Istana Basa

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Buyung dan orang tuanya berlibur ketempat Nenek di Pagaruyung, mereka mengunjungi Rumah Gadang yang biasa disebut Istana Basa Pagaruyung.

Lakon[sunting]

  1. Buyung
  2. Ayah
  3. Ibu

Lokasi[sunting]

Lokasi Wisata Istana Basa Pagaruyung dalam cerpen ini

Istana Basa Pagaruyung

Cerita Pendek[sunting]

Kedatangan[sunting]

Setelah pesawat mendarat di bandara, hati Buyung sangat senang. Ia tidak sabar akan bertemu dengan saudaranya yang ada di Sumatera Barat. Biasanya Buyung bersama kedua orang tuanya pulang ke tempat sang nenek untuk berkumpul dengan sanak saudara ketika lebaran atau ketika libur semester. Satu tahun yang lalu adalah kali terakhir Buyung pergi ketempat neneknya di Pagaruyung.


Rasa senang Buyung semakin bertambah ketika mobil yang dikendarai ayahnya melewati sebuah kawasan wisata Istana Basa Pagaruyung. Minggu lalu ketika di sekolah, Buyung belajar mengenai Budaya Indonesia. Ada banyak sekali budaya di Indonesia, seperti rumah adat yang dijadikan sebagai salah satu ciri khas dari sebuah daerah. Di buku pelajarannya, Buyung dan teman sekelasnya melihat bentuk rumah adat yang beraneka ragam, ada rumah adat yang berlantai panggung seperti Rumah Adat Panjang dari Kalimantan Barat, ada yang atapnya berbentuk setengah lingkaran seperti Rumah Adat Honai dari Papua dan ada juga yang atapnya seperti tanduk kerbau. Buyung ingat sekali rumah adat ini, namanya Rumah Gadang berasal dari tempat tinggal neneknya yaitu dari Sumatera Barat dan sekarang dia sedang melintas tepat di depannya.


Rumah Gadang yang terletak di Pagaruyung ini biasa disebut Istana Basa Pagaruyung, dikatakan istana karena dulunya rumah Gadang adalah tempat kediaman dan pusat pemerintahan raja pada zaman kerajaan tempo dahulu.

“Ayah, ini rumah Gadang bukan?” Tanya Buyung ketika mengingat pelajaran minggu lalu.

“Pintar anak Ayah, kita besok main ke sini mau?” ajak Ayah.

“Mau, yah!!”  Buyung dengan semangat menyetujui.

Setelah perjalanan jauh dari Jakarta ke Pagaruyung, Buyung dan orang tua nya memilih untuk beristirahat terlebih dahulu sebelum besok mereka akan berkunjung ke Istana Basa. Kebetulan sekali rumah nenek Buyung tidak jauh dari sana.

Pergi Wisata[sunting]

Gelap malam pun berganti dengan cahaya matahari yang muncul dari timur, udara di sana sangat sejuk terlebih dipagi hari seperti ini. Kini Buyung sedang duduk di meja makan bersama Nenek dan orang tuanya untuk sarapan, kali ini menu sarapan mereka adalah Sate Padang. Kata bu Guru, Sate Padang adalah salah satu makanan khas dari Sumatera Barat selain Rendang kesukaan Buyung dan Buyung menantikan makanan itu.


Sesuai yang Ayah katakan kemarin, Buyung dan kedua orang tua nya pun menaiki motor untuk pergi ke Istana Basa Pagaruyung. Dalam perjalanan Buyung melihat tulisan besar di atas bukit.

“ P-A, pa. G-A, ga. R-U, ru. Y- U, yu. ditambah NG” ejanya.

“jadinya?” Tanya Ibu yang berada di belakang Buyung.

“Pagarung?” jawab Buyung ragu.

“Yakin anak Ayah?” Tanya Ayah pada Buyung yang masih ragu.

“Pagaruyung, yah?” jawab Buyung lagi setelah mengeja ulang.

“Nah, baru betul. Udah tau salahnya dimana nak?”

“ Tadi Y-U nya ketinggalan” ucap Buyung sedih.

“Nggak papa sayang, itu tandanya Buyung harus lebih rajin lagi latihan membaca” kata Ayah memberi semangat.

Buyung pun kembali ceria dan latihan membaca dengan ibu melalui tulisan yang ada di pinggir jalan. Tak lama motor yang dikendarai Ayah berhenti di tempat parkir dan mereka pun membeli tiket untuk masuk.

Kenapa Seperti Tanduk?[sunting]

Memasuki lokasi wisata, suasana di sana terlihat sangat ramai dan di luar pagar tadi juga banyak sekali pedagang kecil berjualan. Pengunjung wisata pada hari itu sangat bervarian mulai dari anak-anak, remaja, sampai yang dewasa. Mungkin karena sekarang adalah hari libur jadi para orang tua mengajak anak-anaknya untuk berlibur, pikir Buyung.

“Ibu, kenapa bentuk atap rumah Gadang seperti tanduk?” Tanya Buyung tiba- tiba.

“Buyung mau tau?” Ibu balik bertanya.

“Mau Bu, mauu!” Buyung menjawab sambil loncat karena semangatnya.

“Dulu ada perebutan wilayah kekuasaan antara Kerajaan Majapahit dari pulau Jawa dengan masyarakat Kerajaan Pagaruyung. Oleh karenanya, kedua kerajaan ini sepakat untuk mengadakan pertarungan kerbau. Saat itu kerajaan Majapahit mengeluarkan kerbau yang sangat besar untuk pertarungan ini, tapi Kerajaan Pagaruyung malah mengeluarkan kerbau kecil yang masih menyusu induknya. Kerbau kecil ini juga dipisahkan dengan ibunya dan tidak diberi susu selama beberapa hari.”

“Kasihan sekali kerbau kecilnya, Bu. Kerbaunya pasti hauskan?” Tanya Buyung sedih.

“Iya nak, tapi dibalik itu ada sebuah strategi besar yang dilakukan Kerajaan Pagaruyung supaya mereka menang.” sambung Ayah pada akhirnya.

“Bisa begitu ya, Yah? Bukannya kerbau kecil akan sedih dan mencari induknya?” Tanya Buyung lagi.

“Justru itu sayang, ketika hari pertarungan tiba anak kerbau tadi lidahnya diberi benda runcing seperti kerucut. Saat kerbau kerajaan Majapahit berdiri dengan gagah dan sudah siap untuk bertanding, anak kerbau tadi berlari kencang ke arah kerbau gagah karena mengira bahwa itu adalah ibunya. Kerbau kecil pun mencoba untuk menyusu karena Ia sangat haus.” lanjut Ibu bercerita.

“Sampai- sampai perut kerbau gagah tadi terluka dan membuatnya mati, sehingga pertandingan dimenangkan oleh kerbau kecil. Masyarakat Kerajaan Pagaruyung pun bersorak ‘manang kabau’ dan lambat laun kata itu berubah menjadi Minangkabau. Tanduk kerbau juga dijadikan sebagai simbol kemenangan kerajaan Pagaruyung.” tambah Ayah.

“Dan akhirnya tanduk kerbau pun dijadikan sebagai salah satu ciri khas masyarakat Minangkabau itu sendiri, seperti dijadikan pola atap rumah Gadang dan hiasan kepala baju Bundo Kandung seperti baju kakak itu.” ibu menunjuk ke arah seorang anak gadis yang sedang berfoto membelakangi Istana Basa.

“ Oh jadi seperti itu.” Buyung mengangguk paham.

Hari itu banyak sekali wisatawan yang datang ke Istana Basa. Beberapa diantara mereka ada yang berkumpul dengan keluarga dan tertawa, ada pula yang berfoto bersama, bahkan sebagiannya lagi ada yang memakai baju adat seperti kakak yang ditunjuk oleh ibu Buyung tadi.

Buyung senang sekali hari itu, Ia sekarang tahu tentang sejarah atap rumah Gadang yang berbentuk menyerupai tanduk kerbau. Buyung berencana akan menceritakan hal ini pada teman-temannya di Jakarta nanti.

“Bagaimana Buyung? Kita pualang ke rumah Nenek atau mau menjelajah masuk ke rumah Gadang ini?” Tanya Ayah.

“Memangnya boleh kita masuk, Yah?” Tanya Buyung penuh harap.

“Boleh banget nak. Di dalam ada banyak sekali pelajaran yang bisa kita dapat.” ucap Ayah.

“ Kayaknya besok aja Yah, sekarang sudah siang. Ibu udah janji dengan Nenek untuk membantu membuat Rendang.” kata ibu merasa tak enak.

“ Yeah, Nenek mau masak Rendang.” Buyung senang.

“ Iya nak. Lain waktu kita kesini lagi bareng Nenek, gimana?” usul Ibu.

“Oke bu.” Buyung mengacungkan jempolnya setuju.

“Kita foto dulu yuk.” ajak Ayah dan disetujui keduanya.

Buyung dan kedua orang tuanya foto menggunakan pakaian adat Sumatera Barat, ibu Buyung memakai baju merah dan memakai tanduk persis yang dipakai kakak-kakak tadi. Sedangkan Ayah dan Buyung memakai baju serta celana panjang berwarna merah dengan hiasan kepala yang namanya Deta/Destar dan semacam kain songket yang dililitkan di pinggang mereka. Buyung dan Ayah Ibunya foto bersama menggunakan jasa fotografer yang ada di sana. Setelah selesai, Buyung pun langsung pulang ke rumah Nenek. Sekarang Buyung tidak sabar untuk mencicipi Rendang sang makanan kesukaan yang sudah Buyung nantikan.