Harga Kecambah

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Raras membantu ibunya memasak. Dia merasa sudah bisa melakukan banyak pekerjaan orang dewasa seperti ibunya. Mencuci baju, melipatnya, belanja, tetapi pagi itu dia mendapatkan pelajaran baru lagi yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya.

Lakon[sunting]

Raras

Ibu Raras

Latar[sunting]

Dapur rumah Raras

Cerita Pendek[sunting]

Hari Minggu ini Raras berjanji akan membantu ibunya memasak untuk sarapan. Dapur rumahnya pagi itu terlihat penuh. Peralatan memasak terletak di mana-mana. Suara ibunya memotong sayur-mayur terdengar bersemangat. Penanak nasi mengeluarkan kepulan uap. Raras mengupas bumbu-bumbu dapur dengan gerakan lambat. Meski begitu, dia berusaha mengimbangi kecepatan ibunya.

“Raras kalau udah selesai dikupas langsung dicuci, ya. Dua kali biar kotoran dan kumannya mati,” ujar Ibu Raras.

“Iya, Bu. Ini tinggal 3 lagi yang belum dikupas.”

Raras meletakkan bawang merah yang sudah bersih lalu mengambil lainnya. Berkali-kali dia mengusap matanya yang pedih. Dulu saat bermain masak-masakan rasanya mudah sekali, tahu-tahu masak betulan sesusah ini. Dia tidak menyerah karena yang dia lakukan sekarang adalah keinginannya sendiri.

Di usianya yang ketigabelas ini Raras punya cita-cita harus bisa melakukan banyak hal seperti ibunya. Dia sudah bisa mencuci baju seragamnya sendiri sekalian melipatnya. Baru-baru ini dia sudah bisa belanja. Itu yang paling membanggakan untuk Raras.

“Oh, ya, Bu. Brokoli yang aku beli udah dipotong-potong?” Itu sayur kesukaan Raras yang mau dia tambahkan di sup pagi ini.

“Ibu lupa, Nak.” Ibu Raras berhenti memotong wortel. Dia menoleh kepada Raras lalu menyuruhnya mengambil di kulkas.

Sekian menit mengupas bawang, akhirnya Raras berhasil menyelesaikannya dengan baik. Dia mencuci bumbu-bumbu seperti yang ibunya perintahkan. Selanjutnya Raras memperhatikan ibunya. Tangannya begitu repot dengan tahu, tempe, dan ikan yang akan digoreng. Sayur-mayur yang belum selesai dipotong itu diteruskan Raras.

Sambil menggoreng, Ibunya memperhatikan tangan Raras yang cekatan memotong seledri. Begitu bahagia dia melihat Raras sudah bisa membantu kegiatan kesehariannya. Dari situ dia menemukan ada yang kurang dari warna-warni sayur itu.

“Apa emangnya, Bu?” tanya Raras. Dia memperhatikan sayur-mayur tersebut sambil mencari-cari apa yang kurang. “Kubis, wortel, daun bawang, seledri, kacang polong, kentang. Semuanya yang biasanya Ibu masak udah masuk. Malah ketambahan brokoli,” ujar Raras lagi.

Ibunya menggeleng. Dia masih berusaha mencari apa yang kurang.

Empat potong tahu masuk ke dalam wajan bergantian. Sreeeng. Sreeeng. Sreeeng. Sreeeng. Raras melihat ke sana. Tiga macam lauk, sambal, dan bermacam-macam sayur. “Apa ya, Bu?”

“Kecambah, Bu!” seru ayah Raras dari ruang makan. “Tadi Ayah udah ingetin Ibu kok ya lupa lagi. Ayah gak bisa makan loh kalau gak ada kecambah.”

“Oh iya, Bu.” Raras menepuk dahinya karena melupakan hal itu. “Tadi Ibu udah suruh Raras beli, kok, Yah. Raras yang lupa,” ujar Raras sedikit berteriak.

Ibu Raras bergegas mengambil dompet yang menggantung di atas paku. “Ibu juga lupa kasih kamu uang, Nak.”

Raras menerima selembar uang lima ribu. Dia langsung paham di mana dan apa yang harus dia beli.

Toko Kung Edi dekat dari rumahnya, tapi kali ini dia memakai sepeda ke sana supaya lebih cepat sampai dan tidak kehabisan kecambah. Berbeda dengannya dan ibu, ayah Raras sangat pemilih kalau berurusan dengan sayur. Dia hanya bisa makan beberapa jenis sayur.

“Assalamu’alaikum Kung! Mau beli kecambah masih?” tanya Raras.

Kung Edi melihat ke arah sayur-mayur. “Kamu lihat aja sendiri, ya. Aku gak kelihatan. Juga masih repot ini ngitung hutangnya orang-orang.”

Raras terkekeh. Kung Edi memang satu-satu orang yang mau dihutangi dari sekian toko yang ada di lingkungannya.

Rezeki ayah Raras, masih ada lima kecambah di atas meja sayuran. Raras teliti memilih kecambah-kecambah itu. Setelah mendapatkan satu yang paling bagus, Raras menyerahkan uang lima ribu dari ibunya.

“Tambah sosis dua ya, Kung. Ini tiga ribu pakai uang jajan aku kemarin.”

“Oke siap. Taruh di situ aja.”

Sosis rasa sapi itu dimasukkan Raras ke kantong bajunya, sedangkan kecambahnya dia taruh di keranjang sepedanya. Raras ngebut lagi. Dari dia berangkat sampai pulang, dia butuh waktu tujuh menit.

“Ada, Bu,” ujar Raras begitu sampai.

Ibu Raras menerima kecambah itu sambil tersenyum. Dia membolak-balik plastik kecil itu untuk menilai isinya. “Pinter. Sekarang udah bisa milih sayur yang bagus sama nggak. Harganya berapa, Nak?”

Raras terkejut. “Lima ribu kan, Bu? Biasanya Ibu beli lima ribu harganya. Uang yang Ibu kasih ke aku juga lima ribu.” Raras sudah takut duluan.

Ibu Raras tersenyum. Dia meletakkan spatula di tangannya di atas piring lalu duduk di atas kursi pendek, melupakan sebentar kegiatan memasaknya. “Nak, sosismu ini harganya berapa sekarang?”

Tangan Raras langsung menutupi kantongnya. Ternyata ada satu sosis yang belum benar-benar masuk ke dalam. Pantas ibunya tahu.

“Berapa, Raras?” Pertanyaan itu diulangi dengan nada yang sama.

“Seribu lima ratus.”

“Kalau setahun yang lalu? Waktu kamu masih kelas satu?”

Raras mencoba ingat. “Selisih lima ratus berarti ... seribu, ya?”

“Sama atau beda?” Ibu Raras terus mengajaknya berpikir.

“Beda, Bu. Beda lima ratus.”

“Nah, sama kayak sosis, kita nggak tahu harga kecambah ini masih sama apa nggak antara hari ini dan  kemarin. Kalau ternyata kurang dari lima ribu, oke nggak papa. Kita anggap sedekah buat Kung Edi. Tapi kalau ternyata harga kecambah sekarang tujuh ribu, kan kasihan Kung Edi rugi dua ribu.” Ibu Raras memberi waktu anaknya berpikir sebelum memastikan, “Paham, Nak?”

Raras mengangguk-angguk sambil berpikir kesimpulannya. “Berarti besok lagi tanya dulu, ya, Buk?”

“Iya. Biar apa, Nak?”

“Biar nggak ada yang rugi.”

Ganti Ibu Raras yang mengangguk-angguk. “Terus?”

“Ada lagi ya, Bu?” Raras merasa bingung.

Satu detik, dua detik, tiba-tiba Ibu mengambil sosis di kantong Raras dan membukanya. “Eh, jangan dimakan, Bu.” Raras berusaha menahan ibunya.

Sosis itu langsung diberikan kepada Raras. Masih sambil tersenyum, Ibu Raras berkata, “Gak enak, kan? Itu juga yang dirasain Kung Edi kalau tiba-tiba kamu kasih uang lima ribu tanpa nanya apa-apa sebelumnya.”

Raras menunduk, meminta maaf kepada ibunya lalu berterima kasih untuk pelajaran baru hari ini.