Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 2/Pengantar
Gagasan katolisitas meluas dan berkembang, atau, sebagaimana beberapa orang menganggapnya, kekomprehensifan yang sangat longgar dan luas, karena terdiri dari sejumlah gereja yang berbeda dalam doktrin, disiplin, dan upacara, yang banyak orang anut pada masa sekarang, timbul sebelum zaman modern. Ini tak dilandasi oleh gereja kuno, setiap aliran saling menganatemakan seluruh Kristen di luar naungannya. Penerapan Yustinus Martir terhadap doktrin Stoik soal Logos spermaticos pada Kristen memperkenalkan antisipasi gagasan semacam itu, dan liberalisme besar Klemens dari Aleksandria dapat menyambutnya, nampak di atas horizon tersebut. Namun, Katolik yang mendekati Cyprian lebih pada pikiran gereja patristik, dan gereja abad pertengahan tak disoroti secara luas.
Namun, pada kenyataannya, terdapat perpecahan dunia Kristen menjadi gereja-gereja terpisah pada awalnya, dan perpecahan tersebut tak pernah terobati. Sebabnya terdiri dari dua bagian—sebagian rasial dan politik, dan sebagian doktrinal dan polemikal. Penyebaran Kristen di luar perbatasan Kekaisaran Romawi berujung pada pendirian gereja-gereja di kerajaan-kerajaan asing. Mula-mula, gereja tersebut dipandang sebagai bagian dalam dari satu Gereja Katolik, dan para uskup mereka memiliki hak untuk mengadakan konsili ekumenikal. Namun beberapa pengaruh memotong mereka. Fakta jarak yang jauh, kesulitan perjalanan, dan ketegangan dalam melintasi garis-garis depan—khususnya pada masa perang—semakin mengkekalkan pemisahan mereka. Kemudian dalam isolasi mereka, mereka mengembangkan banyak jenis individualitas rasial, bersama dengan perkembangan antipati terhadap kebiasaan gereja ras lain. Penganutan Kristen oleh Konstantinus, disusul oleh aliansi dekat Gereja dan Negara, atau lebih kepada dominasi Gereja oleh Negara, memiliki dampak alami terhadap penekanan untuk membatasi gereja yang menganggap dirinya Katolik pada pemercayaan Kekaisaran Romawi. Lewat reaksi tak terhindarkan, patriotisme gereja lokal di negara lain akan mengembangkan individualitas mereka. Prosesnya diwarnai oleh penindasan, yang membuat Kristen asing diperlakukan buruk oleh pemerintahan mereka sendiri karena dipandang berteman dengan Kekaisaran Romawi demi perlindungan. Meskipun demikian, hal ini tak benar-benar membuat frustasi.
Sebab kedua perpecahan—doktrinal dan polemikal—lebih menyeluruh dan berdampak. Seawal-awalnya abad kedua, terdapat aliran-aliran bida'ah, seperti Montanis dan Marcionit, yang timbul sebagaimana gereja-gereja biasa yang terorganisir; dan sedikit persekutuan ortodoks namun skismatik, seperti Novatian dan Donatis, yang masing-masing menganggap dirinya sebagai satu Gereja yang benar. Kontroversi-kontroversi Kristologi memiliki dampak yang sangat serius dan permanen, karena terdapat pengaruh nasional dan rasial dengan doktrin untuk memperparah dan melanggengkan pergesekan tersebut. Dalam cara ini, Monofisit menjadi Gereja Koptik dan Siria, dan Nestorian membentuk Gereja-gereja Persia, Kaldæa, dan belahan Timur lainnya. Penaklukan Muslim memperkeruh perpecahan tersebut. Mereka membuat komunikasi antara Kristen di wilayah kekuasaan mereka dan gereja kekaisaran menjadi sulit dan tak memungkinkan. Namun itu tidak semuanya. Di bawah para khalifah toleran, wilayah Islam menjadi pelabuhan pengungsi untuk Kristen yang mengecam dan lari dari tekanan oleh gereja ortodoks suci pada kekaisaran tersebut. Arab tak membedakan antara berbagai mazhab "kafir" yang ditoleransi olehnya. Kemudian, gereja-gereja tersebut diekskomunikasikan sebagai bida'ah oleh otoritas Yunani dan Romawi demi selamat dari keberadaan kaisar tirani dan gerejawi, yang akan mengkhawatirkan mereka jika mereka memiliki kesempatan untuk melakukannya. Sementara itu, penindasan, entah nyata atau hanya timbul sebagai ancaman, menjadi penghalang paling berdampak dari penyatuan tersebut.
Kami memiliki kesempatan baik untuk mengamati bagaimana kepentingan gerejawi, politik dan doktrinal berujung pada pergesekan penuh dan akhir dari dua bagian besar Gereja Katolik asli. Disini, kami melihat pertikaian klaim persaingan Roma dan Konstantinopel; dalam asumsi kepemimpinan universal gereja oleh kepausan, yang disangkal dan ditolak di Timur; dalam pemahkotaan Charles Agung oleh Leo iii., dan pergesekan berkelanjutan Gereja Latin dari bagian lain Kekaisaran Romawi yang diidentifikasikan dengan Gereja Timur; dan terakhir, perbedaan doktrinal yang bersaing secara sengit, khususnya pada hubungannya dengan klausa Filioque yang ditambahkan oleh para teolog Barat pada Pengakuan Iman Nikea, dan serangkaian kekeliruan atas pertanyaan pemakaian roti tak berragi dalam perjamuan kudus, yang nampak kalah bobot dengan seluruh kejadian konflik lainnya dalam pikiran masyarakat Konstantinopel.
Sehingga, kami mencapai tahap kala persoalan tersebut tak lagi memungkinkan untuk membawa satu cerita berkelanjutan sejarah gereja. Ini kini akan menjadi kebutuhan untuk menelusuri sejarah setiap gereja terpisah. Dalam rangka untuk melakukan ini secara efektif, kami harus kembali ke cikal bakal mereka, dalam kasus kala cikal bakalnya tak dianggap dipersiapkan, dan mengkaji mereka sepanjang rentetan peristiwa perkembangan khas mereka sendiri.