Lompat ke isi

Harga Penyesalan yang Tertunda

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar/Premis

[sunting]
Perjalanan Osef dalam menebus rasa penyesalannya
Gambar cerpen 'Harga Penyesalan yang Tertunda'

Hai! Perkenalkan saya Syeela Putri. Cerpen 'Harga Penyesalan yang Tertunda' ini menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang sangat keras kepala dan nakal. Suatu hari, ia mendapati bahwa semua orang yang dikenalnya menghilang. Tanpa petunjuk yang jelas, ia akhirnya melakukan perjalanan yang amat jauh untuk mendapatkan sebuah jawaban.

Cerita pendek

[sunting]

Buk! Bunyi pintu itu sangat kuat. Serasa tiada hari tanpa mendengar teguran ibu. Osef mengunci dirinya dalam kamar dan menutup telinganya dari teguran. Osef adalah anak yang keras kepala dan hampir menginjak usia 13 tahun. Sifatnya ini sering menyakiti hati orang tuanya. Bahkan di lingkungan tempat tinggalnya, ia dikenal sebagai anak yang paling nakal.

Pagi hari itu berjalan seperti biasanya. Osef sedang bersiap dan hendak berangkat ke sekolah. Setelah mendapatkan uang jajan, ia segera berjalan menuju sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumah. Saat itu sudah jam 07. 15, namun ia dengan santainya berjalan.

“Pasti Ibu Heni hanya akan memberikan tugas tambahan jika terlambat. Lama-kelamaan, palingan ia akan lupa dengan tugas itu.” Pikirnya dalam hati.

Kelas pembelajaran hari itu selesai lebih awal dari biasanya. Kringgg! Bel pulang berdering. Osef dan teman-temannya berencana untuk berkumpul. Di bawah teriknya matahari, mereka berjalan dengan seragam yang acak-acakan. Mereka singgah di kedai es kecil dekat perbatasan hutan. Di sana, mereka menghabiskan waktu mereka untuk bermain. Suara tawa pun memenuhi kedai itu. Penuh rasa ingin tahu, Osef pun memanggil teman-temannya untuk bermain di hutan itu. Osef tentu mengingat larangan ibunya untuk tidak masuk ke hutan itu, namun ia tetap memilih untuk mengeraskan hatinya. Hutan itu cukup luas untuk bermain petak umpet bahkan kejar-kejaran. Osef dan ketiga temannya merasa senang bermain di hutan itu. Namun, suasana itu berubah ketika Osef hilang di hutan yang luas itu. Ia melihat ke segala arah, namun teman-temannya tetap tidak nampak. Hari semakin larut dan ia selalu kembali ke tempat semula saat mencoba mengingat jejaknya. Sementara jalan, tiba-tiba, Puk! Osef jatuh ke dalam lubang kecil yang sangat gelap. Ia menjerit ketakutan. Namun sesuatu terasa janggal. Rasanya ia sudah jatuh selama beberapa menit dan belum juga mendarat. Osef kemudian menengok ke atas dan mengetahui bahwa ternyata lubang itu hanya setinggi saat ia mengangkat tangannya. Ia pun memanjat keluar lubang itu dan segera melanjutkan perjalanan pulangnya. Untungnya kali ini, ia berhasil keluar dari hutan yang luas itu. Sepanjang jalan, ia tidak berhenti memikirkan apa saja yang baru terjadi. Ia melewati kedai es yang sudah tutup itu dan teman-temannya sudah tidak terlihat lagi.

“Hm, mungkin mereka sudah pulang.” Katanya.

Sesampai di rumah, ia langsung duduk di depan pintu dan hendak membuka sepatunya yang berlumpur. Tiba-tiba suara asing dari belakang menyapanya.

“Halo? Adik siapa?” Osef segera berpaling belakang dan melihat seorang wanita yang tengah berdiri di belakangnya.

“Tante siapa? Dan apa yang tante lakukan di rumah saya?” Tanya balik Osef.

“Lah, ini rumah tante. Tante sudah tinggal di sini bertahun-tahun.”

“Hah? Ini rumah saya, tan.”

“Bagaimana mungkin? Tante sudah tinggal di sini lebih dari 5 tahun.”

“Biar saya panggil orang tua saya dulu. Ibu? Yah?” Namun, tidak ada suara yang menjawab.

Suara kegaduhan itu mengundang para tetangga, termasuk Pak Rudi. Pak Rudi adalah teman dekat ayahnya. Ia adalah sosok yang baik namun reputasi Osef di matanya tidak begitu baik.

“Saya tidak tahu kalau Osef punya adik.” Katanya saat melihat Osef.

“Pak Rudi, aku ini Osef!” Nadanya mulai melengking. Tapi Pak Rudi mengira kalau Osef hanya berbohong.

“Pak tahu di mana ayah dan ibu pergi?” Tanya Osef. Karena merasa kasihan, akhirnya Pak Rudi memberikan informasi keberadaan orang tuanya.

“Mereka sudah pindah 8 tahun yang lalu ke kota seberang.”

Tanpa pikir panjang, Osef segera berlari ke stasiun kereta api sambil mengejar matahari yang hampir tenggelam itu. Ia menggunakan semua uang tabungan dalam tasnya untuk membeli satu tiket ke kota seberang. Kemauan keras serta rencananya yang tidak matang itu pun membuahkan hasil yang rumpang. Ia berdiri sendiri di tengah perkotaan yang benderang itu. Hari sudah malam dan ia tidak tahu harus pergi ke mana. Ia bertanya ke beberapa pedagang kecil di pinggir jalan itu, namun tidak ada juga yang mengenal orang tuanya. Hari sudah semakin larut. Osef tidak punya tempat lain untuk tidur selain bangku dari kedai kecil yang sudah tutup. Ia pun membaringkan tubuhnya yang letih itu ke atasnya dan menggunakan tasnya sebagai bantal. Dinginnya malam itu membuat bulu kuduknya berdiri. Sambil baring, ia merasakan kesedihan yang berbeda. Ia menyadari akan hal itu namun tidak dapat mengertinya. Tidak lama, Osef pun tertidur pulas. Sementara tidur, ia mendengar langkah kaki. Namun matanya masih terlalu berat untuk bangun. Di saat langkah itu berhenti, ia merasa bahwa ada seorang yang sedang menatapnya. Ia pun perlahan membuka matanya dan melihat ada seorang pemuda dengan pakaian yang sudah usang berdiri di depannya. Osef yang merasa takut itu kemudian lari meninggalkan orang itu. Malam itu, ia berjalan lagi mencari tempat untuk istirahat. Untungnya, tidak jauh dari situ, ada sebuah kedai kecil yang sudah tutup. Ia pun tidur di situ.

Malam yang dingin itu pun lewat. Di saat ia mendengar bahwa pemilik kedai itu sudah bangun, Osef segera bangun dan langsung melanjutkan pencariannya. Pagi hari itu, Osef yang masih memakai seragam sekolah, berjalan jauh menuju perumahan kecil. Ia melewati setiap lorong kecil dan memalingkan kepalanya dari kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Namun tetap juga orang tuanya tidak kelihatan. Osef pun melanjutkan perjalanannya menuju perumahan kecil kedua yang tidak jauh dari situ. Hari sudah mulai siang dan perutnya masih kosong. Keringatnya terus bercucuran karena teriknya matahari saat itu. Merasa lelah, Osef pun beristirahat di depan rumah kosong dan duduk sejenak. Kesusahan yang timbul satu per satu itu mulai membuatnya menyesali perbuatannya.

“Andai saja semua ini tidak terjadi. Aku pasti sudah makan makanan enak dan tidur di rumah yang aman.” Katanya dalam hati sambil memegang perutnya yang sementara berbunyi itu.

Tiba-tiba, rintik kecil hujan mulai turun. Osef melihat ke atas dan awan mendung itu tepat berada di atasnya. Ia pun segera berlari mencari tempat teduh. Dekat situ, ada sebuah kedai makanan. Kedai itu sangat sederhana. Dengan seragamnya yang basah kuyup, ia duduk sendiri di atas bangku sambil memeras bajunya itu. Si pemilik kedai itu melihat Osef dan merasa kasihan. Ia pun memberinya sepiring makanan yang masih hangat serta baju milik anaknya untuk mengganti seragam Osef yang tengah basah itu. Osef menatap orang itu seakan dirinya membeku. Orang-orang di lingkungannya tidak pernah berbuat hal seperti itu kepadanya, malah orang asing ini dengan tulus melakukannya.

“Te- terima kasih, pak.” Ucap Osef terpotong-potong.

Osef jadi tidak banyak bicara. Ia justru merasa aneh. Ia merasa begitu aman saat ada orang yang mengasihinya. Ia bingung mengapa ia selalu menghindari kasih orang tuanya sewaktu itu masih ada. Itulah yang disesali Osef. Tidak lama kemudian, baju usang yang sama muncul. Pemuda itu nampak ingin mencuri sepiring makanan dan Osef menatapinya dari awal tanpa diketahui pemuda itu. Pada akhirnya, bapak pemilik kedai itu memberikan sendiri makanan kepadanya. Bapak itu tahu berapa kali ia hendak mencuri, namun tetap ia memberinya makan. Osef menatap pemuda itu makan dengan lahap tanpa mengucapkan sepatah kata terima kasih. Setelah makan, pemuda itu berbalik badan dan tertegun melihat Osef yang tengah duduk sendiri. Ia pun kemudian duduk di samping Osef. Keheningan mengisi ruang antar mereka, sampai akhirnya pemuda itu membuka suara.

“Aku pikir kita sudah bertemu sebelumnya. Kau cukup terkejut melihatku hari itu.”

“Iya.” Jawab Osef singkat.

“Aku harap kau bisa me- mema- memaafkanku, ya.” Osef pun tersenyum kecil.

“Aku Osef.” Katanya kepada pemuda itu.

“A- aku juga Osef.”

“Benarkah?”

“Iya!”. Untuk pertama kalinya, mereka berdua pun saling senyum. Senyumnya yang lebar itu membuat bekas luka di dagu Osef nampak.

“Dari mana kamu mendapatkan ini?” Tanya pemuda itu.

“Itu tidak sengaja tergo-“

“Tergores paku yang sedang tertancap pada batang kayu?” Sambung pemuda itu dengan cepat.” “Ibu kamu sudah melarangnya namun kau tetap memakainya untuk bermain?”

Osef kecil pun menatap pemuda itu dengan heran. “Bagaimana kau tahu?”

“Apakah ini mimpi? Tidak mungkin.” Kata pemuda itu dalam hatinya. Dengan sekejap, keduanya langsung memikirkan hal yang sama. Ternyata mereka adalah satu orang yang sama selama ini, hanya terpaut delapan tahun.

“Tunggu, kamu adalah aku?” Tanya Osef kecil itu sambil mengangkat kedua alisnya.

“Jika aku adalah kamu dan kamu adalah aku, mengapa kita berdua ada di sini?” Imbuh Osef yang lebih tua itu.

“Yang aku ingat, aku terjatuh ke dalam sebuah lu-, tunggu. Ibu dan ayah mana?” Osef seketika bertanya. Osef yang lebih tua itu hanya diam dan raut wajahnya perlahan jadi murung.

“Tolong antarkan aku untuk bertemu dengan mereka!” Mohon Osef kecil. Osef yang lebih tua itu menatapnya sambil mengerutkan dahinya.

“Tidak, mereka sudah tidak menyayangiku. Mereka tidak akan menerimaku kembali setelah aku melarikan diri.”

“Apa?” Mulut Osef kecil menganga seaka-akan tidak mempercayai dirinya yang lebih tua itu. “Apa yang terjadi? Aku tahu ibu dan ayah sering marah, namun mereka tidak akan pernah meninggalkanku seperti itu!” Nada suaranya semakin tinggi.

“Percayalah, Sef. Seharusnya aku memperbaiki tingkah lakuku dari dulu. Sekarang sudah terlambat.” Sesal Osef yang lebih tua itu.

Osef kecil memejamkan matanya dan berkata, “Tapi …, aku sudah menyesalinya. Mengapa waktu belum berubah lagi? Apakah aku sudah terlambat juga?” Setetes air mata mengalir di pipinya. Keheningan kembali mengisi ruang antar mereka.

Dalam hening, pemuda itu berkata dalam hatinya, “Jika diriku yang kecil bisa menyesalinya, maka akupun yang lebih tua pasti bisa.” Seketika itu juga, Osef yang lebih tua itu memiliki rencana yang matang.

“Osef kecil, ayo kita pergi bertemu ayah dan ibu.” Osef kecil segera bangkit dari bangku itu dan menjerit bahagia.

Tapi sebelum pergi, pemuda itu melihat ke arah pintu masuk kedai itu dan menemui pemilik kedai itu.

“Pak Bek, te- terima kasih, ya. Kamu sudah sangat baik.” Ucapnya. Osef kecil melihat dirinya yang lebih tua itu dengan penuh rasa bangga.

Setelah itu, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka. Setelah perjalanan yang panjang, mereka akhirnya tiba di rumah sederhana dengan pagar putih.

“Sef, mungkin sebaiknya kamu jangan menunjukkan diri. Ayah dan ibu mungkin bingung melihat kita berdua.” Osef kecil memahaminya dan pergi bersembunyi di balik sebuah pohon besar.

Osef yang lebih tua menarik napas yang dalam dan memberanikan diri untuk bertemu dengan orang tuanya setelah tahun-tahun tidak berjumpa.

“Selamat sore …, selamat sore.” Soraknya.

Tidak lama kemudian, ibunya keluar. Ibunya tersentak melihat Osef yang lebih tua itu.

“Apakah ibu marah?” Pikir pemuda itu dengan gelisah.

Namun, dengan sekejap ibunya berlari keluar dan memeluk erat Osef yang lebih tua itu. Osef kecil melihat semuanya itu dari belakang pohon dan merasa haru.

“Ya ampun, nak. Dari mana saja kamu? Kamu baik-baik saja?” Cemas ibunya.

“Aku tidak apa-apa, bu. Malah aku baru saja bertemu dengan orang yang hebat, bu. Dan karena itu, aku juga mau meminta maaf karena sudah menyakiti hati ibu dan ayah berulang kali.”

“Sudah, sudah. Ayo masuk ke dalam. Kita makan sambil tunggu ayah pulang kerja. Kamu juga harus mandi dan mengganti baju. Baju itu sudah usang.” Ujar ibunya.

Itu merupakan saat terakhir Osef kecil melihat dirinya yang lebih tua itu. Dalam sekejap mata, Osef kecil segera kembali ke dalam lubang yang gelap itu. Ia kemudian memanjat keluar dan segera berlari menuju rumah. Ia tidak sabar ingin bertemu dengan orang tuanya. Dekai kedai es, ia bertemu dengan teman-temannya yang sementara mencarinya juga. Ia pun mengajak mereka untuk pulang sama-sama. Sesampai di rumah, Osef menarik napas yang dalam sebelum masuk ke pintu.

“Siang bu, siang yah.” Sapanya dengan suara yang gemetaran.

Ayah dan ibunya yang tengah duduk di meja makan itu segera memalingkan wajah mereka ke Osef yang sementara berdiri di depan pintu. Mereka berdua terkejut mendengarnya, namun tatapan mereka yang penuh kasih, itulah yang dirindukan Osef.

“Siang juga, Sef. Yuk, duduk. Kita makan sama-sama.” Ia pun duduk dan makan bersama orang tuanya.

Tidak ada yang terasa lebih nyaman dan aman selain bersama keluarga. Sejak saat itu, Osef lebih menghargai dan mengasihi kedua orang tuanya, serta setiap orang yang dijumpainya.