Lompat ke isi

Ibu Datang

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Ibu Datang

Dodi Prananda

Minggu, 14 Juni 2015


SEPANJANG hidupku, aku selalu berharap ibu datang pada hari penerimaan rapor. Tiga kali penerimaan rapor, tiga kali semester, ibuku tak pernah datang.

Kalau kau tak pernah tahu apa rasanya ibumu tak datang pada hari penerimaan rapor, biar kuberi tahu. Menyedihkan. Sendirian. Kosong. Dan, rasanya ingin segera berlari pulang. Seolah kau telah dipermalukan di depan semua orang.

Dimulai dari penerimaan rapor semester pertama yang berakhir pada kekosongan. Ibuku tak datang. Ayah juga tidak. Hanya aku sendiri, tanpa rapor, dan tanpa kata-kata dari wali kelas.

Pada penerimaan rapor berikutnya, aku tidak membawa pulang nasihat dari wali kelasku, tentang apakah aku harus belajar lebih giat, atau diminta mempertahankan peringkatku di kelas. Yang kubawa pulang hanyalah diriku sendiri, dan angan-angan bahwa pada penerimaan rapor berikutnya; ibu akan datang. Angan-angan itulah satusatunya hiburanku sepanjang satu semester berikutnya. Aku belajar segiat biasa, dan berharap pada penerimaan rapor berikutnya ibu datang. Ia akan mendengarkan segala yang baik tentangku dari wali kelas.

Kurasa wali kelasku tidak peduli amat dengan diriku, sehingga pada penerimaan rapor pertama itu, yang seharusnya menjadi hari paling istimewa bagiku, ia tidak menyelamatkanku dari rasa kekosongan itu. Ia tetap membiarkanku sendiri, menghibur diri dengan caraku sendiri, dan tak berharap banyak selain menunggu pembagian rapor semester berikutnya.

Kali kedua setelah itu, aku menerima undangan dari wali kelasku. “Salman,” kata wali kelasku, ragu-ragu. “Sampaikanlah ke orangtuamu, ya. Ada yang ingin Ibu sampaikan,” katanya, menyerahkan sehelai surat bercap dan bertanda tangan kepala sekolah.

Aku menyimpan surat itu baik-baik, dan tak ingin sedikit pun ujungnya terlipat di dalam tas. Ibuku pasti senang pada surat itu, dan kami—aku dan ibu—selalu mengoleksinya, memasukkannya ke dalam map. Aku sudah membayangkan, tiga tahun SMA, enam kali semester, enam kali penerimaan rapor. Artinya, akan ada enam surat undangan. Di luar undangan yang lain-lain. Menyimpan surat itu rapi-rapi, dan menyerahkan surat itu sebaik saat aku menerimanya dari wali kelas, bukan jaminan sebetulnya bahwa ibu akan datang.

Aku membawa surat itu pada ibu, seakan-akan aku memberi tahu bahwa kami mendapat paket liburan wisata gratis ke luar negeri. Kukeluarkan suratnya baik-baik, dan kuserahkan pada ibuku. Tapi, menyentuhnya saja ibu tidak. Ia juga tidak mengangguk, atau menggeleng. Dari sikapnya itu aku sudah paham jawaban tentang kedatangannya.

Aku mulai kehilangan harapan, bahwa pada penerimaan rapor untuk semester dua, aku akan menjadi anak yang berbahagia. Aku merasa semuanya kembali sama. Ibu tidak datang. “Datanglah, Ibu. Datanglah,” kataku, “Teman-temanku pasti juga ingin bertemu Ibu.”

Aku sudah mafhum saja dengan ibu, bahwa sebaiknya ayah yang kuandalkan datang. Sejak SD, ayah selalu menolak datang ke sekolah. Jadi, urusan ke sekolah, selalu ibu. Tapi, dalam keadaan ibu yang tak pernah datang sejak semester pertama, aku tak mungkin bisa menerima satu di antara kedua orangtuaku membiarkanku pergi sendiri pada hari penerimaan rapor.

Ada banyak hal yang menjadi wilayah wali murid dengan wali kelas. Murid tidak boleh tahu. Sementara, wilayah itu tak pernah dijajaki ibu ataupun ayah. Jadi, bagaimana prestasi dan semangat belajarku, atau bagaimana perkembanganku, kebiasaan burukku, atau psikologisku di sekolah, tak satu pun yang tahu selain wali kelasku. Jadi, bagaimana menurutmu soal penerimaan rapor kali ketiga? Bahwa ibuku tak datang lagi, seperti yang pertama dan yang kedua, itu tampaknya sudah pasti. Tapi, sebagai anak yang pendiam, tak banyak omong pada orangtua, aku tak pernah menjadikan ini sebagai persoalan besar di depan ibu. Aku tak mau hidupnya, ketenteramannya, dan dengan segala peliknya masalah di meja makan, di kamar tidur, di dapur, dan di ruang-ruang lain di rumah, terganggu hanya karena persoalan terima rapor. Persoalanku dan sikapku yang dingin kepada mereka adalah yang lebih penting.

Aku sudah bisa menerima kekurangan mereka. Tidak etis rasanya bila aku menghakimi mereka sebagai orangtua yang tak peduli pada anaknya hanya karena hari kecil bernama hari pembagian rapor—yang bagiku sebetulnya sangat istimewa. Aku tak mengukur rasa cinta mereka hanya dari kedatangan mereka pada hari penerimaan rapor. Sekarang, apakah isi rapor itu menjadi penting karena orangtua tak datang?

Kemudian, aku tahu jawabannya: tidak. Meski begitu, aku tak pernah menghapus angan-angan bahwa ibuku akan datang sewaktu-waktu.

Kalau kau ikut menebak soal kedatangan ibuku, dan masuk dalam kubu yang sepakat ibuku tak datang, kau benar. Hari ini aku datang dalam kekosongan itu. Hatiku. Semangatku. Juga mimpiku. Semuanya tak berarti apa-apa. Karena tahu akan terima rapor, ayahku seolah sengaja mengambil waktu kerja pada hari libur. Yang kusimpulkan dari cara seperti itu adalah, ayahku tak ingin membuatku semakin sakit jika ia bukanlah sosok yang kuharapkan datang, atau memberi kesempatan pada ibu untuk mengubah pikirannya.

Saat masuk ke halaman sekolah, melalui parkiran yang penuh sesak, saat itulah aku mulai paham, apa yang sebenarnya dihindari orangtuaku. Hari penerimaan rapor, adalah hari pamer orangtua bagi sebagian temanku. Kau akan tahu teman sebangkumu adalah orang kaya atau tidak, hanya dari mobil yang dipakai orangtuanya. Para ibu, pada hari penerimaan rapor, tak ubahnya seperti datang ke arisan atau kawinan. Mereka mengenakan anting, kalung, cincin dan gelang untuk menyebutkan siapa mereka. Mereka memakai pakaian terbaik, dan anak mereka, sangat yakin berjalan menuju ruang kelas menggandeng orangtuanya. Tak peduli mobil yang dipakai dibeli dari hasil korupsi. Tak peduli perhiasan yang dipakai asli atau imitasi. Yang penting, orangtuamu dapat berjalan dengan mengangkat dagunya, ditemani anaknya. Mereka adalah simbol status sosialmu, dan dengan begitu, menentukan dengan siapa kamu harusnya berkawan di sekolah.

Aku hanya berdiri di koridor, sambil menatap satu per satu temanku yang menunggu kedatangan orangtua mereka di pintu utama. Aku membayangkan bahwa seharusnya aku juga berdiri di situ, dengan wajah menunggu. Tapi buat apa menampakkan diri sedang menunggu, jika sebenarnya aku tak pernah benar-benar menunggu. Akhirnya, aku berjalan saja menuju ruang kelasku. Seolah, ayah dan ibuku telah datang. Hanya mereka yang orangtuanya telah datang yang langsung menuju ruang kelas. Kenyataannya aku sendiri, tanpa ibuku. Sebagian orangtua yang sudah datang, sudah masuk kelas. Wali kelasku sibuk di mejanya, dan ia akan terbungkuk-bungkuk memberi salam pada orangtua murid yang berpangkat atau orang berada. Teman-temanku menunggu orangtuanya di depan pintu. Aku mengendap di sudut, berusaha menyembunyikan yang terasa dalam hatiku. Tak ingin tahu apa yang terjadi di dalam, saat pintu sudah ditutup. Aku masih mendengar suara teman-temanku yang terkikik- kikik melihat orangtua temannya, dan mengatakan bahwa gambaran masa depan temanku, ada pada wajah orangtuanya.

“Lihat deh Mamanya Sarah, gaya ibu pejabat sekali, sasak rambutnya tinggi kayak mau kondangan,” celetuk yang satu. “Anaknya, kan, kalau ke sekolah kayak pergi ke mal,” balas yang lain.

Satu per satu orangtua temanku keluar dari ruang kelas, dan segera mencari anaknya. Aku bisa menyimpulkan rangking kelas temanku hanya dengan melihat ekspresi orangtua mereka, mana orangtua yang langsung memeluk dan mencium anaknya, atau mana yang air mukanya masam. Untuk yang terakhir, anaknya dipastikan menerima ocehan di rumah. Sementara yang golongan pertama langsung pulang dengan perasaan bahagia. Aku masih menyudut, menyembunyikan kekosongan sebisaku. Aku tak betul-betul pandai rupanya, dan saat hanya bersisa wali kelasku di ruang kelas, air mataku jatuh.

Aku salah mengatakan wali kelasku tidak peduli, saat dia tahu aku telah menunggu di luar sejak pembagian rapor dimulai. “Salman,” suaranya halus, dan aku merasa dia sangat tahu perasaanku saat ini. “Masuklah,” lanjutnya, dan aku berjalan pelan-pelan.

Langkahku tak yakin, tapi aku tahu, wali kelasku tidak akan menghakimiku sebagai anak malang karena orangtuaku tak datang. “Bawalah rapor ini ke ayahmu, ya. Katakan padanya, kau juara kelas lagi tahun ini,” itu yang dikatakan guruku itu padaku. Tahu-tahu aku ada dalam pelukannya. “Biar Ibu yang ke rumahmu, menemui ayahmu. Kapan ia pulang melaut?”

Aku terdiam sesaat, terbata-bata, “...Se-se-minggu lagi. Akan kuberi tahu bila ayahku pulang.”

Wali kelasku mengangguk. Ia tahu, hanya pada ayahkulah ia bisa menceritakan tentangku.

Aku berjalan pulang dengan perasaan berbeda sama sekali dari saat aku berangkat. Rapor itu kini ada di tanganku, dan aku menerimanya tanpa orangtua.

Selama ini, map surat-surat itu, hanya teronggok di sebelah foto ibuku. Ibuku yang meninggal lima tahun lalu, saat datang pada hari penerimaan raporku...

Jakarta, 2015