Lompat ke isi

Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 1/Divisi 1/Bab 5

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
BAB V

PARA TEOLOG KAPADOKIA

Paruh kedua abad keempat adalah masa paling brilian dalam sastra teologi Gereja Yunani. Fakta tersebut menciptakan tantangan sendiri untuk menjalankan beberapa waktu dalam sekelompok sosok agung alih-alih berada pada nuansa tegang dan pikiran rendah. Namun bidang langsung yang dinaungi adalah volume saat ini yang mengumpulkan tindaka penyangkalan diri, dan selain itu mereka masih berada pada zaman Gereja Katolik bersatu. Meskipun demikian, tak hanya catatan mereka sendiri, namun juga guncangan kedatangan hak pemahaman hidup dan pemikiran abad-abad berikutnya di Timur, kami harus memiliki beberapa landasan ajaran dari sosok yang banyak membentuk ortodoksi yang menjadi usaha generasi-generasi berikutnya untuk bertahan.

Setelah Athanasius, yang berdiri kokoh, salah satu sosok luar biasa pada paruh pertama abad keempat, tiga teolog terbesar Gereja Ortodoks Timur munvul pada paruh kedua abad menonjol tersebut, semuanya berasal dari provinsi Kapadokia. Mereka adalah Basilius, Gregorius Nazianzen, dan saudara Basilius, Gregorius dari Nyssa. Dua orang pertama menempuh perguruan tinggi dalam budaya universitas pada masa mereka; dan, walaupun Gregorius dari Nyssa dilatih privat oleh Basilius, ia dapat membaca sastra klasik dengan sangat baik. Sehingga, pada para pemimpin Gereja tersebut, kami memandang sosok yang ditunjang dengan pendidikan liberal kelas satu yang dikirim untuk menangani masalah pengetahuan teologi dari hal-hal terbaik yang diujarkan dan dilakukan pada masa lampau di dunia luar yang luas. Seturut dengan itu, kami menyandingkan mereka dengan Aleksandrianus, Klemens dan Origenes, satu setengah abad sebelumnya, atau dengan sosok semacam itu dari "Pemahaman Baru" di kalangan Reformator seperti Erasmus dan Melanchthon. Dari ketiganya, Basilius yang paling berpengaruh pada masanya, karena ia menjadi juru perkara serta cendekiawan dan penulis, bertenaga, berani, handal. Ia lahir di Kaisarea, ibukota Kapadokia, pada tahun 329. Mengkhususkan dirinya sendiri di sekolah kota asalnya, ia dikirim oleh ayahnya untuk belajar di Konstantinopel dan mungkin di Antiokhia di bawah bimbingan Libanius—pengahar terkenal yang sangat dikagumi oleh Julian. Setelah itu, ia masuk universitas Athena, pusat intelektual dunia peradaban, dan disana mulai menjalani persahabatan seumur hidupnya dengan Gregorius Nazianzen, keduanya menjalani beberapa tahun bersama dalam nuansa kaya akan pengetahuan dan bertukar pikiran yang sangat mengakrabkan keduanya. Disitu juga, Basilius bertemu kelak Kaisar Julian dan menjadi akrab dengan murid tersebut atas dasar peminatan intelektual umum mereka. Terbuai dengan ketenaran cendekiawan tersebut, Basilius kembali ke Kaisarea, nampaknya tanpa niat misi besarnya, kala saudarinya Makrina mengalihkan pemikirannya ke tujuan yang lebih tinggi, dan Basilius dibaptis. Kemudian, Basilius memutuskan untuk mencurahkan dirinya sendiri pada kehidupan asketis, dan meminta lahan kepada seorang juru sita—karena ia merupakan tuan tanah kaya dan selalu berperilaku bak aristokrat. Basilius menjalani lima tahun di gurun Pontus. Disana, ia mendirikan bangunan biara. Ia tidur dengan penutup rambut, ia hanya makan sekali sehari, dan ia hanya menyantap sayur-sayuran. Matahari adalah satu-satu apinya. Penataannya tidak ribet; dan pada suatu kali, kala gubernur Pontus mengancam untuk mengurai hatinya, Basilius menjawab, "Terima kasih atas niatmu; disana tak menghadirkan gangguan sedikitpun."

Biara-biara Basilius menjadi sekolah-sekolah ortodoksi Nikea, di tempat rohaniwa yang dilarang dari gereja mereka mengungsi dan melatih sekelompok orang beriman pada keyakinan yang ditindas, dan Basilius sendiri tak kenal lelah mengusahakan restorasinya. Ini nampak seperti jubah Athanasius ditempatkan pada pundaknya. Di seluruh belahan dunia Timur, ia diakui sebagai pejuang kepentingan Nikea. Sepanjang itu, beberapa ketegangan Gereja membuat temannya Gregorius untuk membujuk pemanggilannya, dan pada kematian uskup tersebut, ia terpilih pada keuskupan Kaisarea (tahun 370).

Sifat kepemimpinan Basilius kini terasa sangat kuat di seluruh belahan Siria dan Asia Kecil. Kala prefek Modestus meminta para para uskup daerahnya untuk mengikuti Arianisme atau diusir sesuai dengan perintah kaisar Valens, ia mendatangi Basilius dan membujuknya untuk mengikuti kehendak "Kedaulatan"nya. "Aku memiliki sebuah kedaulatan," ia menjawab, "sebaliknya, aku tak dapat membawa diriku untuk menyembah makhluk apapun" (merujuk kepada Kristus Arian). Prefek tersebut mengancam penyitaan, pengasingan, penyiksaan. "Pikiran beberapa ancaman lain," adalah jawaban sosok tak kenal takut tersebut; "tak ada pengaruhnya padaku." Modestus menyoroti penghormatan pendirian uskup besar tersebut, dan ia mengajukan pada kaisar, yang kemudian usai mengunjungi Kaisarea, di tempat, yang dijadikan tempat penaungan Basilius—para penulis lama menambahkan, dengan mukjizat-mukjizat yang ditunjukkan olehnya—ia memutuskan untuk meninggalkan uskup tersebut dan para temannya tanpa hukuman. Sepanjang hidupnya Basilius tak melihat restorasi keyakinan Nikea. Ia wafat pada tahun 379.

Karya-karya utama Basilius terdiri dari homili-homili berjudul Hexæmeron, tentang enam hari penciptaan; lima buku Melawan Eunomius, Arian esktrim, keduanya terkadang dianggap ditulis oleh pihak lain; sebuah karya penting tentang Roh Kudus; Surat-surat, yang memberikan citra penglihatan kehidupan penulis dan sekitarnya; berbagai karya dan kotbah asketik. "Liturgi St. Basilius" dan "Liturgi St. Krisostom" kemudian dipakai di Timur berada dalam segala kemungkinan berdasarkan pada liturgi yang lebih tua ketimbang yang dipakai oleh Basilius dan diberikan ke rohaniwannya.

Dalam membela posisi Nikea, basilius mengembangkan istilah baru yang ia ambil sebagai penanda beberapa perubahan pandangan. Dengan Athanasius, terdapat sifat Tuhan yang ousia (esensi) atau hypostasis (substansi), dua kata yang bersifat sinonim. Namun, menurut Basilius, meskipun ada satu ousia, terdapat tiga hypostasis; dan dalam pemakaian istilah tersebut, dua Gregorius tersebut sepakat, sehingga di bawah pengaruh para teolog Kapadokia, hal ini disahkan dalam bahasa Gereja Yunani. Sementara itu dalam gereja Latin, tak ada pengubahan pemakaian. Disini, hal ini mengharkan seluruh hal dalam Tritunggal bahwa ada satu substantia yang terhimpun dalam tiga personæ. Namun, Gereja Latin memakai kata substantia setara dengan kata Yunani ousia dan hypostasis. Sehingga, Timur memandang tiga hypostasis dalam Tritunggal, namun Barat hanya satu. Namun, perbedaan tersebut tidak sebesar yang muncul di permukaan. Yunani tak memiliki kata setara dengan persona Latin yang dapat dipakai oleh mereka dengan aman, karena istilah yang nyaris berkaitan, prosopon, telah dipakai dalam esensi Sabellian sebagai fase atau aspek sebenarnya Allah tanpa pembedaan sosok yang sebenarnya. Karena Arian lekas mengganti kelompok Nikea dengan Sabellianisme, pemakaian kata tersebut tak pernah dilakukan. Sementara itu, istilah baru yang diterima untuk apa yang dianggap oleh Barat sebagai personæ, yang artinya "karakter" (seperti kata yang dipakai dalam drama) dari Tritunggal, dan hypostasis digantikan untuk keperluan tersebut. Meskipun demikian, perubahan tersebut bersifat lebih verbal. Basilius memperlakukan perbedaan antara ousia dan hypostasis seperti halnya antara ucapan umum dan sebenarnya, seperti antara "manusia" dan "Petrus, Paulus, Yohanes, atau Yakobus." Kala menyatakan bahwa istilah homoousios menerapkan pembagian dan distribusi substansi yang ada sebelumnya, Basilius menjawab, "Gagasan tersebut dapat memiliki beberapa penerapan pada bros dan koin yang dibuat; namun dalam kasus Bapa dan Putra, substansi yang satu tak lebih tua ketimbang yang lain, tanpa dapat dipahami untuk ditumpangkan keduanya." Kami harus mengingat bahwa para teolog Yunani ortodoks adalah Platonik dalam jiwa dan pemikiran mereka, sehingga mereka yang memajukan gagasan tersebut selaras dengan istilah umum menjadi kenyataan tinggi. Meskipun demikian, bahasa seperti ini membongkat perkembangan penekanan untuk memajukan sejumlah perbedaan antara sosok dalam Tritunggal. Sehingga, Harnack bergerak terlalu jauh ketika ia memandangnya secara nampak adopsi posisi Semi-Arian, karena pengikutan yang kuat terhadap penyatuan substansi (ousia) nampak memicu keputusan yang menakjubkan. Namun tanpa ragu beberapa orang sepakat untuk membuatnya, mungkin dalam hal mendapati fakta bahwa kebanyakan Semi-Arian datang ke Gereja Ortodoks. Hasil akhirnya adalah bahwa tanpa pemberian doktrin formal apapun, kala di Barat tujuannya selalu ditujukan pada persatuan dengan Allah, di Timur didatangkan untuk lebih menempatkan pembagian sosok-sosok tersebut.

Dalam beberapa hal, Gregorius Nazianzen menentang, atau mengecam temannya Basilius dalam hal sikap dan tindakan.Sebagai murid yang tak kenal lelah, tekun dan tak ambisius, ia tak pernah memegang posisi tanggung jawab jika hal tersebut tak dipaksakan padanya, atau pada seluruh kejadian yang berulang kali diterima olehnya di bawah esensi tugas yang kuat. ia lahir pada tahun 325, atau beberapa waktu berikutnya, di Nazianzus, Kapadokia, di tempat ayahnya, Gregorius tua menjadi uskup, secara terhormat memegang hak uskup pada abad keempat untuk hidup dalam keadaan menikah. Ia mula-mula nampaknya menemui Basilius di Kaisarea, di tempat ia dikirim ke sekolah. Masa sekolahnya diwarnai dengan pertemanan seumur hidup. Usai belajar di Kaisarea, Palestinia, dan kemudian di Aleksandria, ia menjalani masa panjang di universitas besar Athena, di tempat ia mendapati Basilius memenangkan reputasi brilian untuk kecendekiawanan. Dalam orasi pemakamannya terhadap temannya, ia memberikan catatan penglihatan kehidupan universitas di pusat budaya klasik pada abad keempat. Teater-teater, pesta-pesta arak, diskusi tajam yang menguras waktu dan tenaga para murid menonjol. Namun dua orang Kapadokia tersebut datang untuk bekerja, dan sangat menghindari segala perbedaan, mereka mencurahkan diri mereka sendiri untuk belajar dengan keras. Gregorius lebih lama singgah ketimbang temannya, nampaknya selama dua belas tahun bersama, dari usia delapan belas tahun sampai ia mencapai usia tiga puluh tahun. Pada akhirnya, karena terpukau oleh kegiatan kehidupan devosional, ia bergabung dengan Basilius selama jangka pendek untuk menarik diri ke Pontus.

Pada tahun 360, Gregorius kembali pulang, mungkin untuk membantu ayahnya. Banyak melawan kehendaknya, namun atas kehendak rakyat Nazianzus, ayahnya menahbiskannya menjadi presbiter. Ini adalah "bentuk baik" untuk menunjukkan tindakan untuk menjabat di Gereja; namun membuktikan pengikisan Gregroius dari pertanggungjawaban yang sebenarnya; ia bahkan menyebut penahbisannya sebagai tindak tirani, dan tak lama setelah itu, ia kabur untuk menarik diri lama dengan Basilius. Pertahanannya terhadap Pelariannya ke Pontus—kotbah pertama usai kepulangannya—memajukan gagasan pelayanan Kristen menonjol yang kaya akan pemikiran dan dorongan rasa semangat yang membuat kitabnya hidup sampai saat ini seperti jalnya Pastor Reformasi karya Baxter—sebuah karya bertema serupa. Namun ia tak dapat lagi menolak panggilan tugas. Kemudian, Basilius memajukannya ke penugasan tempat perkabaran kecil di Sasima, sebuah desa dapat di satu jalan sempit tanpa rumput atau pohon di kawasannya. Kehandalan Basil terhadap ini untuk pemandaatan jiwa temannya, sebagai disiplin dalam perwakilan dan kerendahatian—tindakan kasih yang tak terlalu disanjung oleh korbannya. Setelah menjalani waktu di Seleukia, Isauria, ia menjalani waktu untuk bertugas pada satu gereja ortodoks di Konstantinopel, kala tirani Arian berada pada puncaknya. Disana, ia mengkotbahkan Lima Orasi Teologi terkenalnya, yang menempatkannya menjadi pengkotbah Kristen terdepan; karya tersebut sangat sebanding dengan karya-karya orator Yunani klasik. Kotbah-kotbahnya menjadi karya-karya terbesarnya; setelah itu, surat-surat dan syair-syairnya menarik perhatian kami.

Kala kenaikan tahta Theodosius, Gregorius dikenal karena kesetiaannya dalam memegang pertahanan pada periode Arian dengan diangkat menjadi patriarkh Konstantinopel. Pada faktanya, ia memimpin beberapa sesi konsili yang diadakan di kota tersebut pada tahun 381, sampai, merasa tak setara dengan tugas hampa yang mengutamakan pengurutan di antara sekumpulan uskup, ia pensiun di kampung halamannya di Nazianzus, meskipun menurut Sokrates, ia "melampaui segala sosok sezamannya dalam keelokan dan kesalehan."

Gregorius mempertahankan posisi Nikea, seperti yang dipegang oleh dirinya sendiri dan Basilius, dengan memadukan hubungan misterius persatuan dan kelipatan tiga dalam Tritunggal. Ia menjelaskan bahwa kesatuan "monarki" terdiri dalam "martabat esensi umum," "harmoni sentimen," "identitas pergerakan," dan "kecenderungan" Putra dan Roh Kudus terhadap Bapa. Bagaimana penerapan, bahkan permulaan, berbagai ekspresi tersebu, satu dan semuanya menandakan kekhasan individualitas dalam Tritunggal bahkan kala mendapati arti untuk menyatakan gagasan persatuan—sehingga karakteristik pengembangan berikutnya dari teologi Nikea, sangat berbeda dari sikap Gereja Barat! Hanya penjelasan Platonisme yang dapat menyelamatkan bahasa semacam itu dari dakwaan triteisme. Namun persatuan tersebut sebenarnya ditemukan dalam gagasan penurunan. Putra dan Roh Kudus merupakan sinar kembar dari satu sinar dan itu oleh proses berkelanjutan abadi.

Sosok Kapadokia besar ketiga adalah adik Basilius, Gregorius dari Nyssa, yang lahir sekitar tahun 335 atau 336. Memperhatikan keadaan kesehatannya, ia tak menikmati kehidupan universitas yang dialami pada Basilius dan Gregorius Nazianzen. Ia secara privat didik oleh saudaranya Basilius, dan ia menjadi pembaca besar tentang catatannya sendiri. Setelah itu, ia secara signifikan menjadi pemikiran yang lebih asli ketimbang dua anggota senior berpendidikan tinggi dari ketiga sosok terkenal tersebut. Basilius mengangkatnya menjadi uskup kota kecil Nyssa, (kini Nirse) di barat Kapadokia. Pada masa penindasan Arianus di bawah kekuasaan Valens, ia dikeluarkan dari gerejanya atas dakwaan pelantikan tak biasa oleh sinode yang terlalu dibuat-buat yang diadakan di Nyssa, dan kemudian dicekal oleh kaisar, dipulih usai kematian Valens dan "kejatuhan Hadrianopolus." Pada kematian Basilius, ia menjadi salah satu dari dua pembela iman utama.

Gregorius dari Nyssa utamanya memikat kami pada catatan argumen-argumen menonjol dan spekulasi-spekulasi berkaitan yang membenarkan pandangan ortodoks melawan Arian. Hal tersebut disertai dalam karya besarnya Melawan Eunomius, serta beberapa tulisan pendeknya. Para bapa Nikea singkatnya menurunkan penjelasan besar—kuat, jelas, pasti—masih baru sebuah pemastian, sebuah anggapan mentah yang disepakati oleh otoritas. Bahkan Athanasius mengisi sebagian besar untuk membelanya dengan memberikan landasan palsu sesambil melucuti teori pesaing sampai terkoyak. Gregorius dari Nyssa bergerak lebih jauh. Ia menggali akar penjelasan menonjol tersebut. Ia berniat untuk membenarkannya secara metafisika. Ia membawa teologi ortodoks ke nuansa filsafat bebas dan upaya untuk menyatakan kebenarannya pada prinsip-prinsip alasan abstrak—sebuah upaya yang sangat sengit namun masih menjadi suatu pemikiran yang tak mengorbankan dogma otoritatif yang dapat disambut dengan esensi kebebasan dan pelebaran. Selain itu, Gregorius menolong pengembangan garis pemikiran baru yang membuka sumber diskusi berbubah di kalangan para penulis pada masa berikutnya. Sampai saat ini, sifat Kristus nyaris secara khusus berada pada sisi keilahian-Nya. Satu pertanyaan yang timbul, bagaimana Ia berdiri berkaitan dengan Allah? Ortodoks menyatakan Keilahian penuh-Nya dan juga menyatakan fakta inkarnasi; namun mereka tak mencoba untuk mengkolerasikan dua kebenaran tersebut. Mereka tak memiliki teori soal bagaimana ilahi dan manusia dapat berjalan bersama, bagaimana ada fakta semacam itu dapat menjadi inkarnasi secara keseluruhan. Diskusi penuh masalah paling sulit tersebut masuk pada kontroversi-kontroversi pada masa-masa selanjutnya—orang-orang pada abad kelima dan keenam. Namun sebelum akhir abad keempat, pertanyaan membakar timbul terhadap keberadaan sebenarnya unsur manusia dan ilahi penuh dalam Sosok Yesus Kristus. Kini kedua Gregorius, namun Gregorius dari Nyssa lebih empatik dari keduanya, mengikuti Origenes berucap soal jiwa manusia sebenarnya dalam Kristus. Menurut Gregorius dari Nyssa, hal ini bertransformasi di bawah pengaruh Sifat ilahi usai kebangkitan dan kenaikan. Raga Kristus kemudian berpadu dalam esensi Unsur Ilahi, sehingga ini mengkesampingkan pengaitan gravitasi, bentuk, warna, dan seluruh batasan. Sehingga, hal tersebut memiliki sifat kemahahadiran dari raga yang dimenangkan tersebut, karena raga Kristus bertransmutasi pada daging Allah lewat firman yang disampaikan. Teori semacam itu nampak memudahkan untuk diselaraskan dengan doktrin transubstansi, sebuah doktrin yang dibuat oleh Gregorius melebihi sosok lain pada masa pelayanannya.

Di sisi lain, Apollinaris muda, dari Hierapolis, memegang sisi berlawanan. Sebagai sosok berkekuatan intelektual besar, ia membuat upaya asli untuk membentuk landasan cerdas dari inkarnasi. Namun dengan meniadakan misterinya, ia menyangkali fakta tersebut. Motifnya adalah perlawanan terhadap Arianisme. Selain itu, ia berbagi pandanagn dengan Arius yang selalu ditolak oleh Gereja lantaran palsu dan fatal pada gagasan utama injil, kedatangan Ilahi dalam wujud manusia; karena ia sangat menyangkali sifat manusia sepenuhnya pada Kristus. Seperti Arius, ia adalah Aristotelian dalam hal pemikiran dan metode berpikir. Logika jelasnya menghimpun penjelasan pasti tanpa berkaitan dengan masalah-masalah sampingan. Menerima pembagian tiga sosok dalam tubuh atau daging, jiwa, dan pikiran atau roh, ia menyebut Allah hanya terdiri dari dua hal pertama, dan mengajarkan bahwa jiwa atau kesadaran tinggi Kristus murni Unsur Ilahi, Putra Allah, Sosok Kedua Tritunggal. Ia menganggap bahwa kau harus mengorbankan kepribadian di satu sisi atau lainnya. Paulus dari Samosata mengorbankannya pada sisi ilahi; dengannya Krisuts menjadi satu-satunya sosok yang sepenuhnya dipengaruhi oleh Allah, sebuah ego, pusat kepribadian dan kesadaran diri menjadi manusia. Untuk membolehkan dua jiwa atau pikiran menjadi dua kehendak—yang Gereja sebetulnya majukan dan bahkan tegaskan pada persoalan ekskomunikasi pada masa berikutnya,—dan dua sosok. Kemudian, pikiran manusia secara alami berubah, memegang pendirian kehendak bebasnya; namun karena pihak yang menyatakan bahwa Kristus dapat berubah adalah Arian, kelompok Nikea menyangkalnya. Selain itu, Apollinaris berpkir bahwa cara biasa mewakili sifat Kristus tak konsisten dengan doktrin penebusan, karena hal tersebut hanya membolehkan kemanusiaan Yesus, bukan keilahian Kristus, agar terjadi pada kita.

Apollinaris dimajukan pada penyangkalan inkarnasi gagasan tersebut yang dilibatkan. Namun ia terdorong untuk menyelamatkan misteri tersebut di wilayah lain. Karena manusia dibuat dalam citra Allah, harus ada beberapa hal pada Allah yang seperti manusia. Dalam kata lain, harus ada kemanusiaan yang terwarisi dalam Allah. Kini, unsur mirip manusia dalam Allah masuk dalam unsur manusia duniawi dalam inkarnasi Yesus. Sehingga, hal ini sangagt berkaitan pada jiwa manusia yang sempurna. Kami dapat membandingkan pandangan ini dengan Semi-Arian, lewat penerapan sudut pandang sifat manusia Kristus yang dipakai oleh Semi-Arian untuk menyebut Unsur Ilahi-Nya, dan berjuar bahwa, meskipun kelompok Athanasian menganggap Kristus sebagai homoousios dengan kita dalam kemanusiaan-Nya, Apollinaris menganggap-Nya hanya menjadi homoiousios beserta kita. Hal ini akan menyatakan bahwa kebanyakan sorotan berikutnya terhadap penjelasan—lebih dan di atas anggapan ortodoks yang sebenarnya—dari inkarnasi yang bergerak dalam pengarahan yang dilakukan oleh Apollinaris; mereka menyangkali keberadaan yang umum dipikirkan untuk memisahkan sifat manusia dari Allah, dan mereka menganggap kedekatan alami antara Allah dan manusia, suatu hal yang kami anggap mirip dengan Allah, dan sehingga secara selaras merupakan suatu hal dalam Allah yang mirip dengan kita. Beberapa penentang Arianisme digerakkan lewat serangan mereka terhadap bida'ah tersebut yang didorong oleh kemunduran serangan mereka kepada Sabellianisme yang awalnya dikecam oleh Arius. Sehingga, mereka bermain dengan tangan lawan-lawan mereka, yang mengerumuni golongan Nikea sambil berujar, "Disini; itu yang mereka katakan padamu—kau adalah Sabellian." Marcellus dari Ancyra adalah salah satu penantang paling menonjol dari doktrin homoousion. Ia adalah teman Athanasius, yang lama membelanya dari dakwaan Sabellianisme; namun kala pada terakhir kalinya posisinya menjadi benar-benar diragukan, patriark besar tersebut maju untuk membetulkannya. Yang masih sangat terbaca adalah Sabellianisme dari muridnya Photinus, uskup Sirmium, yang dikecam dalam sebuah sinode di kota tersebut.

Sementara itu, Arian memajukan pandangan mereka dalam kesimbulan logis berkaitan dengan seluruh landasan Tritunggal. Mula-mula, hanya doktrin sifat Kristus yang dipertanyakan. Namun penyidikan tak berhenti sampai disitu. Pernyataan yang menarik perhatian kami mengaitkan Sosok Kedua Tritunggal harus berdampak ada gagasan mereka dari sosok ketiga. Jika Putra adalah makhluk, bukan takkan mungkin bahwa Roh Kudus juga adalah makhluk. Athanasius sampai pada pandangan tersebut kala diasingkan ke Thebaid, mendatangi para Arian yang ingin membujuk Arius untuk menganggap bahwa Roh Kudus bukanlah makhluk namun "salah satu roh yang melayani"; ia berujar pada mereka yang disebut Figuraturis, dan Para Pejuang melawan Roh Kudus. Mungkin tak banyak terdengar dari hal ini-produk Arianisme—semenjak pertikaian timbul di seputaran doktrin Kristus—jika hal ini tak berhasil dalam mendapatkan pemenang dalam hal tingkat tinggi. Makedonius patriark Konstantinopel memegang posisi yang sama, tak seperti yang kami kira, ortodoks dengan cepat dijadikan senjata baru, dan berseru pada seluruh Semi-Arian Makedonia. Namun itu tidaklah mempan.

Dengan rangkaian suara dari Eunomian, Acacian, Semi-Arian, Makedonian, Apolinarian, pengikut Marcellus dan Photinus, mewarnai udara, semuanya kurang lebih menentang kelompok tiga sosok Kapadokia dalam dukungan mereka terhadap posisi Nikea, nampak kebutuhan genting untuk konsili Gereja umum lain untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi. Sehingga, Theodosius mengadakan sinode uskup-uskup Timur di Konstantinopel. Sinode tersebut terhitung sebagai Konsili Ekumenikal Kedua, tak ada konsili—di Tyre, Konstantinopel, Antiokhia, Sardica, Sirmium, Rimini—yang dirampungkan secara mendalam semenjak Nikea, dianggap bersifat demikian. Dan sehingga konsili di Konstantinopel hanya mewakili paruh Timur dari Gereja. Tak ada uskup dari Barat yang hadir. Theodosius hanya memerintah atas bagian timur dari kekaisaran tersebut, dan ia hanya dapat mengarahkan uskup-uskup dalam wilayah yurisdiksinya. Pembenaran tunggal berkaitan dengan konsili tersebut sebagai ekumenikal adalah fakta bahwa keputusannya diterima oleh uskup Roma dan Gereja Barat. Konsili tersebut mula-mula diadakan pada tahun 381; kemudian terpecah sesekali. Konsili tersebut diadakan lagi pada tahun berikutnya. Terdapat 150 uskup yang hadir. Pemimpin pertamanya adalah Meletius dari Antiokhia; namun ia wafat pada diskusi tersebut dan digantikan oleh Gregorius Nazianzen, yang, seperti yang kami lihat, pensiun karena ia merasa ragu berada di kalangan para teolog yang berseteru, dan tempatnya kemudian diambil oleh Nektarius, penerusnya dalam patriarkat Konstantinopel. Konsili tersebut menyatakan ulang Pengakuan Iman Nikea dan menganathema Eunomians, Semi-Arian atau Pneumatomachoi, Sabellian, Marcellian, Photinian, Apollinarian. "Pengakuan Iman Nikea" mereka, yang sangat berbeda dari pengakuan iman yang awalnya dibuat di Nikea, telah lama dipandang sebagai "Pengakuan Iman Konstantinopel." Namun pandangan tersebut ditinggalkan oleh para cendekiawan dengan alasan-alasan berikut ini: Pengakuan iman tersebut menghilangkan esensi anti-Arian yang kuat, sebuah kelalaian yang tak dipertanggungjawabkan di konsili tersebut, karena alasan konsili tersebut adalah untuk memperkuat ortodoksi melawan Arianisme; hal ini terhimpun sebelum pelaksanaan konsili, sebagaimana yang disebutkan oleh Epifanius pada masa sebelumnya; pengakuan iman tersebut nyaris identik dengan pengakuan iman Kiril dari Yerusalem; selama dua ratus tahun usai konsili Konstantinopel, tak ada orang yang dapat menghubungkannya dengan konsili tersebut; kami memahami bahwa konsili tersebut menegaskan lagi Pengakuan Iman Nikea. Mungkin Kiril—yang hadir—membacakan pengakuan imannya ke konsili tersebut mendorong agar pengakuan iman yang buatannya dapat dipakai di gerejanya sendiri, dan jika demikian, fakta tersebut mungkin berasal dari legenda.

Sementara itu, satu kesimpulan penting dari konsili tersebut singkatnya adalah peneguhan ulang pendirian Nikea, bersama dengan pernyataan khusus soal skema dan spekulasi terkini yang dinyatakan tak konsisten dengannya. Beberapa pemajuan pemikiran nampak pada tiga sosok Kapadokia, khususnya Gregorius dari Nisa; dan upaya paling asingnya untuk membuka landasan baru dan membawa gagasan-gagasan teologi lebih lanjut ke depan dalam menjelaskan inkarnasi yang diketahui di Apollinaris. Namun, hal terakhir tersebut dicap sebagai bida'ah, dan bahkan Basilius dan dua Gregorius hanya dipakai dalam mempertahankan pendirian yang terhimpun. Gregorius dari Nisa, pemikir paling asli dari ketiganya, didatangkan terkait beberapa dakwaan atas catatan simpatinya dengan universalisme Origenes. Konsili tersebut dianggap tak menghasilkan apapun dengan lebih baik ketimbang berlandaskan pada keputusan "tahun 318," yang saat itu telah berusia lima puluh enam tahun, dan diperlakukan dengan penumbuhan pemuliaan sebagai pernyataan yang menginspirasi. Keputusan tersebut telah menjadi stempel dan segel ortodoksi sepanjang masa. Masih tak ada hal yang lebih menjaganya melawan serangan bida'ah, yang suatu kali dibangkitkan untuk menerapkannya pada segala pihak. Sehingga, catatan kunci dari Fereja Timur disuarakan. Ini bersifat ortodoksi—dogma tetap dan pasti, dengan tanpa dorongan untuk memperlebar pandangan atau penjelajahan alam kebenaran yang baru.

Dengan memutuskan hal tersebut, konsili tersebut hanya dilangsungkan untuk keputusan terapan tertentu dalam kitab-kitab pada masa berikutnya. Tujuan dari salah satunya adalah mengukuhkan otoritas uskup di daerahnya sendiri. Lainnya, yang ketiga, menyatakan bahwa "uskup Konstantinopel harus memiliki hak peringkat setara dengan uskup Roma; karena Konstantinopel adalah Roma baru"—sebuah keputusan ketonjolan besar dalam pandangan perpecahan Gereja pada masa berikutnya.