Hadiah Berlimpah dari Roby

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar[sunting]

Cerita pendek ini terinspirasi dari hampir setiap anak senang mendapatkan hadiah. Tapi, kelak mereka akan tahu memberikan hadiah akan lebih menyenangkan.

Penulis cerita ini adalah JS Mufid yang sedang belajar merangkai cerita anak-anak. Menulis baginya adalah menumbuhkembangkan imaji.

Tokoh[sunting]

  1. Roby
  2. Mama
  3. Eka dan Zaid. Mereka sahabat karib Roby

Lokasi[sunting]

Perkampungan di pinggiran Surabaya, Jawa Timur

Cerita Pendek[sunting]

Hadiah Berlimpah dari Roby

Impian[sunting]

Lampu kamar sudah diredupkan. Kipas angin berputar pelan. Hembusan angin sepoi-sepoi di kamar tidur yang nyaman itu tetap saja tak bisa mengantarkan Roby ke alam mimpi. Pikirannya bertamasya membayangkan harapannya akan terwujud esok pagi. Roby yang duduk di kelas 5 SD Negeri Juara itu ingin mendapatkan hadiah yang sudah lama dia nanti-nantikan.

Dia mengincar satu paket buku sains dasar termutakhir tentang robot, virtual reality, dan artificial intelligence. Buku-buku keren itu akan diundi usai karnaval budaya di sekolah dalam rangka Hari Pendidikan. Ya, paket buku tersebut menjadi door prize utama.

Hadiah menarik lain juga ada. Seperangkat alat percobaan sains, kaca pembesar, kertas-kertas origami, dan peralatan lukis. Semua hadiah itu dicantumkan pada pamflet di papan pengumuman sekolah. Semua siswa bersemangat untuk bisa mendapatkan hadiah-hadiah itu, begitu pula Roby. Tahun lalu, dia mendapatkan hadiah kotak pensil.

“Kalau aku dapat buku-buku itu, pengetahuanku tentang sains akan semakin bertambah. Bunda guru bilang buku adalah jendela dunia,” kata Roby pada dirinya sendiri malam itu.

Kalau saja pergantian hari tinggal klik, ingin sekali dia memencetnya. Yang sekarang dia lakukan adalah berupaya memejamkan mata sambil memperbanyak doa agar besok menjadi siswa paling beruntung di sekolah. “Semoga besok aku yang dapat hadiahnya. Semoga. Semoga,” gumamnya.

Bergegas[sunting]

Ketika pagi sudah tiba, Roby bangun dengan begitu semangat. Meskipun semalam, dia susah tidur. Kantong matanya mengendur dan sedikit menghitam hampir seperti mata panda.

Tumben, pagi-pagi langsung mau mandi. Biasanya males bangunnya, Nak,” kata mama.

“Iya dong, Ma. Aku itu mau dapat buku baru hari ini. Biar lengkap koleksiku,” jawab Roby yang sudah membawa handuk merahnya.

“Maksudnya gimana to, Nak?” tanya mama lantas menyeruput teh hangat. Mama duduk di meja makan.

“Hari ini di sekolah kan ada karnaval budaya, Ma. Hadiah utamanya buku sains yang keren-keren. Ada buku membuat robot. Buku dasar-dasar virtual reality dan artificial intelligence. Itu lho Ma, kecerdasan buatan. Tema-temanya sains terkini, Ma. Aku lihat di pengumumanya. Mama tahu kan itu buku yang sudah lama aku pengen,” panjang lebar Roby menjelaskan.

Dia tak ingin lagi ditanya. Karena ingin segera mandi. Pakai baju untuk karnaval budaya. Sarapan. Dan berangkat sekolah. Dia khawatir terlambat.

Namun, di dalam kamar mandi dia tak bisa bergegas. Sabun cair kebetulan habis saat dia pencet. Tak kehabisan akal, dia memasukkan sedikit air agar sisa-sisa sabun beraroma lavender itu bisa dikeluarkan. Begitu pula pasta gigi. Dia menekan setipis-tipisnya dari ujung sampai pangkal hingga pasta putih mengandung fluoride itu bisa muncul. “Hmmm… jengkel deh,” Roby membatin.

Keluar dari kamar mandi, dia buru-buru ke kamarnya untuk memakai baju karnaval budaya yang sudah disiapkan mama, yaitu Beskap Basofi. Nama itu diambil dari Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman yang mempopulerkannya. Bajunya terdiri atas jas model safari panjang, jarik yang dililitkan di pinggang, bercelana panjang, serta sepatu slop. Pelengkapnya jam rantai saku. Memakai baju adat itu sungguh butuh waktu.

Roby keluar dari kamarnya menuju meja makan. Saat meraba kepalanya, dia tersadar belum memakai udeng yang jadi pelengkap beskap itu. Dia masuk lagi ke kamar untuk mengambilnya. Dia agak kesal kenapa bisa sampai terlupa dan harus bolak balik.

Mama turut memperhatikan wajah Roby yang berubah jadi kesal itu. Tapi, tidak berkomentar dulu. Mama meletakkan cangkir tehnya di meja makan sambil menunggu Roby.

Pagi itu mama sudah menyiapkan makanan favorit Roby, nasi rawon yang masih mengepul. Lengkap dengan telur asin dan kecambah. Kecambah atau toge kecil itu selain menambah tekstur segar pada rawon, juga bisa meningkatkan daya tahan tubuh karena mengandung vitamin C. Roby tahu manfaat itu dari buku sains seri tumbuhan herbal koleksinya.

Bukan hanya karena itu dia sarapan dengan lahap, Roby juga ingin segera menyelesaikan sesi makan pagi itu agar bisa cepat ke sekolah. Namun, Roby tersedak. Dia batuk beberapa kali.

Hayyo, pelan-pelan sarapannya, Nak. Tadi berdoa apa tidak?” kata Mama sambil menuangkan segelas air putih dan memberikannya kepada Roby.

“Iya Ma, lupa tadi belum berdoa,” jawab Roby.

Roby semakin merasa kalau dia bertambah sial. Padahal dia berharap keberuntungan berlimpah padanya pada hari ini. Karena dia meyakini hanya dengan keberuntungan bisa mendapatkan hadiah utama karnaval budaya itu. Tiga buku sains termutakhir yang sudah lama dia impikan.

Menjiwai Karnaval Budaya[sunting]

Diantar mama, Roby akhirnya tiba di sekolah. Dia telat beberapa menit. Beruntung ini hari yang lebih longgar. Kalau tidak, pintu gerbang sekolah akan langsung ditutup oleh Pak Sardi begitu bel berdering tepat pukul 07.00.

Peserta karnaval budaya yang diawali marching band

Di halaman SD Negeri Juara yang luas, siswa siswi berbaju adat dari berbagai daerah sudah berbaris rapi sesuai kelas masing-masing. Khusus kelas lima sampai ada empat banjar, karena tiap banjar maksimal sepuluh anak. Sedangkan kelas lainnya tiga banjar. Kecuali kelas satu berbaris lima deret karena mereka diatur masing-masing lima anak. Di SD Negeri Juara itu total muridnya ada 185 siswa. Saat berkeliling perumahan di sekitar sekolah itu mereka dianjurkan untuk bergaya sesuai baju adat yang dipakai agar lebih menjiwai karnaval budaya itu. Bagian paling depan karnaval itu ada grup marching band Juara dari sekolah tersebut.

Roby senang sekali bertemu dengan teman-temannya. Eka yang gemar matematika mengenakan baju adat Madura dan Zaid yang senang pelajaran bahasa berkostum Warok Reog Ponorogo. Mereka termasuk siswa berprestasi di sekolah yang memang memiliki murid-murid cerdas bertalenta itu. Cukup sering mereka mengikuti perlombaan di bidang masing-masing.

Sambil menikmati jalan pagi yang penuh vitamin D dari sinar matahari itu mereka asyik mengobrol dan main tebak-tebakan. “Tahu tidak kalian kalau angka-angka yang dikalikan dengan sembilan itu hasilnya kalau dijumlahkan itu juga sembilan,” kata Eka sambil memelintir kumis palsu yang jadi pelengkap baju adat Madura. Roby dan Zaid manggut-manggut setengah tak percaya.

“Contohnya sembilan kali delapan kan 72. Nah, kalau tujuh ditambah dua kan hasilnya sembilan, kan,” Eka mendetailkan. Roby dan Zaid mengangguk-angguk percaya setelah mensimulasikan ke angka-angka yang berbeda.

Gantian Zaid yang melontarkan pertanyaan. “Kalian tahu apa itu tengkes?” tanya Zaid yang berlagak seperti Warok. Jalannya dibuat-buat seperti mengangkang dan berjingkat-jingkat serta melecutkan pecut kecilnya.

“Apa itu? Baru denger deh. Teman kita ini selalu nemu kata-kata baru,” ujar Roby.

“Iya. Aku juga baru denger,” imbuh Eka yang kembali memelintir kumis palsunya.

“Ah, sebenarnya aku juga baru tahu kata-kata itu kemarin, dari baca koran,” jelas Zaid. “Lalu kutanya sama papa apa itu arti tengkes,” tambah Zaid yang di kelas dijuluki Si Kamus Berjalan.

“Emang apa artinya?” sahut Roby dengan cepat karena penasaran. Eka yang juga hendak menyahut langsung mengerem mulutnya karena kedahuluan.

“Jadi sahabat-sabahatku, tengkes itu artinya…” Zaid sengaja mengambil jeda. Dua sahabat karibnya itu langsung menatapnya dengan penasaran sambil memelankan langkah mereka. Sesaat setelah rasa penasaran itu mencuat pada raut wajah Roby dan Eka, Zaid lantas memberondong penjelasan.

“Tengkes itu kerdil. Bahasa Inggris-nya itu stunting. Kalau kata papaku, seperti orang yang kurang gizi sehingga mempengaruhi kemampuan berfikir dan pertumbuhannya. Kata papa, itu berbahaya untuk masa depan bangsa kita,” panjang lebar Zaid menjelaskan.

“Oh, begitu,” Eka kali ini menanggapi lebih dahulu.

“Ayo Roby, giliran kamu yang kasih kita tebak-tebakan. Masih agak jauh nih jalannya,” kata Zaid memberi umpan.

Roby langsung menyambar. “Kalau ada ayam jago sebesar lapangan sepak bola, kira-kira seberapa besar telurnya?” tanya Roby sambil sedikit tersenyum.

“Seberapa ya? Sekotak penalti?” jawab Zaid setengah ragu.

“Bukan dong,” Roby menimpali sambil menggaruk kepala dan membetulkan udengnya.

Segede bola,” kata Eka memperagakan ukuran bola dengan menyatukan dua tangannya membentuk lingkaran.

“Bukan juga dong,” Roby menanggapi dengan senyuman geli.

“Terus apa dong jawabannya? Nyerah deh kita,” kata Zaid dan Eka.

“Hahaha… Ayam jago kan tidak bertelur,” Roby melepaskan tawanya yang tertahan. Dia terbahak-bahak. Dua temannya pun berfikir sebentar dan akhirnya mereka tertawa bersama.

Roby melemparkan lagi pertanyaan setelah teringat hadiah utama karnaval budaya hari itu, “Kalian tahu artificial intelligence?”

“Kecerdasan buatan,” sahut Zaid yang menerjemahkan kata itu dalam bahasa Indonesia. “Tapi, aku ndak terlalu yakin pengertiannya bagaimana,” tambahnya.

“Pernah dengar sih, itu sistem yang bisa menghitung sendiri gitu, ya?” kata Eka setengah bertanya.

“Jadi, teman-temanku. Artificial intelligence itu semacam program atau sistem komputer yang bisa bertindak secara otomatis melalui analisis data-data yang sangat banyak. Bisa menjawab pertanyaan dan memprediksi banyak hal dengan nyaris tepat,” ujar Roby dengan cukup yakin.

“Wow, keren juga ya. Apakah kira-kira bisa tahu siapa yang nanti dapat door prize?” tanya Zaid penasaran.

Eka mengatakan bahwa dalam matematika analisa penghitungan seperti itu sebenarnya sudah pernah mereka pelajari, namanya peluang. “Kalau dihitung, peluang kita dapat hadiah doorprize itu satu berbanding 185 sesuai jumlah seluruh teman kita. Jadi ya kecil sih peluang kita dapat hadiah utama itu,” kata Eka menjelaskan dengan serius.

Raut wajah Roby berubah seketika. Dia tak menanggapi lagi obrolan itu. Dia tersadar bahwa untuk mendapatkan doorprize yang dia idam-idamkan itu ternyata tak seperti membalikkan telapak tangan. Hanya orang beruntung yang akan dapat hadiah spesial itu. Sedangkan sedari pagi dia sial.

Di sisa karnaval pagi itu dia memperbanyak doa dalam hatinya. Harapan untuk mendapatkan hadiah utama itu masih tetap ada. Bahkan, untuk meyakinkan dirinya sendiri dia membuat spekulasi-spekulasi dalam pikirannya. Bisa jadi karena sedari pagi sial, maka kesialan itu sudah habis. Saat pengundian hadiah siang ini, dia berkeyakinan keberuntungan itu datang padanya. Wajahnya perlahan tersenyum. Zaid dan Eka juga.

Berkali-kali[sunting]

Mama datang agak terlambat saat menjemput Roby. Dari kejauhan wajah Roby terlihat datar. Mama menduga putra semata wayangnya itu bersedih. Namun, mama tidak lantas bertanya. Dia membiarkan Roby bercerita dulu, seperti yang biasa dia lakukan selama ini.

Roby menceritakan serunya karnaval budaya pagi tadi. Semua siswa memakai baju adat. Dia bertemu Zaid dan Eka dan mereka mengobrol banyak hal mulai pelajaran, kegiatan akhir pekan, hingga buku koleksi.

Mereka sebenarnya membicarakan pula lomba secara daring yang mereka ikuti tiga hari lalu. Roby di bidang sains, Eka mengikuti lomba bahasa Indonesia, dan Zaid berpartisipasi di olimpiade matematika. Tapi, karena hasilnya belum diumumkan, mereka tak banyak membahasnya saat karnaval budaya.

“Tadi itu diumumkan kalau kami ini dapat juara lomba kemarin lusa itu, Ma,” kata Roby. Roby memang senang, tapi hadiahnya sertifikat. Bagi Roby buat apa sertifikat yang cuma secarik kertas itu. Lebih bagus kalau hadiahnya buku-buku seperti door prize karnaval budaya itu. “Aku tunggu sampai selesai acara, ternyata tidak dapat door prize apa-apa, Ma,” nada bicara Roby lebih pelan. Dia sedih.

“Nak, mama dulu waktu kecil juga pernah ingin sekali dapat hadiah undian pas jalan sehat 17 Agustus. Tapi, enggak dapat sama sekali. Sedih mama. Tapi, kata ibu mama, lebih baik dapat hadiah itu dari kerja keras. Akhirnya mama ikut semua lomba Agustusan. Dan akhirnya dapat hadiah dari lomba makan kerupuk dan balap kelereng,” jelas mama.

“Iya, Ma. Kalau kita kerja keras itu hadiahnya bisa dapat berkali-kali. Dari pada mengharapkan undian yang belum tentu dapat ya, Ma,” kata Roby sambil meresapi dalam-dalam perkataan mamanya.

Kiriman Ekspres[sunting]

Sampai di rumah, Roby agak kaget melihat tas kertas di meja ruang tamu. Namanya tertulis di sana. “Untuk anak kami Roby yang sudah hebat dan belajar giat untuk lomba sains.”

Masih mengenakan beskap, dia buru-buru membuka tas itu. Isinya, buku-buku sains terkini tentang robot, artificial intelligence, dan virtual reality. Juga setumpuk kartu augmented reality. Dia meminjam ponsel mamanya dan memindai satu kartu itu. Dan jreng… figur seperti Albert Einstein yang bereksperimen di laboratorium pun muncul.

Roby begitu bergembira ria. Hampir saja dia menangis karena senang. Dia memeluk erat mamanya dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih juga sama papa. Buku-buku ini papa yang ngirim lewat ekspres dari Jogjakarta,” ujar mama. Papa baru naik pangkat dan ditugaskan sebulan di luar kota.

Mama sudah tahu lebih dahulu dari bunda guru kalau Roby menang lomba sains kemarin dan langsung memberitahu papa. Prestasi itu, bagi mama dan papa, merupakan hadiah yang sangat membanggakan dan berlimpah persembahan dari Roby. Sebagai balasannya, mereka membelikan buku-buku baru itu. Biasanya Roby diajak beli buku bekas di Jalan Semarang.

Hadiah dari Tuhan[sunting]

“Tapi, Ma. Kalau seandainya aku dapat hadiah door prize kan jadi punya buku yang sama,” kata Roby di sela membaca bukunya.

“Mama sudah tahu kok akan kamu kemanakan buku-buku itu, Nak,” jawab mama.

“Akan aku berikan bukunya ke panti asuhan depan kompleks,” ujar Roby dengan cepat.

“Itulah, Nak yang buat Mama bangga sama kamu. Bukan hanya suka dapat hadiah. Tapi, juga suka berbagi. Kamu tahu nak, bagi kami, kamu itu adalah hadiah yang berlimpah yang papa mama dapat dari Tuhan,” kata Mama lantas mengacungkan jempol dan telunjuk membentuk simbol cinta pada Roby.


TAMAT

(*)