Gergasi dan Hantu Won-Tin-Tin

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Gergasi dan Hantu Won-Tin-Tin

Siti Jumariah

Di Kalimantan Timur terdapat suatu sungai yang panjang dan Iebar dikenal dengan nama Sungai Mahakam. Sungai tersebut memiliki beberapa cabang anak sungai yang melintasi daerah-daerah di pedalaman Kalimantan Timur, salah satunya adalah Sungai Kedang Pahu. Di daerah hulu Sungai Kedang Pahu terdapat sebuah kampung yang dihuni oleh beberapa keluarga, salah satunya adalah keluarga Pak Lawing yang memiliki dua orang anak laki-laki bernama Sulung berumur 7 tahun dan Bungsu berumur 5 tahun.

Istri Pak Lawing meninggal dunia ketika si Bungsu lahir dan selang beberapa tahun kemudian Pak Lawing menikah lagi dengan tetangganya yang sudah perawan tua. Sayangnya, istri yang baru dinikahinya tidak menyayangi kedua anak tersebut. Tatkala Pak Lawing tidak berada di rumah, ia berbuat semena-mena kepada anak tirinya. Dari waktu ke waktu si ibu tiri selalu mencari akal untuk menyingkirkan kedua anak tirinya itu untuk selamalamanya. Suatu pagi seperti biasanya ketika Pak Lawing sudah berangkat ke sungai mencari ikan atau ke ladang, ibu tiri selalu menyuruh kedua kakak beradik itu pergi mencari kayu bakar.

“Sulung! Bungsu! Cepatlah kalian berangkat!”

“Baik Bu, tetapi pagi ini Bungsu tidak usah ikut. Tadi malam dia demam, biar saya sendirian saja Bu," kata Sulung.

“Mana bisa begitu, Bungsu harus tetap ikut, siang nanti ibu mau buat pepes ikan patin, kau membawa kayu dan Bungsu membawa daun pisangnya."

“Tapi bagaimana kalau sakit Bungsu bertambah parah Bu?"

“Ah dia nggak akan sakit, Bungsu hanya kecapaian bermain seharian kemarin.”

"Tapi Bu, pesan Bapak, Bungsu harus istirahat di rumah tidak boleh keluar," bantah Sulung.

“Jadi kamu melawan ya, tidak mau menurut perintahku? Kalau begitu biar aku saja yang ke hutan mencari kayu dan daun pisang!" merah padam muka ibu tirinya.

“Kak, Bungsu sudah sembuh! Ayo kita berangkat, kalau Ibu yang mencari kayu pasti nanti Bapak akan marah!" tiba-tiba Bungsu muncul dan menarik tangan kakaknya menjauhi ibu tirinya yang mulai marah.

"Ingat jangan pernah kembali ke rumah ini kalau tidak membawa daun pisang! lngat itu!” teriak ibu tirinya beberapa kali.

Bergegas Sulung mengambil sarung mandaunya yang berisi parang dan pisau panjangnya. Dililitkannya tali mandau di pinggangnya yang kecil, lalu cepat-cepat meninggalkan rumah. Si ibu tiri tersenyum penuh kemenangan. "Kalian tidak akan pernah kembali!" serunya dalam hati karena ia tahu tak ada sebatang pun pohon pisang yang tumbuh di sekitar kampung ataupun di pinggir hutan.

Setiba di pinggir hutan mulailah keduanya mengumpulkan ranting dan kayu-kayu kering, tidak begitu lama terkumpullah dua ikat kayu yang cukup besar siap dibawa pulang. Namun, mereka tidak berani pulang karena daun pisang belum mereka dapatkan. Setelah menyimpan kedua ikat kayu tersebut di tempat yang tersembunyi, mereka berdua menyusuri pinggiran hutan. Menjelang siang pohon pisang belum juga mereka temukan, perut mereka pun mulai keroncongan.

“Aku nggak kuat lagi Kak, perutku lapar,” kata Bungsu.

“Sabar ya Dik, kita masuk saja ke dalam hutan, siapa tahu di sana banyak pohon pisang dan buah-buahan yang bisa kita makan." Sulung menggandeng tangan adiknya memasuki hutan. Cukup jauh mereka berjalan tak ada yang mereka temui selain pepohonan besar dan lebat. Bungsu mulai mengeluh lagi.

“Kak, aku nggak kuat lagi, lapar ... haus!”

Sulung mulai melihat sekeliling mencari-cari arah jalan keluar, tetapi semua tempat terlihat sama. Sulung mulai cemas, apalagi hari mulai beranjak sore.

“Kamu di sini dulu ya Dik, Kakak mencari makanan dulu barangkali ada pohon buah di sekitar sini."

“Nggak mau, jangan tinggali aku, aku takut sendirian. Aku ikut saja pelan-pelan," kata Bungsu.

Tak tega melihat adiknya yang berjalan terseok-seok, Sulung menggendong adiknya mengikuti arah kakinya berjalan. Dia tidak tahu lagi jalan keluar dari hutan tersebut. Semakin lama berjalan semakin jauhlah mereka masuk ke dalam hutan.

Dalam suasana kebingungan tiba-tiba kaki Sulung tersandung akar pohon dan terjatuhlah mereka. Bungsu berteriak kaget. Anehnya, meskipun kedua jatuh, mereka tidak luka sedikit pun. Bahkan, mereka serasa jatuh di atas hamparan kain dan betapa kagetnya mereka setelah menyadari bahwa tanah tempat mereka jatuh tadi dipenuhi oleh buah jambu air yang telah masak. Spontan mereka mengambil bauh-buah jambu tadi dan memakannya dengan lahap. Setelah perut terasa kenyang, mereka mengamati keadaan sekitar, ternyata persis di atas kepala mereka terdapat beberapa batang pohon jambu air yang tengah ranum dan sangat lebat buahnya. Sulung lalu memanjat pohon tersebut dan memetiki buah itu untuk adiknya. Kemudian, keduanya makan sepuas-puasnya dan tak terasa hari sudah semakin gelap. Sulung mencari tempat aman di atas phon untuk bermalam mereka. Kemudian tidurlah kedua bersaudara itu dengan lelapnya malam itu.

Keesokan harinya mereka terbangun oleh suara-suara aneh.

“Grook ... grook ... grook ... grook."

“Suara apa itu, Kak?" Bungsu ketakutan.

“Grook ... grook ... grook ... grook ... grook“ suara itu semakin dekat dan nyaring. Bunyinya semakin riuh menuju pohon jambu di bawah mereka. Tidak lama kemudian, terlihat sekelompok babi hutan saling berebut menghabiskan buah-buah jambu yang berhamburan di tanah. Ketika melihat kerakusan babi-babi itu, timbullah akal Sulung memperdayai binatang itu. Dengan cepat dicabutnya pisau kecil dengan ukuran lumayan panjang dari sarung mandaunya yang selalu terselip di pinggang. Pisau itu ditusukinya dengan beberapa buah jambu hingga menutupi seluruh pisau, pelah-pelan dijatuhkannya pisau itu ke tanah, beberapa ekor babi terlihat berebut menghampiri. Seekor babi yang paling besar berhasil mendapatkan pisau tersebut dan dengan cepat menelannya. Tidak terlalu lama si babi menggelepar-gelepar kesakitan lalu terkapar. Setelah melihat salah satu dari mereka mati, babibabi tersebut berlarian menjauhi tempat tersebut. Sulung bergegas turun dari pohon.

Setelah memastikan si babi telah mati, Sulung memotong-motong binatang itu dengan mandaunya.

“Dik cepatlah turun! Buat perapian untuk memanggang daging ini."

“Baiklah Kak, akan kukumpulkan kayu bakarnya dulu, tetapi apa semua daging dipanggang?”

"Tentu saja tidak, sebagian disisihkan dan dijemur kita jadikan dendeng untuk persediaan makanan kita.”

Setelah pekerjaan mereka selesai, Sulung kebingungan mencari api.

“Naiklah ke puncak pohon itu, lihat sekelilingmu mungkin ada pondok di sekitar sini!" perintah Sulung sambil menunjuk pada salah satu pohon yang paling tinggi.

Bungsu menuruti perintah Sulung, dipanjatnya pohon itu, "Kak! Kak, aku melihat ada sebuah pondok di sana, Kak!" seru Bungsu dengan girang.

Cepat-cepat Sulung menyusul adiknya memanjat pohon tersebut. Di sebelah utara terlihat sebuah pondok yang cukup besar.

"Tetaplah kau di atas pohon ini, Kakak pergi sebentar ke pondok itu meminta api untuk memanggang daging," pesan Sulung sambil menuruni pohon. "Jangan sekali-kali turun dari pohon sampai Kakak datang!”

Pergilah Sulung menuju pondok tersebut. Tidak lama kemudian, sampailah dia ke pondok. Sulung merasa heran melihat bangunan yang tinggi dan Iebar dengan tiang penyangga dan tangga yang begitu panjang. Pelan-pelan dinaikinya tangga pondok tersebut. Di dalam suasananya sangat sepi. lam?"

“Permisi ... permisi ... ! Adakah orang di dalam?"

Tak ada jawaban.

“Permisi ... , mau minta api ... permisi.”

Tidak juga ada jawaban. Sulung masuk ke dalam. Suasananya tetap sepi. Tidak ada tanda-tanda penghuni di dalam pondok itu. Semua barang dalam pondok terlihat aneh; lampit, bantal, alat-alat dapur semua berukuran besar. Dilihatnya beberapa bara api di tungku dapur dan dengan cepat diambilnya sebuah bara api dengan piring yang tak jauh dari tempat itu. Sebelum bara tadi dibawanya keluar, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang dari ruang belakang.

“Jangan kau ambil bara itu dan cepatlah pergi dari tempat ini!”

Sulung mendekati asal suara dan betapa kagetnya dia melihat beberapa orang yang sudah tidak sempurna lagi. Bagian tubuhnya berada dalam beberapa tempat yang menyerupai kurungan yang terbuat dari kayu ulin.

“Cepatlah kau keluar dai sini. Tempat ini sangat berbahaya!" kata orang yang daun telinga dan tangannya tinggal satu.

“Ya, sebelum si Gergasi laki bini itu kembali dari ladang, cepatlah!" kata orang yang hanya berkaki sebelah.

Sulung masih tak memahami perkataan mereka. "Kalau begitu aku menunggu saja pemilik pondok ini untuk meminta bara, bukankah tak lama lagi mereka pulang?"

“He Nak, kalau nasibmu tidak ingin seperti kami dan masih ingin selamat, cepatlah pergi dari pondok ini. Lari sejauh-jauhnya dan jangan sekali-kali membawa apa pun dari tempat ini!”

"Tapi Pak, kami sangat memerlukan bara api untuk membuat makanan," kata Sulung.

“Carilah saja di tempat lain. Pemilik pondok ini sepasang raksasa yang sangat pelit. Semua barang yang ada di pondok selalu mereka hitung sebelum bepergian dan sepulangnya nanti mereka pasti menghitungnya kembali. Mereka akan tahu kalau ada yang telah mengambil bara apinya.”

Sulung memahami perkataan para tawanan itu.

“Kalau kau tetap nekad mengambil, mereka pasti akan mencarimu dan kau tak akan bisa lepas dari intaian mereka," tambah mereka.

Sulung mulai kebingungan, antara rasa takut dan bayangan kelaparan mulai berputar di kepalanya, tetapi dia harus segera menentukan pilihan. Rasa sayang kepada adiknya ternyata bisa mengalahkan kekuatannya dengan cepat dibawanya bara dalam piring tersebut keluar dari pandok. Tidak didengarnya lagi nasihat para tawanan itu. Dipacunya langkah kaki sekencang-kencangnya menjauhi pondok menuju tempat adiknya berada.

Dengan sebuah bara dibuatlah api untuk membakar sebagian daging tersebut, sebagian yang lain mereka jemur di panas matahari untuk dijadikan dendeng.

“Kak nanti setelah jadi dendeng kita bawa pulang saja ke rumah. Ibu pasti akan senang dan tidak marah lagi kepada kita," kata Bungsu sambil menikamti daging panggang.

"Tidak usah Dik, tinggal di tempat ini jauh lebih baik untuk kita daripada pulang ke rumah. Di sini kita tidak akan kekurangan makanan, dendeng kita banyak untuk persediaan makanan. Di rumah kita sering kelaparan karena Ibu tidak menyukai kita. Ia akan senang jika jika tidak pernah kembali lagi," jelas Sulung

“Betul juga ya Kak, Bungsu lebih senang tinggal di sini bisa main sepuasnya dan tidak pernah dipukul Ibu lagi.”

Sejak itulah kedua saudara tersebut mulai mencari kayu dan daun-daunan untuk membuat sebuah pondok kecil sebagai tempat berlindung dari hujan, panas, serta serangan binatang.

Menjelang sore, sepasang raksasa suami-istri tampak pulang dari ladang menuju pondok mereka di tengah hutan. Bermacam-macam barang yang mereka bawa. Sekeranjang ikan, beberapa ekor ayam, sayur-sayuran, dan juga berbagai macam buah. Setelah sampai di pondok, sepasang raksasa itu langsung menghitung semua barang yang mereka tinggalkan. Betapa kagetnya, mereka mendapati bahwa bara apinya telah hilang satu. Gergasi si suami serta merta mengamuk sambil memukul-mukulkan kedua tangannya sehingga menimbulkan suara yang sangat gaduh. Semua tawanan mulai ketakutan.

“Hrrr ... hrrr ... hrrr ... siapa yang berani masuk pondok ini? Pencuri itu mengambil sebuah bara milikku hrrr ... kurang ajar ...!”

Si istri juga ikut berteriak sambil mendekati para tawanan. "Hai orang-orang bodoh! Siapa yang masuk ke sini? Cepat katakan! Kalau tidak kumakan kalian semua jadi santapan kami malam ini!”

Semua tawanan tidak ada yang berani menjawab. Mereka ketakutan.

“Hei! Sudah bisu rupanya kalian! Minta kami telan semuanya ya?" Gergasi ikut menimpali. “Ayo jawab ... manusia mana yang berani masuk rumahku!" gertak Gergasi sambil mengguncang-guncangkan kurungan mereka.

“Kkkk...kami tidak tahu Tuan Gergasi ... kkk...kami tidak melihat siapa-siapa," jawab salah seorang dari mereka.

“Bohong! Kumakan kalian semua!" ... tangan Gergasi semakin kuat mencengkeram kurungan mereka. Para tawanan semakin ketakutan.

“Jadi kalian tidak mau mengatakan ... baik! Tunggu saja nanti! Sebentar lagi pencuri itu pasti dapat kutemukan dan akan kulumatkan bersama-sama dengan kalian!”

Kedua raksasa itu kemudian keluar dari pondok sambil mengendus-enduskan hidungnya mencari bau manusia. Mereka berjalan mengikuti hembusan angin dan semakin jauh meninggalkan pondok. Tidak ada satu tempat pun yang terlewati mereka. Tidak lama kemudian, hidung mereka mulai mencium bau yang sangat sedap.

“Hmm ... rasanya tidak jauh lagi, kita akan menemukan pencuri itu!" kata istri Gergasi.

Mereka mulai mendekati ke sumber bau. Dilihatnya asap di sekitar tempat itu.

"Tidak salah lagi! ltu mereka!" sambung istri Gergasi.

Dilihatnya Sulung dan Bungsu sedang asyik menikmati daging panggang di depan perapian yang baranya sudah padam.

“He . . . bocah-bocah bodoh! Pasti kalian yang telah mencuri bara apiku!”

Sulung dan Bungsu sangat kaget dan takut melihat kemunculan kedua raksasa itu secara tiba-tiba.

“Sekarang bersiaplah untuk membayarnya! Tubuh kalian pasti empuk dan lezat hmmm ... aku tidak sabar lagi untuk menyantapmu malam ini!" kata Gergasi.

“Mmmm ... maaf Tuan ... ampuni kami .... Kami datang ke pondok Tuan dengan maksud baik untuk meminta bara api, tetapi Tuan tidak ada. Jadi, kami pinjam dulu, nanti malam kami mau mengembalikannya ke pondok Tuan," kata Sulung.

“Tidak ada ampun! Kamu telah berani menginjak-injak rumah kami dan mengambil sesuatu tanpa seizinku."

“Jadi harus dibayar dengan tubuh-tubuh kalian dan juga semua daging yang kaupunya menjadi milikku!" seru Gergasi.

“Silakan Tuan ... silakan ambil semua daging milik kami, tetapi jangan bawa kami! Tubuh kami terlalu kecil dan kurus, daging kami pasti sedikit dan belum ada rasanya. Jika dijadikan santapan nanti saja kalau kami sudah besar dan gemuk Tuan boleh ambil kami!"

“Tapi kalian bisa kabur sebelum kuambil,” kata istri Gergasi.

“Tidak, kami berjanji tidak akan meninggalkan hutan ini sebab kami tidak mempunyai keluarga lagi dan lebih senang tinggal di sini. Tuan boleh mengawasi kami setiap saat!" kata Sulung sambil memeluk adiknya yang ketakutan.

“Hmmm ... betul juga ... kita ambil dulu daging-daging ini, lumayan untuk santapan malam ini, lain waktu kita ambil dua bocah ini," kata Gergasi. Lalu, kedua raksasa itu pergi setelah mengambil semua daging yang ada di situ tanpa menyisakan sedikit pun.

Tinggalah kedua bersaudara itu dengan perasaan sedih dan kecewa. Mereka sakit hati atas ulah raksasa-raksasa tadi. Kini persediaan makanan tidak ada lagi, hanya jambu-jambu air yang bisa mereka makan.

“Tenanglah, Dik. Nanti kakak cari akal untuk mendapatkan makanan lagi. Sekarang hari sudah malam, masuklah dulu ke pondok!" hibur Sulung sambil memutar otak merencanakan sesuatu.

Menjelang tengah malam, Sulung keluar pondok meninggalkan Bungsu yang sudah terlelap. Langkahnya menuju pondok Gergasi. Setelah sampai di sekitar pondok Gergasi, Sulung mengamati keadaan di dalam pondok, suasana sangat sepi, dengan mengendap-endap Sulung mulai menaiki tangga pondok menuju kamar raksasa Gergasi. Setelah sampai di luar pintu kamar, dia merasa sangat ketakutan. Namun, tekadnya sudah bulat dia harus melakukan sesuatu agar tetap bisa bertahan hidup.

“He . . . aku mencium bau manusia," kata istri Gergasi tiba-tiba.

“Ah, sudah malam! Kamu tidur saja, mana ada manusia yang berani mendekati pondok,” jawab suaminya sambil terpejam.

“Tapi bau itu sangat menyengat sepertinya ada di sekitar sini," kata istrinya lagi.

“Diamlah! Aku ngantuk dan capek, mau tidur! Tidak akan ada yang bisa mengganggu kita, kecuali makhluk itu!"

“Makhluk apa yang berani mengganggu kita, suamiku?" tanya istrinya.

“Sudahlah besok saja kuceritakan," jawab suaminya.

“Kalau tiba-tiba malam ini makhluk itu datang dan kita sedang tidur bagaimana?" tanya istrinya lagi sambil berbaring di samping suaminya.

“Makhluk itu, jika datang, tidak akan diam dan dia pasti berteriak-teriak tin ... tin ... oit .. . oit ... tin ... tin ... oit ... oit.”

Gergasi menirukan suara hantu won tin-tin.

“Lalu, mengapa kita harus takut? Begitu dia datang kita bunuh saja dia," kata si istri.

“Bodoh kamu, hantu won tin-tin sangat sakti! Dia bisa menghilang dan berubah-ubah wujud, dialah hantu pemakan para raksasa!" Gergasi mulai kesal.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan jika hantu won tin tin datang?" tanya istrinya yang mulai cemas.

“Cepatlah kau lempar makanan yang ada, maka dia akan segera pergi. Jangan sampai kita kehabisan makanan. Kalau tidak ada makanan, kita akan dimangsanya, sudah tidurlah! Hantu itu mungkin sudah tidak ada lagi karena sejak aku pindah di hutan ini tidak pernah dia menampakkan dirinya lagi," kata suaminya sambil menutupi semua badannya dengan tikar.

Melihat suaminya seperti itu si istri juga ikut-ikutan menutupi seluruh badannya dengan tikar. Setelah tidak terdengar lagi suara kedua raksasa itu, Sulung pun bergegas meninggalkan pondok sambil merencanakan sesuatu untuk memberi pelajaran kepada kedua raksasa itu.

Malam berikutnya, setelah adiknya tertidur, Sulung mengendap-endap menuju pondok Gergasi. Suasana sangat sepi sepertinya suami istri itu sudah terlelap. Persis di bawah lantai kamar raksasa tersebut Sulung bersembunyi dan mulai melakukan aksinya.

"Tin . . . tin . . . oit . . . oit ... ," teriak Sulung dengan suara besar menyerupai hantu won tintin.

“Tin ... tin ... oit ... oit ... tin ... tin ... oit ...

oit ... ," teriaknya lagi. Belum terdengar reaksi dari dalam kamar, rupanya tidur mereka sangat pulas, diulanginya lagi dengan suara yang lebih nyaring.

“Tin ... tin ... oit ... oit ... tin ... tin ... oit ... oit ... tin ... tin ... oit ... oit ... mana raksasa laki bini?" serunya.

Di kamar mulai terdengar suara mereka.

“Cepat ... buang tumpi ke luar! Cepat!" perintah suaminya.

Si istri buru-buru mengambil tumpi dan melemparnya ke luar. Gedebug! Setelah mendengar suara benda jatuh, Sulung mendekati benda yang jatuh tadi. Ternyata sebuah tumpi sebesar lewang! Sulung menelan air liur, pasti lezat sudah lama dia tidak makan tumpi, Bungsu juga pasti girang kalau mendapat tumpi katanya dalam hati. Oleh karena itu, dengan cepat diangkutnya tumpi itu menuju pondoknya.

Keesokan harinya, kedua saudara itu bergembira menikmati tumpi si Gergasi. Sulung bercerita kepada adiknya tentang perbuatannya semalam yang telah berhasil memperdayai sepasang raksasa itu.

"Wah hebat sekali Kakak! Bungsu juga mau ikut ke pondok si Gergasi, membantu Kakak!" kata Bungsu.

“Jangan, saat sekarang ini biar Kakak sendiri yang ke pondok itu. Nanti kalau Kakak perlu bantuan barulah Bungsu ikut!”

Karena besarnya ukuran tumpi, setelah dua hari barulah makanan itu habis termakan oleh mereka sehingga pada malam ketiga Sulung kembali berencana mendatangi pondok raksasa tersebut untuk mendapatkan makanan lagi.

"Tin ... tin ... oit ... oit .. . tin ... tin ... oit ... oit ... ," katanya berulang kali di bawah kamar Gergasi.

“Cepat buang tumpi!" kata Gergasi pada istrinya. Buru-buru diambilnya tumpi dan dilemparkan ke luar.

“Tin ... tin ... oit ... oit ... tin ... tin ... oit ... oit ... aku tidak mau tump1l Aku mau yang lain!”

Sulung membesarkan volume suaranya.

“Cepat ... ! Ambil ayam ... !" kata Gergasi. Istri Gergasi bergegas mengambil semua daging ayam yang sudah masak dan melemparkannya ke luar pondok.

Dengan cekatan Sulung mengambil ayamayam tersebut dan segera berlari menuju pondoknya. Keesokan harinya, kembali kedua bersaudara itu menikmati daging ayam dengan gembira.

“Apa Kakak tidak takut kalau suatu saat perbuatan Kakak diketahui mereka?" tanya Bungsu.

“Ya takut juga, tetapi kita perlu makan Dik, buah jambu di sini sudah mulai habis, rombongan babi juga tidak tampak lagi."

“Kita mencari makanan di tempat lain saja. Sangat berbahaya mengulangi perbuatan seperti itu, Kak!"

“Memang suatu saat mereka pasti akan curiga dan mengetahui kebohongan yang Kakak buat dan mereka pasti tidak akan mengampuni kita lagi." Sulung mengungkapkan kecemasannya.

“Tetapi aku yakin, Kakak pasti bisa mencari akal untuk menundukkan mereka," hibur Bungsu.

Malam itu Sulung tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya tertuju pada pembicaraan tadi siang dengan adiknya. Betul juga katanya dalam hati. Perbuatan yang tidak terpuji pasti lama-kelamaan akan ketahuan juga, maka carilah akal untuk menyelesaikan masalah yang sedang menimpa dirinya. Dia juga ingin menolong para tawanan yang fisiknya sudah tidak lengkap itu sebelum mereka habis menjadi santapan kedua raksasa itu, maka diputuskanlah menuju pondok Gergasi malam itu juga.

Dengan mengendap-endap Sulung mendekati pondok sepasang raksasa itu. Di dalam pondok sayup-sayup Gergasi dan istrinya tengah berbincang-bincang. "Suamiku, biasanya setiap tiga hari sekali hantu won tin-tin selalu datang. Kemarin kita kasih tumpi tidak mau, minta makanan yang lain. Besok kalau dia datang lagi, kita kasih ayam tidak mau bagaimana?"

“Lempar saja semua makanan yang ada!” jawab Gergasi.

“Kalau tetap tidak mau bagaimana?" tanya si istrinya lagi.

“Kalau dia tetap tidak mau, kita masuk ke dalam tikar dan bergulung-gulung di dalamnya sehingga dia tidak akan bisa mencium bau kita dan segera pergi meninggalkan pondok ini," jelas Gergasi.

“Kalau hantu itu tetap saja tidak mau pergi dan berteriak-teriak minta makanan, bagaimana?"

“Kalau dia tetap seperti itu, kita harus segera keluar rumah dan lari menyelamatkan diri dari tempat ini sejauh-jauhnya."

“Mengapa harus begitu? Kita hadapi saja dia daripada menyusahkan. Bukankah kita adalah makhluk perkasa? Tidak ada yang bisa mengalahkan kita!" kata istrinya dengan semangat.

“Apa kau yakin akan mampu mengalahkannya? Hantu won tin-tin sangat sakti, dia dapat berubah-ubah wujud bahkan bisa tidak terlihat mata, hanya suara saja," jawab Gergasi

“O, itu lebih muda, di saat dia menampakkan wujudnya, kita . bunuh saja bersama-sama,” tegas si istri.

“Jangan sombong kau, hantu won tin-tin . adalah hantu pemakan raksasa. Dia tidak akan bisa mati, kalau makhluk-makhluk seperti kita masih ada di bumi," jelas Gergasi. "Dan makanan pokok hantu itu adalah makhluk-makhluk seperti kita," sambungnya.

Setelah cukup mencuri pembicaraan mereka, Sulung cepat-cepat meninggalkan pondok sebelum mereka mengetahui keberadaannya.

Esok paginya Sulung dan Bungsu terlihat sibuk mengumpulkan beberapa batang bambu yang cukup panjang ukurannya. Setelah batang bambu terkumpul, kemudian mereka meruncingi ujung-ujung bambu itu tanpa henti. Pada malam hari mereka mulai mengangkut batang-batang bambu tersebut mendekati pondok raksasa Gergasi. Dan, menjelang tengah malam barulah semua bambu dapat tersangkut.

Ketika itu suasana pondok mulai sepi, pertanda raksasa laki-laki itu sudah tertidur. Sulung dan Bungsu mulai menancapkan bambu-bambu tersebut di bawah pondok, tepat di depan anak tangga pintu keluar dan di bawah jendela. Ujungujung bambu yang sangat runcing terlihat berderet merata menatap langit. Setelah semuanya beres, Bungsu bersembunyi di atas pohon tidak jauh dari pondok, sedangkan Sulung mulai berteriak.

“Tin-tin . . . oit . . . oit . . . tin . . . tin . . . oit .. . oit.. .. " Sulung mulai mengubah suara menyerupai hantu won tin-tin.

“Tin ... tin ... oit ... oit .. . tin ... tin ... oit .. . oit .... " Suaranya semakin nyaring.

Kedua raksasa mulai terbangun.

“Lempar tumpi, cepat!" kata Gergasi

“Tin .. . tin .. . oit ... oit ... tin ... tin ... oit ... oit ... !”

Buru-buru istrinya melempar tumpi ke jendela.

“Tin ... tin ... oit ... oit ... tumpinya tidaaaak enak!"

“Lempar ayam! Lekas! Lempar!" Gergasi ketakutan.

"Tin .. . tin ... oit .. . oit .. . tidak mauuu ... ayam."

“Lempar semua makanan! Semuanya ... !”

Gergasi dan istrinya sibuk melempar semua makanan yang ada ke luar jendela, tetapi Sulung tetap berteriak-teriak.

“Tin ... tin ... oit ... oit! Tin .. . tin ... oit ... oit .. . aku tidak mau makanaaaaan ini! Makanannya tidak enaaak!”

Kedua raksasa itu ketakutan, mereka berebut menggulung diri di dalam tikar.

"Tin ... tin ... oit ... oit ... aku mau makanan enaaak! Makan Gergasi lakiii-biniii!" suara Sulung semakin nyaring.

Gergasi dan istrinya berebut keluar dari tikar, mereka berlari menuju pintu. Di luar malam begitu gelap, sang dewi malam tampak enggan menampakkan dirinya malam itu. Suasana seperti itu membuat Gergasi dan istrinya tidak melihat bambu-bambu yang terpasang di bawah pintu tangga sehingga begitu mereka menuruni anak tangga dengan terburu-buru, terjatuhlah keduanya, tubuh mereka tertancap bambu-bambu tersebut.

“Aaaa ... aaaahhhggg ... ," erangan mereka begitu nyaring mengagetkan semua penghuni hutan. Sulung mengajak adiknya segera menjauhi tempat tersebut. Kakak beradik itu berlari kencang sejauh-jauhnya. Suara kesakitan kedua raksasa itu masih terdengar dari kejauhan. Sampai di suatu tempat yang mereka anggap aman, mereka berhenti melepaskan Ieiah. Sayup-sayup suara Gergasi dan istrinya masih sesekali terdengar. Namun, setelah menjelang pagi, suara rintihan kesakitan Gergasi tidak terdengar lagi.

Rasa penasaran membuat kedua bersaudara itu mulai menaiki puncak pohon mencari arah pondok Gergasi. Setelah pondok terlihat dari kejauhan, kemudian mereka berjalan menuju arah pondok. Hutan terasa sangat sunyi dan mencekam, burung-burung yang biasa berkicau riang kini tidak terdengar sama sekali. Ketika hampir mendekati pondok, Sulung dan Bungsu berjalan mengendap-endap tanpa suara. Dilihatnya sebuah pohon besar untuk tempat berlindung dan mengamati keadaan pondok. Dari kejauhan tampak tubuh kedua raksasa tergeletak tidak jauh dari pondok. Didekatinya tubuh kedua raksasa yang sudah kaku dengan tubuh yang penuh tancapan bambu. Diperiksanya dengan seksama. Setelah betul-betul yakin bahwa kedua raksasa itu telah tewas, masuklah Sulung dan Bungsu ke dalam pondok. Mereka menuju ke ruangan tempat para tawanan dikurung. Betapa gembiranya para tawanan setelah mendengar bahwa kedua raksasa jahat itu telah tewas.

“Horeee, kita sekarang bebas!" teriak mereka.

“Kita bebaaas!" para tawanan saling meluapkan kegembiraan.

“Nak, sekarang carilah kunci kurungan ini dalam kamar Gergasi!"

“Baiklah, Pak," kata Sulung.

Setelah dicarinya cukup lama, akhirnya kunci itu ditemukan juga di bawah banta!. Ternyata ada tiga buah kunci, dipikulnya kunci-kunci yang cukup besar itu berdua dengan adiknya. Lalu, dibukanya kurungan para tawanan dengan salah satu kunci itu. Setelah pintu kurungan terbuka, bergembiralah para tawanan itu dengan mengangkat Sulung dan Bungsu sambil mengelu-elukan keduanya.

"Inilah pahlawan-pahlawan kecil kita!"

“Hidup Sulung dan Bungsu!”

Mereka berdua dibawa berkeliling pondok sambil melihat mayat Gergasi dan istrinya dan bersorak sorai. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara-suara yang datang . dari bagian bawah pondok persis dari arah belakang. Kemudian, mereka menuju ke sana dan betapa terkejutnya setelah melihat bahwa di.ruang tersebut juga terdapat dua buah kurungan yang berisi penuh dengan manusia. Mereka terlihat pucat dan lemas bahkan ada beberapa yang pingsan karena kelaparan, tetapj kondisi mereka masih utuh dan tidak ada yang cacat.

“Tolooong ... ! Tolonglah kami ... !" teriak mereka.

“Sulung ... ! Bungsu ... !" tiba-tiba ada suara dari dalam kurungan dan Sulung sangat mengenal suara itu.

“Bapaaaak ... !" teriak Sulung dan Bungsu setelah melihat di antara para tawanan itu juga terdapat bapak dan ibu tirinya.

“Maafkan Ibu . . . ya, Nak! Ibu menyesal atas perbuatan jahat yang telah Ibu lakukan kepada kalian!" teriak ibu tirinya, bergegas Sulung teringat dengan kunci yang diambilnya tadi.

“Di mana kunci-kunci tadi? T along ... to long ambilkan di dalam pondok itu pasti kunci kurungan-kurungan ini," kata Sulung.

Beberapa di antara mereka bergegas mengambil kunci dan membawanya ke tempat Sulung. Ternyata, setelah dicoba, kunci-kunci tersebut cocok, maka dibukalah kedua kurungan itu dan berhambur1ah mereka keluar. Sulung dan Bungsu berpelukan dengan bapak dan ibu tirinya.

“Maafkan Ibu ya Nak! Ibu sangat jahat kepada kalian. Jika kalian membenci Ibu, biarlah Ibu rela tetap di dalam kurungan ini, kuncilah dari luar! Ibu rela menebus kesalahan Ibu," kata ibu tirinya mengiba.

“Sudahlah Bu, yang lalu kita lupakan saja, yang penting Ibu sekarang sudah menyadari kesalahan. Ibu dan kita bisa berkumpul kembali, kami sudah memaafkan Ibu," kata Sulung disaksikan para tawanan yang lain. Kemudian, Sulung dan Bungsu mengajak semua tawanan untuk tinggal bersama di dalam pondok Gergasi yang sangat besar dan panjang itu. Mereka pun setuju sehingga terbentuklah sebuah keluarga besar yang tinggal dalam sebuah rumah yang sampai sekarang dikenal dengan nama Lamin.