Gracel

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Data Penulis[sunting]

  • Nama  : Juriski O. Waruwu
  • Umur  : 23 tahun
  • Daerah Asal: Nias, Sumatera Utara
  • Profesi  : Guru dan Pendidik

Premis[sunting]

Gracel, seekor spesies burung beo nias, ingin mencari fakta tentang dirinya setelah selama dua tahun berada di dalam sangkar. Pertemuan Gracel dengan Bebe, Manu, dan Tumbao memberikan pandangan baru untuknya.

Lakon[sunting]

  1. Gracula Religiosa Robusta/Gracel
  2. Bebe si angsa
  3. Manu si ayam jago
  4. Tumbao si bangau

Lokasi[sunting]

Daerah Kecamatan Lahusa, Pulau Nias

Cerita Pendek[sunting]

Rencana Keluar Sangkar[sunting]

Sorot matanya tajam menyimpan suatu harapan. Terwujud pada iris matanya yang coklat pekat sambil menoleh ke arah tuannya yang bernama Toho. Tubuhnya hanya sepanjang penggaris yang biasa dibawa oleh siswa. Tapi siapa sangka, ia justru jauh lebih besar jika dibandingkan dengan burung beo sejenisnya. Belum lagi paruh kuningnya yang kokoh dan bulu hitam mengkilap menambah elok penampilannya. Dialah Gracel, si Beo endemik dari kepulauan Nias yang luhur.

Gracel sangat beruntung sebab Toho sangat perhatian padanya. Buah-buah segar selalu tersedia setiap pagi dan sore. Sangkarnya memang tidak terlalu mewah dan besar, namun setidaknya ia dapat melihat dunia dan cakrawala dengan bebas. Toho juga rutin membersihkan badan sekaligus kandangnya. Semua demi kenyamanan Gracel di dalam sangkar tersebut.

Sketsa Graciel, si beo nias dalam sangkarnya

Gracel benar-benar disenangi oleh Toho karena satu kemampuan hebatnya. Kemampuan tersebut ialah mampu menirukan ucapan orang-orang. Toho pun sering melatih Gracel berkata-kata dalam bahasa Nias atau Li Niha. Sampai sekarang Toho melatih Gracel agar mahir menirukan perkataannya. Tidak banyak beo berbakat di desa Hiliobolata, atau mungkin bahkan di Kecamatan Lahusa.

Selain bersama Toho, Gracel juga ditemani Manu si ayam jago. Mereka berdua sesekali berbincang bila ada kesempatan. Maklum, Manu lebih sering berada dalam kandang di bawah kaki Omo Hada, yaitu rumah panggung khas suku Nias. Jadi biasanya mereka berjumpa menjelang matahari terbenam. Manu mempunyai sifat yang cukup santai dan sedikit perhatian, terutama pada Gracel.

Pada suatu kesempatan, Manu hendak menemui Gracel. Manu heran mengapa hari ini Gracel tidak banyak bersuara. Maka ia memulai obrolan dengan Gracel.

“Hei, Grezy! Kok kelihatannya dirimu diam-diam saja? Kamu bisa ceritakan padaku jika ada masalah. Wokokokoko.”

Hmmm. Kemarin aku diejek oleh Bebe si Angsa. Dia bilang kicauku tidak semerdu burung di seberang sawah. Terus dia juga bilang kalau kemampuan menirukan suaraku akhir-akhir ini payah.” keluh Gracel.

“Yah, yang begitu mengapa terlalu dipikirkan. Itu kan hanya komentar pedas saja. Mungkin saja dia iri padamu. Wokokokoko.” ucap Manu dengan santainya.

“Sebenarnya aku minder. Apa suaraku emang separau itu ya? Kenapa kicauku tidak semerdu spesies lainnya? Akankah nanti majikanku tidak menyayangiku lagi karena aku lambat belajar?. Huhuhu.” Gracel semakin murung.

“Dirimu hanya kurang leluasa melihat dunia ini, Grezy. Wokokokoko. Dirimu mesti bertemu teman lamaku, Tumbao si Bangau yang bijak. Dia pasti akan mengungkapkan suatu rahasia padamu.”

“Iya, kah? Aku ragu dapat pergi ke sana. Sangkar ini sudah nyaman bagiku, Nu. Kalaupun aku paksakan diri untuk keluar, bagaimana caranya?” tanya Gracel.

“Kalau dirimu memang mau keluar, itu urusan yang gampang. Wokokokoko. Dirimu kan punya paruh yang kokoh. Nanti diriku bantu dorong pintu sangkarnya dari luar. Sesekali kau dapat terbang bebas lalu akan menemui burung beo lainnya.” jelas Manu.

“Wah! Boleh banget, Nu. Aku siap! Aku siap terbang ke sana! Eh, aku harus menjumpai Tumbao di mana? Jauh tidak, ya?” Gracel mulai cemas.

“Cukup dekat. Wokokokoko. Terbanglah ke arah tenggara menuju daerah Bawozihono. Di sana ada sebuah pantai berkarang yang indah. Dirimu paham?”

Mendengar penjelasan tersebut membuat Gracel semakin cemas.

“Ba-ba-baiklah, Manu. Aku paham.”

“Oke. Lusa akan aku datangi lagi dirimu. Sampai berjumpa lagi, Grezy! Pastikan kau sudah makan sampai kenyang ya! Wokokokoko.” Manu lalu pergi berjalan santai sambil mengibaskan sayapnya.

Akan Kembali[sunting]

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sore itu cukup cerah akibat terik matahari. Maklum saja, desa Hiliobolata memang dekat dengan pantai. Lebih jelasnya desa itu berada di garis pantai bagian timur pulau Nias. Kali ini sangkar di mana Gracel berada telah digantung di teras. Toho sengaja meletakkannya di tempat itu agar Gracel dapat belajar menirukan perkataan orang-orang yang lalu-lalang.

Namun, entah mengapa Gracel tidak berkicau bahkan enggan mengeluarkan teknik andalannya. Dia tampak tidak bersemangat. Beberapa kali hanya terbang dekat, berpindah dari satu batang ke batang lainnya. Gracel jelas gelisah, memantau-mantau situasi sekitarnya. Seakan-akan dia tidak sabar melarikan diri.

Toho datang membawa setengah potong pisang ambon yang nikmat, lalu segera memasukkannya ke dalam sangkar Gracel. Kemudian Toho mengisi ulang air minumnya perlahan-lahan.

“Gracel. Itu nama yang indah untuk burung beo sepertimu. Nama lengkapmu Gracula Religiosa Robusta. Terlalu panjang, bukan? Oleh sebab aku beri nama panggilanmu Gracel.” ucap Toho sambil menyemprotkan cairan ke badan Gracel.

“Burung beo sepertimu langka sekali sekarang ini. Aku tidak tahu berapa lagi yang tersisa di bumi ini. Aku tidak akan menjual semahal apapun dirimu. Justru kalau bisa, aku akan membudidayakanmu.”

Walau tidak memahami apa yang dikatakan oleh Toho, Gracel hanya bisa menatap penuh harap. Andai saja dia bisa berinteraksi bebas dengan tuannya itu. Belum lagi kondisinya yang semakin tidak bisa percaya diri lagi. Dia merespons Toho dengan mengepak-ngepakkan sayapnya seolah-olah memberi tanda riang.

Tidak lama setelah menyantap makanannya, datanglah Manu. Tanpa ragu dan basa-basi Manu langsung terbang ke arah sangkar dan meraih pintunya. Sempat terjadi kepanikan akibat Manu yang kehilangan keseimbangannya. Namun kerja sama antara Gracel dan Manu membuat pintu kecil dari lidi tipis bisa terangkat. Kini Gracel punya kesempatan buat pergi dan terbang bebas.

“Mantap! Tunggu apalagi, Grezy? Kepakkan sayapmu. Temuilah Tumbao di pantai Bawozihono. Jangan lupa sampaikan salamku untuknya ya. Wokokokoko.” sahut Manu dengan girang sambil terjun kembali ke lantai.

Gracel melangkah perlahan-lahan, tarikan kepaknya semakin kecang. Mulailah ia terbang!

“Wah, aku tidak menyangka bisa begini! Terima kasih, Manu. Aku segera melintasi arah tenggara.”

“Oke, Grezy. Berhati-hatilah burung beo pemberani! Dirimu akan tahu fakta yang sebenarnya saat kamu bertemu dengan Tumbao. Wokokokoko. Oke. Ingatlah perjalananmu kembali ke rumah ini!” ucap Manu sambil melihat Gracel yang begitu semangat terbang menjauh. Maklum ini pertama kalinya Gracel meninggalkan rumah Toho setelah dua tahun.

Pertemuan dan Fakta[sunting]

Dua hari sudah Gracel menyusuri langit indah kawasan Lahusa. Kecamatan Lahusa dibagi atas 23 desa, dan tujuan Gracel adalah desa Bawozihono. Di sana ada sebuah pantai yang menjadi titik pencariannya untuk bertemu Tumbao si bangau.

Di sebuah pantai karang hitam, hampir samar dengan bulu burung bangau. Ternyata di sana Tumbao baru selesai menyantap hasil berburu dari laut. Kawanan burung bangau memang menyukai daerah selatan pulau Nias. Kawanan tersebut rutin singgah untuk mencari makan sehari-harinya. Pada akhirnya, Gracel dan Tumbao dapat bertemu pada sore hari menjelang matahari terbenam. Perkenalan pun terjadi di antara mereka. Gracel begitu semangat menceritakan segala keluh kesahnya dan pertanyaannya.

Tumbao begitu tenang menyimak. Dengan kaki kurus sambil berdiri membersihkan bulu-bulunya dengan paruh runcing. Tumbao seperti mengetahui banyak hal mengenai sejarah spesies dari Gracel, yakni beo nias. Setelah Gracel mencurahkan semua isi benaknya, Tumbao akhirnya menatap serius ke arah Gracel.

“Wahai beo yang langka. Untuk apakah kamu rela jauh datang ke sini. Aku bukan hewan super yang dapat memulihkan rasa rendah dirimu. Tapi aku akan senang hati memberitahukan suatu fakta.”

“Fakta apa itu? Apa yang belum aku ketahui?” tanya Gracel.

“Apa yang akan aku katakan, itu akan menentukan pilihan setelah ini. Entah kamu akan kembali pada tuanmu. Atau malah akan hidup bebas di hutan tropis.” jelas Tumbao dengan suara lembut.

“Jadi aku akan memilih salah satu, ya. Baiklah. Apa itu faktanya?”

“Tiap-tiap kita diciptakan berbeda satu dengan lainnya. Bahkan meski kita sesama kelas aves pun, kita punya bakat dan corak yang berbeda. Tapi terus terang saja, beo nias adalah ikon kebanggan pulau ini. Nama spesiesmu saja memakai nama pulau ini, pulau Nias! Kau wajib berbangga dan bersyukur. Hahaha. Aku kaget bagaimana bisa kau serendah diri seperti tadi.” ungkap Tumbao. Melihat Gracel terdiam, ia kembali melanjutkan penjelasannya.

“Namun dibalik kebanggaan itu, ada hal yang menyedihkan. Burung beo sepertimu saat ini sangat jarang ditemukan. Aku saja sampai tidak percaya bisa bertemu denganmu, karena mirip dengan burung beo pada umunya. Spesies sepertimu sangat langka! Kurasa tidak sampai berjumlah 10 ekor yang bersarang di pulau ini.”

Mendengar hal itu, sangat membuat Gracel kaget.

“Ah, bagaimana bisa sangat sedikit? Apa yang terjadi pada kaumku? Katakanlah Tumbao.”, tanya Gracel dengan terbata-bata.

“Itu karena keunikanmu. Memang kau tidak berkicau merdu. Tapi kau mampu menirukan apa yang diucapkan oleh manusia. Walau itu memerlukan kerja sama yang baik, juga waktu yang cukup lama. Itu berguna bagi manusia. Sehingga banyak yang memburu kaummu. Itu berlangsung sampai hari ini. Semuanya karena julukan spesiesmu sendiri sebagai burung cerdas. Begitulah yang aku amati selama ini.” Jelas Tumbao.

Situasi jadi hening sejenak. Gracel mulai menggerakkan cepat kepala mungilnya ke segala arah, tanda ia semakin gelisah.

“ Lalu, apakah aku akan berakhir? Apakah aku akan lenyap dari dunia ini?”

“Menurut kamu? Bagaimana selama ini kamu rasakan di sangkar itu? Apakah kamu mengalami siksaan? Apakah tuanmu itu tidak memelihara kamu dengan serius? Kalau iya, aku rasa spesies sepertimu akan segera berkurang satu. Hahaha.” ujar Tumbao dengan tertawa pelannya itu.

Lagi-lagi, terjadi keheningan mendadak. Angin pantai mulai menggoyangkan bulu-bulu kedua jenis burung tersebut. Gracel berpikir sejenak.

“Toho sangat perhatian padaku. Tiap hari ia menunggu aku sampai dapat meniru apa yang dia ucapkan. Seolah-olah tiada lelah mengajariku. Kurasa aku kurang bekerja sama baik dengannya. Harusnya aku bersyukur, setidaknya untuk hari-hariku di tanah permai ini dapat kulalui. Kenapa aku harus minder? Bebe benar-benar membuatku kesal. Aku mesti kembali optimis lagi untuk membahagiakan Toho.” jawab Gracel dengan lantang.

“Baguslah bila demikian. Jadi, setelah mendengarkan penjelasanku. Kau sudah memilih tujuan akhirmu?” tanya Tumbao untuk meyakinkan Gracel.

“Yap! Aku tahu harus ke mana sekarang! Terima kasih, Tumbao. Kau begitu berwawasan luas dan bijaksana. Semoga kita dapat bertemu lagi.” jawab Gracel penuh semangat.

Setelah itu Tumbao memberikan kepada Gracel makan sebagai bekal perjalanan panjangnya. Mereka berdua bercanda saling beradu kepakan satu sama lain. Akhirnya, Gracel terbang meninggalkan Tumbao.

Si beo nias langka yang unik itu gagah terbang menyusuri malam. Lantas, ke mana arah tujuannya? Menuju kebebasan atau kembali pada tuannya?

TAMAT