Jamur Wulan, Idola di Musim Pancaroba

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Cerita pendek ini mengisahkan tentang budaya di Dusun Karangsaga, Desa badamita, Kabupaten Banjarnegara saat musim pancaroba tiba. Dimana pada musim ini bermunculan jamur-jamur liar yang bisa dimakan. Anak-anak dari berbagai kalangan akan senang mencari jamur dan merasa bangga jika menemukan Jamur Wulan. Hingga akhirnya pada suatu ketika mereka pergi bersama-sama mencari Jamur kala liburan sekolah. Di tengah perjalanan tersebut mereka berebut Jamur Wulan yang mereka temukan di perjalanan, hingga menimbulkan pertengkaran yang rumit. Lalu, bagaimana akhir perebutan Jamur Wulan tersebut? Siapakah yang mendapatkannya? Silahkan baca cerpen di bawah ini.

Lakon[sunting]

  1. Aku
  2. Paklik Seno
  3. Masbun
  4. Gunawan
  5. Kholid
  6. Fadlun
  7. Hotimah
  8. Reni
  9. Nur

Lokasi[sunting]

Dusun Karangsaga, Desa Badamita, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

Cerita Pendek[sunting]

Jamur Wulan, Idola di Musim Pancaroba[sunting]

(Kompetisi Memperebutkan Jamur Wulan)[sunting]

Jamur yang menggiurkan

Musim pancaroba adalah musim bahagia bagi kami, anak-anak Dusun Karangsaga. Di musim ini banyak hal mengasyikkan yang selalu terngiang dan ingin terulang. Mulai dari banyaknya pohon buah-buahan yang berbuah, permainan bola kasti, permainan gobak sodor, tumbuhnya jamur-jamur liar untuk dimakan, hingga liburan sekolah di akhir semester yang cukup panjang.

Biasanya kami akan berkumpul di teras halaman gabungan antara rumahku, rumah kakek, dan rumah pak lik untuk bermain mulai dari pagi hingga petang. Tak jarang terdengar suara teriakan ibu-ibu ketika memasuki waktu sholat maupun waktu makan. Di hari lain, kami juga pergi ke ladang untuk mencari jamur liar yang tumbuh, seolah meminta untuk dimakan.

Ada satu jamur yang sering jadi rebutan ataupun kebanggaan ketika kita bisa menemukannya dalam keadaan terbaik, karena tak jarang beberapa jamur ditemukan sudah dalam keadaan busuk dan ditemukan beberapa hewan belatung di dalamnya. Jamur kebanggaan tersebut adalah jamur wulan. Dinamakan jamur wulan karena bentuknya yang bundar lebar seperti bulan purnama. Dibandingkan dengan jamur lainnya seperti jamur siung, jamur wuk, jamur sempagi, dan jamur pari, jamur wulan memang paling terliat menggiurkan. Maka tak heran, jika kami akan bangga pamer saat menemukan jamur wulan.

Urusan perjamuran ini pun akhirnya menginspirasi kami untuk mengadakan petualangan bersama pencarian jamur. Tanpa membuat rencana matang layaknya perencana kegiatan, kami pun berangkat dadakan di hari Minggu yang terang benderang.

Kami bersembilan, Pak lik Seno, Masbun, Gunawan, Kholid, Fadlun, Hotimah, Reni, Nur, dan aku, akhirnya memutuskan melakukan pencarian jamur ke Punthuk, daerah tinggi di atas dusunku. Bermodal kantong kresek bekas belanjaan orang tua, kami berangkat dengan riang gembira.

Ma, nyong njaluk plastike ya” ("Ma, saya minta plastiknya, ya") ucapku sambal mengambil kantong plastik warna hitam di antara plastik-plastik milik Ibu lainnya.

Nggawani plastik nggo ngapa si?” (Bawa plastik buat apa?") jawab Ibu sembari masih sibuk dengan kegiatan memasak.

Nyong meh nggolek jamur karo kanca-kanca, Ma. Mengko angger olih akeh dimasak pepes, ya” ("Saya mau mencari jamur dengan teman-teman, Ma. Nanti kalau dapat banyak dimasak pepes, ya.")

Ya wis nganah, sing ati-ati ya!” ("Ya sudah sana, hati-hati ya")

***

Wis kumpul kabeh?” ("Sudah kumpul semua?") tanya Paklik-ku ketika melihat anak-anak sudah berkumpul di depan rumahku.

Wis lik, mayuh mangkat!” ("Sudah om. ayo berangkat!")

mayuuuuuh” ("Ayoooo") serentak suara seluruh anak-anak menyahut dengan riang gembira.

Terlihat kantong plastik dengan berbagai warna dan ukuran menyertai rombongan. Hitam, bening, merah, kuning, hijau, dan biru semuanya ada dan berpadu dalam rombongan yang Paklik pandu.

Persaingan pun mulai terjadi, setelah beberapa meter kita melangkah Gunawan menemukan jamur sempagi yang sedang mekar. Ia dengan sigap segera menghampiri jamur tersebut dan mengambilnya tanpa tunggu lama.

Melihat Gunawan yang sudah menemukan jamur, yang lainnya pun ikut terbakar semangatnya untuk mencari yang lebih banyak dan lebih baik dari milik Gunawan. Dalam benakku ingin sekali aku menemukan jamur wulan, atau minimal jamur wuk lah.

Setelah beberapa lama kami berjalan masing-masing kami sudah membawa jamur temuan kami. Akan tetapi belum ada di antara kami yang sudah menemukan jamur wulan. Persaingan pun semakin ketat, saat kita sudah berada di puncak Punthuk. Karena setelah puncak, otomatis kita akan turun dan pulang ke rumah masing-masing.

Ih kae jamur wulan” ("Wah, itu jamur wulan") ucap beberapa anak secara berbarengan.

Seluruh mata memandang ke satu arah yang ditunjuk secara berbarengan, terlihat jamur wulan seukuran piring makan sedang mekar terlihat begitu menggiurkan. Tanpa komando dan kode mulai layaknya pelari sprint, kami berlari bersama menuju titik yang sama.

Sesaat kemudian segera beberapa tangan berkumpul mengerumuni jamur wulan tersebut.

Nyong sing weruh disit!” (“Saya dulu yang lihat!”)

Nyong disit, ya” (“Saya dulu, ya”)

Ora ya, nyong disit ya. Jal takon Gunawan lho.” (“Tidak ya, saya duluan ya. Coba saja Tanya Gunawan”)

Hampir seluruh anak berebut mengatakan bahwa masing-masing adalah yang pertama kali melihat jamur wulan tersebut. Perseteruanpun dimulai. Beberapa tangan sudah mengarah ke arah jamur wulan, hendak mencabutnya. Akan tetapi beberapa lainnya menampis tangan tersebut. Suasana pun semakin gaduh.

Aku yang juga menginginkannya diam-diam menyelinap di antara teman-temanku yang sedang berseteru, berebut jamur tanpa malu. Berharap kedatanganku tak disadari oleh mereka seperti semut yang berlalu. Kurang dari jarak 50 cm tanganku hampir menggayuh jamur tersebut, tiba-tiba terdengar suara serentak.

"Ehhhh, ko meh ngapa, La? Aja ngakali ya. Meneng-meneng njiot jamure!" ("Eh, kamu mau ngapain, La? Jangan curang, ya. Diam-diam ambil jamurnya")

"Hehe, ora kok. aku mung pengen ndeleng tok. Gedhene sepira." ("Hehe, tidak kok. Saya cuma ingin melihat saja. Besarnya seberapa.") ucapku malu-malu sembari mundur ke belakang. Takut diserbu teman-teman yang mulai terlihat memerah mukanya, seperti tomat yang ada di dapur rumah.

"Wis, wis. Aja pada tukaran. Kene kumpul disit. Nyong tok ngomong." ("Sudah, sudah. Jangan bertengkar. Sini kumpul dulu. Saya akan bicara.")

ucap Paklik Seno memecah keributan di antara kami.

Sesegera mungkin, kami mengikuti arahan Paklik Seno sebagai pimpinan rombongan. Kami pun duduk melingkar, mengelilingi Paklik Seno.

"Rungokna temenanan ya bocah-bocah. Jamure kan siji thok. Lah, kalian ki wong wolu. Nek kaliah rebutan, bakalane jamure remuk jujuk." (Dengarkan baik-baik, anak-anak. Jamurnya kan hanya satu. Sedangkan kalian delapan orang. Kalau kalian rebutan, jamurnya pasti akan hancur lebur.")

"Ya mulane sing pertama weruh sing olih, Lik" (Ya, makanya yang pertama melihat yang dapat, om") belum selesai Paklik Seno berucap, Fadlun sudah menyela.

"Lah, pertanyaane sapa sing pertama weruh jal?" (Pertanyaannya, siapa yang pertama kali melihat?") Kholid menimpali.

"Nyong." ("Aku") ucap Gunawan.

"Ora, ya. Nyong sing pertama" ("Tidak, ya. Aku yang pertama") sanggah Masbun.

"Wis, wis. Nek ditakoni sapa sing pertama weruh, mesti kabehan ngakune sing pertama weruh mesti. Makane rungokna nyong disit ya bocah-bocah." (Sudah, sudah. Jika ditanya siapa yang pertama kali melihat, pasti semuanya akan mengaku kalau dia yang pertama kali melihat. Makanya dengarkan baik-baik dulu ya, anak-anak.")

"Ya, Lik." ("Ya, om") jawab anak-anak serentak.

"Soale jamure siji thok. Ben adil, jamure disuwir dadi wolu ya. dadi kabeh bocah olih kabeh. Ora ketang olihe cilik. Ngono kepriwe?" ("Karena jamurnya hanya satu. Supaya adil, jamurnya disuwir jadi delapan ya. Jadi semua anak dapat semua. Meskipun hanya dapat sedikit. Begitu saja, bagaimana?")

"Ya wis, Lik. Manut" (ya, sudah. ikut saja, Om")

Setelah semua anak menyetujui saran tersebut, Paklik Seno segera mencabut jamur wulan tersebut dan menyuwirnya menjadi delapan bagian. Setelah itu delapan bagian tersebut dibagikan kepada seluruh anak. Delapan anak tersebut pun menerima bagiannya masing-masing dengan riang gembira. Terlihat bibir-bibir yang membentuk mangkok tersemat di wajah mereka. Setiap anak akhirnya mendapatkan jamur idolanya untuk dimasak sesampainya di rumah nantinya.

  • * * * TAMAT * * *