Lompat ke isi

Ginde Sugih

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Ginde Sugih

Evi Susanti

Di daerah hulu Sungai Musi, tepatnya Sungai Tuman, hiduplah seorang lelaki yang gagah perkasa bernama Ginde Sugih. Ia adalah orang kaya dan orang yang pertama menetap di Desa Toman. Walaupun kaya, ia selalu rajin bekerja, terutama menanam pohon gambir di tanah yang ia miliki.

Pada mulanya Ginde Sugih bernama Samidang Sari. Ia adalah seorang pemuda keturunan pelarian laskar Kerajaan Majapahit ketika mereka menyerang Kerajaan Sriwijaya. Karena kalah menghadapi Kerjaan Sriwijaya, laskar Majapahit pun lari pontang-panting dan banyak yang tersasar ke pelosok pedalaman Sumatera untuk menyelamatkan diri.

Samidang Sari berubah namanya menjadi Ginde Sugih setelah ia berhasil membangun wilayah Des a Toman yang semula sebagai daerah tidak berpenghuni menjadi daerah yang terkenal dengan hasil buminya, yaitu gambar. Nama Ginde Sugih sebenarnya pemberian warga Desa Toman. Ginde artinya 'pemimpin wilayah' yang sekarang dikenal dengan istilah kepala desa dan Sugih artinya 'kaya'. Jadi, Ginde Sugih diartikan sebagai kepala desa yang kaya. Memang, kenyataannya Ginde Sugih adalah seorang yang mempunyai kekayaan berlimpah. Selain kaya, Ginde Sugih adalah orang yang disegani di seluruh wilayah Toman dan sekitarnya.

Ketika Ginde Sugih masih bujang, wajahnya tampan sekali. Selain itu, berkat ketekunannya dalam mengelola sumber kekayaan alam, Ginde Sugih pun menjadi orang yang sangat kaya. Jadi, tidaklah mengherankan jika banyak gadis-gadis desa yang tertarik kepadanya. Banyak gadis-gadis desa yang ia permainkan cintanya oleh Ginde Sugih. Ada di antara mereka yang sudah ditiduri dan yang lebih menyedihkan lagi, gadis-gadis yang pernah ia tiduri semuanya anak petani miskin. Jadi, mereka tidak bisa melawan karena derajat Ginde Sugih lebih tinggi dari mereka. Hal tersebut tidak berlangsung lama karena pada suatu hari Ginde Sugih melihat ada seorang gadis cantik anak bangsawan dan ia menyukai gadis itu. Lalu, Ginde Sugih meminta pamannya untuk melamar gadis itu karena orang tua Ginde Sugih sudah meninggal.

Paman Ginde Sugih pergi ke rumah bangsawan itu untuk memenuhi permintaan Ginde Sugih melamar gadis itu. Ayah gadis itu menerima lamaran Ginde Sugih karena ia merasa dirinya sudah tua dan putrinya belum menikah. Jadi, ia ingin melihat putrinya menikah sebelum meninggal.

Pada malam harinya sang ayah menceritakan hal tersebut kepada putrinya. "Anakku, tadi siang pamannya Ginde Sugih melamanmu dan aku menyetujuinya. Bagaimana dengan engkau, Anakku. Apakah engkau menerima lamaran tersebut?” tanya sang ayah.

Gadis itu hanya mengangguk saja. Sebenarnya, ia tidak menyukai Ginde Sugih walaupun ia tahu Ginde Sugih adalah pemuda tampan, rajin dalam pertanian, dan tekun. Ginde Sugih adalah pemuda yang sangat disegani, kata-katanya selalu didengarkan oleh orang lain, baik itu oleh orang tua maupun yang sebaya dengannya. Tetapi, keputusan ayahnya harus ia patuhi. Ia menyadari jika tidak mengindahkan kata-kata ayahnya, ia akan menjadi anak yang durhaka dan itu yang paling ia takuti.

Akhirnya, sampailah pada hari pernikahan seperti yang telah ditetapkan. Di desa tersebut diadakan pesta besar-besaran. Seluruh hiburan terkenal di daerah itu ditampilkan silih berganti. Selama tujuh hari tujuh malam penduduk desa berpesta. Maklum saja Ginde Sugih adalah orang yang herhasil di kampungnya.

Sejak menikah, Ginde Sugih tidak mengizinkan istrinya pergi ke kebun gambir. Karena ia tidak mau istrinya yang cantik itu akan berubah kulit dan tubuhnya karena pengaruh sengatan sinar matahari. Dia beranggapan istrinya merupakan wanita tercantik di seantero jagad. Karena kecantikan istrinya itu, ia akan dikenal banyak orang. Dia tidak ingin kulit istrinya yang putih bersih berubah menjadi hitam karena hal itu akan mengurangi kecantikan istrinya.

Suatu hari saat Ginde Sugih mengadakan perdagangan ke Palembang, istri Ginde Sugih sedang bicara dengan pembantu setia Ginde Sugih.

“Mbok, aku merasa kalau sekarang aku mulai menyukai Ginde Sugih," ucapnya.

“Apakah sebelumnya Nyai tidak menyukai Tuan Ginde Sugih?" tanya pembantunya pura-pura tidak tahu.

“Waktu itu, iya Mbok, sebab saya dengar Ginde Sugih itu kekasihnya banyak, tetapi setelah kami menikah aku lihat ia begitu setia dan sayang kepadaku."

“Kalau memang begitu Mbok bersyukur karena sekarang ini Mbok juga melihat Ginde Sugih sudah banyak berubah," balas Mbok itu.

Lalu, tiba-tiba salah satu pembantu lainnya datang dengan tergopoh-gopoh memberitahukan bahwa Ginde Sugih dan rombongannya sudah datang. Istri Ginde Sugih bergegas menyambut kedatangan suaminya.

Di gapura rumah mereka Ginde Sugih tersenyum melihat istrinya menyambut kedatangannya.

“Dinda seperti janjiku kepadamu, aku sudah membawa orang dari Palembang untuk meramu gambir di sini dan kalian dapat belajar dengannya,” ujar Ginde Sugih

“Salam Nyai," saya istri Ginde Sugih. Perempuan tua itu hanya mengangguk menyambut salam dari istri Ginde Sugih.

“Apakah Nyai bersedia mengajarkan aku dan penduduk desa sini untuk belajar meramu gambir?" tanya istri Ginde Sugih.

"Iya, saya bersedia.”

Rombongan itu pun masuk ke rumah yang terlihat paling besar dan mewah di kampung itu.

Mulai keesokan harinya istri Ginde Sugih dan beberapa penduduk desa itu belajar meramu gambir.

Tanpa terasa dua bulan kemudian istri Ginde Sugih sering muntah-muntah. Ia suka makan yang asam-asam. Suatu malam ia berkata kepada suaminya.

“Kanda, akhir-akhir ini aku sering pusing-pusing dan mual. Pertanda apakah ini?"

“Mungkin ini suatu pertanda bahwa kita akan segera mendapat momongan, Dinda," ujar Ginde Sugih.

“Apakah iya, Kanda?"

“Begitulah kata orang tua-tua kita," ucap Ginde Sugih sambil memeluk istrinya.

Tampak binar-binar kebahagiaan di raut kedua suami-istri itu. Ternyata, hal tersebut benar. Menurut dukun beranak yang ada di kampung itu, istri Ginde Sugih memang benar-benar hamil.

Hari demi hari menunggu kelahiran sang bayi dilaluinya dengan belajar meramu gambir. Karena seringnya ia belajar meramu, tangannya yang mulus itu berubah menjadi kasar. Akan tetapi, hal tersebut tidak sia-sia saja karena istri Ginde Sugih sudah mahir meramu gambir.

Tidak terasa waktu sembilan bulan sudah berlalu. Menurut hitungan, sepuluh hari lagi istri Ginde Sugih akan segera melahirkan. Namun, sekarang sudah menginjak hari kedua puluh lima, tetapi bayi mereka belum juga lahir.

“Kanda, mengapa bayi kita belum juga lahir, padahal menurut Mbah Dukun sudah saatnya bayi kita lahir?" tanya istrinya suatu hari.

“Sabar saja, Dinda! Sebentar lagi anak kita pasti akan lahir.”

Tiba-tiba ....

“Aduh, perutku sakit, Kanda," rintih istrinya.

"Tunggu, Dinda. Aku akan segera memanggil Nek Unah," ujar Ginde Sugih sambil bergegas keluar mencari salah satu pembantunya untuk menemani istrinya.

Karena terlalu lama menunggu kedatangan Nek Unah dan suaminya, akhirnya istri Ginde Sugih melahirkan. Ginde Sugih sampai di rumah, ia begitu terkejut karena melihat istrinya sudah melahirkan. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat Ginde Sugih lebih terkejut lagi. Ternyata anak yang dilahirkan istrinya tidak sempurna atau buta. Ketika menerima kenyataan itu Ginde Sugih lalu pergi ke pinggir Sungai Musi. Dia menangis meraung-raung di sana.

“Tuhan apakah semua ini balasanmu terhadap dosa-dosaku!" pekik Ginde Sugih. Suaranya menggelegar memecahkan keheningan sungai.

Angin berhembus kencang. Sungai yang tadinya tenang tampak bergelombang. Pohonpohon seakan-akan merunduk seperti hendak tumbang. Tiba-tiba saja ada seorang nenek yang entah dari mana datang menghampirinya.

“Cucuku, kau harus sabar menghadapi cobaan ini. Terima semua ini. Kau harus ingat semua perbuatanmu sebelum menikah dulu. Anggap ini merupakan balasan dari Yang Kuasa,” ujar nenek itu.

Setelah mendengar perkataan nenek itu, Ginde Sugih lalu teringat perbuatannya dahulu. Ia sangat menyesali perbuatannya itu. Beberapa kali genggaman tangannya ia hempaskan ke tanah. Terlihat ada tetesan darah segar akibat benturan kepalan tangan dengan tanah yang begitu kuatnya. Kepala Ginde Sugih terkulai layu. Seolah-olah tubuhnya sudah tidak berdaging lagi. Sejuta penyesalan menggelayut di kepalanya, menghempaskan sejuta duka di relung dadanya. Air mata pun menganak sungai di wajahnya membentuk lukisan duka.

Ketika Ginde Sugih mengangkat kepalanya untuk mengucapkan sesuatu kepada nenek itu, dia tidak melihat lagi nenek itu. Aneh bisik hatinya. Lalu, ia berpikir mungkin nenek itu adalah seorang dewi yang menjelma menjadi manusia.

“Mungkin ia bertugas untuk menasihatiku atas dosa-dosa yang telah kuperbuat sebelum ini?" guman Ginde Sugih di dalam hati.

Setelah itu, dengan langkah yang terasa amat berat Ginde Sugih bergegas pulang. Tubuhnya seolah-olah tidak berotot lagi.

Sesampainya di rumah, ia mendapati istrinya sedang menangis di dalam kamar.

“Maafkan aku, Kanda," ujar istrinya.

“Apakah ini merupakan balasan dari perbuatanku selama ini." Ginde Sugih merangkul istrinya.

Istrinya masih tetap menangis. Sejuta perasaan tidak mengerti menyelimuti relung-relung hatinya. Sedih, kecewa, marah, dan malu menyatu membaur berkecamuk di dadanya. Mengapa semua ini dapat terjadi?

“Sekarang kita rawat anak itu agar tumbuh seperti anak-anak lainnya. Aku akan memberi ia nama Aria Cikok," ujar Ginde Sugih seolah menemukan kekuatan.

“Apakah kita akan mengadakan hajatan untuk menyambut kelahiran anak kita ini, Kanda?” tanya istrinya.

"Tentu saja.”

“Tapi apakah Kanda tidak malu dengan orang-orang?"

“Kau harus buang jauh-jauh rasa malumu itu karena itu adalah anak kita sendiri," jawab Ginde Sugih bijaksana.

Istri Ginde Sugih semakin membenamkan wajahnya di dada suaminya itu. Ia bagaikan mencari pembuluh duka yang baru melanda dirinya.

Ginde Sugih merawat Ario Cikok dengan penuh kasih sayang. Ia dengan sabar mengajarkan Ario Cikok berjalan, bicara, dan hal-hal lain, meskipun pertumbuhan Ario Cikok tergolong sangat lambat.

Ketika Ario Cikok menginjak usia dua tahun, dia mendapat adik yang diberi nama Ario Bulok. Akan tetapi, keadaannya tidak jauh berbeda dengan Ario Cikok. Ario Bulok pun cacat, yaitu salah satu matanya buta. Bahkan, pertumbuhannya jauh lebih lambat. Hal ini membuat istrinya sangat sedih, ia sangat terpukul. Karena sering menangis, badannya kelihatan kurus. Ia tidak terlihat secantik dulu lagi.

Pada saat Ario Cikok berusia tujuh tahun, ia sudah diperbolehkan bermain di luar rumah. Akan tetapi, ketika ia bermain di luar rumah, banyak kejadian-kejadian baru yang ia temui. Pada saat akan ikut bermain dengan anak-anak sekitar rumahnya, ia dicemooh karena kakinya yang cacat dan pada saat ia diajak bermain ternyata anak-anak tersebut mempunyai niat jahat kepadanya.

Suatu hari Ario Cikok bermain lebih jauh dari rumahnya bersama-sama teman-temannya. Lalu, Ario Cikok dilemparkannya ke Sungai Gelung Nada. Untunglah, pada saat itu ada seorang nelayan miskin yang melihatnya. Nelayan itu langsung menolong Aria Cikok dan mengantarkannya pulang ke rumah.

"Terima kasih, engkau telah menolong anakku," ucap Ginde Sugih.

“Ah .... Tidak perlu berterima kasih, Tuan. T olong-menolong itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia," nelayan itu merendahkan diri.

“Sebagai rasa kasihku, aku menghadiahkan Sungai Gelung Naga itu kepadamu. Barang siapa yang mengambil ikan di sana tanpa seizinmu, maka orang tersebut akan celaka," ujar Ginde Sugih.

“Terima kasih Tuan," nelayan itu dengan hidmat menerima pemberian itu.

Lalu, nelayan itu pulang ke rumahnya. Di jalan, nelayan itu sangat bingung. Dia berpikir mengapa Ginde Sugih mau menghadiahkan sungai itu kepadanya. Padahal, semua orang tahu bahwa di sungai itu sama sekali tidak ada ikannya.

Untuk menghilangkan rasa penasarannya itu, ia lalu memancing di sungai itu. Ternyata di sana banyak sekali ikannya. Hatinya gembira bukan main. lalu, ia mengabarkan hal tersebut ke nelayan-nelayan di sekitar rumahnya. Banyak nelayan yang memancing di sana. Ada satu orang nelayan yang tidak percaya akan hal itu. Diam-diam nelayan itu mencobanya dan ternyata akhirnya ia jatuh ke dalam sungai tersebut.

“Mengapa engkau melamun anakku?" tanya istri Ginde Sugih kepada Aria Bulok yang sedang duduk melamun.

“Aku merasa kasihan dengan Kak Ario Cikok, Mak. lzinkan aku bermain bersama dengannya di luar," Ario Bulok memelas.

Setelah mendengar hal tersebut, kedua kakak adik itu merasa sangat senang. Pada pagi harinya ketika akan berangkat, mereka berpamitan dengan Ginde Sugih, ayah mereka.

“Kalian boleh bermain, tetapi aku menyarankan agar kalian bermain ke arah utara. Nanti kalian akan menemukan mata air di sana. Hentakkan kaki kalian berbarengan. Nanti akan terbentuk sebuah sungai yang jernih," ujar Ginde Sugih.

“Baiklah Ayah," ucap kedua anak itu serempak.

Aria Cikok dan Aria Sulak pun berjalan ke arah utara. Mereka dikawal pengasuh setia mereka. Satu kilometer sebelum mata air itu, Aria Bulok tersandung batu. Oleh sebab itu, sungai yang dikatakan oleh Ginde Sugih tadi dijadikan patokan untuk menamai desa-desa satu kilometer dari sungai itu. Sepanjang perjalanan mereka melihat betapa rimbunnya pepohonan. Burung-burung ramai berdendang membuat suasana sejuk dan menyenangkan. Pengasuh mereka mengatakan kepada kedua anak itu bahwa pohon-pohon dan tanaman yang ada ini adalah satu usaha ayah mereka dengan penduduk kampung sehingga alam di desa mereka terasa keasriannya dan penduduk kampung pun dilarang untuk merambah hutan atau menebang pohon sembarangan. Penebangan hutan harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan tetua adat, salah satunya, yaitu orang tua mereka.

Ternyata apa yang dikatakan ayah mereka itu benar. Mereka menemukan mata air yang dikatakan oleh ayah mereka. Ario Cikok dan Ario Bulok segera menghentakkan kaki mereka secara berbarengan, maka sekejap mata terbentuklah sebuah sungai yang jernih. Di sungai itu mereka bermain sepuas-puasnya. Tanpa disadari hari beranjak sore. Saat hari hampir sore ada seorang pengembara yang melewati sungai itu dan melihat mereka sedang bermain. Pengembara itu mendekati pengasuh Ario Cikok dan Ario Bulok. Lalu, ia mengatakan bahwa ia kehabisan air. Pengasuh itu lalu menceritakan hal tersebut kepada Ario Cikok dan Ario Bulok.

“Suruh ia mengambil air di sini saja!" ujar Ario Cikok.

Pengasuh itu lalu menyuruh pengembara untuk mengambil air di sana. Pengembara itu sangat senang. Ia sangat berterima kasih kepada mereka. Kemudian, ia melanjutkan perjalanannya. Saat tiba di rumah, kedua anak itu menceritakan kejadian yang mereka temukan kepada kedua orang tua mereka.

Keesokan harinya Ginde Sugih mendapat kabar dari para pekerjanya bahwa kebun gambirnya siap dipanen dan ternyata panen tersebut sangat melimpah. Hasil panen tersebut ia jual ke Palembang dan hasilnya sangat memuaskan. Ia mendapat banyak uang dari penjualan gambir tersebut. Namun, ia tidak ingin mengumpulkan banyak uang seperti dulu lagi. Uang yang ia dapatkan dipergunakan untuk menyejahterahkan penduduk desa tersebut, membangun jalan, membuat jembatan, membuat rumah ibadah, dan membuat parit bahkan untuk penanaman tanaman baru di area yang masih kosong.

Suatu hari seperti biasa Ginde Sugih beserta rombongannya pergi ke Palembang. Di sana ia membeli banyak bibit ikan. Sesampainya di Toman, lalu ia meminta izin kepada istrinya untuk pergi ke Desa Kilometer Sepuluh. Ia akan menaburkan bibit ikan yang telah dibelinya di sebuah telaga yang sangat luas. Istrinya mengizinkannya.

Ia berjalan ke sana. Ketika sampai, ia langsung menaburkan bibit ikan tersebut. Pada saat Ginde Sugih akan pulang, ia menancapkan sebuah papan di pinggir telaga. Di papan itu terpampang tulisan yang menyatakan bahwa siapa pun boleh mengambil ikan-ikan di telaga itu. Sejak itu desa tersebut tidak lagi kekurangan ikan dan ikan yang ditaburkan Ginde Sugih di telaga itu berkembang biak sampai ke daerah-daerah lain. Penduduk desa menamakan ikan itu dengan nama ikan Toman.

Beberapa tahun kemudian, Ario Cikok dan Ario Bulok tumbuh menjadi pemuda yang tampan, baik, dan ramah. Akan tetapi, mereka berdua masing-masing mempunyai kecacatan. Tidak satu pun gadis yang mau dengan mereka. Hal itu membuat mereka sangat sedih. Untuk menghilangkan kesedihan hati anak-anaknya, Ginde Sugih mengajak mereka berdua berdagang di Palembang. Ginde Sugih berpikir mungkin dengan jalan ini kedua anaknya dapat menemukan jodoh mereka di daerah lain.

Karena sudah memiliki bakat dari sang ayah untuk berdagang, kedua pemuda itu sangat pintar berdagang. Banyak saudagar yang tertarik dengannya. Walaupun dengan mata yang cacat, mereka berdua dapat mengetahui apakah orang tersebut membohongi mereka atau tidak. Apa yang telah dilakukan oleh orang tuanya diteruskan oleh kedua anak itu.

Suatu hari Aria Cikok dan Aria Bulok berdagang gambir ke Palembang. Kali ini mereka tidak ditemani oleh sang ayah. Pada saat pulang perahunya rusak di Desa Bumi Ayu. Saat memperbaiki perahunya, Aio Cikok mendengar suara seorang gadis yang sangat merdu. Tampaknya gadis itu tengah mendendangkan sebuah lagu. Aria Cikok mencari-cari dari mana asal suara itu. Lama ia mencari, tetapi gadis itu tidak ia temukan. Ketika mendengar suara yang sangat mendayu-dayu, akhirnya Aria Cikok jatuh cinta kepada gadis itu.

Ketika sampai di rumahnya, ia menceritakan kejadian itu kepada ayahnya. Ia meminta ayahnya untuk melamar gadis itu.

“Ayahanda, di Desa Bumi Ayu, Ananda mendengar suara gadis yang sangat merdu. Tampaknya Ananda jatuh hati kepadanya. Karena Ananda sudah dewasa, sudilah Ayahanda melamarnya untuk Ananda," pinta Aria Cikok kepada Ginde Sugih.

“Baiklah, akan aku usahakan," ucap Ginde Sugih.

Ginde Sugih memerintahkan beberapa orang pembantunya untuk mencari tahu siapa gadis itu. Beberapa hari kemudian para pembantu yang ditugaskan oleh Ginde Sugih itu mengabarkan bahwa gadis itu bernama Dayang Rasiti, anak dari Ginde Muara Bayo, penguasa Bumi Ayu.

Ginde Sugih pun mengajak anak dan istrinya untuk mampir ke rumah Ginde Muara Bayo sehabis pulang dari Palembang. Saat di rumah Ginde Muara Bayo, mereka disambut ramah oleh Ginde Muara Bayo dan istrinya. Lain halnya, dengan Dayang Rasiti, gadis itu merasa bahwa dirinya orang yang cantik dan terhormat. Jadi, ia beranggapan bahwa tidak ada gunanya menghormati orang lain.

Ketika itu Dayang Rasiti akan mandi di sungai. Ia tidak melibatkan diri dalam percakapan orang tuanya dengan Ginde Sugih. Ia langsung menuju sungai tempat yang biasa ia mandi. Kebetulan saat itu Ario Cikok dan Ario Bulok tidak ikut kedua orang tuanya naik ke rumah Ginde Muara Bayo. Mereka berdua dengan beberapa pembantunya hanya menunggu di perahu. Pada saat itulah Dayang Rasiti melihat mereka. Ia sangat terkejut melihat tampang kedua kakak beradik itu, maka berpantunlah Dayang Rasiti mengejek Ario Cikok dan Ario Bulok.

Anak singkok anak belo
Anak buaya mati tecagak
Sikok cikok sikoknye bulok
Duduk temenung makan kerak

Ario Cikok tersinggung mendengarnya. Lalu ia bergegas naik ke rumah Cinde Muara Bayo dan langsung meminta ayahnta melamar Dayang Rasiti. Ginde Sugih pun mengatakan pada Ginde Muara Bayo bahwa ia bermaksud melamar anaknya, Dayang Rasiti. Mendengar hal itu Ginde Muara Bayo sangat terkejut. Ia tidak mungkin menikahkan anaknya dengan Aria Cikok yang cacat itu. Karena Ginde Sugih adalah orang yang sakti dan berpengaruh, ia terpaksa menerima lamaran tersebut dengan syarat Ginde Sugih harus menyediakan tebu sepanjang antan (sungai yang berada di dalam hutan), rotan sepanjang Sungai Musi, tungau (binatang yang kecil-kecil yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang), secanting (takaran sama dengan satu gelas), emas sepeti, dan sirih selebar tampah.

Ginde Muara Bayo berpikir bahwa Ginde Sugih tidak mungkin bisa memenuhi permintaannya dengan demikian anaknya, Dayang Rasiti, tidak akan menikah dengan Aria Cikok. Ketika mendengar hal tersebut, Ginde Sugih tidak merasa kaget bahkan ia merasa bahwa itu permintaan yang sangat mudah. Ginde Sugih pun menyetujui permintaan tersebut.

“Seminggu lagi aku akan datang membawa permintaanmu tadi," ujar Ginde Sugih sambil pamit pulang.

“Baiklah, aku tunggu janjimu," sambut Ginde Muara Bayo.

Seminggu kemudian, sesuai dengan waktu yang telah disepakati, Ginde Sugih beserta rombongannya datang ke rumah Ginde Muara Bayo. Ginde Muara Bayo sangat terkejut atas kedatangan Ginde Sugih dan rombongannya. Ginde Muara Bayo lalu memeriksa apa yang dibawa oleh Ginde Sugih. Ternyata, permintaan yang ia ajukan tidak kurang satu pun.

Sebagai ksatria lalu ia berkata, "Baiklah anakku dan anakmu akan segera menikah.”

Setelah mendengar hal itu, Dayang Rasiti sangat terkejut. Ia tidak menyangka bahwa permintaan yang begitu sulit dapat dipenuhi oleh Ginde Sugih. Dengan berat hati ia menyetujui permintaan ayahnya itu. Setelah itu, mereka berdua menikah. Diadakanlah keramaian yang besar-besaran di kedua tempat itu. Seluruh masyarakat, tua-muda, laki-laki-perempuan diundang, tidak ada yang tertinggal. Tidak tanggung-tanggung, penggembiranya pun didatangkan dari Palembang.

Setahun setelah Ario Cikok menikah, Ginde Sugih meninggal dunia. Seluruh hartanya diwariskan kepada kedua orang anaknya, Ario Cikok dan Ario Sulok. Akan tetapi, kedua orang anak itu memilih untuk membagi-bagikan harta itu kepada penduduk desa tersebut sehingga penduduk desa menjadi makmur dan semakin senang dengan keluarga Ginde Sugih. Tidak ada lagi yang berani mengejek Aria Cikok dan Aria Sulak. Mereka yang dulunya tidak senang berubah seratus delapan puluh derajat menjadi senang. Sahkan, banyak gadis yang ingin dinikahi oleh Ario Bulok, adik Aria Cikok.

Sampai sekarang berkat ketekunan Ginde Sugih dan penduduk kempung, daerah Toman tempat tinggal Ginde Sugih beralih nama menjadi Sabat Toman yang dikenal sebagai daerah penghasil gambir berkat banyaknya pohon gambir yang tumbuh di sana. Penduduk Sabat Toman pun tetap meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulu mereka, yaitu menanam pohon gambir baru dan memelihara lingkungan yang ada. Habitat ikan Toman pun hidup sampai ke beberapa wilayah. Konon kabarnya, siapa yang ingin menangkap ikan di Sungai Gelung Naga harus meminta izin dahulu kepada arwah nenek moyang pemilik sungai itu. Kalau tidak, ada saja kejadian yang tidak diinginkan menimpa mereka.