Guru Anak-anak Rimba
Sinopsis
[sunting]Anak-anak Rimba sedih mendengar kabar guru mereka akan segera pindah lokasi kerja dan berhenti mengajar. Guru Nun adalah kesayangan anak-anak, karena tidak hanya menjadi pengajar ia juga jadi teman anak-anak. Di tengah-tengah kesedihan itu, ada guru pengganti seorang guru perempuan. Namun, apakah petualangan dan belajar jadi lebih menyenangkan? Anak-anak Rimba pun penasaran.
Lakon
[sunting]- Guru Nun
- Guru Juana
- Anak-anak Rimba
Lokasi
[sunting]Taman Nasional Bukit Dua Belas, Provinsi Jambi.
Cerita
[sunting]Anak-anak Rimba dibuat gaduh, mereka saling berbisik-bisik. Lalu menatap Guru Nun dengan tatapan yang sulit diartikan. Kabar Guru Nun akan berhenti mengajar di rimba begitu mendadak. Seminggu yang lalu Guru Nun datang ke rimba seperti biasa dengan tas yang penuh. Tas punggung itu biasanya dipenuhi dengan pakaian selama tinggal di rimba, makanan kecil yang rasanya manis, yang boleh dicicip sedikit saja. Namun, yang paling ditunggu-tunggu mereka adalah buku-buku ceritanya.
Akan tetapi, kali ini laki-laki kesayangan anak rimba itu tidak hanya membawa makanan dan buku bacaan. Tetapi sebuah kabar yang mengejutkan anak-anak. Ini adalah hari terakhir bagi Guru Nun untuk mengajar di rimba. Ia mencoba memberi pengertian kepada anak-anak, ia diminta untuk pindah oleh orang besar di kantornya untuk bekerja di kantor saja.
“Ake masih sesekali tetap lah ke rimba. Mengunjungi mikae,” kata Guru Nun. Ake dalam Bahasa Rimba adalah aku, sedangkan mikae berarti kalian.
Guru Nun memandang layar seharian
[sunting]Kata Guru Nun, ia akan bekerja di kantor. Duduk lama di depan layar. Kantor dan layar adalah suatu hal yang sulit dibayangkan oleh anak-anak Rimba. Bekerja yang mereka tahu adalah mengambil madu di pohon tinggi atau mengumpulkan biji dan buah-buah hutan. Kok bisa-bisanya kegiatan duduk manis disebut bekerja. Layar yang mereka tahu adalah layar ponsel Guru Nun. Dengan ponsel itu ia mengambil foto kebersamaannya dengan anak-anak.
Sekarang Guru Nun akan duduk seharian memandang ponselnya. Ah bukannya itu membosankan, bukankah lebih mengasyikkan menjadi guru rimba. Lalu berjalan-jalan masuk ke dalam rimba lebih jauh, menangkap ikan, mandi di sungai, dan membaca buku cerita di atas pohon. Sesuatu yang tidak bisa dipikirkan oleh anak-anak, kenapa Guru Nun memilih berhenti mengajar.
Mendengar penjelasan Guru Nun, Ketulu satu-satunya anak perempuan di situ melirik anak rimba lainnya. Ada Celekung, Senamo, Slumpat, Betimpa, dan Majar. Mereka berbisik-bisik meminta salah seorang dari mereka bicara pada Guru Nun tentang perasaan mereka. Jika mereka sangat sedih mendengar Guru Nun pindah lokasi kerja.
“Tapi mika hopi belajar bersama kamia lagi (Tapi kamu tidak belajar bersama kami lagi),” Majar anak yang paling berani mewakili anak-anak lain.
Guru Nun menghelas nafas berat. Bagaimanapun ini adalah sesuatu yang berat juga bagi Guru Nun. Berpisah dengan anak-anak yang ia ajar selama beberapa tahun terakhir. Menjadi pengajar di Pondok Belajar Taman Nasional Bukit Dua Belas adalah pekerjaan pertamanya. Ia masih ingat dulu bagaimana perjalanannya dari Kota Jambi membawa tas penuh berisi buku. Ia berjalan masuk rimba Taman Nasional Bukit Dua Belas atau hutan yang ada di Jambi.
Hutan yang luas menjadi tempat tinggal Orang Rimba. Orang Rimba merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia, sama dengan suku-suku lainnya seperti Suku Jawa, Asmat, Melayu, Batak, Sunda, dan Betawi. Suku Orang Rimba tinggal di hutan yang ada di Jambi.
Di sana mereka mencari makan, tidur, bekerja, bercanda, bermain, dan melakukan rutinitas harian. Di hutan itu juga anak-anak rimba belajar. Mereka belajar menulis, membaca, dan menghitung di pondok belajar. Pondok itu berbentuk rumah panggung, dindingnya dari kulit kayu, atapnya dari daun-daun pohon yang ada di hutan, sementara lantainya terbuat dari kayu yang disusun rapi. Pondok itu terbagi dua ruangan, satu ruangan sebagai tempat menyimpan alat tulis dan satu ruangan untuk tempat belajar. Bagian bawah pondok digunakan sebagai dapur, tempat memasak Guru Nun dan anak-anak. Kamar mandinya jangan ditanya, kamar mandi mereka sangat panjaaaang yaitu sungai yang jernih. Biasanya Guru Nun akan ikut mandi bersama anak-anak di sungai. Sambil mandi mereka juga menangkap ikan untuk dibawa ke pondok dan akan dimasak menjadi santapan makan malam.
Sering kali Guru Nun menyelipkan pelajaran berhitung ketika menangkap ikan di sungai. Anak-anak diajak menghitung ikan yang ditangkap atau pelajaran tentang pecahan. Satu ekor ikan bisa dibagi berapa potong? Salah seorang anak menjawab dibagi 3 atau menjadi 1 per tiga, yaitu ada potongan bagian kepala, badan, dan ekor. Anak itu diberi hadiah satu ekor ikan bakar dari Guru Nun karena jawabannya betul.
Sungguh menyenangkan, pelajaran matematika diajarkan dalam bentuk permainan. Kesulitannya menjadi berkurang. Kata Guru Nun, dengan belajar dan menjadi pintar dapat membuat anak-anak rimba membantu orang tua. Dengan bekal pelajaran berhitung yang diberikan oleh Guru Nun, Majar membantu Bepak atau ayahnya menjual madu keluar hutan. Bepak tidak bisa baca tulis dan berhitung, sehingga ia menjual madunya secara barter dengan barang yang tidak ada di hutan, seperti garam, gula, kopi, atau teh.
Akan tetapi, semenjak belajar berhitung dengan Guru Nun, Majar bisa menemani Bepak menjual madu dan mendapatkan uang yang cukup. Biasanya satu botol madu dijual dengan harga 70.000 rupiah. Uang tersebut bisa membeli banyak macam kebutuhan seperti minyak goreng, beras, kain, atau pun baju.
Bepak selalu berpesan kepada Majar untuk terus belajar. Majar memegang selalu janjinya kepada Bepak, sehingga ia tidak pernah melewatkan pelajaran yang diberikan oleh Guru Nun. Sekarang guru yang menjadi harapannya ini malah mengatakan pamit dan berhenti mengajari mereka. Bagaimana Majar dan anak-anak lain tidak lemas.
“Kalian jangan khawatir, akan ada guru baru yang menggantikan ake. Ia perempuan” kata Guru Nun mencoba mengobati kekecewaan di hati anak-anak.
Ia menjanjikan jika guru baru yang akan menggantikan sama asyiknya dengan dia. Tetapi anak-anak seperti belum siap mendengar itu. Kabar kepindahan Guru Nun cukup membuat mereka gelisah, sehingga belum siap mendengar cerita tentang guru baru. Satu-satu mereka berpamitan kepada Guru Nun dan menyampaikan pesan-pesan.
“Selamat bekerja melihat ponsel,” kata Slumpat. Kalimat itu membuat kening Guru Nun berkerut. Belum sempat Guru Nun menanyakan maksud Slumpat, anak-anak itu berlarian masuk jauh ke dalam hutan. Ada yang pamit pulang ke sudung atau rumah kayu sederhana, ada yang membantu orang tua, dan ada yang pergi memancing ke sungai. Guru Nun memandang punggung anak-anak yang menjauh. Di dalam hati, ia berdoa semoga anak-anak bisa belajar dengan baik bersama guru barunya.
Hari pertama Guru Baru
[sunting]Seminggu setelah Guru Nun pamit kembali ke kantornya di kota, guru baru datang ke rimba. Sebagai perempuan, ia cukup berani masuk ke rimba sendirian. Ia tidak sengaja bertemu dengan Ketulu di jalan masuk ke rimba. Kepada Ketulu, Guru Baru kemudian minta diantar ke lokasi pondok belajar. Sesampainya di pondok belajar, tidak ada seorang anak pun yang berada di pondok. Padahal menurut cerita Guru Nun, banyak anak yang tinggal dan bermalam di pondok belajar. Hal ini memudahkan mereka belajar apabila orang tua mereka pergi masuk jauh ke dalam hutan untuk mencari lauk pauk. Meski zaman sudah modern Orang Rimba masih menjalani tradisi nenek moyangnya, yaitu berburu hewan dan mengumpulkan makanan. Hewan buruan, getah karet, atau pun madu yang bisa dijual kepada orang desa dan orang kota.
Kembali ke Guru Baru, ia masih tampak kebingungan. Ia meletakkan barang-barangnya di dalam pondok. Setelah beristirahat, ia keluar pondok, penasaran di mana para murid berada.
“Kana dimonooo? (Teman-teman di mana?)” seru Guru Baru. Sebelum masuk ke rimba, ia telah belajar Bahasa Rimba. Bahasa Rimba memiliki perbedaan dengan Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat di Provinsi Jambi.
Meski teriakannya lumayan kencang, namun kesunyian hutan sore itu menenggelamkan teriakan sang guru. Sehingga ia memutuskan untuk memulai petualangan barunya mencari anak-anak rimba esok hari. Guru perempuan itu melihat sekeliling. Rumah-rumah penduduk desa terlihat kecil dari jauh.
Ia memejamkan mata, berharap pagi lebih cepat datang. Ia sudah tidak sabar bertemu dengan para murid. Tetapi, tidur Guru Baru itu tidak nyenyak karena rasa semangat dan penasarannya. Ia baru benar-benar tertidur ketika jelang subuh, namun di tengah lelapnya, ia dikejutkan oleh suara ribut di bawah pondok.
"Ahaaaa itu mereka. Si anak-anak rimba yang datang pagi buta," gumamnya dalam hati.
Guru Baru itu berjalan keluar menuruni tangga untuk mengintip aktivitas di kolong pondok. Anak-anak terlihat sibuk menghidupkan api, hendak memasak untuk sarapan. Biasanya pelajaran di pondok dilakukan setelah sarapan bersama. Tidak ada lonceng berbunyi pertanda waktu belajar, kadang terlalu pagi, kadang bisa sampai tengah malam. Anak-anak rimba tidak mengenal waktu dan jam. Bagi mereka juga tidak ada batasan antara waktu bermain dan belajar. Guru pun tidak pernah keberatan, karena pelajaran menjadi menyenangkan dilakukan sambil bermain-main.
“Nyenyak tidur, Bebet?” sapa Majar pada Guru Baru. Bebet memiliki arti sahabat atau teman baik. Sapaan ini digunakan untuk lawan jenis. Sapaan ini juga dipakai apabila belum berkenalan dan belum tahu nama orang yang diajak bicara.
Guru Baru itu mengangguk. Semangat anak-anak itu menghilangkan kantuknya. “Kenalkan nama ake Juana,” ucapnya sambil tersenyum lebar. Giginya terlihat berbaris rapi.
Perkenalan itu disambut dengan baik, anak-anak mulai tertarik kepada guru barunya. Satu per satu mereka menyebutkan namanya. Ada Majar, Celekung, Senamo, Slumpat, Betimpa, dan Ketulu. Hari itu pelajaran dimulai dengan sarapan bersama, kemudian dilanjutkan dengan belajar huruf-huruf dan menuliskan nama masing-masing di kertas.
Esoknya saat matahari belum menampakkan sinarnya. Guru Juana sudah siap mengajak anak-anak untuk belajar sambil berjalan-jalan. Hari ini temanya adalah menulis dan menggambar apa yang mereka temukan di perjalanan. Mereka menelusuri jalan setapak, Majar menjadi paling depan, berperan sebagai penunjuk jalan dan pemimpin jelajah. Barisan itu kemudian diikuti oleh Slumpat dan Betimpa, Guru Juana berada di tengah-tengah. Senamo, Celukung, dan Ketulu mengisi barisan belakang.
Setiap menemukan satu objek yang menarik perhatian, mereka berhenti untuk menggambar. Mereka tampak khusuk menggambar seperti para pelukis profesional. Gambar mereka pun beragam, ada yang menggambar sudung, burung, pohon madu, dan ada pula yang menggambar sungai yang jernih. Semuanya tampak bergembira.
Hari-hari berikutnya pun berjalan lebih menyenangkan. Guru Juana punya banyak cara agar anak-anak betah belajar. Ia juga membuat jadwal pelajaran sedemikian rupa. Jika hari ini belajar abjad, maka besoknya kami akan belajar angka, begitu seterusnya. Namun, jika wajah mereka terlihat bosan dengan pelajaran abjad dan angka, ia akan memberikan buku gambar dan pensil warna agar mereka menggambar. Ataupun berjalan mencari burung, buah, dan benor (sejenis umbi hutan yang lezat). Ia juga akan membacakan buku cerita kepada anak-anak. Jika masih bosan, biasanya Guru Juana akan pasrah kalau anak-anak menariknya ke sungai untuk berenang bersama. Ia tak sungkan untuk menggosok badan anak-anak dan menggunting kuku mereka.
Guru Juana dan papan tulisnya
[sunting]Jika anak-anak mengingat Guru Nun dengan kacamata bulatnya. Kacamata yang selalu melorot ketika ia sedang fokus membaca cerita. Guru Juana diingat anak-anak dengan papan tulisnya. Guru Juana dan papan tulis seperti sahabat baik. Ia menggunakan papan tulis untuk mengajari mereka membaca.
Guru Juana menulis abjad di papan tulis, kemudian menghapus beberapa huruf dan meminta mereka secara bergantian menulis kembali huruf yang hilang. Huruf M dan N sering kali terbalik. Sementara huruf F, M, N, V, dan W adalah huruf yang sulit mereka ingat, karena dalam percakapan sehari-hari, mereka jarang menggunakan huruf tersebut.
Sering kali mereka keasyikan belajar, sehingga tidak terasa waktu menjadi cepat berlalu. Guru Juana pamit pada anak-anak untuk pulang sebentar ke Kota Jambi. Ia akan libur mengajar selama seminggu.
“Kana berapa malam di Jambi? Kalau kana lama di Jambi, ake tidak bisa belajar,” kata Ketulu kepada Guru Juana.
Anak perempuan itu tampak malu-malu menyatakan perasaannya. Tapi kalimat itu pulalah yang membuat hari Guru Juana hangat. Kehadirannya begitu didambakan oleh anak-anak. Ia berjanji tidak akan berlama-lama berada di Jambi. Ia pulang untuk menjemput buku bacaan baru untuk anak-anak dan beberapa permen yang hanya boleh dicicip sedikit saja. Sebab di rimba jauh lebih banyak buah-buah hutan yang manis.
TAMAT
Untuk Anak-anak Rimba, 2023.