Lompat ke isi

Hadiah dari Paman

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

== HADIAH DARI PAMAN ==

1. DI KELAS YANG BARU

[sunting]

Di kelasnya yang baru itu Daryono masih rikuh. Ternyata bukan hanya Daryono, tetapi hampir semua murid kelas itu mengalami hal yang sama. Mereka belum mengenal satu sama lain meskipun sebagian besar mereka berasal dari sekolah yang sama. Hari itu memang hari pertama mereka masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Daryono sekarang duduk di kelas lima. Hanya ada tiga orang kawannya yang satu kelas dengannya waktu duduk di kelas empat. Dua orang di antara mereka justru tidak menyukai Daryono. Mereka adalah Sarman dan Kardi. Seorang lagi kawan Daryono adalah anak perempuan, namanya Astri. “Di kelas lima ini dia tidak akan berkutik,” kata Sarman kepada Kardi yang duduk sebangku dengannya. “Kita hajar dia habis-habisan.” “Bagaimana kalau semua murid di kelas kita yang baru ini ternyata mendukung Daryono?” tanya Kardi. “Aku punya cara. Lihat saja nanti.” “Tapi Sar . . . “ ujar Kardi ragu. Sesaat kemudian ia bicara lebih pelan. Katanya: “Kita ‘kan naik ke kelas lima dengan syarat percobaan. Kalau perbuatan kita diketahui guru maka kita akan turun lai ke kelas empat.” “Kamu kira begitu?” Sarman menyeringai. “Kamu kira sekolah itu sama dengan memanjat pohon yang bia naik dan turun. Di mana-mana kalau sudah naik tidak akan turun lagi. Contohnya iuran SPP kita malah naik terus dan tidak pernah turun.” “Tapi Sar . . . “ kembali Kardi ragu. “Kita sudah berjanji kepada guru kalau kita tidak akan nakal lagi.” “Janji itu ‘kan kita ucapkan di kelas empat. Di kelas lima ‘kan lain lagi. Lagi pula guru kelas lima bukan guru kita di kelas empat dulu. Jangan bodoh, Kar.” “Kita memang bodoh. Aku ranking 20 dan kamu ranking 22. Iya, ‘kan?” “Biar saja pokoknya kita naik kelas. Buktinya seakarang kita duduk di kelas lima, sama dengan Daryono yang ranking satu.” Kardi tahu apa yang dikatakan Sarman adalah salah. Tetapi, Kardi takut kepada Sarman sehingga tidak berani menentangnya.” “Pokoknya kamu jangan banyak omong lagi,” kata Sarman. Kardi melirik ke arah Daryono yang duduk di bangku paling depan. Ia sebenarnya ingin duduk dengan Daryono yang pandai itu. Akan tetapi Sarman selalu saja mengancam Kardi agar tidak sebangku dengan Daryono. Daryono anak yang pendiam, tidak banyak tingkah, ramah, sopan, serta rajin. Daryono juga cerdas. Itu sebabnya sejak kelas satu ia selalu menjadi ranking pertama. Di hari pertama itu anak-anak kelas lima tidak belajar. Waktu mereka digunakan untuk berkenalan dengan guru kelas dan dengan sesama kawan sekelas. Lonceng masuk berbunyi sudah agak lama namun guru yang mereka nantikan belum muncul. Mereka mulai menduga-duga. Keinginan murid memang bermacam-macam. Ada murid yang senang diajar oleh guru perempuan dan ada pula yang lebih senang diajar oleh guru laki-laki. Sarman misalnya, ia lebih senang diajar oleh ibu guru. Alasannya, ibu guru tidak segalak bapak guru. Dengan demikian Sarman bisa berbuat mengacau kelas tanpa mengenal takut. Sebaliknya bagi Daryono diajar oleh siapa pun sama saja. Bukankah dalam belajar yang penting memperhatikan apa yang diajarkan oleh guru? Dengan demikian Sarman bisa berbuat mengacau kelas tanpa mengenal takut. Sebaliknya bagi Daryono diajar oleh siapa pun sama saja. Bukankah dalam belajar yang penting memperhat ikan apa yang diajarkan oleh guru? Seorang wanita berkacamata tiba-tiba memasuki kelas. Dia dikenal sebagai Bu Yusi. Guru itulah yang akan mengajar di kelas Daryono. “Selamat pagi, anak-anak!” “Hore!” Sarman bersorak. “Siapa yang bersorak?” tanya Bu Yusi tersenyum. “Saya, Bu!” Sarman mengacungkan tangan. “Mengapa kamu bersorak? Siapa nama kamu?” “Nama saya Sarman, Bu.” “Kalau ada orang mengucapkan salam, jangan dibalas dengan bersorak, ya! Kali ini saya maafkan,” kata Bu Yusi sambil duduk dan membuka buku presensi. Sesaat kemudian ia menutup buku itu kembali. Bu Yusi bangkit dari kursinya kemudian berdiri di depan kelas. Dipandanginya wajah muridnya satu per satu seakan ingin mengenali semua wajah yang ada di dalam kelas itu. “Kita harus memilih ketua kelas,” kata Bu Yusi kemudian. “Saya ingin ketua kelas harus pandai dan bertanggung jawab. Saya melihat ada di antara kalian yang memenuhi syarat untuk menjadi ketua kelas.” Mata Bu Yusi berhenti menatap Daryono. Dengan senyum ramah Bu Yusi kemudian berkata, “Daryono, kamu saya tunjuk sebagai ketua kelas di sini. Wakilnya Dudi.” Di bangku paling belakang Sarman menggerutu kepada Kardi, kawan sebangkunya. “Mengapa Bu Yusi memilih Daryono, bukan aku saja? katanya kepada Kardi. “Ketua kelas itu harus punya banyak uang dan anak orang yang punya kedudukan. Bapakku lurah di desa ini. Sedangkan Daryono hanya anak petani, miskin lagi.” “Ada apa, Sarman?” tanya Bu Yusi tiba-tiba. “Ti.. .dak, Bu!” jawab Sarman gelagapan. “Dengarkan baik-baik!” Bu Yusi melanjutkan perkataannya. “Tugas ketua kelas adalah memimpin murid di dalam kelas. Sedangkan setiap anggota kelas harus menaati peraturan di kelas. Mengerti?” Sarman merasa kesal dan Kardi kawan sebangkunya, menjadi sasaran kekesalannya. “Ini gara-gara kamu!” tuduh Sarman. “Lho kok marah-marah kepadaku?” “Coba kalau tadi kamu bilang kepada Bu Guru bahwa yang pantas menjadi ketua kelas adalah aku dan bukan Daryono yang loyo itu.” “Bu Guru bilang ketua kelas itu harus ranking pertama. Kamu kan rankingnya rendah.” “Aku tidak akan menurut pada Daryono.” “Terserah kamu,” ujar Kardi agak kesal. “E, kamu melawan aku ya?” “Tidak.” “Sekali lagi bicara begitu, awas!” Kardi ketakutan. Begitu takutnya ia kepada Sarman sehingga ia tak berani lagi berkata-kata. Ketika Bu Yusi meminta Daryono maju ke depan kelas untuk diperkenalkan, Sarman menyeringai. Dari deretan bangku belakang Sarman menatap Daryono dengan pandangan penuh kebencian. “Teman-teman, nama saya Daryono. Cita-cita saya ingin jadi ahli elektronika. Terima kasih,” kata Daryono memperkenalkan diri. “Kamu dengar tidak?” ujar Sarman kepada Kardi dengan nada sinis. “Ya, aku dengar. Dia bercita-cita jadi ahli . . . apa tuh?” “Itu 'kan cita-citaku,” kata Sarman. “Bisa-bisanya dia meniru cita-cita orang. Dasar kurang ajar.” “Cita-citamu apa sih?” tanya Kardi. “'Ya itu tadi, jadi setrika.” “Maksudmu ahli setrika?” “Ya.” “Tapi, cita-cita Daryono bukan ahli setrika melainkan ahli elektronika.” “Apa bedanya?” “Beda dong.” “Sudahlah! Pokoknya dia telah merebut cita-citaku. Dia harus diberi pelajaran,” ancam Sarman. Ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan oleh Sarman. Pulang sekolah Daryono dicegat oleh Sarman dan Kardi di tengah jalan. “Ada apa, Sarman?” tanya Daryono agak gugup ketika melihat Sarman tampak begitu marah. “Kamu jangan pura-pura tidak tahu!” ujar Sarman. “Akui saja kamu bersalah kepadaku!” “Salah apa?” kata Daryono semakin bingung. “Rasanya aku tidak punya masalah denganmu.” “Mentang mentang diangkat jadi ketua kelas lalu kamu menyerobot cíta-cita orang!” “Aku memang bercita-cita jadi ahli elektronika. Setiap orang boleh bercita-cita jadi apa saja.” “Itu ‘kan cita-citaku, tahu!” kata Sarman kasar. “Kamu harus ganti cita-cita! Kalau tidak, awas!” “Cita-citaku hanya itu.” “Kamu bandel, ya? Nih!” kata Sarman sambil meninju. “Aduh!” Daryono terjengkang ke belakang sambil memegangi pipinya yang terkena tinju. “Kamu memukulku.” “Mau melawan? Ayo majulah!” tantang Sarman. Daryono tidak melawan karena tidak punya niat untu lakukan perlawanan. Daryono berpendapat berkelahi tidak ada gunanya, apalagi ngotot tentang hal yang tidak jelas persoalannya. Daryono diam saja meskipun Sarman mengolok-olok mengejeknya. Tetapi, ketika Sarman hendak memukulnya sekalagi, Daryono menghindar sehingga tubuh Sarman berputar oleh dorongan tenaganya sendiri. Tiba-tiba Kardi mengaduh karena hidungnya terkena tinju Sarman. “Kamu kok memukul aku?” kata Kardi sambil mengusap hidungnya yang merah. Untung pukulan Sarman tidak terlampau keras. “Salah sendiri mengapa kamu berdiri di situl.” “Pukulan kamu ngaco!” Sarman dan Kardi bertengkar. Kesempatan itu digunakan oleh Daryono untuk menghindar. Sementara Sarman dan Kardi bertengkar, Daryono diam-diam pergi meninggalkan mereka. “Hah? Mana si Daryono?” tanya Sarman tercengang. “Tuh dia sudah jauh!” “Huh! Penakut!'“ maki Sarman. “Aku kira dia bukan penakut, “ kata Kardi. “Kalau bukan penakut mengapa dia lari, he!'“ “Dia cuma menghindar.” “Penakut atau menghindar yang jelas dia tidak berani melawan jagoan seperti aku, tahu!” Sebenarnya Kardi agak muak dengan kesombongan Sarman yang kelewat batas. Sepanjang jalan Daryono bertanya-tanya dalam hati, mengapa Sarman begitu membenci dirinya? Daryono merasa tidak mempunyai persoalan dengan Sarman ataupun Kardi. Hal itulah yang mendorong Daryono berniat pergi ke rumah salah seorang di antara mereka. Daryono memilih untuk mendatangi Kardi karena rumahnya tidak begitu jauh jika dibandingkan dengan rumah Sarman. Rencananya nanti malam Daryono akan menemui Kardi. Sore itu ia mencari-cari lampu senter. la menemukannya di atas lemari. Diamatinya lampu senter itu lalu dipijitnya tombol kecil pada lampu senter itu. Lampu senter itu menyala. Sinarnya memancar lurus dan melebar dari titik pusat bohlam. Mungkin karena pancaran sinar itu, maka alat tersebut dinamakan lampu senter. Sesuai dengan perkataan Daryono di depan kelas tentang cita-citanya ingin jadi ahli elektronik, ia memang sangat tertarik akan benda-benda yang berhubungan dengan listrik. Lampu senter termasuk salah satu alat yang menggunakan arus atau energi listrik. Daryono penasaran. la berusaha mengungkap rahasia yang ada dalam lampu senter. Dibukanya bagian depan dan belakang lampu senter itu lalu dibuatnya gambar pada secarik kertas. la ingin menemukan cara kerja arus listrik pada lampu senter sehingga bisa menyalakan lampu pijar. Daryono merasa puas karena telah berhasil membongkar rahasia tentang lampu senter. Dipasangnya kembali bagian-bagian dari lampu senter itu. Namun, sebelum pekerjaannya selesai, ibunya datang menghampiri. “Kamu itu kerjanya merusak saja, Yon. Mengapa lampu senter itu kamu bongkar?” tegur ibunya. “Yono hanya ingin tahu, Bu.” “Awas memasang baterainya jangan terbalik!” “Tenang saja, Bu! Pasti beres,” kata Daryono sambil tersenyum. “Katanya kamu mau ke rumah Kardi.” “Nanti malam, Bu,” jawab Daryono sambil menaruh lampu senter itu di atas meja. Kemudian ia berlari ke belakang mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.

2. LISTRIK DAN BAHAYANYA

[sunting]

Wanita itu secara diam-diam memperhatikan kegemaran anaknya. Kegemaran Daryono sama seperti yang dimiliki almarhum ayahnya. Ada perasaan bangga dalam hati wanita itu, tetapi juga dibarengi rasa cemas. Wanita itu cemas kalau-kalau Daryono mengalami nasib seperti almarhum ayahnya. Ayah Daryono adalah seorang karyawan di Perusahaan Listrik Negara. Pak Sadeli namanya. Setiap hari Pak Sadeli berhubungan dengan arus listrik, sampai tiba saat terakhir Pak Sadeli mati tersengat arus listrik tegangan tinggi. Waktu itu Pak Sadeli ditugaskan melakukan pemasangan jalur listrik untuk suatu daerah. Pak Sadeli dan kawan-kawannya berangkat menuju lokasi pemasangan. Beberapa orang ditugaskan merentang kawat untuk mengambil jalur tegangan tinggi menuju gardu. Pak Sadeli sendiri bertugas mengawasi pemasangan kawat di gardu baru itu. Seorang karyawan melakukan kesalahan sehingga tersengat arus listrik. Melihat kejadian itu Pak Sadeli bermaksud memberikan pertolongan. la memukul kawat dengan tongkat. Karyawan itu berhasil diselamatkan, tetapi Pak Sadeli sendiri tersengat aliran listrik dari kawat yang dipukulnya. Pak Sadeli berhasil menyelamatkan nyawa orang lain, tetapi ia sendiri menjadi korban dan meninggal dunia. Daryono mengetahui nasib ayahnya yang nahas itu dari ibunya. Dan ibunya meminta agar Daryono jangan menyenangi kelistrikan. Wanita itu percaya bahwa orang yang bekerja dengan listrik akan mati oleh listrik. “Jadi . . . kalau Ibu bekerja di dapur akan mati juga oleh kompor, begitukah Bu?” tanya Daryono setengah menyindir. “Ya tidak juga sih.” “Nah! Mengapa Ibu melarang aku menyukai kelistrikan? Apakah Ibu takut aku mati tersengat setrum seperti Ayah?” Wanita itu terdiam. la tahu tabiat Daryono sama kerasnya dengan tabiat almarhum ayahnya. “lbu tidak bermaksud melarang kamu menyukai listrik,” kata wanita itu kemudian. “Sekarang lebih penting sekolah saja setinggi-tingginya. Ayahmu dulu tidak tamat SMA. Akibatnya ia hanya sebagai pekerja lapangan. Coba kalau dia sarjana elektro tentu ia tidak perlu naik-naik ke tiang listrik.” Daryono menatap ibunya. Bola mata wanita itu tampak digenangi air. “Mengapa lbu menangis?” tanya Daryono. “Ah, tidak. Tidak apa-apa!” jawab wanita itu berbohong. “Ibu pasti teringat Ayah, ya?” Daryono menduga-duga. “Kata guru agama, orang yang sudah mati tidak akan kembali lagi. Kalau orang yang sudah mati kita tangisi maka ia akan menemukan jalan gelap.” Wanita itu tersadar. Diraihnya Daryono kemudian dipeluknya erat-erat. Waktu itu mereka tinggal di rumah hanya berdua. Kakak Daryono, Sulistya sedang kemping di gunung. Sulistya adalah satu-satunya kakak wanita Daryono. Sulistya sekarang duduk di bangku SMA kelas dua. Jarak kelahiran Daryono dengan kakaknya cukup jauh. “Kapan Kak Sulis pulang, Bu?” tanya Daryono tiba-tiba karena teringat kakaknya. Tak ada Sulis rasanya rumah ini menjadi sepi. Kak Sulis, begitulah panggilan Daryono terhadap Kakaknya adalah seorang gadis yang gemar menyanyi dan menari. Tahun lalu Kak Sulis berhasil menjadi Juara Dua Festival Nyanyi Lagu Pop se-kabupaten. Tahun ini mungkin Kak Sulis akan ikut lomba se-propinsi. Kegemaran Kak Sulis dan Daryono memang jauh berbeda. Meskipun demikian keduanya saling mendukung. Kak Sulis selalu berusaha menjelaskan apa yang diketahuinya tentang listrik kepada adiknya. Cukup sekali saja Kak Sulis menjelaskan pasti Daryono akan tetap ingat penjelasan itu. Beberapa waktu yang lalu Daryono bertanya kepada Kak Sulis tentang sumber-sumber energi listrik. Kata Kak Sulis sumber energi listrik ada bermacam macam. Ada arus listrik yang dibuat secara kimia dan ada juga yang menggunakan daya alam dan diesel. Kegemaran Daryono terhadap kelistrikan tidak semata-mata karena ia anak bekas karyawan PLN. Sebaliknya ia mulai tertarik terhadap listrik sejak mendengar cerita dari ibunya tentang almarhum ayahnya, bahwa ayah Daryono meninggal karena tersengat arus listrik tegangan tinggi. Mula-mula Daryono menduga listrik itu mempunyai sengat seperti sengat kalajengking atau tawon. Ternyata tidak demikian. Arus listrik memang menimbulkan kejutan yang sangat kuat dan dapat membunuh seseorang.

3. KENA BATUNYA

[sunting]

Hampir setiap hari Sarman membuat ulah yang tidak baik. Ada-ada saja yang dilakukannya. Kemarin ia menumpahkan tinta ke atas buku tulis Daryono. Beberapa hari yang lalu ia menubruk Daryono yang sedang makan bakso sehingga bakso yang sedang dimakannya tumpah. Meskipun demikian Daryono tetap berusaha menahan diri. Pagi itu Sarman kembali membuat gara-gara. Sarman menolak ketika diminta ikut berbaris sebelum memasuki kelas. la tenang-tenang saja duduk di teras. Sebagai ketua kelas. Daryono bertanggung jawab atas ketertiban kelas. Dengan tenang Daryono menghampiri Sarman yang sedang duduk sambil mengunyah permen karet. “Man, kenapa tidak ikut berbaris?” tanya Daryono baik-baik. “Mau ikut baris atau tidak itu urusanku,” jawab Sarman. “Ini peraturan sekolah. Cepatlah berbaris sebelum Pak Dodi datang,” bujuk Daryono. “Kamu memaksa aku, ya.” “Aku 'kan ketua kelas, Man. Jadi, aku bertanggung jawab atas ketertiban kelas.” Sarman Bangkit dengan kasar. Diludahkannya permen karet dari mulutnya. Seperti seorang koboi Sarman menghampiri Daryono dan mencengkeram leher bajunya. “Mentang-mentang ketua kelas mau memerintah aku. Huh! bentak Sarman sambil mendorong tubuh Daryono kuat-kuat. Tubuh Daryono yang tidak begitu besar terpental ke belakang. Nahas, kakinya menginjak batu sehingga terpeleset membuat Daryono terjerembab di atas tanah. Menerima perlakuan seperti itu Daryono naik darah. la bangkit dengan cepat dengan maksud melakukan perlawanan. Akan tetapi, dari kantor sekolah tampak Pak Dodi berjalan cepat menuju ke kelas mereka. Sarman yang melihat Pak Dodi segera memasuki barisan sambil mengancam Daryono. “Persoalan ini belum selesai!” katanya. Kenapa kalian belum berbaris?” tanya Pak Dodi. “Siapa ketua kelasnya?” “Saya, Pak!” “Cepat siapkan! Setelah berpakaian olahraga segera ke lapangan!” Tanpa banyak bicara Daryono segera menyiapkan barisannya. Di depan Pak Dodi tidak banyak yang dilakukan Sarman kecuali matanya yang melirik penuh kebencian. “Yon, kenapa kamu diam saja?” ujar Astri. “Sekali-sekali Sarman harus dilawan. Dia semakin kurang ajar saja!” Daryono tidak menyahut kecuali tersenyum. “Kalau aku laki-laki sudah kuhajar si Sarman!” sambung Astri. “Tak ada gunanya berkelahi, Tri. Peribahasa mengatakan menang jadi arang kalah jadi abu.” “lya, tapi kalau dibiarkan terus kamu akan semakin diinjak-injak si Sarman, tahu!” “Sudahlah! Ayo kita cepat ke lapangan!'“ ajak Daryono. Rupanya kata-kata Astri terdengar oleh salah seorang kawan Sarman dan dilaporkan kepada anak itu. Sudah tentu Sarman sangat marah. Ketika pelajaran olahraga berakhir dan semua murid boleh berganti pakaian, Sarman menghampiri Astri. “Kamu bilang apa, he!” tanya Sarman. “Kapan?” tanya Astri. “Tadi di kelas kepada Daryono!” “Aku tidak bilang apa-apa!” “Bohong!” bentak Sarman. Kamu bilang aku ini kurang ajar. “Kamu memang kurang ajar!” kata Astri dengan berani. “E, berani sama aku ya!” bentak Sarman sambil melayangkan tangan ke muka Astri. “Uh!” Astri mengaduh sambil memegangi pipinya yang sakit. Sarman belum puas. Ditempelengnya Astri sekali lagi. “Biar kapok!” maki Sarman. “Kamu beraninya sama perempuan! balas Astri sambil menangis. Mendengar Astri menangis anak-anak mengerumuninya. “Biar kalian tahu kalau aku tidak pernah main main,” kata Sarman sambil berlalu. Astri menangis tersedu-sedu. Beberapa anak memberitahu Daryono yang waktu itu sedang mencuci muka di kamar kecil. Mendengar laporan itu Daryono segera menemui Astri. “Kenapa, Tri?” tanya Daryono. “Apa masalahnya sehingga Sarman menempeleng kamu?” “Dia memang pengecut!” ujar Astri dalam tangisnya. “Sudahlah jangan menangis,” kata Daryono lagi. “Persoalan ini jangan diperbesar. “Berita Astri menangis karena ditempeleng Sarman rupanya sampai pula ke telinga Toto, murid kelas enam. Toto adalah kakak Astri. Mendengar adiknya dipukul orang Toto berlari-lari ke kelas lima. “Siapa yang memukul kamu, Tri?” tanya Toto. “Sarman!” “Kurang ajar!” Sudah sajalah, Kak! Jangan diperpanjang,” ujar Daryono berusaha menenangkan Toto. Agaknya kata-kata Daryono dengar Toto. Dengan muka merah padam Toto berlalu meninggalkan adiknya yang masih menangis. Siang itu matahari bersinar terik. Anak-anak kelas lima pulang paling belakang. Seperti biasa Sarman dan kawan-kawannya pulang bergerombol mendahului yang lain. la bersenda gurau sepanjang jalan dan kadang-kadang mengganggu anak-anak perempuan. Dalam perjalanan pulang itu kawanan Sarman dihampiri oleh beberapa murid kelas enam. Salah seorang di antaranya adalah Toto. “Siapa yang bernama Sarman?” tanya Toto. “Saya! Memangnya ada apa?” Sarman balik bertanya. “Apa benar tadi kamu memukul Astri?” “Betul! Dia menghina saya,” jawab Sarman berani. “Kamu hanya berani kepada anak perempuan. Aku kakaknya Astri. Kamu tadi menempeleng adikku, sekarang kuhajar kau sambil berkata demikian Toto melayangkan tinju ke muka Sarman sehingga anak itu terhuyung ke belakang. Belum sempat Sarman berbuat apa-apa kembali Toto meninjunya beberapa kali. Tubuh Sarman berputar karena pusing. Tidak lama kemudian Sarman terjerembab ke dalam parit. “Sekali lagi mengganggu adikku, awas!” ancam Toto. Dengan tubuh basah kuyup dan penuh lumpur Sarman berusaha bangkit. la memaki-maki sendiri. Namun, kejadian itu tidak membuatnya jera. Bahkan Sarman menuduh Daryono yang menjadi biang keladinya. “Ini pasti ulah si Daryono! Awas nanti!” geramnya sambil mengibaskan lumpur di wajahnya. Ketika sampai di rumah, Daryono melihat Kak Sulis sedang marah-marah sendiri. Kak Sulis pasti sedang punya masalah, pikir Daryono. “Kamu ini suka merusak barang-barang!” tuduh Kak Sulis begitu melihat Daryono. “Ada apa, Kak?” “Ada apa? Huh! Lihat nih! Setrika ini tidak panas lagi! Ini pasti ulah kamu!” “Aku tidak tahu, Kak!” “Ibu bilang kamu kemarin pegang-pegang setrika listrik ini. Iya, 'kan?” “Betul, Kak. Cuma memegang. Masa iya setrika dipegang menjadi rusak?” “Kamu membuka bukanya tidak?” “Tidak!” “Setrika itu memang sudah rusak sejak minggu lalu, kata ibu yang tiba-tiba muncul. “Yon tolong ambilkan tang dan kunci-kunci!” kata Kak Sulis. Di rumah itu tidak ada laki-laki dewasa sehingga Kak Sulis terpaksa berusaha membetulkan setrika itu sendiri. Dengan sangat hati-hati Kak Sulis mulai membongkar setrika listrik itu. Daryono memperhatikan dengan saksama. “Aku boleh melihat 'kan, Kak?' tanya Daryono. “Ini pekerjaan laki-laki. Seharusnya kamu yang mengerjakan ini.” “Kira-kira rusak apanya ya, Kak?” “Mudah-mudahan cuma kabelnya yang putus.” Bagian dalam setrika listrik tidak terlalu ruwet. Elemen di dalamnya tampak sangat sederhana. Asas kerja setrika listrik adalah mengubah tenaga listrik menjadi tenaga panas. Setrika listrik disebut juga setrika elektrik. Dalam setrika elektrik aliran listrik diubah menjadi panas. Untuk memperoleh panas maka logam berat pada dasar setrika dihubungkan dengan unit pemanas. Setrika elektrik yang dilengkapi dengan pengatur suhu. Dengan adanya pengatur sunu maka panas setrika dapat diatur. “Apanya yang rusak, Kak?” tanya Daryono. “Cuma kabelnya. Kabelnya putus,” jawab Kak Sulis sambil menyambungkan kembali kabel yang terputus itu.

4. HADIAH DARI PAMAN

[sunting]

Udara pagi yang segar membuat Daryono makin bersemangat. Daryono berangkat ke sekolah lebih pagí darípada biasanya. La perlu mampir ke rumah Astri untuk mengembalikan buku bacaan yang dipinjamnya. Rumah Astri terletak di sebelah utara balai desa. Daryono sengaja berjalan lewat tepian sungai karena rumah Astri lebih dekat dicapai dari sana. Ketika hampir sampai di jembatan, Daryono dihadang oleh beberapa anak penggembala. Daryono kenal mereka karena pernah sekelas ketika masih duduk di kelas tiga. Mardi dikeluarkan karena mencuri uang kawan sebangkunya. Rakmin dikeluarkan karena sering berkelahi dan membuat onar. Sedangkan Janadi keluar tanpa alasan yang jelas. Mereka sekarang menggembalakan ternak orang tua masing-masing. “Tumben kamu lewat ke sini,” tegur Mardi. “Mau ke rumah kawan dulu,” kata Daryono tanpa menaruh curiga sedikit pun. “Ayo ah, takut kesiangan!” “Tunggu dulu!” cegah Mardi.”Sekarang kamu sombong amat! Mentang-mentang punya baju bagus ya.” “Tas kamu isinya apa tuh?” sambung Rakmin. “Buku” “Jangan bohong!” tukas Janadi. “Coba saya periksa.” Daryono mulai curiga. Mereka bertiga adalah kawan sepermainan Sarman. “Kamu boleh lewat di sini tapi bayar dulu,” kata Mardi kemudian. “Bayar? Memangnya tanggul sungai ini jalan tol?” “Ee, melawan ya? “ ancam Rakmin. “Tunggu dulu! Kalian ini sebenarnya mau apa? Ada persoalan apa sehingga kalian mencegatku?” “Berikan tas kamu!” kata Janadi sambil merebut tas sekolah milik Daryono. “Isinya cuma buku!” Janadi memeriksa tas itu. Isinya memang buku dan alat-alat tulis. “Berikan tasku!” pinta Daryono. “Sialan!” maki Janadi sambil melemparkan tas sekolah Daryono ke sungai. “Jangan!” kata Daryono mencegah. Tetapi, sudah terlambat. “Ambil tasmu tuh!” maki Mardi sambil mendorong tubuh Daryono hingga tercebur ke sungai. Ketiga anak penggembala itu tertawa-tawa sambil pergi meninggalkan Daryono yang basah kuyup. Di atas jembatan Sarman dan Kardi menertawakan Daryono. “Kok mandi di sungai?” Sarman mengejek. “Di rumahnya pasti tidak ada air, tuh!” Daryono menatap geram. Kini ia baru sadar kalau ketiga anak penggembala itu telah diperalat oleh Sarman. Dengan tubuh basah kuyup Daryono terpaksa kembali lagi ke rumah. “Lho! Kenapa kamu, Yon?” tanya ibunya tercengang. “Terpeleset masuk sungai, Bu!” Daryono berbohong. Agaknya Daryono tidak ingin memperpanjang masalah. “Bagaimana kamu sampai bisa jatuh, Yon?” “Bisa saja dong Bu. Jalannya licin,” jawab Daryono sambil bergegas ke kamar mandi. la tidak ingin kehilangan waktu. Pagi itu Daryono ke sekolah dengan tidak membawa tas. Buku yang dibawa pun seadanya. Ketika sampai di sekolah Daryono tidak melihat anak-anak di halaman. la kesiangan beberapa menit. Jam pertama pelajaran matematika. Dengan perasaan was-was Daryono mengetuk pintu. “Maaf kesiangan, Bu,” kata Daryono penuh hormat. Ibu guru menatap tajam dengan pandangan menaksir-naksir. Daryono menunduk malu. Mata ibu guru seakan-akan sedang menuduh, menyalahkan dirinya. Memang pagi itu Daryono ke sekolah dengan membawa bermacam-macam kesalahan. “Kamu mau sekolah atau bermain?” tanya ibu guru. “Coba kalian lihat kawanmu ini!” ujar ibu guru kemudian kepada semua murid. Daryono menunduk semakin dalam karena merasa malu sekali. Baru sekali dalam hidup Daryono mendapat malu seperti itu. “Sudah tidak berseragam, pakai sandal lagi!” celoteh Sarman dari bangku belakang. Panas telinga Daryono mendengar ocehan itu. “Tidak pantas seorang ketua kelas memberi contoh jelek seperti ini,” ujar ibu guru kemudian. “Apakah kamu mengerjakan PR matematika?” “Mengerjakan, Bu,” jawab Daryono tersendat. “Mana bukunya?” “Ti.. . tidak dibawa, Bu.” “Hah? ibu guru tercengang dan tampak semakin marah kepadanya. “Makin banyak saja kesalahanmu. Tidak memakai seragam, memakai sandal, tidak mengerjakan PR, lalu apa lagi? Kamu memang pantas mendapat hukuman! Selama pelajaran matematika kamu harus tetap berdiri di depan kelas. Berdiri di sudut sana!” Seperti kerbau dicocok hidung Daryono berjalan lunglai ke sudut kelas dan berdiri di sana. Wajahnya menunduk, malu kepada kawan-kawan yang duduk di bangku masing-masing. Ketua kelas memberi contoh yang jelek, begitu kata-kata ibu guru terngiang kembali di telinganya. Daryono mengakui semua kesalahannya. la ingin beralasan tetapi tidak mendapatkan kesempatan untuk itu. Selama pelajaran matematika Daryono berusaha menahan perasaan. la tetap berdiri dengan wajah menunduk. Sesekali ia mendengar ocehan Sarman di bangku belakang. Timbul kemarahan Daryono. Namun, ia segera sadar kalau saat itu sedang berada di dalam kelas, di hadapan guru matematika. Lagi-lagi Daryono menahan perasaan. Bel istirahat berdentang. Daryono merasa lega karena ia dapat melepaskan diri dari hukuman berdiri di depan ruangan. Namun, baru saja ia hendak beranjak dari tempatnya, Sarman datang menghampiri sambil mengejek. “Maka dari itu jadi orang jangan sombong,” kata Sarman. “Ini hadiah bagi orang yang sok jagoan.” Mendengar ejekan itu muka Daryono merah padam. Matanya menatap liar. la marah bukan kepalang. Dalam keadaan seperti itu Daryono melihat Sarman tampak hanya sebesar seekor semut. Dalam sekali injak saja Sarman akan hancur. Untung Daryono sadar kalau saat itu sedang berada di dalam kelas sehingga ia segera meredam perasaannya. Dibiarkannya Sarman mengoceh sesuka hatinya. “Mengapa kamu tidak bersepatu dan memakai seragam?” tanya Astri ketika Daryono duduk. Daryono tidak segéra menjawab kecuali memandang Sarman yang pergi ke luar kelas. “Apa ada hubungannya dengan si Sarman, Yon?” tanya Astri lagi. Daryono menghela napas kemudian berkata, “Tadi pagi aku tercebur ke sungai. Sepatu, pakaian seragam, dan tas sekolahku basah kuyup termasuk buku kepunyaan kamu.” “Kamu jalan lewat tepian sungai?” “Pagi tadi aku bermaksud ke rumahmu mengantarkan buku itu. Aku dihadang oleh tiga anak penggembala. Tidak jelas apa sebabnya mereka lalu mendorong aku masuk ke dalam sungai. Aku kembali ke rumah. Pakaian seragamku yang lain ternyata sedang dicuci dan aku hanya punya sepasang sepatu. Lalu kamu nekad berangkat sekolah tanpa seragam dan sepatu?” “Daripada aku tidak masuk ke sekolah.” “Mengapa tadi tidak kamu jelaskan kepada Bu Guru?” “lbu Guru tidak memberi kesempatan, Kamu tahu sendiri.” “Yon,” ujar Astri setengah berbisik,”Jangan-jangan ketiga anak penggembala itu kawannya Sarman.” “Memang iya. Sarman menyuruh mereka mengerjai aku.“ “Lalu, apa tindakanmu sekarang?” Daryono tidak menjawab. Sejenak ditatapnya Astri yang duduk di sisinya. “Maafkan aku, Tri. Buku milikmu rusak gara-gara aku, Tapi jika kamu mau maka aku bersedia mengganti dengan buku baru. Aku sudah bilang kepada ibuku. . . ” “Tidak usah kau ganti, Yon! Kebetulan aku sudah membacanya.” “Benarkah kamu tidak marah, Tri?” “Sungguh!” “Terima kasih, Tri. Kamu memang orang yang baik.” Pelajaran berikutnya Daryono tetap menjadi omelan ibu guru. la hanya menunduk tanpa mampu memberi alasan sepatah kata pun. Sebaliknya Astri yang duduk di sebelahnya merasa tidak tahan lagi. “Maaf, Bu,” kata Astri tiba tiba. “Ada apa, Astri?” tanya ibu guru. “Dari pagi tadi Bu Guru mengomeli Daryono terus tanpa ibu ketahui sebab-sebabnya Daryono tidak berseragam dan tidak memakai sepatu. Seharusnya yang Ibu marahi adalah Sarman.” Ibu guru mengerutkan kening dan berjalan menghampiri Astri. Anak itu dikenal pendiam tetapi sekarang tiba-tiba banyak bicara. “Sebenarnya ada apa, Astri?” tanya ibu guru kemudian. “Pagi tadi Daryono dihadang oleh kawan-kawan Sarman di tepi sungai. Mereka mendorong Daryono hingga tercebur ke sungai. Buku dan pakaian seragam Daryono basah kuyup. Daripada bolos sekolah Daryono lebih baik sekolah tanpa berpakaaian seragam.” “Apa benar begitu, Yon?” tanya ibu guru. Daryono mengangguk. Hanya itu yang bisa ia lakukan itu pun terpaksa karena Astri telah menceritakan segalanya. Wajah Sarman pucat pasi. Lebih-lebih ketika ibu guru memanggilnya agar maju ke depan kelas. “Berdiri di situ!” perintah ibu guru. “Benarkah kamu menyuruh kawan-kawanmu mencelakakan Daryono?” “Ti. tidak, Bu! Sumpah, Bul” Sarman mengelak. “Itu hanya alasan Daryono, Bu.” “Sudahlah! Pokoknya saya tidak ingin mendengar kejadian seperti itu lagi.” Anak-anak tertib kembali. Mereka melanjutkan pelajaran dengan tenang. Namun, baru beberapa menit saja mereka belajar pintu kelas diketuk dari luar. Ibu guru menghampiri pintu dan di sana tampak Pak Wid, pegawai tata usaha. Lelaki itu memberikan sepucuk surat kepada ibu guru, setelah itu pergi kembali. “Daryono!” panggil ibu guru sambil mengamati surat itu. “Ya, Bu.” “Ini surat untukmu.” Daryono berjalan ke depan kelas menjemput surat dari tangan gurunya. “Terima kasih, Bu.” “Nanti saja membacanya! Mari kita lanjutkan pelajaran hari ini!” Beberapa saat Daryono menga mati sampul surat itu. Pada bagian belakang sampul surat tertulis nama dan alamat pengirimnya. “Dari siapa, Yon?” tanya Astri. “Pamanku di Bandung. Mungkin ini balasan surat yang aku kirim beberapa minggu yang lalu. Karena Daryono tidak membawa tas maka surat itu ia titipkan kepada Astri. Pulang sekolah barulah Daryono membuka surat tersebut. Isi Surat tersebut sangat menggembirakan Daryono. la bersorak kegirangan. “Lihatlah, Astri! Pamanku memberi hadiah kenaikan kelas kepadaku!” “Coba bacakan!” “Dengarkan, ya! kata Daryono Kemudian membacakan bagian isi surat itu untuk Astri. Isinya bahwa pamannya di Bandung sudah mengirimkan sebuan pesawat televisi berwarna 14 inci ke alamat orang tua Daryono. Daryono sudah tak sabar lagi ingin cepat sampai di rumah, ingin melihat hadiah kiriman dari pamannya itu. Ternyata memang benar. Ketika Daryono sampai di rumah, ia melihat sebuah paket yang masih terbungkus rapi. Di luar paket tertulis nama Daryono. “Ini dari Paman, Bu,” kata Daryono. Hadiah kenaikan kelas dan ranking pertama. Ini suratnya.” Seisi rumah bergembira. Televisi berwarna sudah lama mereka impi-impikan. Kak Sulis menyalami adiknya dan memberi selamat. 'Awas jangan dibongkar-bongkar!” pesan Kak Sulis karena ia tahu adiknya selalu ingin mengetahui rahasia barang-barang elektronik. Dalam benak Daryono memang sudah terbayang tentang keanehan gambar pada pesawat televisi. Mengapa pesawat televisi bisa mewujudkan gambar dan suara serta tata warna yang indah? Daryono ingin sekali mengetahui rahasianya. Untuk memasang pesawat televisi harus mengikuti petunjuk- petunjuk pemakaiannya. Dalam kardus televisi kiriman pamannya Daryono terdapat buku petunjuk itu. Setiap televisi baru pasti dilengkapi dengan surat garansi dan buku petunjuk pemasangannya. Daryono tersenyum simpul memandangi pesawat TV di ruang tengah. Hari sudah mulai gelap tetapi Kak Sulis belum juga menghidupkan pesawat TV itu. “Kenapa belum dihidupkan, Kak?” tanya Daryono tak sabar. “Tidak akan ada gambarnya,” jawab Kak Sulis. “Ini 'kan televisi baru, Kak.” “Ada yang kurang. Mungkin Paman lupa tidak mengirimkannya. Tetapi, besok kita bisa membelinya.” “Kurang apa lagi, Kak?” “Antena. Tanpa antena pesawat TV tidak akan baik menerima siaran, kecuali dekat studio siaran.” Daryono agak kecewa karena belum bisa menikmati siaran televisi pada malam itu. la terpaksa harus menunggu sampai Kak Sulis membeli antena besok pagi. “Antena itu gunanya untuk apa sih, Kak?” Antena pesawat penerima menangkap gelombang santir dan gelombang suara secara terpisah. Setelah diterima, arus santir dan suaranya diproduksi, diperkuat, dan disiarkan. Arus santirnya diteruskan ke tabung sinar katode, sedangkan arus suara diteruskan ke saluran penyuaraan.

5. TELEVISI BARU

[sunting]

Sebenarnya sudah cukup lama desa Daryono mendapat aliran listrik, kira-kira sudah satu tahun lebih. Rumah penduduk Daryono belum memanfaatkan listrik bisa dihitung dengan jari. Meskipun di desa Daryono sudah ada aliran listrik, tetapi jumlah pesawat televisi di sana masih sangat terbatas. Oleh karena itu, seorang pemilik pesawat televisi sering didatangi para tetangga yang ingin ikut menonton. Sebelum punya pesawat televisi kalau ingin menonton Daryono suka datang ke rumah Pak Jalimus atau ikut nonton di balai desa karena di sana disediakan TV umum. Tapi, sekarang setelah keluarganya punya televisi, rumah Daryono malah didatangi tetangga yang ingin ikut menonton. Kabar tentang Daryono punya televisi tersebar di kalangan teman-teman sepermainannya. Lantas mereka beramai-ramai mendatangi rumah Daryono. Bagi Daryono sendiri kedatangan banyak kawan merupakan kegembiraan. Pintu rumah Daryono selalu terbuka. Bahkan anak-anak yang biasanya ikut nonton televisi di rumah Sarman sekarang pindah menonton di rumah Daryono. “Kalau mau ikut nonton bayarnya berapa, Yon?' tanya salah seorang di antara mereka. “Bayar? Mengapa harus membayar?” jawab Daryono balik bertanya. “Kalau menonton di rumahnya Sarman, kami suka dimintai uang.” Keterlaluan, pikir Daryono. Masa iya ikut menonton televisi saja harus bayar. Barangkali si Sarman satu-satunya pemilik TV di dunia yang memungut bayaran kepada orang yang ikut menonton di rumahnya. “Padahal televisi milik Sarman tidak berwarna,” nyeletuk salah seorang anak yang lain. “Betul, Yon Boleh tidak kami ikut menonton di rumah kamu?” “Kalian ini aneh,” kata Daryono. '“Kalian tentu boleh menonton televisi di rumahku tanpa harus bayar!” “Jadi boleh, Yon?” “Tentu saja. Tetapi, tunggu dulu. Aku harus bertanya dulu kepada kakakku, kata Daryono. “Kalian tunggu sebentar di sini. Daryono berlalu ke dalam rumahnya. Sesaat kemudian ia sudah kembali bersama Kak Sulis. “Ada apa adik-adik?” tanya Kak Sulis sambil tersenyum. “Boleh tidak kami ikut menonton televisi di sini, Kak? “Boleh. Tetapi, ada syaratnya,” jawab Kak Sulis. “Syaratnya apa, Kak” “Kalian harus tertib dan tidak gaduh” “Setuju!” “Kalian menonton tidak boleh lebih dari jam dua puluh atau jam delapan malam. Kalian boleh menonton setelah selesai belajar. Bagaimana?” “Setuju, Kak!” “Peraturan ini juga berlaku untuk kamu, Yon,” lanjut Kak Sulis. “Tugas utama kalian adalah belajar, jadi kalian harus mengutamakan belajar daripada menonton televisi. Kalian juga harus mengetahui acara mana yang pantas kalian lihat dan mana yang udak pantas kalian perhatikan. Penonton televisi yang baik harus memilih acara yang pantas bagi dirinya. Apabila semua acara bisa kalian lihat maka habislah waktu belajar kalian untuk menonton televisi. Jika terjadi demikian maka televisi akan menjadi barang elektronik yang merusak pendidikan.

6. PELAJARAN TERAKHIR

[sunting]

Mendengar Daryono punya pesawat televisi berwarna, tingkah Sarman semakin menjadi-jadi. Tadi pagi sebelum bel masuk berbunyi Sarman menginjak-injak tempat duduk Daryono dan menantang berkelahi. Daryono hanya diam seakan tidak ingin melayani tantangan itu. “Kamu kok tidak mau melawan sih Yon?” ujar Dudi yang mulai sebal terhadap tingkah Sarman. “Untuk apa melawan? Apa untungnya berkelahi?” jawab Daryono balik bertanya. “Harga diri, Yon! Kalau dibiarkan, dia semakin merajalela!” Pada waktu itulah tiba-tiba muncul Sarman sambil membawa mangkok bakso. “Kalian mau mengeroyok aku, ya?” katanya sombong. ”Siapa?” tanya Daryono. “Kamu!” bentak Sarman. Sambil berkata demikian Sarman menyiramkan kuah bakso itu ke muka Daryono. “Uh! Daryono mengaduh karena matanya pedih. la cepat cepat lari ke kamar mandi dan mencuci mukanya yang penuh dengan kuah bakso. Pakaian Daryono juga kotor oleh sisa-sisa bumbu bakso. Melihat Daryono kepedihan Sarman tertawa-tawa kegirangan. “Rasain!” katanya. “Kalau berani, silakan lawan aku!” Pelajaran terakhir berlangsung dengan tenang. Daryono mengikuti pelajaran dengan mata yang masih agak pedih. Kulitnya agak gatal karena bajunya basah oleh kuah bakso. Ketika bel pulang berbunyi Daryono mengemasi buku-buku dengan tenang. la berjalan mendahului kawan-kawan yang lain. Astri, kawan sebangkunya memperhatikan sikap Daryono yang agak lain itu. Namun, Astri tidak berani bertanya. Sarman yang semakin penasaran memburu Daryono dan memukul dari belakang. “Ayo lawanlah aku!” tantang Sarman. Baru punya televisi kecil saja sudah sombong! Ayahku mau membeli televisi yang besarnya seperti layar bioskop.” Daryono membereskan buku-bukunya yang bertebaran di tanah karena jatuh ketika dipukul Sarman. Setelah itu ia berdiri dengan tenang menghadapi Sarman. Mata Daryono merah dan berkilat-kilat. Dengan suara agak gemetar ia bertanya, “Sebenarnya apa yang kamu inginkan dariku, Sarman?” “Kamu harus tunduk dan menyembah kepadaku !” “Kamu keterlaluan!” “Jadi, kamu melawan?” bentak Sarman sambil melayangkan tinjunya ke muka Daryono. Pada saat itulah Daryono berkelit ke samping sehingga pukulan Sarman mengenai angin. Secepat itu pula Daryono memberikan perlawanan. Dicekalnya tangan Sarman kemudian diputarnya ke belakang. “Aduh!” Sarman meringis kesakitan. Dengan tenaga yang kuat Daryono mendorong tubuh Sarman hingga tersuruk ke depan. Muka Sarman penuh debu karena mencium tanah. Kemarahan Sarman memuncak. la bangkit dan menendang ke arah perut Daryono. Tetapi, dengan cekatan Daryono berkelit sambil menyiku. “Uh!” lagi-lagi Sarman mengaduh karena ulu hatinya terkena siku Daryono. Dengan cepat Daryono melompat sambil menendangkan kakinya dengan keras. Ujung sepatu Daryono tepat mengenai muka Sarman hingga anak itu terjungkal. Daryono tidak berhenti sampai di situ. la melompat menghampiri sambil menendang kembali. Kali ini perut Sarman yang tertendang. “Ayo bangun!” kata Daryono. Sarman berusaha bangun dan pada saat itulah tinju Daryono melayang ke mukanya. Tiga kali berturut-turut tangan Daryono mendarat di muka Sarman sehingga anak itu terhuyung-huyung dan jatuh. Ketika Daryono hendak menendang, dari arah belakang tiba-tiba muncul Kardi. Daryono tahu, Kardi adalah sahabat karibnya Sarman. Oleh karena itu, tanpa banyak bicara Daryono menyambut kedatangan Kardi dengan tendangan kakinya. “Aduh! Oh. . .” Kardi mengaduh dan terhuyung-huyung. “Ayo maju!” tantang Daryono. “Ampun, Yon. . .” rengek Kardi. “Aku bermaksud memisah kalian, bukan mau membantu Sarman. Berani sumpah!” “Kalau kalian masih penasaran, aku tunggu nanti sore di pinggir kali!” kata Daryono sambil berlalu meninggalkan Sarman dan Kardi. Rupanya Astri, Dudi, dan kawan-kawan yang lain diam-diam menyaksikan perkelahian itu. Mereka memuji-muji Daryono yang telah berhasil merobohkan Sarman dan Kardi. “Biar kapok!” ujar Astri sambil berlalu melewati Sarman yang masih duduk sambil mengerang kesakitan. “Maka dari itu jadi orang jangan sok jagoan!” ujar Dudi, wakil ketua kelas. “Kalau kamu mau tambah, boleh dengan aku. Nih!” “Uh!” jerit Sarman karena tiba-tiba dipukul Dudi. “Mau melawan?” “Ti...tidak. Ampun. ..” rengek Sarman. Peristiwa itu terdengar oleh guru di sekolah. Keesokan harinya Daryono, Dudi, Sarman, dan Kardi dipanggil ke kantor sekolah. Mereka diadili di hadapan beberapa orang guru. KepalaSekolah menyimpulkan bahwa Sarman dan Kardi memang bersalah. Tetapi, Daryono juga bersalah karena melakukan perkelahian. Sekolah bukan untuk berkelahi. Daryono dan Dudi dipecat dari jabatan ketua dan wakil ketua kelas dan digantikan oleh yang lain. Sedangkan Sarman dan Kardi yang naik kelas dengan syarat percobaan terpaksa diturunkan lagi ke kelas empat. Sejak saat itu Daryono dan kawan-kawan dapat belajar dengan tenang.