Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 2/Divisi 2/Bab 3

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
BAB III

CABANG-CABANG GEREJA YUNANI

Kemerdekaan Gereja di Yunani bukanlah tanpa landasan. Salah satu hal terpentingnya adalah didorong oleh Gereja Siprus, sejarah yang disebutkan dalam karya pembelajaran Tuan Hackett. Didirikan oleh Paulus dan Barnabas, Gereja tersebut diklaim independen dari campur tangan patriarkal atas dasar cikal bakal apostoliknya dan pemakaian kunonya. Meskipun demikian, patriark Antiokiaterdorong untuk menjadikannya tunduk pada otoritasnya. Sehingga, persoalan tersebut memajukan banding kepada konsili Efesus soal pertanyaan tersebut (tahun 430), yang menghasilkan keputusan yang menguntungkan kemeerdekaan Siprus. Keputusan tersebut menyatakan bahwa, "jika tak sesuai dengan kebiasaan kuno bagi uskup Antiokia untuk memegang penahbisan di Siprus, sebagaimana sebagian besar sosok relijius yang hadir di konsili suci ini mendorong kami dalam kenangan dan pernyataan lisan mereka, para pemimpin gereja suci yang berada di Siprus diperkenankan untuk menikmati, terbebas dari penjamahan dan penghalangan, hak melakukan penahbisan sebagian besar uskup suci untuk mereka sendiri seturut kanon-kanon para bapa suci dan kebiasaan kuno" (Kanon viii.). Hasil dari konsili tersebut dalam menjadikannya keputusan yang kondisional menjadi sangat menonjol. Namun, tak ada patriark Antiokhia pada masa berikutnya mampu untuk menyediakan bukti yang menarik pernyataan bahwa Siprus memegang "kebiasaan kuno."

Pada masa kekuasaan Zeno (a.d. 474–491), Peter the Fuller, patriark Antiokia kala itu, mengangkat lagi klaim untuk otoritas atas Siprus, dan kaisar terpikat akan persoalan tersebut, hingga dugaan kemunculan St. Barnabas dalam sebuah penglihatan, berujung pada penemuan tulang-tulangnya pada bagian dada di bawah pohon carob, yang membungkam segala pertentangan. Meskipun demikian, hubungan tertentu dengan Antiokhia dinyatakan, Siprus menerima krisma kudus dari patriark kota tersebut, namun dibutuhkan pada masa-masa berikutnya kala hanya patriark yang dapat menahbiskannya. Sehingga, mereka mengacuhkan pemegangan fakta tersebut sebagai tanda pertentangan umum. Kemudian, Siprus menjadi diknela sebagai takhta penulis gereja Epifanius. Pada tahun 647, pulau tersebut direbut oleh Arab, kota utama Konstantia dihancurkan, gereja metropolitan ditekan, dan banyak orang dibantai. Secara keji, penindasan Mussulman membuat sejumlah besar penduduk, yang dipimpin oleh uskup agung mereka Yohanes, meninggalkan Siprus dan menetap di provinsi Hellespont atas undangan kaisar, Yustinianus ii. Disana, mereka memegang kemerdekaan gerejawi mereka, selaku gereja ortodoks, yang kini berada dalam patriarkat Konstantinopel, namun tak ada hal lain yang berada di bawah yurisdiksinya ketimbang mereka yang sebelumnya berada di bawah naungan Antiokhia. Migrasi "para bapa peziarah" tersebut tidaklah berhasil. Mereka tak berniat untuk meniru cerita Mayflower dan para pendiri New England. Kebanyakan orang tewas dalam perjalanan. Sisanya yang mendarat tak bermukim lama. Mereka kemudian kembali ke Siprus, kala mereka hidup dalam keadaan baik yang didapatkan oleh mereka di bawah kekuasaan Muslim, namun masih selaku Gereja terorganisir.

Di bawah kekuasaan Konstantinus Kopronimus, Siprus sempat dibebaskan dari cengkeraman Islam (tahun 743). Namun, wilayah tersebut direbut kembali pada awal abad kesembilan oleh sosok terkenal Harun-al-Rashid. Bahkan kemudian kemalangan tersebut mendapatkan nasib bebas, sehingga dipakai sebagai suaka oleh para buronan dari penindasan Muslim di Palestina dan Siria. Usai melewati berbagai keberuntungan, Siprus akhirnya dilepaskan dari Arab oleh kaisar, Nikeforus Phocas (tahun 963–969). Wilayah tersebut kini berada di bawah kekuasaan Bizantium sampai wilayah tersebut diambil oleh raja Inggris, Richard i., dan kemudian dipakai selama beberapa waktu sebagai pusat strategis agar pasukan Salib dapat menginvasi Siria. Richard menjual pulau tersebut kepada Templar, yang kemudian diserahkan kepada Kesatria St. Yohanes.

Usai perebutan Konstantinopel oleh bangsa Franka, seperti wilayah Gereja Yunani lainnya, Siprus diurus oleh para prelatus Barat. Dalam eprtemuan rohaniwan Latin yang kini singgah di Soprus, mereka mendekritkan beberapa hal lain agar tak ada orang Yunani yang dapat ditahbiskan menjadi imam atau masuk biara tanpa ijin petinggi feodalnya, yang sebetulnya adalah orang Latin. Rohaniwan ortodoks diwajibkan untuk bersumpah setia kepada orang-orang Latin. Mereka diminta melawan keputusan patriark Yunani Konstantinopel—yang kini singgah di Nikea—dan ia melarang mereka untuk bermukim. Akibatnya, terjadi banyak tekanan dan keresahan orang-orang Yunani di Siprus, yang membuat mereka akhirnya membuat petisi untuk bersatu dengan patriarkat Konstantinopel, sebuah proposal yang mengalami banyak kesulitan karena diduga mencemarkan Gereja mereka dengan penggunaan-penggunaan Barat (tahun 1405–1412). Biarawan Bryennios, yang tertarik untuk mendalami keadaan tersebut, sangat menentang persatuan tersebut, menyatakan bahwa wilayahnya sendiri akan lebih baik mengalami seribu kematian ketimbang menyaksikan Gereja ortodoks bersatu dengan Siprus. Sehingga, Gereja malang tersebut, yang pada masa-masa awal berjuang untuk kemerdekaan mereka dari ANtiokhia, yang kini terpaksa untuk tetap berpisah kala gereja tersebut berniat untuk bersatu dengan Konstantinopel. Pendudukan Venesia tak membuat perbedaan dalam keadaan gerejawi yang merrenggang. Siprus masih menentang kehendaknya untuk tunduk kepada kepausan di satu sisi, dan di sisi lain ditolak oleh Gereja Timur karena gangguan tersebut.

Pada tahun 1570, pulau tersebut direbut oleh Turki, sebuah peristiwa yang tidaklah jahat, karena peristiwa tersebut mengakhiri tirani yang dilakukan oleh Gereja Katolik Roma terhadap Kristen Yunani selama empat abad. Pada mulanya, kekuasaan Utsmaniyah melunak. Warga Siprus diperkenankan untuk bebas memakai gereja mereka, hak untuk mengayomi biara-biara mereka, ijin untuk memegang harta benda, dan supremasi ortodoks di atas segala badan Kristen lain di pulau tersebut. Tak ada pengampunan yang ditujukan kepada Latin. Para uskup Yunani menjalin pengamanan terhadap komunitas Kristen, dan sepanjang waktu, uskup agung lebih membayangi ketimbang gubernur Turki. Namun, ia menghadapi ketegangan berkelanjutan dengan kerakusan dan kejelekan pemerintahan Turki. Kami tak dapat mengikuti cerita tersebut lebih lanjut. Kejadian kekejaman terakhirnya sangatlah buruk. Peristiwa tersebut terjadi pada awal abad kesembilan belas. Uskup Agung Cyprianos memajukan dirinya dalam mempromosikan pendidikan dan menunjang kondisi umatnya. Kala perang kemerdekaan Yunani timbul, Siprus dan rohaniwannya didakwa terlibat dalam pemberontakan oleh Porte. Pada 9 Juli 1821, uskup agung dan tiga metropolitan diperlakukan bak kuda di depan istana gubernur. Mulut mereka dipaksa menggigit, merontokkan gigi mereka. Mereka kemudian diarak, dan akhirnya digantung di pohon. Nyaris semua Kristen juga dibantai. Suatu catatan menyebut 470 sebagai jumlah korbannya. Sepanjang itu, timbal balik terjadi. Pada tahun 1872, Siprus diserahkan ke tangan pemerintah Inggris. Sejak itu, Gereja Yunani di pulau tersebut sepenuhnya bebas. Terdapat gereja misionaris Inggris; meskipun sebetulnya tak memiliki status resmi, dan tak seperti Gereja Latin lama, gereja tersebut tidaklah memiliki kekuasaan maupun niat untuk campur tangan dengan gereja ortodoks kuno Siprus.


Gereja Georgia adalah cabang lain Gereja Yunani, yang lama menjadi organisasi independen. Georgia nampaknya merupakan ras paling kuno yang menghuni Kaukasus, tak terjamah dengan Arya atau keluarga Turania. Mereka dikenal karena memiliki garis raja selama dua ribu tahun, terkadang berkuasa secara independen dan pada masa yang lain berada di bawah kekuasaan Persia, Kekaisaran Timur, dan Turki. Individualitas serupa nampak pada Gereja mereka, meskipun seringkali dianggap sebagai bagian dari gereja ortodoks timur besar. Mengklaim cikal bakal dongeng di bawah perlindungan Bunda Maria dan melalui kotbah St. Andreas, gereja tersebut bermula pada abad ketiga, di bawah pengaruh wanita bernama Nonna, atau Nina, seorang tahanan malang yang dikatakan mempertobatkan raja, Miriam (tahun 265–318). Pada abad berikutnya, di bawah Konstantinus, para misionaris Yunani secara efektif mengkristenisasi kerajaan gunung terisolasi kecil tersebut. Dari masa itu sampai saat ini, gereja tersebut mengemban kesetiaannya kepada kepercayaan di samping penindasan keras, mula-mula dari Persia, kemudian dari Muslim. Putra dan penerus Miriam, Bakar, dikatakan menjadi Kristen taat yang menyebabkan injil menyebar ke kalangan masyarakatnya, dan memiliki gereja-gereja yang dibangun di berbagai tempat di belahan wilayah tersebut. Salah satu bangunan terkenal, katedral Khoni, dikaitkan pada raja berikutnya—Muridat iii. Orang Georgia—atau orang Iberia yang juga menyebutnya, meiliki para uskup yang ditahbiskan di Konstantinopel, dan diakui dalam patriarkat Antiokhia. Namun, keterpencilan mereka serta kekhasan rasial dan nasional berujung pada sejarah Gereja mereka berjalan pada lingkupnya sendiri, terpisah dari badan utama komunitas ortodoks. Pada akhir abad keempat, kala Uskup Abda membakar kuil Persia dan enggan untuk membangunnya ulang, wilayah tersebut diinvasi oleh Persia. Menjelang waktu yang sama, wilayah tersebut direbut oleh pasukan Romawi dan akibatnya gerejanya terpisah dari hubungannya dengan Yunani. Muridat iv. datang di bawah nuansa agama aneh Yulianus, yang memiliki sedikit keterpikatan terhadap masyarakat kaisarnya sendiri. Namun putranya, Archil (413–446), menyulut kampanye aktif melawan pemanas-manasan dan bida'ah. Perjanjian Baru nampaknya diterjemahkan ke bahasa Georgia pada abad kelima dan keenam. Pada waktu yang sama, Uskup Agung Mobidakh, kelahiran Persia, mengenalkan Arianisme ke Georgia dan terdorong untuk memberlakukannya pada Gereja. ia digulingkan oleh sinode di bawah pengaruh Uskup Mikael dan sang ratu, Sandukhta, seorang wanita Kristen terawal yang membangun gereja di Mtykhetha dalam menghormati proto-martir, St. Stefanus. Kemudian, Zoroastrianisme membuat beberapa perjuangan di Georgia. Di sisi lain, pertobatan salah satu Majus bernama Rajden ke keyakinan Kristen, dan kemartiran di kalangan rakyatnya sendiri dengan dipakukan ke salib dan dipotong berkeping-keping, memiliki pengaruh berlawanan. Gereja Georgia kini terhimpun di bawah uskup utamanya, yang memegang gelar Catholicos Mtykhetha dan Iberia. Ia tak nampak bertanggungjawab atas empat patriark setelah tahun 556, kala P'harsman iii. memisahkan wilayah tersebut dari otoritas Bizantium. Pada masa kekuasaan raja yang sama, dorongan besar ditujukan kepada Kristen di Georgia oleh kedatangan tiga belas pengkotbah dari Siria. Udara misterius mengelilingi mereka. Mereka dikatakan mencapai Mtykhetha dengan melintasi bagian kering sungai. Kemajuan dan pengaruh mereka bak kedatangan para frater ke Inggris. Mukjizat sebenarnya adalah kebangkitan spiritual yang menyertai misi mereka. Tempat pengkebumian terhormat mereka ditandai oleh gereja-gereja yang masih berdiri.

Kisah Gereja Georgia merupakan catatan penindasan berulang. Usai penindasan Persia berturut-turut oleh Majusi, datanglah banjir penaklukan Muslim dan penindasan berkelanjutannya terhadap Kristen. Pada abad kesembilan, wilayah Ap'bkhazia, yang secara politis berdiri terpisah dari Georgia di bawah kekuasaan rajanya sendiri, juga memiliki catholicos-nya sendiri, sehingga Gereja Georgia kini terdiri dari dua daerah independen yang saling menguntungkan. Pada abad yang sama, konven Iberia didirikan di Gunung Athos yang masih berdiri dan kini menjadi biara berpengaruh ketiga di Gunung Suci tersebut. David iii., yang dikenal sebagai "sang Reformer," menduduki takhta pada tahun 1089, menyerukan sinode yang menyudutkan Gereja Monofisit dan bida'ah lainnya. Ia menunjukkan dirinya selaku penguasa kuat baik terhadap Gereja maupun Negara. Kini, masa kejayaan Georgia terjadi. Pada abad kesebelas dan kedua belas, orang Georgia mengembangkan beberapa penerapan dalam ilmu dan sastra pada pekerjaan mereka. Salah satu dari mereka Arsenius, teolog, dokter, metafisikawan, dan penyair, dipanggil dari gua Shiomgiusk untuk menjadi kapelan istana; Ephrem, teman sekolahnya; Gregorius, pendiri sekolah di Tiphlis dan penerjemah kitab suci; Theophilus, "pencipta himnologi" di Georgia; Yohanes Taitcha, yang tulisannya dikatakan dimajukan ke Gunung Athos; dan Demetrius sang Soliter dari Garedj. Masa kekuasaan Ratu Tamar pada paruh kedua abad kedua belas melewati zaman keemasan sastra Georgia, baik gerejawi maupun sipil. Kemudian, hal tersebut diikuti dengan masa hening kala invasi Mongol di bawah pimpinan Genghis Khan, kala Kristen dari segala golongan dan usia dibakar hidup-hidup di gereja-gereja, dan tumpukan-tumpukan kepala manusia menandai perjuangan para prajuritnya. Mtykhetha mengalami keruntuhan. Katedralnya yang dikatakan menjadi bangunan paling indah, mengalami kehancuran besar, dan seluruh penduduk yang menghuni kota tersebut dibantai. Jumlah kematian yang dikaitkan dengan pembantaian di Georgia sendiri diperkirakan berjumlah 300.000 jiwa.

Genghis Khan meninggalkan daerah berdarah tersebut dalam keadaan tak terorganisir dan tanpa harapan. Wilayah tersebut baru mulai pulih usai Turki memerintahkan penyerbuan mereka. Nyaris tanpa harapan, sang ratu, Eusudana, memohon bantuan kepada Paus Gregorius ix. (tahun 1239). Ia menerima tanggapan dengan misi tujuh biarawan yang dikirim untuk memindahkan kiblat wilayahnya ke kepausan! Pada tahun 1400, Timour datang dan meruntuhkannya. Sepanjang masa ketegangan tersebut, Georgia masih membenarkan keyakinan dan terus menambahkan kejayaan kemartirannya. Aleksander i. (tahun 1414–1442) membangun ulang katedral Mtykhetha, sebuah struktur yang masih berdiri sampai saat ini. Sedikit upaya serius berikutnya dilakukan oleh kepausan untuk mengkiblatkan Georgia ke Gereja Roma, namun tak berhasil. Kejatuhan Konstantinopel membuat Georgia berada di tangan Muslim dan tanpa teman. Para uskupnya dibungkam, sekolah-sekolahnya ditutup, warganya dibaurkan oleh Muslim Persia. Sepanjang masa itu, bangsa yang sangat tertindas tersebut beralih ke Rusia untuk perlindungan. Mula-mula, peristiwa tersebut tak memberikan banyak pemulihan. Pada abad ketujuh belas, serangkaian pemurtadan dari Gereja tersebut memerintahkan agar Georgia menjadi Muslim. Pada tahun 1701, Wakhtang vi., seorang Kristen, naik takhta. Ia memberlakukan serangkaian hukum yang sejalan dengan Kristen, yang dikenal sebagai "Kitab Hukum Raja Wakhtang." Hal ini disusul dengan zaman kemakmuran temporer. Namun penguasa berikutnya adalah seorang Muslim, dan setelah masa kekuasaannya Georgia didera lagi dan lagi dari tirani Persia dan Turki, di tengah-tengah ketegangan yang sangat menganggu Gereja lewat misi para biarawan Capuchin dan upaya lainnya untuk membujuknya untuk memasuki persekutuan Roma. Kali ini, gelombang tersebut nampak dipersiapkan pengarahannya, tanpa ragu dalam memperbaiki pengiriman dari penindasan intoleransi, kecuali lewat bantuan Barat. Namun, ortodoksi timur dimenangkan.

Pada tahun 1783, Georgia berada di bawah perlindungan Rusia, dan gereja Goergia kemudian bersatu dengan Gereja Rusia. Pada tahun 1800, wilayah tersebut menjadi bagian dalam dari Kekaisaran Rusia. Sebelas tahun kemudian, jabatan catholicos ditiadakan dan metropolitan kemudian digelari "Anggota Sinode dan Eksark Georgia." ia kini dikenal sebagai "Eksark Karthalinia dan Kakheth."

Gereja Montenegro disebutkan mula-mula selaku badan independen dalam persektuuan ortodoks. Wilayah pegunungan kecil tersebut mengalami masa kejayaan di antara wilayah tetangganya yang tak pernah ditaklukan oleh Turki. Dulu, Vladika-nya, atau uskup apngeran, jika tak ditahbiskan maka wajib menjalankan penahbisan dari metropolitan ortodoks Carlowitz. Pada abad kesembilan belas, penahbisan dialihkan ke metropolitan Rusia. Kala kematian Vladika Petrus ii. (tahun 1851), jabatan pangeran dan uskup dipisah.

Gereja yang masih dapat dicatat oleh kami merupakan cabang-cabang dari Gereja Yunani yang kini merenggang dari badan induk atas dasar nasional, meskipun masih mempertahankan doktrin ortodoks mereka.

Salah satu cabang paling penting gereja ortodoks yang kini terpisah dari patriarkat Konstantinopel dan dihimpun selaku gereja nasional terpisah adalah Gereja Bulgaria. Disini, kekhasan rasial bermula dari pergesekan dari otoritas yunani. Bulgaria berdarah Turania,berkerabat dengan Finn dan tartar, yang mula-mula timbul di tepi Pruth pada paruh akhir abad ketujuh. Dari masa perpindahan agama Boris pada abad kesembilan, mereka menjadi umat Kristen dan bagian dari gereja ortodoks suci. Mereka memiliki sastra kuno yang berasal dari zaman para pendiri dan penghimpun awal gereja mereka, Cyril dan Methodius, yang sebagian besar terdiri dari terjemahan karya teologi Yunani. Bulgaria menjadi pusat kegiatan Bogomil, dan sehingga terjadi peristiwa kebangkitan agama pertama dan kemudian kelanjutannya yang sangat umum—penindasan. Dikuasai oleh Turki pada abad kelima belas, Bulgaria lama terdera tirani Utsmaniyah sebagaimana gereja timur lainnya. Gereja tersebut bahkan diperlakukan lebih buruk ketimbang tetangga-tetangganya. Perlakuan tak semestinya dari Phanariot dan despotisme para uskup yang menjalin persekutuan dengan patriark Konstantinopel selaku pegawai sultan sangat sulit untuk menjamah Yunani. Namun, terdapat orang-orang yang setidaknya sepakat dengan warga senegara mereka. Di Bulgaria, penindasan terjadi di tangan imam asing. Patriark Konstantinopel memilih para uskup Yunani, dan mereka menurunkan para paus paroki Yunani. Persoalan tersebut sejajar dengan Gereja Anglikan di Irlandia dan Wales sampai masa kini. Namun ini sebetulnya sepuluh kali lebih buruk. Karena imam asing tersebut berada dalam pengabdian terhadap pemerintahan Muslim yang kejam nan tak adil dari Kekaisaran Utsmaniyah. Sehingga, warga Bulgaria didera dari dua pihak—pengusikan dari para pemimpin gereja asing, dan sosok yang bertindak selaku pegawai tirani Turki yang dinaungi oleh mereka—sebuah kementerian Yunani yang melayani Turki.

Sejauh ini, perasaan patriotik atau lebih rasial mulai disetir dalam sanubari warga Bulgaria selama jangka panjang. Kebangkitan timbul dari kesadaran sastra, yang mula-mula nampak dalam karya Paisii, seorang biarawan Bulgaria dari Gunung Athos, yang menerbitkan riwayat rakyatnya dan para orang kudus mereka. Ini disusul oleh autobiografi Uskup Sofronii, yang ditulis dalam dialek Sklavonik yang dimodifikasi. Sekolah-sekolah Bulgaria kini didirikan. Hal itu memicu rohaniwan Yunani untuk mendirikan sekolah mereka sendiri, dan berniat untuk menekan sastra Sklavonik dengan Yunani. Namun, gerakan kebangsaan menyebar. Bulgaria menyatakan permohonan untuk dukungan kepada Paus, dan kali ini sejumlah perjuangan dibuat dalam menjalin Gereja mereka dengan Uniat. Namun ini tak pernah terjadi, dan kemudian ditangguhkan. Aspirasi rakyat adalah untuk Gereja Bulgaria independen. Ini adalah upaya berulang dalam pemberontakan; namun mereka semua gagal. Ini adalah tirani gerejawi Yunani, alih-alih despotisme politik Turki, melawan gerakan yang muncul. Kapal selam Porte dikerahkan untuk mengambil pergerakan pada kenyataannya. Ini bukannya bergesekan dengan pembebasan para budaknya sendiri jika melalui perpecahan dan pelemahan unsur Kristen di kekaisaran tersebut. Pada 11 Maret 1870, pemerintah Turki mengeluarkan firman yang memberikan hak kepada Bulgaria untuk menghimpun eksarkat mereka sendiri yang terpisah dari patriark Konstantinopel. Eksarkat tersebut memiliki yurisdiksi atas lima belas keuskupan, dan lainnya ditambahkan jika dua per tiga penduduk menginginkannya. Patriark menentang tindakan tersebut, dan menunda pemberlakuannya sepanjang dua tahun. Pada tahun 1872, eksark pertama dipilih; dan patriark langsung mengekskomunikasikannya. Pada 23 April tahun tersebut, eksark, didukung oleh tiga uskup, semuanya ditempatkan di bawah pencekalan patriark, merayakan perjamuan kudus dalam gereja Bulgaria di Phanar. Pada 11 Mei, Gereja Bulgaria mendeklarasikan kemerdekaan. Pada 16 Spetember, patriark Konstantinopel secara resmi memutus hubungan dengan seluruh pengikut eksarkat tersebut selaku skismatik.

Masalah tersebut membuktikan bahwa Turki keliru memperhitungkan kebijakan mereka. Kepentingan Kristen tak dilemahkan lewat pergesekan gerejawi Bulgaria. Sebaliknya, hal ini malah memperkuatnya. Sekolah-sekolah tersebar; pendidikan dimajukan; kebangkitan Kristen, yang berlangsung lama dan operatif, namun kini cepat dan aktif, mengembangkan jiwa energi dan kemerdekaan. Porte memperingatkan, dan ini menunjukkan terornya dalam cara biasa dengan memicu pembantaian. Kemudian, terjadilah "Kejahatan Bulgaria" yang terkenal, klala 15.000 orang dibantai di wilayah Philippopolis sendiri, sementara pembantaian dan penyerbuan terhadap pria, wanita, dan anak-anak timbul di banyak tempat lainnya. Tuan Gladstone mengabarinya ke Inggris dan membujuk pemerintah Inggris untuk mengakhiri perlindungan memalukannya terhadap Turki. Mula-mula Servia, kemudian Rusia menginvasi Kekaisaran Turki, yang sepenuhnya dimenangkan usai perjuangan sengit. Pada tahun 1878, perjanjian San Stephano memberikan kemerdekaan kepada Bulgaria. Namun, di bawah pengaruh Lord Beaconsfield, hal ini dimodifikasi dalam perjanjian Berlin, yang diadakan beberapa bulan kemudian, kala Bulgaria dibagi menjadi tiga bagian, yang satu diserahkan kembali ke Turki dengan permohonan perlindungan Kristen oleh kekuatan Eropa—permohonan yang tak pernah sepenuhnya terpenuhi. Eksark Bulhgaria kini berpegang di Konstantinopel.

Makedonia sangat berkaitan dengan Bulgaria. Wilayah tersebut terdiri dari penduduk campuran Yunani, Vlach yang mewakili penduduk asli Thracia, Albania—Iliria lama, Sklav, Turk, dan Bulgaria. Meski masuk dalam Kekaisaran Turki, Kristen Makedonia tunduk pada patriark Konstantinopel. Namun, mereka sangat dipengaruhi oleh kebangkitan Bulgaria, yang menghasilkan pendirian keuskupan di bawah eksark Bulgaria. Sehingga, Makedonia menunjukkan kesetiaan gerejawi yang terbagi. Pada tahun 1886, seorang imam bernama Margaritis mendirikan gimnasium di Monastir dengan prinsip-prinsip pendidikan modern. Ini dilakukan dengan persetujuan Porte dan simpati misionaris Katolik Roma Prancis, dan juga dengan beberapa isyarat simpati Austria. Penekanan terhadap gerakan semacam itu secara langsung berseberangan dengan kebijakan patriark. Namun, ini memicu persaingan pendidikan di pihak Yunani, dan Yunani di bawah patrkark juga memutuskan untuk mendirikan sekolah-sekolah.

Servia, yang penduduk aslinya adalah Thracia atau Illyria, dikenal Romawi sebagai Mœsia Superior, dan memasukkannya ke provinsi Illyricum. Wilayah tersebut menerima Kristen di bawah naungan para misionaris yang dikirim oleh kaisar Bizantium, Basil ii., dan sehingga menjadi bagian dalam dari gereja ortodoks. Namun pada tahun 1043, Stefanus Bogislav menjauhi para gubernur kekaisaran. Tujuh tahun kemudian, putranya Mikael mendirikan kemerdekaan penuh negara tersebut, dengan dirinya menjadi raja, menerima pengakuan kedaulatannya dari paus besar, Gregorius vii. Hildebrand selalu siap untuk mengambil kesempatan politik meluaskan pengaruh kepausan di perbatasan Gereja Timur. Mereka memiliki satu ilustrasi di antara banyak interaksi Negara dan Gereja dalam hubungan saling menguntungkan dari Gereja-gereja Timur dan Barat. Rakyat meraih kemerdekaan dan simpati dengan pemerintah konstantinopel yang akan diserahkan kepada Roma untuk bantuan, dan akan mendatangkan dukungan secepatnya, karena para paus melihat kesempatan untuk bersinggungan dengan provinsi Gereja Yunani selaku pelindung beberapa ras tertindas. Dengan cara ini, pemerintahan buruk otoritas kekaisaran di Konstantinopel berujung pada pengasingan cabang-cabang dari patriarkat tersebut. Namun, Servia tak beralih ke Gereja Latin. Wilayah tersebut kini menjadi cabang independen dari Gereja Yunani, memegang hubungan tak terdefinisikan yang anomali dengan badan utama Gereja, penyatuan khususnya yang, seperti dalam kasus serupa lainnya, dijaga lewat ortodoksinya. Seratus tahun perjuangan dan dua ratus tahun kekuasaan dan kemakmuran disusul oleh keruntuhan Servia dan kematian rajanya, Lazarus, dalam pertempuran Kossovopolje pada tahun 1389, kala negara tersebut dijadikan bawahan Turki. Penaungan penuhnya hanyalah masalah waktu, dan ini dituntaskan pada tahun 1462 oleh kemanangan Mohammed ii., kala menjadikannya vilayet Turki yang dikuasai oleh para pasya. Servia kini tak hanya berada di bawah kekuasaan tirani pemerintahan Utsmaniyah; wilayah tersebut lama menjadi emdan tempur dalam peperangan antara Turki dan Hongaria. Usai kemenangan Pangeran Eugenius, sebagian daerah tersebut diserahkan ke Austria lewat perjanjian Passarowitz (tahun 1718). Namun, dua puluh satu tahun kemudian, wilayah tersebut direbut lagi oleh Turki. Pada tahun 1804, Servia meraih kebebasannya akibat pemberontakan yang dipimpin oleh gembala babi, Kara Gyorgyé (artinya "Gregorius Hitam"). ketegangan yang menerpa Eropa pada peperangan Napoleonik dimanfaatkan Turki dengan kesempatan untuk merebut kembali beberapa wilayah mereka yang hilang, dan mereka kembali merebut Servia. Laju Turki ke barat menjadi salah satu marabahaya yang menyertai perang yang tak diapresiasi. Di Servia, usaha pembebasan dilakukan sekali lafi. Pada Minggu Palma tahun 1815, Serbia mengembangkan dan memperjuangkan kebebasan pada kedua kalinya. Pemimpinnya adalah Milosh Obrenovich. Usai perjuangan selama lima tahun, sultan memutuskan untuk memberikan otonomi. Servia kini menjadi kerajaan merdeka. Ini juga akan dipahami bahwa di bawah keadaan tersebut, wilayah tersebut tak memiliki persekutuan apapun dengan patriark Konstantinopel. Pada kenyataannya, Gereja Yunani di Servia sepenuhnya berpemerintahan sendiri. Hal ini diorganisir di bawah sinode para uskup yang dipimpin oleh uskup agung Beograd, yang merupakan metropolitan Servia; dan membaginya menjadi lima keuskupan. Terdapat dua puluh delapan biara Gereja Timur di negara tersebut.

Gereja Yunani di Bosnia dan Herzegovina masih terus terlepas dari campur tangan Turki atau otoritas Konstantinopel, karena daerah tersebut kini berada di bawah kekuasaan Austria. Sekitar separuh penduduknya adalah gereja ortodoks, separuh lainnya secara setara terbagi antara Katolik Roma dan muslim, selain terdapat beberapa Yahudi. Gereja ortodoks—melalui doktrin Yunani—sepenuhnya memiliki pemerintahan sendiri, di bawah empat metropolitan.

Sehingga, survei situasi memberikan gambaran menonjol dari perbedaan khas antara Gereja Timur dan barat. Tak ada gereja independen terpisah semacam itu yang kami lihat masih persekutuan ortodoks yang memungkinkan aakn berada di bawah kepausan. Roma sangat mengkhawatirkan skisma, Konstantinopel dari bida'ah. Roma tak akan sepakat dengan gereja yang tak tunduk pada paus. Konstantinopel akan mengirim krismanya kepada gereja yang tak menyekutukan diri pada patriarknya, sepanjang gereja tersebut benar-benar ortodoks. Para patriark individual mengekskomunikasi para uskup yang membangkang—seperti dalam kasus eksark Bulgaria. Ini hanya bersifat alamiah. Karena itu, para patriark adalah laki-laki. Namun Gereja secara keseluruhan menaungi Kristen dari seluruh ortodoks dalam beberapa cabangnya, dan penyerahan minyak suci—sebuah hal yang tak memungkinkan di Barat—menjadi tanda kepatutan dari penerimaannya. Itu dilakukan disamping beberapa masalah rasial dan perbedaan kubu, yang setelah semuanya, hanya membentang di permukaan dan tak mematahkan ikatan penyatuan bertakhta mendalam dari gereja ortodoks suci.