ini nampak dalam tindak campur tangan pertamanya, surat terkenal kepada Aleksander. Mula-mula, ia mendorong perdamaian lewat diskusi yang dibungkamkan; kemudian kala mendapati tindakan tersebut gagal, ia menghimpun dukungan penyeragaman dan penekanan; hal ini sangat tak berdampak, ia kembali ke gagasan dasar yang mula-mula dimajukan olehnya. Namun apakah lewat penyeragaman paksa atau tindak kekerasan, tujuannya mengakhiri polemik mengusik tersebut. Mula-mula, ia mengupayakan obat penenang; kemudian ia mengambil pisau bedah; pada akhirnya ia menggunakan belat gerejawi, sebuah pengikatan paksa badan Gereja yang ia saksikan terpecah oleh faksi, terus bekerja dengan satu tujuan mengakhiri sengketa. Sehingga, pada akhirnya, kaisar nampak berperan paradoks selaku despot yang bersikeras terhadap toleransi.

Diwarnai oleh keletihan dan kecemasan, Aleksander yang menua wafat tiga tahun usai konsili Nikea (tahun 328), mencalonkan Atanasius deakonnya menjadi penerusnya selaku uskup Aleksandria. Gereja menerima pencalonannya, dan memilih jawara keyakinan. Meskipun demikian, keputusan tersebut terhalang, dan perubahan paling mencolok timbul melawan uskup baru tersebut oleh para musuh yang tak terelakkan. Bab berikutnya dalam sejarah sengketa Arian banyak diwarnai dengan kisah romansa petualangan Atanasius, permulaan keberuntungannya, kibasan rambut jenggotnya, sikap beraninya yang heroik, meskipun berkali-kali ia dipandang berdiri sendiri. Namun isolasi tersebut lebih nampak nyata, karena mungkin tak ada waktu mayoritas orang di Gereja Arian. Barat selalu sehati dengan Atanasius, kala hal tersebut mungkin menjadi sangat terbuka; dan sejumlah besar orang yang bungkam di Timru tak benar-benar mengakui tirani Arian yang mereka paksa untuk menyerahkan diri. Namun Atanasius tak pernah membolehkan dirinya untuk diperlakukan demikian. Sementara itu, terdapat sinode-sinode, yang dikemas dengan para uskup Arian—di Tyre, dibatalkan di Yerusalem (tahun 335), dan Konstantinopel (tahun 336). Atanasius dikecam di Tyre atas dakwaan tersebut dan diusir ke Trêves oleh Konstantinus, dan Aleksander uskup Konstantinopel, sampai penahbisannya, diperintahkan untuk menerima Arius dalam Gereja. Kematian mendadak Arius pada puncak kemenangannya menyelamatkan uskup tersebut dari dilemanya. Setahun berikutnya, Konstantinus wafat, meminta pembaptisan kala penyakit terakhirnya.