Gurat Siwalan

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Oleh:[sunting]

I Putu Gede Wahyu Hermawan, Program Studi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.

SINOPSIS[sunting]

Putu Guna merupakan seorang siswa kelas 11 SMA yang mempunyai mimpi besar untuk melanjutkan cita-citanya. Bermodalkan hobi yang ia miliki Putu Guna terhambat oleh kemauan orang tuanya. Namun, ia tetap berusaha meyakinkan orang tuanya bahwa ia bisa menjadi yang terbaik sesuai kemampuan yang ia miliki. Di suatu hari ketika Ibunya sakit batuk, Putu Guna berkesempatan untuk membuktikan ilmunya berdasarkan sumber, yaitu lontar usadha, bahwasaannya ilmu yang ia miliki dapat berguna dalam kehidupan ini. Apakah Putu Guna berhasil mencuri hati orang tuanya untuk dapat kuliah di jurusan yang ia miliki? atau ia harus mengikuti kemauan orang tuanya dengan catatan harus mengurungkan cita-citanya.

Untuk mengetahui jawabannya, ayo baca cerita pendek yang berujul Gurat Siwalan sampai selesai!

LAKON[sunting]

1. Putu Gina 2. Nanang 3. Ibu 4. Made Robby

TEMPAT TERJADINYA CERITA[sunting]

Bali

CERITA PENDEK[sunting]

Bhaskara baru mulai menjalankan tugasnya dari ufuk timur, si jago pun mulai tertawa ditengah saut-sautan tekukur. Walau baru menuju pukul enam pagi, silau sinar rawi mulai meredup. Tidak ada binar dari si awan yang menjadi sinyal senyumnya baskara terhadap bumantara. Ditemani kopi tanpa gula, menyirnakan angin semilir yang bergilir dengan desus hujan yang deras di bulan Oktober. Di krumpu atau rumah tradisional Bali berbentuk kecil berukuran lebar dua meter dan panjang tiga meter kurang dua senti meter, Putu Gina bersila sambil menggurat daun siwalan, namun kepandaian Putu Gina tidak bisa dicerminakan melalui ukuran krumpu yang didudukinya.

Terlihat banyak jenis buku tertata di krumpu yang menjadi saksi bisu Putu Gina dalam menggurat, mulai dari; filsafat; gaguritan; rumus fisika, trik matematika; dan pastinya tumpukan lontar yang ditulis dari Ia duduk di bangku sekolah dasar.

Krumpu sudah tidak seperti krumpu, Putu Gina mengubah bagaikan perpustakaan yang banyak sekali menyimpan pustaka. Seperti tajamnya ilalang, begitulah perawakan Putu Gina, Ia selalu mengisi waktu luangnya untuk belajar nyurat lontar, magaguritan, makakawin, dan menari topeng. Karena Ia masih menempuh masa SMA, maka Putu Gina harus memanajemen waktunya dengan baik, antara sekolah dan menjalankan hobinya. Dikala sedang menggurat, Putu Gina seperti petapa, sangat fokus pada satu tujuan, bahkan untuk makan saja tidak kepikiran.

Bersamaan dengan menggurat lontar, Ibunya Putu Gina menyapu di halaman tepat sebelah selatan kumpu tempat bersilanya Putu Gina.

“Tu, tolong makan dulu. Nasi dan jukut arĕs sudah Ibu siapkan di meja makan,” ujar Ibunya sambil mengkorek-korek sapu lidi.

“Jangan suruh Putu makan dulu, Bu. Nanti kalau sudah beres menggurat Putu segera makan,” tampik Putu gina singkat dengan mata dan jemari memikat pada daun siwalan.

Pikir tak habis dipikir, makan untuk diri sendiri saja Putu Gina tunda demi sebuah daun siwalan. Gurat demi gurat telah Ia bentuk menjadi sebuah aksara Bali, pundaknya pun mulai terasa pegal. Kopi yang mulai dingin termakan waktu mulai direguk oleh Putu Gina.

“Plak...” begitulah sapaan tangan pada punggung belakang Putu Gina oleh Nanang yang mendekatinya dari arah kamar. Terkejutlah Putu Gina, bercakan kopi jatuh ke dadanya.

“Aduh, ada apa, Nang? Bikin kaget saja. Untung kopinya mulai sedikit dingin, untung saja lidah Putu tidak terluka,” sergah Putu Gina kepada Nanang sambil memegang dadanya yang kecipratan kopi.

“Begini, Tu. Ada yang akan Nanang tanyakan mengenai kelanjutan pendidikan Putu kedepannya. Dimana Putu akan melanjutkan sekolah?” ujar Nanang sambil mengelus pundak Putu Gina.“Cita-cita Nanang agar bisa memiliki anak yang berkecimpung dengan jarum dan suntik. Nanti, jika Nanang sakit agar ada yang ngerawat dan itupun anak sendiri,” tambahnya.

“Su...Su...Susah untuk Putu berkata-kata, tiada kata lain selain melanjutkan hobi Putu ke perguruan tinggi, Nang. Sudah pasti yang berkaitan dengan budaya Bali, Putu sudah cinta dengan apa yang sudah Putu jalani saat ini,” jawab Putu tersontak-sontak karena kaget dengan pertanyaan Nanang yang menggores perasaan Putu Gina. Segera Ia merapikan peralatan menggurat, lalu menuju kamarnya.


“Apakah kalau menjadi dokter hidup pasti terjamin?” tanya Putu Gina dalam sanubarinya.

Termenung lesu memikirkan lontaran kata dari Nanang. Terlalu tinggi cita-cita Nanang yang menginginkan Putu Gina untuk menjadi dokter. Satu dari seribu orang tua berpandang hobi yang dilakukan Putu Gina terbilang kuno, banyak yang ingin membelokkan cita-cita anaknya sesuai hati orang tua. Hidup memang tidak ada yang tau seperti apa nantinya, semua itu sudah ada yang atur, sukses maupu gagal nantinya karir seseorang. Ada yang hanya berjualan sayur-sayuran saja bisa kaya, ada yang berjualan krupuk saja bisa membeli mobil mewah. Bahkan, ada yang bekerja sampai pagi menuju subuh pun tetap memiliki hutang banyak. Memang benar, garis jejak pemberian-Nya tidak bisa diganggu gugat bahkan diramal sekali pun. Tetes demi tetes kristal dari buah mata berjatuhan.

Merintih sedih Putu Gina mencoba tetap teguh pada pendirian dan optimis bahwasanya Ia bisa mencapai cita-citanya masuk sesuai isi hatinya. “Suatu hari nanti saya pasti bisa sukses dengan jalan yang saya pilih, saya akan menjadi sastrawan yang terkenal, dan tentunya berdampak bagi masyarakat,” ucap Putu Gina sambil mengepalkan tangan dan menatapi piala juara umum kelas hingga juara menggurat siwalan yang Ia peroleh dari sekolah dasar.

Pengingat waktu sudah menunjukan jam 3 sore, bhaskara telah memasuka waktu tenggat untuk beristirahat. Teman sejawat sebangkunya datang ke rumah Putu Gina dengan tujuan untuk membuat tugas biologi. Putu Gina memang sangat pintar di pelajaran muatan lokal, namun tidak dapat diremehkan juga pada pelajaran lainnya. Putu Gina menjadi juara 1 umum di sekolahnya, itu yang membuat Putu Gina dikenal menjadi siswa bestari.

Mungkin karena mengamalkan ajaran sastra yang Ia dapat selama menggurat daun siwalan, itu yang menjadi penuntun Putu Gina dalam kegelapan. Sastra bagaikan penerang disaat kita tersesat dalam kegelapan, ajaran-ajaran tersebut yang menjadi guru hidup yang berhasil diamalkan Putu Gina dalam aktivitas yang menjadi tantangan di dalam hidupnya.

Di ujung timur laut krumpu, Putu Gina mengajak temannya untuk merampungkan laporang tugas biologi tentang praktikum mikrobiologi tempe. Nampak serius tanpa ketawa sedetik pun mereka mengerjakan tugasnya. Made Robby teman sebangku dari Putu Gina selalu mengandalkan Putu Gina dalam membuat tugas apapun itu.

“Untung sekali saya memiliki teman seperti kamu, Putu.” kata Made Robby dengan halus sambil memegang pena. “Ah, jangan begitu. Disini kita belajar dan berproses bareng-bareng. Semua hal di dunia bisa kita pelajari,” jawab Putu Gina dengan mata dan tangan mencatat sajian data dengan pulpen.

“Putu sudah ingat dengan dua belas cabang biologi? Mengapa saya sangat susah untuk menghapal, ya?” tanya Made Robby sambil menggaruk-garuk rambutnya.

“Waduh, mungkin Made tidak serius dan fokus belajar, ya? Kalau boleh aku carikan suluh dalam kakawin Arjuna Wiwaha, dengan kefokusan yang kuat, Sang Arjuna bertapa di Gunung Indrakila, karena tujuan yang baik dan memiliki fokus yang bagus membuat Sang Arjuna di anugrahi panah pasupati oleh Dewa Siwa. Jadi, kita harus bisa serius dengan tujuan yang kita tentukan, Made.”

“Ya Tuhan, memang beda, ya, tutur dari orang yang suka membaca sastra,” pujian Made Robby sambil tersenyum sumringah.

Dari sela-sela jendela, angguk-angguk Nanang mengintip percakapan Putu Gina dengan temannya. Sedikit nampak tersenyum karena setuju dengan perkataan yang disampaikan Putu Gina. Sayup-sayup angin malam mulai terasa, rawi mulai tenggelam diganti rembulan di sisi barat dunia. Lalu, usai sudah tugas Putu Gina dan Temannya. Kesetiaan bintang yang menemani bulan menjadi sinar yang indah menerangi hari Minggu si Putu Gina setelah diwarnai cerah-redupnya gertakan hatinya, seusai Nanang yang bertanya hal yang mencederai hati Putu Gina.

Tiba saatnya hari esok, hujan lebat tanda bulan Oktober telah berlangsung. Hari benar-benar mendung. Ibunya sakit batuk berdahak tanpa henti bersaut-saut. Nanang segera sigap untuk dapat membantu istrinya. Bingung paling Nanang bertindak.

“Ya Tuhan...mengapa begini bulan Oktober. Hujan sangat lebat, nyamuk bergerombol, kepala pusing, tenggorokan saya sangat sakit,” ujar Ibu dengan pelan sambil memegang dada menahan batuk berdahak.

“Tunggu dulu, Ibu. Sekarang Nanang ke apotek untuk membeli obat,” tanggap Nanang sinambi bergergas menuju apotek depan rumahnya.

Belum selesai memakai sandal, lalu datanglah Putu Gina dari sekolah. Kaget terheran-heran melihat Ibunya yang batuk mendadak sampai tersengkal-sengkal memegang dadanya. Dengan secepat kilat, segera Putu Gina bertanya pada Nanang perihal apa yang terjadi pada Ibunya.

“Nang, bagaimana Ibu?” tanya Putu Gina sambil tergesa-gesa. “Sakit batuk, Tu. Sekarang Nanang mau ke apotek membeli obat,” jawab Nanang dengan nada rendah “Ah, jangan tergesa-gesa membeli obat, Nang. Putu cek dulu di Lontar Usadha,” lalu Putu Gina menuju krumpu tempat Ia menyimpan tumpukan lontar.

Sesampainya di krumpu Putu Gina membaca Lontar Usadha yang berisi tentang pengobatan tradisional yang menjadi salah satu kebudayaan luhur di Bali. Setelah ditelisik, obak batuk dalam Lontar Usadha adalah daun karuk. Setelah mengetahui itu lalu Ia memberi tahu agar Nanang segera mencari daun tersebut.

“Nang, coba carikan daun karuk tiga helai, lalu dibuatkan loloh,” kata Putu Gina dengan lantang dari krumpu.

“Hah? Daun karuk? Baiklah, Nanang carikan di taman belakang rumah,” jawab Nanang sedikit ragu dengan saran dari Putu Gina. Ditengah hujan yang lebat, Nanang rela untuk semangat demi istrinya yang sedang sakit, tapak langkah demi langkah Ia lalui. Akhirnya tiba, tepat sepuluh langkah Ia menapaki halaman di taman belakang rumah, akhirnya helai daun karuk pun mulai menampaki dirinya. Riang gembira Nanang menyambut keberadaan daun karuk dan segera Ia petik. Bergegas Nanang memberi daun karuk ke tangan Putu Gina hingga diolah menjadi loloh. Baru diminum dua tegukkan, Ibunya muntah mengeluarkan isi makanan yang dimakannya kemarin. Terlihat panik Nanang melihat keadaan istrinya. Rasa-rasanya ragu Nanang mempercayai apa yang Putu berikan kepada istrinya.

“Aduh, baru terasa plong tenggorokan ku,” ucap ibu sambil sedikit berusaha tersenyum menghela sakit tenggorokan “Sudah enakan, Bu? Tanya Nanang dengan spontan mengelus pundak istrinya. “Sudah, Nang,” jawab singkat istrinya yang bagaikan angin kencang datang dari semua penjuru arah mata angin. Setelah Ibunya mulai membaik Nanang langsung menyambangi Putu Gina sambil mengelus kepalanya. Tidak seperti senyumnya yang dulu, sekarang sudah terbuka lebar.

“Tu, kalau begini Nanang paham. Putu benar-benar menggeluti bidang sastra, bukan hanya membaca namun menerapkannya,” ucap Nanang sambil bertatap 4 mata dengan Putu Gina. “Sastra itu sangat membantu dalam situasi apapun Nang, terutama dalam penuntun hidup,” jawab Putu Gina sambil tersenyum. “Sekarang Nanang berserah kepada Putu mau melanjutkan pendidikan kemana, Nanang sudah setuju jikalau Putu mengambil jurusan yang berbaur tentang budaya,” ujar Nanang sambil berpelukan dengan Putu Gina. “Terima kasih, Nang. Telah mengijinkan Putu untuk melanjutkan pendidikan sesuai cita-cita Putu.

Bulan Oktober menjadi saksi Putu Gina untuk berjuang dan membuktikan bahwa kemampuannya dalam menekuni sastra dapat berdampak bagi masyarakat. Mujurnya lagi cita-citanya dapat direstui orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan sesuai bidangnya. Putu Gina sudah gila dengan sastra yang benar-benar membantu Ia dalam situasi apapun. Hujan mulai reda, bhaskara mulai mengeluarkan senyumnya. Datang seorang kurir ke rumah Putu Gina membawa suvernir hasil dari lomba yang Ia ikuti, Putu Gina berhasil menjadi juara 1 dalam lomba cerita pendek yang diadakan oleh Wikiceranus 2024 https://commons.wikimedia.org/wiki/File:WikiCeranus.jpg#/media/Berkas:WikiCeranus.jpg (https://id.wikibooks.org/wiki/Wikibuku:WikiCeranus). Kaget sampai melompat Nanang dan Ibunya mengetahui hal tersebut, semua seakan-akan tidak ada masalah sebelumnya, Ibu pun ikut tersorak mengetahui kabar yang baik itu.

Selesai

KAMUS KECIL[sunting]

Istilah Bahasa Bali
Bahasa Bali Bahasa Indonesia
Krumpu Tempat yang yang digunakan untuk berbicara dengan santai, memiliki 4 buah tiang sebagai penyangga atap. Termasuk ke dalam bangunan tradisional khas Bali
Nanang Bapak
Lontar Daun Siwalan
Meme Ibu
Usadha Ilmu tentang pengobatan
Jukut Ares Sayur yang berbahan dasar dari pelapah pisang
Loloh Ramuan herbal sejenis jamu
Nyurat Lontar Menggurat daun siwalan
Magaguritan Karya Sastra Bali Purwa
Makakawin Karya Sastra Jawa Kuno