Hantu Laut

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Ilustrasi hantu laut

Dikedalaman samudra yang biru, terdapat sebuah legenda di kalangan masyarakat suku Bajo. Legenda yang diturunkan dari generasi kegenerasi berikutnya. Legenda tentang penghuni lautan. Dia memiliki banyak julukan. Mereka biasa menyebutnya sebagai orang-orang laut, penunggu laut atau hantu laut.

Lakon[sunting]

  1. Arman
  2. Risal
  3. Mike (dibaca Mi-Ke)
  4. Mbo Jalu

Lokasi[sunting]

Pulau Labobo. Banggai Laut, Sulawesi Tengah.

Cerita[sunting]

Arman tiba-tiba terbangun dari tidurnya, jantungnya berdegup kencang. Ekspresi wajahnya menunjukan ketakutan yang teramat sangat. Saking takutnya, tubuhnya masih belum berhenti bergetar. Detak jantungnya terus memacu begitu kuatnya, hingga ia hampir-hampir tak dapat membedakan antara suara detak jantungnya, atau jam analog usang yang terpajang di dinding kamarnya. Sementara itu, keringat dingin terus mengucur dari pelipis kepalanya yang kian terasa pusing. Tak lama berselang suara ketukan yang kuat terdengar dari pintu depan rumahnya.

TOK..TOK..TOK..

Perkampungan bajo

“Arman!” Teriak seseorang dari balik pintu.

Arman pun bangkit dari ranjang, dengan tangan yang  masih  tetap memijat-mijat kepalanya. Saat membuka pintu Arman kaget melihat sosok yang tiba-tiba menampakan kepalanya itu.

“Ah, kau Risal” katanya dengan nada yang sedikit kesal.

Risal adalah sosok kawan baiknya sejak kecil. Mereka menghabiskan masa kanak-kanaknya di sebuah desa yang berada di Pulau Labobo, salah satu pulau besar yang berada di Banggai Laut. Sebagai anak dari suku Bajo, mereka sangat akrab dengan lautan. Menyelam, menombak ikan, memancing gurita, atau menangkap lobster. Masa kecil yang indah mereka habiskan untuk bermain dan belajar bersama alam.

“Marijo ba mudung kita?” ajak Risal dengan penuh semangat.

Mudung adalah kegiatan mencari ikan khas Bajo. Biasanya mudung dilakukan dengan beberapa orang menggunakan perahu kecil, mencari lokasi yang banyak ikan nya. Setelah itu mereka akan menyelam sambil memanah atau menombak dipermukaan dimana banyak ikan berkumpul. Arman yang saat itu masih setengah sadar tak lekas meng-iyakan ajakan kawan baiknya itu.

“Taulah Risal! Pusing saya pe kepala ini, macam mabo’ saya rasa. Baru belum makan lagi.” Kata Arman masih dengan gestur lemas nya.

Tak hilang akal, Risal masih terus mencoba membujuk Arman

“Ah.. lapar kau itu. Marijo pi kerumah Mike kita. Makan disana. So siap kata ikan bakar dabu-dabu nya. Katanya sambil nyengir,  memperlihatkan barisan gigi depanya.

Mendengar ucapan Risal seketika perut Arman langsung berbunyi. Ia tak dapat menolak ajakan makan siang yang begitu menggiurkan. Seketika saja Arman langsung menyanggupinya.

Siang itu cuaca sedang terik-teriknya. Sinar matahari yang hangat, dan hamparan laut biru begitu mempesona. Mereka berdua berjalan diatas dipan-dipan kayu yang mengambang diatas air. Sementara itu, dibawah mereka berenang berbagai ikan warna-warni, bintang laut, anemon laut, barisan lamun, dan beberapa koloni bulubabi yang mendiami karang berwana cerah. Cantik sekali. Keindahan itu seketika buyar, tatkala suara lantang setengah berteriak itu muncul dari hadapan mereka.

“HEH, MAU KEMANA KAMU?!” kata seorang lelaki tua dengan suara yang lantang.

“Ba mudung” balas Risal dengan santainya.

“Jangan ke laut! BAHAYA!!” kata lelaki tua itu yang semakin melengkingkan suaranya.

Risal masih acuh saja, dan dengan santainya melewati lelaki tua itu seolah tak peduli dengan peringatanya. Arman yang berjalan dibelakang Risal, seketika kaget  saat melewati lelaki tua itu. Ia mencengkram lengang tangan Arman dengan kuat. memperlihatkan jari kelingking dan jari manis yang buntung. Seketika Arman sadar bahwa yang berada di hadapanya adalah Mbo

Jalu, satu-satunya legenda hidup yang masih tersisa di desanya.

Mbo Jalu atau kakek Jalu (Bahasa Bajo : Mbo yang berarti kakek) adalah sebutan dari warga kampung untuknya. Tak ada yang tahu pasti siapa nama aslinya, ia juga tak memiliki keluarga. Namun dari cerita warga desa, ia merupakan pelaut suku Bajo yang unggul. Saat remaja, ia bersama suku Bajo lainya ditangkap oleh penjajah Jepang untuk dijadikan budak. Tidak ingin tunduk pada Jepang, mereka melakukan perlawanan. Akibatnya tiga armada laut Jepang porak-poranda. Mereka membakar kapal-kapal Jepang itu dengan ratusan dinamit dan bubuk mesiu. Akibatnya, dari insiden besar itu hanya Mbo Jalu yang selamat. Ia terombang-ambing di lautan pasifik. Selama berbulan-bulan, berbekal alat tangkap sederhana yang ia rakit sendiri dari reruntuhan kapal, dan berbekal kemampuan navigasi laut yang ia pelajari sejak kecil, ia berhasil pulang dengan selamat. Kini ia tak pernah lagi mengarungi lautan seperti dulu. Waktu nya hanya dihabiskan untuk mencari ikan disekitar desa, dan terkadang menjadi dukun yang memimpin upacara adat. Warga desa menganggapnya sebagai Tetua, atau sepuh yang patut dihormati. Namun terkadang banyak hal-hal yang tak masuk akal ia sampaikan diluar akal sehat, yang membuat anak muda di desa menganggapnya sebagai orang gila. Seperti yang saat itu ia bisikan pada Arman.

Gambar Sinole, makanan khas Bajo

“Jangan pergi, bahaya! Hantu laut lagi marah. Kamu semua bisa mati!” ucapnya saat berbisik ditelinga Arman.

Onyop, makanan khas Bajo

Entah mengapa keragu-raguan menyelimuti hatinya. Seperti ada perasaan ganjil yang tak dapat digambarkan dengan kata. Apakah ini pertanda dari mimpinya semalam? Seketika saja pertanyaan itu muncul dibenak Arman. Namun santapan yang tersaji di hadapanya membuyarkan semua lamunanya. Bagaiaman tidak, sesampainya mereka di rumah Mike, aneka masakan langsung tersaji dihadapanya, suntun atau cumi goreng, ikan bakar sambal dabu-dabu, kerang yang dimasak santan, serta makanan khas Bajo yaitu Onyop dan Sinole. Kedua masakan itu berbahan dasar sagu, hanya perlakuanya saja yang berbeda. Jika Onyop adalah sagu kering yang disiram air panas kemudian diaduk hingga teksturnya menjadi kalis dan lengket seperti lem. Sementara Sinole adalah sagu kering yang di sangrai diatas wajan panas bersamaan dengan parutan kelapa. Kedua makanan ini menjadi makanan pokok orang Bajo.

Sampan kecil

Seusai makan mereka bersiap mendorong sampan nya ketengah laut. Dengan berbekal dayung kecil mereka mulai menjauh dari pantai. Ada rasa penasaran, semangat, khawatir dan cemas yang menyelimuti hati Arman. Terlebih ketika ia melihat gumpalan awan mendung dibagian tenggara. Meski berulang kali Arman menanyakan prihal awan tersebut kepada Risal yang saat itu bertindak sebagai kapten, jawaban Risal selalu sama.

“Tenang boy, awan itu masih jauh. kita ba mudung didepan sana.” ucapnya santai sambil menunjuk gugusan pulau kecil berupa bongkahan karang yang mucul dari bawah laut.

Gugusan karang itu terlihat gagah mencuat ke permukaan, Mike yang memegang haluan sampan dengan cepat mengarahkan ke lokasi tujuan. Benar saja, tempat ini masih terjaga. Tak banyak karang yang rusak, dan ikan-ikan perenang cepat kerap kali wara-wiri di bawah sampan kami. Risal siap-siap menombak ikan yang lewat. Namun ia dibuat gusar tatkala sampan yang dikemudikan Mike selalu bergoyang.

“Hei Mike, kau yang benar badayung!” perintah Risal kesal.

“Bukan saya, ini sampan yang susah dikendalikan.” kata Mike berdalih.

“Hei Mike, jangan terlalu laju!” Risal lagi-lagi kesal, karena ikan buruanya lolos.

“Risal, ini sampan yang laju sendiri” Mike tak mau kalah.

Mungkin saking jengkelnya, Risal siap-siap untuk menyelam. Karena ikan yang ingin ditombaknya selalu lolos akibat ketidak becusan temanya itu. Saat Risal tengah bersiap dengan kacamata nya, tiba-tiba sampan yang dinaiki oleh mereka bertiga berguncang hebat dan menabrak karang. Sontak mereka kaget bukan main, ditambah semakin lama sampan bergerak semakin cepat. Risal langsung sadar bahwa mereka sedang terseret arus laut. Dengan wajah panik ia berucap pada temanya

“Putar! Kita balik!!” ucapnya tegas.

Arman dan Mike langsung paham, dan berusaha mendayung agar berubah haluan. Namun naas, mereka terlambat. Sampan yang mereka tumpangi terseret arus laut terlalu jauh, mereka mengalami kepanikan hebat tatkala sampan tersebut menabrak  gugusan karang hingga terbalik. Mike yang masih berpegangan pada dayung, sekuat tenaga mencoba mengulurkan pada Arman untuk meraihnya, tapi tubuh Arman sudah terlanjur lemas.

Arman terombang-ambing di dalam air, ia benar-benar tak berdaya. Tenaganya habis, tiap kali ia mencoba untuk berenang kepermukaan, selalu terseret kembali kedalam air. Seolah ada tangan-tangan dingin yang menarik kakinya kedasar laut. Nafasnya semakin sesak dan mencekik. Paru-parunya telah terisi oleh air laut. Disisa detik akhir kematianya, Arman tiba-tiba terbangun dari tidurnya, jantungnya berdegup kencang. Ekspresi wajahnya menunjukan ketakutan yang teramat sangat. Saking takutnya, tubuhnya masih belum berhenti bergetar. Detak jantungnya terus memacu begitu kuatnya, hingga ia hampir-hampir tak dapat membedakan antara suara detak jantungnya, atau jam analog usang yang terpajang di dinding kamarnya. Sementara itu, keringat dingin terus mengucur dari pelipis kepalanya yang kian terasa pusing. Tak lama berselang suara ketukan yang kuat terdengar dari pintu depan rumahnya.

TOK..TOK..TOK..

Tamat

Pesan Moral[sunting]

Arman, Risal, dan Mike adalah contoh pengabaian pada nilai-nilai luhur budaya yang dianggap usang, jadul atau ketinggalan zaman. Legenda hantu laut telah ada turun menurun, mesik tak memiliki penjelasan ilmiah, namun kepercayaan itu memiliki makna tersendiri. Seperti larangan jangan membuang sampah dilaut, nanti hantu laut marah. Jika ditinjau dari segi ekologis, larangan tersebut memiliki makna jangan membuang sampah di laut karena sampah dilaut mangakibatkan banyak kematian biota dan tercemarnya lautan. Ada juga larangan lain seperti jangan melaut dibulan-bulan tertentu, karena pada bulan-bulan itu hantu laut sedang marah. Maknanya, pada bulan-bulan tersebut angin dan arus laut sedang kencang sehingga sangat berbahaya jika tetap melakukan pelayaran. Adapun pertanyaan seperti apakah hantu laut benar-benar ada? Tidak ada jawaban yang pasti mengenai itu. Setiap suku di Indonesia ini memiliki legenda dan mitosnya masing-masing. Kita hanya perlu menghargainya, dan memaknai setiap pesan moral dibaliknya.

Lalu, apakah Arman benar-benar sudah mati? Atau itu hanya mimpi?

Entahlah. Silahkan para pembaca sendiri yang menarik kesimpulanya...