Jangan Pulang Jika Kamu Menangis!
Jangan Pulang Jika Kamu Menangis!
[sunting]“Sudah kamu lawan siapa itu yang bikin mukamu bengkak begini?” tanya perempuan itu dengan kesal.
.
Seorang anak laki-laki yang ada di depan Nurlela tampak meringis kesakitan saat tangan perempuan itu membersihkan luka yang ada di pipi bagian atas. Sebuah goresan merah dengan sisa darah kering terlihat jelas di kulit putih anak laki-laki itu. Bahkan cukup jelas dan terang karena panjangnya yang mencapai lima sentimeter.
.
“Besok Mamak akan dapat surat dari Bu Melati sebagai bukti bahwa aku tak diam saja diperlakukan seperti ini,” jawab anak laki-laki beralis tebal itu.
.
“Bagus! Sekarang bersihkan badanmu, makan, lalu istirahat. Nanti mamak bangunkan waktu Asar,” lanjut perempuan itu lagi.
***
Nurlela duduk di kursi teras belakang. Matanya menatap jauh ke depan, seperti ada banyak hal yang ada di dalam kepalanya. Raut wajahnya tak memperlihatkan jika dia terbawa dengan lamunan yang ada di kepala. Nurlela justru terlihat seperti sedang berperang dengan banyak hal yang mencoba mengambil kewarasannya. Rahangnya mengeras, matanya mulai berubah memancarkan kebencian yang sangat dalam.
.
“Sudah, jangan diambil hati perlakuan si Tegar padamu. Kalian suami dan istri, jangan lah dibawa besar permasalahan tentang uang di rumah tangga. Paham tidak maksudku, Lela?”
.
Nurlela ingat betul, saat itu dia tak menjawab pertanyaan kakak ibunya yang menyuruh untuk lebih menerima perbuatan si suami. Nurlela memilih bangun dari tempat duduknya saat itu dan masuk ke kamar. Sekadar memberi alasan basa basi pun tak dilakukan, walaupun dirinya punya satu alasan yang bisa digunakan saat itu untuk menghindari tekanan dari kakak ibunya, Wak Murni. Perut yang membesar mulai memperlambat gerakannya atau tak tahan berlama-lama duduk bisa sekali dipakai sebagai alasan mengamankan diri. Namun, Nurlela memilih untuk menunjukkan ketidaksukaan dan ketidaksetujuan atas pandangan Wak Murni terhadap masalah rumah tangganya.
.
“Mak, kenapa melamun? Kata Mak mau bangunkan aku waktu Asar. Kenapa aku tak dibangunkan?” tanya Ali anak Lela.
.
“Tanpa Mak bangunkan, tubuhmu sudah terbiasa bangun pada waktunya, Li. Jangan tergantung dengan mamak. Suatu saat dirimu akan sendiri tanpa mamak. Harus kuat kamu, Li,” jawab Nurlela.
.
“Paling tidak kuminta satu Mak, jangan tinggalkan aku seperti cara Bapak meninggalkan kita.” Ali segera menuju ke belakang rumah untuk berwudhu. Dia tahu betul jika emaknya akan berceramah tanpa henti saat dirinya mulai mengingatkan perempuan itu dengan sosok bapak yang sekarang entah di mana.
.
Nurlela kali ini tak ingin terpancing dengan perkataan si Ali. Terpancing seperti biasa untuk mulai mengumpat dan menyumpahi laki-laki yang dulu pernah sangat dia cintai. Cacian Lela meluapkan semua rasa tak terima jika apa yang terjadi padanya dan pada si Ali adalah akibat dari perbuatan orang terdekatnya.
.
Lela menuangkan teh ke cangkir yang dari tadi ada di atas meja dalam kondisi tertutup. Dia hafal berapa lama anaknya akan menghabiskan waktu untuk menghadap Tuhannya. Perempuan itu meletakkan teko di meja, tepat saat Ali mulai muncul dan menarik kursi untuk duduk berhadapan dengan dirinya.
.
“Ceritakan, kenapa dirimu sampai hancur seperti ini Ali!” Lela membuka percakapan dengan anaknya tanpa basa basi. Jiwa perempuannya seperti tidak ada lagi. Semua yang melekat pada Lela tinggal perkataan tanpa intonasi dan mimik, semua terlihat dan terdengar datar.
.
Ali tak langsung menjawab pertanyaan Lela, dia memilih untuk menikmati teh buatan emaknya sebelum menjelaskan banyak hal pada perempuan satu-satunya yang dia sayangi. Dia menyukai cara Lela memperlakukan dirinya sebagai anak. Ali tahu bagaimana perempuan itu membuat dirinya menjadi laki-laki yang tumbuh lebih dulu dewasa ketimbang anak kelas tiga SMU pada umumnya.
.
“Mak tahu Adi, kan?” tanya Ali.
“Anak Wak Mus?” jawab Lela.
“Iya. Dia sejak satu minggu lalu selalu menggodaku dengan bilang jika aku ini anak yang wajib dikasihani karena sudah ditinggal Bapak kabur. Karena aku tak meladeni, dia menaikkan ejekan agar aku menjadi lebih emosi. Satu kalimat dia akhirnya membuatku tak bisa menahan diri, Mak. Adi bilang aku ini anak perempuan penjaja tubuh. Siapa yang bisa terima dihina macam itu, Mak. Akhirnya k u p u k ul dia lebih dulu dan seperti ini lah jadinya. Aku luka, dia luka. Tak ada dari kami yang baik-baik saja.”
.
Lela diam sejenak mendengar cerita Ali. Tangannya kembali mengepal dan rahangnya mengeras. “Mak ke tempat Wak Mus dulu! Ada anak yang tak bisa dididik di rumahnya. Kalau dia tak bisa mendidik, harusnya serahkan Adi dengan Mak biar mulutnya punya sedikit rem untuk menilai orang lain!”
.
Ali hanya meringis kesakitan melihat emaknya berjalan cepat ke luar rumah. Dia memilih menunggu Lela di teras depan, Lela tak suka jika urusannya dicampuri oleh orang lain termasuk Ali. Perempuan itu lebih tangguh dari apa yang bisa dilihat dari luar.
***
“Bang, anak di perutku ini sudah mau lahir, tapi belum juga kau beri aku uang untuk membeli baju bayi dan keperluan lainnya.” Nurlela meletakkan teh di depan Abrar, suaminya.
.
“Nanti ya, aku belum ada uang.” Teh buatan Lela diteguknya setengah lalu dibiarkan begitu saja oleh Abrar. Dirinya pergi meninggalkan rumah di depan mata Lela tanpa memberi kepastian atas pertanyaan istrinya. Sejak saat itu, Lela hanya diberi kenangan teh manis yang berasa pahit. Abrar tak pulang ke rumah sejak menyesap teh buatan Lela, sampai anak dalam perut Lela lahir dan berumur delapan belas tahun.
.
Nurlela bukan perempuan yang larut dalam ketidakpastian. Dia mulai menyusun banyak rencana untuk membesarkan anak satu-satunya. Dia mulai tak mendengarkan perkataan orang tentang dirinya. Dia mulai menata hati dengan tidak memberikan laki-laki mana pun untuk sekadar mampir memberi perhatian. Kenangan teh manis terakhir kali dengan Abrar membuat dirinya lebih dingin menyikapi perjalanan hidup.
.
“Mak, surat dari Bu Melati. Besok Mamak ke sekolah ya,” kata Ali menyadarkan Lela yang sedari tadi masih melamun mengingat masa lalu.
.
“Sudah mengucapkan salam atau belum kamu, Ali? Kenapa Mak tak dengar kamu mengucap salam? Jangan lupa adab walaupun dirimu tidak mendapatkan pelajaran adab dari seorang bapak!” kata Lela ketus.
.
“Aku sudah mengucap salam, Mak sayang ..., tapi beberapa hari ini Ali lihat Mak selalu melamun. Apa yang Mak lamunkan? Soal Bapak? Bukannya itu sudah usai di kita, Mak?” Pertanyaan Ali seperti sedang memojokkan Lela semakin jauh dalam kenangan teh manis. “Adi sudah tak mengejekku. Dia lebih memilih menghindar dariku, Mak. Satu lagi, aku tetap sayang dengan Mak. Aku akan selalu menjadi anak Mak. Aku tidak akan pernah sama seperti mereka yang punya emak dan bapak lengkap, tapi keberadaan Mak sudah cukup saat ini untukku,” lanjut Ali.
.
Nurlela menahan tangis, tapi sepertinya air matanya terlalu banyak untuk ditahan hingga akhirnya sebagian meleleh keluar ke pipinya yang masih terlihat mulus. Sekali ini Lela memeluk anak laki-lakinya. Lela menangis sejadi-jadinya. Semua dia keluarkan siang itu di bahu anak laki-lakinya. Delapan belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk menegakkan diri tanpa bahu sebagai tempat bersandar. Sekarang Lela menemukan sandaran pada Ali yang menyayangi dirinya sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang ibu.
.
Lela dan Ali menikmati lepasnya beban yang mereka pikul masing-masing. Keduanya menangis, tetapi diakhiri dengan senyum manis setelahnya.
***
Nurlela memakai baju terbaiknya untuk pergi ke sekolah Ali. Baju berwarna ungu muda dengan corak garis vertikal berwarna putih. Baju yang dia beli satu minggu lalu di pasar. Baju yang modelnya sangat dia sukai. Baju terusan sepanjang lutut, berlengan pendek, dan berkerah cheongsam. Nurlela terlihat cantik dengan tatanan rambut sederhana yang diikat ke belakang mengikuti bentuk tulang wajahnya.
.
“Jadi, bagaimana Bu? Apa konsekuensi atas tindakan yang sudah dilakukan Ali terhadap Adi? Saya siap mendengarkan. Silakan,” kata Nurlela pada Bu Melati.
.
“Untuk saat ini, Ali harus belajar dulu di rumah ya, Bu. Konsekuensi ini juga kami berikan kepada Adi. Kami ingin kejadian dua hari lalu bisa memberikan pelajaran bagi siswa lainnya agar lebih menjaga diri masing-masing dari sikap yang tidak baik. Kami sudah mendapatkan duduk permasalahannya seperti apa dari Ali dan Adi, dan kami paham dengan tindakan Ali saat itu,” jelas Bu Melati.
.
“Terima kasih, Bu. Saya sangat menghargai keputusan dari sekolah atas konsekuensi yang diberikan kepada Ali. Saya mengajarkan anak saya untuk tetap bertanggung jawab atas semua yang sudah dilakukannya. Terima kasih sudah memahami bagaimana jalan pikiran anak saya, Bu.” Nurlela tersenyum. Dia merasa lega mendengar keputusan dari Bu Melati.
.
Ali sudah ada di luar ruangan guru menyambut Nurlela yang berjalan keluar. Keduanya berpelukan. Bagi sebagian yang melihat, akan terasa aneh dengan senyum ibu dan anak tersebut. Namun, bagi Ali dan Nurlela, saat ini adalah saat yang tepat untuk tersenyum.
.
“Terima kasih sudah mendengar kata-kata Mamak, Ali.”
“Jangan pulang jika kamu menangis, pulang dengan kepala tegak, lalu bercerita lah pada Mamak tentang semua hal yang kamu alami dan kamu rasakan. Sesekali menangis, tapi tidak semua masalah diselesaikan dengan menangis. Begitu ‘kan kalimat Mamak setiap aku akan tidur?” tanya Ali.
.
Nurlela tersenyum. Kali ini senyumnya lebar sekali.
TAMAT