Lompat ke isi

Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 1/Divisi 2/Bab 7

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
BAB VII

PERANG SALIB

Sepanjang sebagian besar Perang Salib dikaji dari sudut pandang Eropa Barat, karena disitulah peristiwa tersebut bermula. Disulut oleh Gereja Latin, mereka dihimpun oleh segerombolan orang saleh, fanatik, peniten, dan petualang dari Prancis, Jerman, Italia, Inggris. Meskipun tujuan usaha mereka berada di Timur, dan meskipun sebagian besar orang-orang tersebut yang berdampak besar atas pengabdian mereka adalah orang-orang Timur, Gereja Timur dan Kekaisaran hanya memegang bagian kecil dalam pergerakan sebenarnya, yang merupakan kebangkitan besar dan letusan dunia Kristen Barat. Selain itu, peristiwa tersebut jatuh dalam persoalan bagian terkini untuk mengkaji Perang Salib dari sudut pandang separuh dunia Kristen yang menjadi saksi nasib romansa persaingan yang mengabdikan diri dalam perang yang diperjuangkan pada tanahnya sendiri. Seringkali, mereka menjadi korban dampak besar mereka. Apakah Perang Salib berarti bagi Gereja Timur? Apakah peristiwa tersebut memberikannya pembebasan, keamanan, kemakmuran? tilah pertanyaan yang mengarahkan dirinya terhadap kami kala kami menanam diri kami sendiri dalam khayalan di Konstantinopel atau Antiokhia, di Tirus atau yerusalem, dan menyaksikan pertikaian singet Latin dan Teuton dengan Turki dan Arab.

Jika kami mengambil sorotan keadaan yang luas, kami tak harus bersinggungan terkait Perang Salib selaku doronagn fanatisisme sebenarnya, atau hanya manuver polisi Eropa untuk perlindungan para peziarah. Tujuan langsung mereka merupakan pemulihan tempat-tempat suci Palestina dari penodaan oleh orang-orang kafir, dan provokasi langsung mereka menjadi perlakuan buruk berkali-kali didorong oleh orang-orang yang mengunjungi tempat-tempat suci tersebut. Kisah Palmers diujarkan lewat adu senjata dan tempat pasar yang menyetir pikiran orang-orang di kota-kota dan desa-desa Eropa. Namun kala kami menyoroti seluruh gerakan tersebut, kami melihat bahwa perang tersebut mengambil tempat dalam konflik sepanjang masa antara Islam dan Kristen. Konflik tersebut dimulai pada abad ketujuh kala Muhammad memulai langkah penaklukannya. Peristiwa tersebut taka akan berhenti sampai salib nampak lagi di kubah St. Sophia menggantukan bulan sabit yang dirampas, sampai sultan Turki terakhir digulingkan, dan pasha Turki terakhir dipecat. Selain itu, usaha aneh tersebut memiliki unsur-unsurnya sendiri, yang dengan bahagia tak sebanding dalam sejarah; karena dunia tak pernah melihat kurangnya kebijaksanaan atau ketidakkompetensian yang besar, diwarnai oleh banyak korban jiwa yang berjatuhan dan kengerian yang mendalam, dalam tujuan nuntuk keperluan yang ditujukan dan akhir yang menyertainya.

Dalam bentukan mereka sebenarnya, Perang Salib ditimbulkan dari peziarahan. Seawal-awalnya pada abad keempat, gelombang imigran berkelanjutan dari Eropa Barat tumpah di Palestina. Beberapa orang datang dan pergi, seperti para wisatawan modern; yang lainnya menetap untuk singgah dan wafat di Tanah Suci. Kala Hieronimus bermukim seumur hidup di gua di Bethlehem, ketenaran sosok tersebut membuat banyak orang mengikuti jejaknya. Di bawah pengaruhnya, Paula datang dari Roma, dan menjadi wanita berposisi sosial dan berreputasi relijius, ia melibatkan banyak puan Romawi untuk bergabung dengannya. Terdapat dua koloni asketis dari Italia—yang satu pria, dan lainnya wanita—bermukim di kawasan Yerusalem. Pelaksanaannya—memukimkan para imigran dan peziarahan pengunjung temporer—berlanjut tanpa perantaraan salin pada masa perang. Sehingga, Eropa Barat selalu bersentungan dengan Timur. Dalam perpecahan peradaban dan penghirauan mendalam yang terjadi pada Zaman Kegelapan, nilai relik selaku fetish berkembang; dan kemudian relik-relik utama namun tak dapat dipindahkan tersebut, gambar kelahiran Tuhan kami di Bethlehem, dan kematian dan penguburan di Yerusalem, datang lebih dini.

Pendudukan Persia pada abad keenam hanya menempatkan pengecekan temporer pada para peziarah; dan penaklukan Muslim terhadap daerah tersebut, yang kemudian disusul usai pemulihannya oleh Heraclius, membuat daerah tersebut sangat memikat, karena para khalifah awal lebih toleran terhadap orang-orang dari agama lain ketimbang kaisar bida'ah Kristen. Secara khusus, ini menjadi kasus bagi para khalifah tercerahkan dan murah hati dari garis Fatimiyah yang bermukim di Mesir, dan ini merupakan hal baik bagi para peziarah agar Yerusalem berada di bawah otoritas dan perlindungan mereka. Sebuah ketakutan penindasan jangka pendek terjadi di bawah khalifah gila, El-Hakim, yang diakhiri oleh pembentukan prinsip-prinsip para rekan Muslimnya, dengan memproklamasikan dirinya selaku pencipta alam semesta, dan dijagal atas perintah saudarinya dengan dakwaan ancaman terhadap Islam. Sosok mengerikan tersebut menindas Yahudi dan Kristen dengan sangat kejam di bawah kekuasaannya. Pada tahun 1010, ia katakan memerintahkan penghancuran Makam Kudus. Jika demikian, perintahnya tak dapat sepenuhnya terwujud.

Hal yang lebih buruk kemudian menyusul. Turki merebut Siria dan Asia Kecil, mengalahkan para khalifah Arab dari garis Abbassiyah. Toghrul, cucu Seljuk, telah memeluk Islam. Pada tahun 1055, usai merebut Persia dan wilayah paling barat, ia diangkat menjadi sultan, atau wakil wali raja untuk khalifah. Sosok tersebut digantikan oleh keponakannya, Alp Arslan, yang merebut Armenia dan mengalahkan Kaisar Romanus Diogenes dalam pertempuran Manzikert (tahun 1071). Seluruh Anatolia kini berada di bawah kekuasaan Turki, yang terus merangsek ke utara dan barat hingga mereka mengancam Konstantinopel. Pada tahun 1081, sultan menetapkan markas besarnya di Nikea, tempat suci Kristen ortodoks. Kebahagiaan bagi dunia selaras dengan Kekaisaran Bizantium terinjak-injak oleh kekalahan Romanus yang kini digulingkan, dan pangeran kuat, Alexius Comnenus, naik takhta. Namun ia dapat melakukan upaya kecil untuk meredam banjir penyebaran barbarisme. Sebuah keadaan yang mengancam sisa kekaisaran para Cæsar. Arab mendapatkan budaya dari Yunani dan Persia; dan kebijakan mereka menjadi pasifis dan secara moderat liberal. Namun kala Turki mengganas, Mongol brutal dari Asia Tengah, yang sedikit lebih kejam, merebakkan penghancuran dan keruntuhan dalam tindakan mereka. Penaklukan mereka terhadap Siria dan Asia Kecil mengancam reruntuhan peradaban sepanjang wilayah tersebut yang selama berabad-abad telah menjadi tempat perjuangan manusia. Dengan bahagia, mereka kemudian mengambil beberapa hal terhadap pengaruh peradaban Persia, atau semua itu akan lenyap.

Sepanjang kekuasaannya, kaisar mengirim permintaan kepada Eropa untuk membantunya. Keraguan dilontarkan pada surat yang ia katakan ditujukan kepada Robert, Count of Flanders—saudara ipar William sang Penakluk, yang secara khusus untuk alasan tersebut menyatakannya kepada Alexius bahwa kecantikan wanita Konstantinopel sebagai pendamping para prajurit Barat datang untuk menyelamatkan kota tersebut. Surat tersebut masih ada dalam beragam bentuk, dan sehingga perwujudannya telah merusakannya. Meskipun kami tak dapat meyakini unsur-unsur aslinya dalam setiap hal, tak ada alasan yang dapat meragukan bahwa kaisar menulis beberapa surat semacam itu, memohon bantuan dalam kebutuhan mendesaknya. "Dari Yerusalem," ujarnya, "hingga Ægea, gerombolan Turki menguasai semuanya; kapal-kapal mereka menggerayangi Laut Hitam dan Laut Tengah, mengancam kota kekaisaran itu sendiri, jika kejatuhan terjadi, lebih baik jatuh di tangan Latin ketimbang pagan."

Kemudian, motif baru untuk Perang Salib timbul di dunia Barat. Konstantinopel jatuh ke tangan Turki nyaris empat abad sebelumnya ketimbang waktu sebenarnya dari peristiwa tersebut, dan ini terjadi kala pasukan invasi Asiatik meraih kemenangan-kemenangan tekrini mereka di Asia Kecil, dan sebelum kerajaan-kerajaan Eropa bersatu dan menguat sebagai kekuatan nasional besar, sulit untuk melihat apa yang dapat mencegah serbuan banjir mematikan dari penyerbuan seluruh dunia Kristen, dan menjadikan Italia dan Prancis senasib Siria dan Anatolia. Dari situ, musibah yang mengancam Kristen dan peradaban dunia diselamatkan oleh Perang Salib awal. Hal itu, dan bukannya kejayaan sentimental dari pemulihan tempat-tempat suci, atau pencapaian memalukan dari penghimpunan temporer terhadap kerajaan kecil yerusalem, merupakan hasil kesolidan tertinggi mereka. Sehingga, ketakjuban selaku tugas tersebut dan berkenang pada dampaknya, menjadi pemikiran yang tak dimajukan dalam pikiran tentara Salib. Mereka iri dengan Yunani, karena orang-orang tak terdidik umumnya iri terhadap tetangga mereka yang lebih bertumbuh, khususnya kala tetangga mereka menyimpan penjunjungan sosok-sosok tertinggi, karena Yunani hanya terlalu siap untuk melakukannya. Disamping itu, apakah tak ada bida'ah Bizantium yang dieksekusi dan dikecam oleh Bapa Suci? Perilaku pasukan Salib di Konstantinopel dan kota timur lainnya bagaikan kru sekoci yang menyelamatkan korban kapal tenggelam; maupun orang-orang yang mereka selamatkan sangat dihormati terhadap para pengirim mereka. Sifat dan tindakan banyak pasukan Salib membuat mereka benar-benar mengusik pria dan wanita yang menjadi sasaran mereka. Seluruh persoalan sangat berkesinambungan. Selain itu, kala kami menyoroti seluruh peristiwa tersebut, kami harus meraih kesimpulan bahwa sepanjang sejarah, signifikansi tertinggi Perang Salib berada pada fakta bahwa mereka menempatkan pemeriksaan terhadap laju Turki, dan sangat rentan mematahkan kekuatannya yang memiliki dampak besar yang mengancam karena dapat dicegah. Mereka merupakan kelompok yang meyakini bahwa Allah sepanjang sejarah akan melihat fanatisisme pemujaan relik sangat diatur lewat pengiriman dunia Kristen dari penghancuran penuh.

Kala penindakan Alexius dan awan petir di Timur menekankan motif-motif negarawan, ini menjadi perlakuan buruk peziarah suci dan penodaan tempat-tempat suci yang berkembang pada semangat berganda. Pada masa pemujaan relik, orang-orang kafir secara tak terelakkan dapat merebut banyak relik suci—gua tempat Juruselamat lahir, Salib tempat Ia wafat, dan makam tempat Ia dikuburkan. Sebuah zaman terapan akan tersenyum pada fanatisisme terhadap pemikiran semacam itu mendorong Eropa pada demam perang. Namun, hal ini benar0benar menunjukkan bahwa mereka memiliki contoh perang langka yang dimajukan untuk sebuah gagasan. Untuk alasan tersebut, kami menganggap pengadaab Perang Salib sebagai syair persaingan, karena kami melihat dalam legenda bahwa yang menyusul mereka adalah romansanya. Malangnya, kala kami mengkaji kisah peristiwa sebenarnya, syair dan romansa tertutupi kengerian.

Para Paus bertindak memicu Perang Salib dan menjadi promotor utamanya. Upaya terawal dari kejadian tersebut dikatakan berada pada surat yang ditujukan kepada Paus Silvester ii., pada sekitar tahun 1000, di tengah-tengah krisis yang berkembang dan teror kala orang-orang menganggapnya akhir dunia. Surat tersebut ditujukan kepada seluruh Kristen atas nama gereja di Yerusalem, membuat mereka membayangkan kerentanan Kota Suci tersebut dan datang untuk menyelamatkannya dengan uang jika tidak dengan senjata. Namun, tindakan tersebut tidaklah mempan. Gregorius vii., Hildebrand agung (tahun 1073–1085), dengan serius mencetuskan permulaan Perang Salib, dan baru berniat melakukannya, usai 50.000 peziarah sepakat untuk menurutinya, dengan mencampuri perkara-perkara di Eropa yang menuntut perhatiannya. Ia berujar, "Ia akan lebih baik menyerahkan nyawanya untuk merebut tempat-tempat suci ketimbang hidup di bawah pengarahan seluruh alam semesta." Sosok menonjol tersebut mencurahkan kecerdikan dan tenaganya untuk usaha tersebut, bukan meragukan hasil besar yang akan diraih. Namun, permulaan sebenarnya dari Perang Salib pertama adalah ulah Urbanus ii. (tahun 1088-1099), yang mengadakan konsili di Piacenza, di tempat ia menyatakan skema, dan kemudian, melintasi Alpen, mengadakan konsili yang lebih besar dan lebih mewakili di Clermont (November 1095), disana, usai penyelesaian perkara Prancis, ia menyerukan agar orang-orang Eropa untuk membantunya menyelamatkan Makam kudus. Khayalan populer tertuju pada Petrus sang Eremit, yang datang dari Amiens, selaku penginspirasi sebenarnya dari Perang Salib, dan Michaud menulis deskripsi dramatis wawancara antara orang asing tersebut dan Urbanus di Clermont, di tempat Paus menempati tempat kedua; namun perbincangan tersebut sebenuhnya adalah khayalan. Petrus bahkan tak hadir di konsili tersebut. Organisasi dan penyebaran gerakan melalui Eropa harus dikaitkan dengan Paus. Di sisi lain, kami harus menyoroti penekanan modern terhadap pengaruh Petrus. Selaku orang yang antusias, ia menghimpun seluruh belaahn utara Prancis dengan keelokannya kala ia bergerak nyaris dari kota ke kota, tak berpenutup kepala dan tak beralas kaki, membawa salib tinggi di hadapannya, dan berkotbah di gereja-gereja dan jalan-jalanan dan jalan-jalan raya. Di setiap tempat, proposalnya dihibur dengan keantusiasan selaku panggilan dari surga. Deus vult, Deus vult, sorakan para gerejawan terdidik dim konsili; Dieu la volt, Dieu la volt, menggema dalam pengucapan mereka. Konsili membebaskan pasukan Salib dari pajak, dan memerintahkan agar para pemungut cukai yang meraih pangkat mereka tak harus dimajukan. Dorongan luar biasa terhadap orang-orang tersebut menggelembungkan usaha tersebut, termasuk pria tua, wanita dengan anak-anak, mengabdikan diri.

Petrus dan rombongan petaninya terlalu sabar untuk menunggu para pemimpin dan kesatria yang datang bersama dalam rombongan militer. Tanpa organisasi atau komisariat apapun, sikap sederhana dilakukan dalam perjalanan mereka pada musim semi tahun 1096. Usai mereka melintasi Austria dan melewati serangkaian peradaban, mereka masih berjalan 600 mil ke hutan dan alam liar untuk mencapai Hongaria dan Bulgaria sebelum mereka dapat mencapai Konstantinopel. Mereka datang bak segerombolan belalang yang bersantap di daerah-daerah yang dilalui oleh mereka. Rombongan tersebut terbagi dalam dua bagian untuk pelaksanaan yang baik—separuh di bawah Petrus, separuh di bawah pemimpin lainnya, Walter the Penniless. Mereka berada dalam keadaan memalukan kala mereka mencapai Trakia, dan semuanya dapat tewas jika Kaisar Aleksius tak bertindak untuk menyelamatkan mereka.

Kami dapat memahami apa yang menyelimuti warga Konstantinopel yang memandang penghimpunan rombongan tersebut. Aleksius berangkat untuk mengantar mereka melintasi Bosphorus secepat mungkin. Disana, mereka dapat saja dibunuh, jika bukan karena tekanan yang dilakukan di kalangan orang Turki. Namun kala hal-hal tersebut terjadi, sejumlah besar—Gibbon menyebut jumlahnya "tiga ratus ribu"—tewas di hadapan sebuah kota tunggal yang direbut dari orang-orang kafir.

Pada Agustus, tentara yang lebih reguler menyusul, di bawah naungan Hugh Agung, Count of Vermandois; Robertus dari Normandy, putra sulung William sang penakluk; Stephen of Chartres, yang dikatakan memiliki banyak kastil pada masa itu; Raymond dengan banyak gelar; Bohemond, putra Robert Guiscard; Tancred, kesatria utama yang disanjung dalam puisi Tasso; namun, di atas itu semua, Godfrey dari Bouillon, Adipati Lorraine, sosok yang memadukan jiwa murni, devosi keagamaan yang tak egois dengan bakat-bakat selaku jenderal besar. Bahkan pasukan tersebut yang dihimpun dengan buruk di bawah beberapa pemimpinnya, dan pasukan yang tak disiplin kalah jumlah dengan kesatria di punggung kuda. Seperti resimen pendahulu mereka, pasukan tersebut juga datang dari Jerman dan Hongaria, dan memasuki Konstantinopel dengan ketakutan dan kekhawatiran. Melintasi Hellespont, mereka mengalahkan Turki di Nikea. Kemudian, mereka berpencar. Satu bagian merangseki wilayah timur di bawah naungan Baldwin dan merebut Edessa. Pasukan utama mendatangi Antiokhia, yang jatuh usai penaklukan menakutkan, kedua belah pihak mengalami penderitaan yang sangat berat. Sepanjang itu, Yerusalem menyerah, dikepung dan direbut (15 Juli 1099). Kemudian, dengan nyala obor, namun masih di antara nuansa berdarah, pasukan Salib melakukan perjalanan mereka menuju tujuan yang diambil oleh mereka dengan sulit—Makam Kudus. Bagian dari perlintasan tersebut, yang masih mengandung undur perak, diangkat dan disertai dengan nyanyi dalam prosesi menuju "kuil." "Dan seluruh orang datang setelahnya, yang menangis karena malu, seperti halnya kala mereka melihat Juruselamat Yesus Kristus masih bergantung di atas Salib. Mereka semua mengambilnya untuk memenuhi harta yang besar kepada Tuhan kami yang telah ditemukan."

Godfrey dari Bouillon dipilih menjadi raja Yerusalem; dan, meskipun ia menolak kehormatan dari gelar tersebut sebagaimana yang dipegangnya, ia menerima kekuasaan sebenarnya. Godfrey wafat pada tahun berikutnya, dan saudaranya Baldwin, kala datang dari Edessa untuk menggantikannya, yang kurang berpengalaman, memperkenankan dirinya untuk dimahkotai di Bethlehem (tahun 1100). Kemudian, kerajaan Latin Yerusalem didirikan.

Pergantian tersebut bersifat anti-klimaks. Menyertai akhir sumpah mereka, rombongan tentara Salib yang masih hidup kembali pulang, dan para pemimpin yang bertahan dalam perubahan kota-kota utama yang telah direbut—Yerusalem, Antiokia, dan Edessa—mendapati ketidakcocokan mereka yang membuat mereka meninggalkannya, bak para pelaut yang kapalnya karam di tiga pulau gurun. Baik secara politik dan gerejawi, posisi mereka sama-sama bersifat anomali. Mereka resmi diajukan ke kaisar Yunani kala kondisi diperkenankan untuk melintas melewati wilayahnya; namun pada kenyataannya, mereka menunjukkannya tanpa bersikap apa adanya, namun berperilaku selaku para pangeran asing yang menduduki tanah yang mereka menangkan lewat pedang. Ini adalah posisi politik. Unsur gerejawi tidaklah lebih unggul. Mereka kini berada di wilayah Gereja Timur; sehingga mereka menjalin persekutuan dengan paus, yang supremasi gereja tersebut tak diakui dan mengecamnya selaku bida'ah. Di mata patriark konstantinopel, pasukan Salib sama-sama skismatik dan bida'ah. Tindakan mereka berikutnya tak mendorong Gereja Yunani untuk terpikat dengan pandangan mereka; karena mereka meninggalkan diri mereka sendiri dengan kesenangan dan kemewahan kehidupan timur. Patriarkat Latin ddiirikan di Yerusalem, dengan Dagobert, seorang prelatus ambisius yang disanjung, selaku pemegang jabatan pertamanya, menaungi empat keuskupan agung dan sejumlah keuskupan di bawah naungannya.

Kerajaan Yerusalem berlangsung nyaris seabad. Namun sepanjang sebagian besar masanya, kerajaan tersebut berada dalam keadaan pengikisan dan penurunan. Para keturunan pasukan salib, yang disebut Pulleni, selama sebagian besar waktu menjadi ras yang lemah dan kurang diandalkan, terbuai oleh kemewahan dan pengampunan diri. Damaskus masih belum direbut. Pada tahun 1146, Edessa direbut lagi oleh Muslim. Kemudian Eropa diperingatkan, dan Perang Salib kedua direncanakan dan diinspirasi lewat sosok yang lebih agung ketimbang pencetus perang pertamanya—Bernardinus dari Clairvaux, reformator monastisisme dan pemulih kepausan terhadap kekuatan dan martabatnya. Perang Salib sebelumnya tak memperlihatkan kedaulatan apapun terhadap pemimpinnya. Namun gerakan baru tersebut dipimpin oleh Louis vii., raja Prancis, dan kaisar Jerman, Conrad iii. Hal ini berujung pada kegagalan mutlak. Yunani kini makin menyayangkan dan curiga: mereka sebetulnya melawan pembela dunia Kristen. Terdapat alasan baik untuk meyakini bahwa Kaisar Manuel, seorang prajurit bertenaga besar, masuk dalam komunikasi rahasia dengan sultan dan menyudutkan pasukan Salib. Dengan demikian, pengepungan Damaskus gagal, dan para pangeran kembali pulang tanpa dampak apapun.

Selain itu, sepanjang dua abad, gagasan Perang Salib masih hidup di Eropa, dan setiap musim semi, nampak jasad-jasad segar yang memegangi salib emas, atau perak, atau jahitan pada garmen mereka, dan dibuat untuk perang suci. Ini menjadi pemicu besar yang memulai gerakan dorongan berikutnya dari peristiwa ini—yang dikenal sebagai Perang Salib ketiga. pada Oktober 1187, Yerusalem jatuh ke tangan Sultan Saladin. Ini membuat Kaisar Frederick Barbarossa untuk menggerakkan dirinya sendiri untuk merebut kembali Kota Suci. Ia mengalahkan sultan di Ikonium, namun tenggelam dalam upaya mengarungi sungai Calycadnus (tahun 1190). Richard i. dari Inggris kini menjadi pemimpin utama Perang Salib, di tengah kesulitan besar yang disebabkan oleh kedengkian pangeran lain dan kemurkaannya sendiri, karena ia hanyalah anak ingusan yang disanjung. Richard dan Saladin—yang bukan Turki maupun Arab, namun Kurdi, dan sehingga, seperti pasukan Salib sendiri, berdarah Arya—mencapai kesepakatan, yang meninggalkan Yerusalem di tangan Muslim, namun memperkenankan Kristen mendatangi Makam Kudus dan hak ziarah kesana.

Kisah Perang Salib keempat dapat dikisahkan dengan tangisan malu dan penghinaan karena tak merahmati dunia Kristen. Pada tahun 1217 Innosensius iii. menyerukan bangsa-bangsa untuk melakuakn upaya lain untuk menyelamatkan tempat-tempat suci dari genggaman kaum kafir. Tak ada kaisar atau raja yang kini merespon. Tak ada Bernard agung untuk mendorong keantusiasan. Namun pengkotbah dari kelas bawah, Fulco dari Neuilly, mendorongnya dalam mendapatkan dukungan dari sejumlah bangsawan Prancis, yang melibatkan diri mereka sendiri dalam obligasi tak menguntungkan untuk membutakan Dandolo, penjaga patriotik Venesia. Ia akan mensuplai mereka dengan kapal-kapal jika mereka akan menjalankan bisnisnya untuknya. Venesia kini berurusan dengan Konstantinopel, dan pasukan Salib memulai ekspedisi mereka dengan serangan terhadap Kristen sejawat mereka, yunani. Mereka mula-mula merebut Zaras dan kemudian berlayar ke tembok besar Konstantinopel, membuat takjub kubah-kubah dan lengkungan-lengkungan dari 500 gerejanya. Pasukan salib—yang kami harus katakan, pasukan invasi— disertai oleh Alexius muda, putra Kaisar Isaac, yang dibutakan dan ditahan oleh saudaranya Alexius Angelus, kini merampas takhta tersebut. Kemudian, ekspedisi mereka dapat dibandingkan dengan bantuan Prancis yang ditawarkan kepada Pretender di Inggris. Namun meskipun ini mendapatkan beberapa tantangan dalam invasi tersebut, kelanjutannya menunjukkan bahwa ini benar-benar menjadi perpecahan jangka panjang antara Timur dan Barat.

Atas kesepakatan Latin, pasukan Yunani dan kaisar mereka kabur dari kemah kala mereka berkumpul dengan pandangan menentang pasukan Salib. Setelah pengepungan yang muda, gerbang-gerbang dibuka, dan pasukan Latin memasuki kota tersebut dengan kemenangan. Mereka sejauh ini menjalankan rencana mereka untuk membebaskan mantan Kaisar Ishak yang ditahan dan memahkotai Aleksius muda, bersama dengan ayahnya, di St. Sophia. Kaisar muda tersebut berjanji ahar kala ayahnya dan ia dipulihkan, ia akan mengakhiri siksma yang memisahkan Yunani dari Gereja Latin. Ishak menjaminnya dan kondisi merendahkan lainnya—yakni, pembayaran yang 200.000 keping perak, dan penyelamatan Tanah Suci. namun, perbedaan dalam cara memenuhi janjinya sangat besar. Jumlah uang yang diiming-imingkan dibayarkan kepada pasukan Salib; namun tanpa langkah serius yang diambil untuk menyatukan gereja yang terpisah. Lama sebelumnya, pengunjung Latin menjadi sangat tak populer. Mereka menagih tuntutan mereka dengan penekanan, memaksakan jalan mereka ke istana, dan mengancam Aleksius bahwa mereka tak lagi mengakui kedaulatannya jika ia tak mengabulkannya. Namun, itu di luar kekuatannya. Kala orang-orang menganggapnya tak menolong, mereka mengepung bangunan Senat untuk kaisar lainnya. Waktu pergesekan menyusul, kala Aleksius muda dicekik, dan ayahnya, Ishak yang buta, wafat akibat ketakutan. Pasukan Latin kemudian merebut Konstantinopel lewat rombongan di bawah naungan Marquis Montferrat. Kota tersebut dijarah. Banyak harga tak berharganya dibawa pergi ke Eropa; yang lainnya dihancurkan. Patriark diikat di atas keledai tanpa pengemudi. Cangkir-cangkir suci di gereja-gereja dijadikan cangkir minum. Ikon-ikon, bahkan potret-potret Kristus, dipakai sebagai meja-meja judi. Di St. Sophia, altar dipecah berkeping-keping, dan seorang pelacur, yang disebut Nicetas sebagai "kaki tangan kemarahan," mendudukkan dirinya sendiri di takhta patriark, serta bernyanyi dan menari di gereja, memplesetkan kidung dan upacara Yunani. Ini menjadi pemandangan kacau dan layaknya Paris pada masa Revolusi.

Kekaisaran Latin kini dihimpun di Konstantinopel dengan Baldwin dari Flanders selaku kaisar pertamanya (tahun 1204). Paus Innosensius iii. mula-mula menyatakan ketidaksetujuan kuat terhadap dampak Perang Salib melawan kafir dalam perang penaklukan yang diperjuangkan dengan Kristen. Namun, Kristen Yunani dianggap bida'ah dan skismatik, dan kala ia mengamati kota besar Konstantinopel berada di bawah otoritas Latin, ia mengirim palium kepada patriark baru, Thomas Morosini, orang Venesia, dan menjelaskan bahwa setidaknya Israel, setelah kehancuran terjadi di Dan dan Bethel, kembali bersatu dengan Yudea. Sebetulnya, tidaklah benar untuk mengakhiri perpecahan dua gereja tersebut. Bagi orang-orang Yunani, patriark Latin dianggap sebagai pencampur tangan. Ia hanya diakui oleh pasukan invasi dominan dari Eropa. Kekuasaan Franka di Konstantinopel berlangsung selama sekitar enam puluh tahun. Namun, tak ada tindakan terhadap pendiri tak beradabnya. Sepanjang itu, dengan bantuan Genoa, Mikael viii. (Palæologus) mengusir mereka dan memulihkan Kekaisaran Yunani (tahun 1261).

Sementara itu, Perang Salib maju pada gelombang prajurit yang tumpah ruah dari Eropa ke Mesir dan Siria. Pada tahun 1228, kaisar Jerman, Frederic ii., memutuskan untuk membuat perkataan baiknya terhadap ancaman ekskomunikasi dari Paus Gregorius ix., usai banyak pergesekan, yang timbul demi Tanah Suci, di tempat lewat keberuntungan baik, ia mendapati bahwa Unta Sultan dari Mesir berperang dengan keponakannya, dan sehingga berkehendak untuk menjalin kesepakatan dengan Franka. Penguasa Mussulman ini memberikan mereka bagian yang layak dari Tanah Suci, termasuk Yerusalem. Frederic mengklaim kerajaan tersebut melalui Iolanthe, yang kini ia nikahi, dan menempatkan mahkota di kapalanya sendiri di gereja Makam Kudus. Namun ketegangannya dengan Paus membuatnya kembali pulang pada tahun berikutnya.

Perang Salib penting terakhir dilakukan oleh Louis ix. dari Prancis, sosok yang memiliki kepribadian yang sangat saleh, yang menjunjung nama Santo Louis. Yerusalem telah direbut dan para penduduknya sangat khawatir diperlakukan oleh suku dari stepa Asia, Chowaresmian, yang, kabur dari bangsa Mongol, disambut oleh Sultan Mesir Ayoub untuk melayani selaku para penggeraknya. Kekuasaan Kristen kini terbatas di Acre. Louis mendarat di Mesir pada tahun 1249, mengalami kekalahan dan dijadikan tahanan. Dibayar dengan harga yang besar, ia berlayar ke Acre pada tahun berikutnya. Namun, ia hanya sedikit bertindak, dan ia memutuskan untuk kembali pulang pada tahun 1254. Upaya berikutnya oleh St. Louis untuk mematahkan kekuatan Muslim di Tunis juga mengalami kegagalan. Acre jatuh pada tahun 1291, dan dengan kejatuhannya, sisa terakhir dari kekuatan Latin di Timur pun ludes. Sehingga, seluruh Palestina berada di bawah kekuasaan Islam.